Rekonstruksi Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati
tentang Pendidikan Tauhid
Kata Kunci:
Surkati, Pemikiran, Tauhid
Abstrak : Syekh Ahmad as-Surkati
tercatat dalam peristiwa sejarah perkembangan Islam di Indonesia, terutama
sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Ia seorang pemikir pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia. Ahli sejarah mengakui peranannya dalam pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia, meski as-Surkati bukan orang pribumi,
tetapi telah mengabdikan diri di
Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya. Syekh
Ahmad Bin Muhammad as-Surkati
Al-Kharraj al-Anşări berasal dari Sudan. Awalnya as-Surkati
datang atas permintaan Jami’at al-Khair sebuah organisasi sosial
keagamaan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan pada lembaga tersebut. Namun keberadaannya di Jami’at al-Khair hanya bertahan selama dua tahun, karena perbedaan cara pandang yang
terkait dengan persoalan status sosial manusia. As-Surkati yang banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh berpendapat bahwa semua manusia
adalah sama, tidak peduli orang Arab atau bukan, Sayid atau non-Sayyid semuanya
sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Ini merupakan ajaran tauhid yang
menegaskan bahwa yang Maha tinggi hanyalah Allah. Setelah keluar dari Jami’at al-Khair, ia mendirikan lembaga pendidikan yang dikenal dengan madrasah al-Irsyad
al-Islǎmiyyah. Dalam pengajaran formal ia mampu mewujudkan
pandangan-pandangan yang berorientasi pada kemajuan pendidikan.
A. Pendahuluan
Tauhid sebagai inti ajaran
Islam, yang menjadi dasar bagi pembelajaran semua bidang studi. Dalam sejarah
pemikiran Islam, ajaran tauhid tersusun dalam ilmu Uşŭluddin atau ilmu
tentang pokok-pokok ajaran Islam.[1]
Adapun tujuan ilmu tauhid
tersebut adalah untuk memantapkan keyakinan terhadap agama melalui akal pikiran
disamping kemantapan hati yang didasarkan pada wahyu. Selain itu ilmu tauhid
juga digunakan untuk memperteguh kepercayaan dengan menghilangkan berbagai
macam keraguan yang masih melekat. Dengan kata lain, ilmu tauhid bertujuan
untuk mengangkat kepercayaan seseorang dari lembah taklid ke puncak keyakinan.
Itulah sebabnya ilmu tauhid dianggap sebagai induk ilmu-ilmu agama.[2]
Atas dasar tujuan seperti itu,
maka sumber utama ilmu tauhid pertama:
al-Qur’an dan Hadiś Rasulullah yang sering disebut sebagai dalil-dalil Naqli,
dan yang kedua: akal pikiran yang disebut dengan dalil Aqli.
Kedua dalil inilah menurut Islam memiliki keabsahan untuk membuktikan
kebenaran-kebenaran ajaran tauhid.[3]
Diantara yang melontarkan
pemikiran mengenai pendidikan tauhid adalah Syekh Ahmad as-Surkati seorang
pembaru Islam yang berjuang untuk memurnikan aqidah Islam di Indonesia pada
awal abad 20.
Ia dikenal sebagai tokoh
pendidikan Islam di Indonesia, yang berhasil mereformasi pandangan-pandangan
yang menyimpang dari ketauhidan. Implementasi gagasan pendidikan tauhid tidak
saja diaktualisasikan pada lembaga pendidikan, namun juga pada aktivitas
organisasi atau perkumpulan yang dibentuk
dengan nama Jam‘iyyah al-Işlah wa al-Irsyad al-‘Arabiyyah yang beberapa
tahun kemudian diganti dengan nama Jam‘iyyah al-Işlah wa al-Irsyad al-Islǎmiyyah,
yang mengelola sekolah sampai saat ini.
Mengingat adanya jalinan
ideologi antara as-Surkati dengan al-Irsyad maka menarik untuk diketahui apakah
pendidikan tauhid yang diajarkan di lembaga ini masih menggunakan konsep yang
dikemukakan oleh as-Surkati, mengingat bahwa materi pendidikan cenderung
mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat.
Mengenai pentingnya pendidikan, al-Qur'an telah memberi isyarat prinsip
dasar pendidikan, yang dapat dijadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam
rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa unsur yang berkaitan
dengan pendidikan antara lain; menghormati akal manusia (Q.S. Az-Zumar, [39] :
9), bimbingan ilmiah dan fitrah manusia (Q.S. Ar-Rum, [30] : 8 dan 30),
penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan (Q.S. Al-An’am [6] : 6) dan
memelihara keperluan sosial masyarakat (Q.S. Al-Qashash, [28] : 77).
Pendidikan Tauhid tidak hanya
menempati posisi sentral di dalam ajaran Islam, tetapi juga merupakan prinsip
dasar dari ajaran para Nabi. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
risalah tauhid, yakni risalah yang berisikan penegasan ke-Esaan Allah,
merupakan suatu risalah permanen dan akan selalu relevans dengan fitrah
kemanusiaan.
Oleh karena itu, pendidikan
tauhid yang menempati posisi penting dalam pendidikan pernah menjadi pemikiran
Syekh Ahmad as-Surkati dan sampai sekarang
dilaksanakan oleh al-Irsyad.
B. Riwayat Hidup dan Karya-karya Syekh Ahmad as-Surkati
Syekh Ahmad as-Surkati adalah
tokoh utama berdirinya Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islǎmiyyah, atau disingkat dengan nama
Al-Irsyad.
Nama lengkapnya adalah Ahmad
bin Muhammad as-Surkati[4] al-Khazrajiy al-Anşǎry. Lahir di pulau Argu daerah Dunggula, Udfu,
Sudan, (1292 H atau 1875 M).[5] Ayahnya bernama Muhammad
dan diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anşăry,
Sahabat Rasulullah saw. dari golongan Anşăr.
Syekh Ahmad as-Surkati lahir
dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya, Muhammad Surkati,
adalah lulusan Universitas Al-Azhar (Mesir), kemudian menjadi guru dan memiliki
banyak sekali anak didik yang kemudian menyebar ke Mesir dan Saudi Arabiyah.
Syekh Ahmad as-Surkati dikenal cerdas sejak kecil. Dalam usia muda, ia sudah
hafal Al-Qur'an. Dasar-dasar Dogmatik Islam, yaitu fiqih dan Tauhid, diajarkan
ayahnya. Setelah tamat pendidikan dasar di Mesjid Al-Qaulid, Ahmad Surkati
dikirim oleh ayahnya belajar di Ma’had Şarqi Nawi, sebuah pesantren besar di
Sudan waktu itu. Pendidikan
yang dilalui oleh as-Surkati di Sudan, masih dalam sistem pendidikan
tradisional. Baik metode maupun kurikulum yang dipakai sangat tradisional.
Awalnya anak-anak menghafal al-Qur’an di luar kepala karena orang Sudan percaya
bahwa kemampuan ini akan meningkatkan iman dan memberi landasan hingga mudah
masuknya doktrin-doktrin dalam Islam.[6] Ia lulus dengan memuaskan, dan ayahnya ingin agar ia
bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Namun pemerintahan Al-Mahdi
yang berkuasa di Sudan waktu itu, melarang warganya meninggalkan Sudan. Putuslah
harapan syekh Ahmad as-Surkati untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana
dari Universitas Al-Azhar.
Ahmad as-Surkati bisa lolos dari Sudan dan berangkat
ke Madinah dan Makkah untuk belajar agama setelah ayahnya wafat pada 1896 M.
Beberapa kegiatan yang dilakukan di kota suci itu dimulai dalam usia 22 tahun, yakni tahun 1314 H, as-Surkati
melawat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim selama 5 tahun di
Madinah. Di kota Madinah inilah, beliau memperdalam al-Qur’an, Tafsir, Tauhid,
Hadiś, Fiqih, Falsafah, dan Ilmu Falaq, bahkan juga Ilmu Ketabiban.[7]
Pendapat lain mengatakan bahwa beliau di Madinah
selama empat tahun.[8]
Diantara guru-guru beliau di Madinah adalah Syekh Şalih Hamdan al-Maghribi dan Syekh
Umar Hamdan al-Maghribi (dua ulama besar ahli hadiś asal Maroko). Beliau juga
belajar Al-Qur’an pada ulama ahli qira’at yaitu Syekh Muhammad al-Khayari
al-Maghribi; belajar fikih pada Syekh Ahmad bin al-Haji Ali al-Mahjub dan Syekh
Mubarak al-Nismat; dan berguru bahasa Arab dari ahli bahasa yang bernama Syekh
Muhammad al-Barzanji.
Di Madinah ini pula beliau menyerap pengetahuan tentang Tajdid lewat
karangan Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jawwziyyah sekalipun dalam kondisi
sembunyi-sembunyi karena buku-buku tajdid dari Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim,
al-Afghany dan Abduh dilarang beredar oleh pemerintah Turki Uśmăniyah waktu itu.[9]
Setelah itu, Surkati tidak langsung pulang ke
Sudan, tetapi melanjutkan usahanya untuk menuntut ilmu di Makkah. Dan di Makkah,
ia memperdalam al-Qur’an, Tafsir, Fiqh, Hadiś, Tauhid, Filsafat, dan juga ilmu
ketabiban (at-Ţibb al-Yunani).
Dalam Tarikh Hadramaut as-Siyăsi, Şalah
Abd al-Qadir al-Bakri menyatakan bahwa Ahmad Surkati pindah dari Madinah ke Makkah dan bermukim di sana
selama 11 tahun untuk memperdalam ilmu terutama fikih madzhab Syafi’i.
Di Makkah as-Surkati mendapat gelar al-‘Allămah
dari Majlis Ulama Makkah dan
merupakan ulama Sudan yang pertama kali namanya tertulis dalam daftar ulama
Makkah, walaupun waktu itu tidak sedikit ulama Sudan yang berada di Makkah. Ulama
Makkah dikenal selektif dalam menentukan orang-orang Afagi (orang yang bukan
Hijaz) dalam daftar ulama. Hal itu dilakukan untuk memelihara penghargaan yang
diberikan pada ulama yang terdaftar dalam pemerintahan Uśmaniyah dan berlaku
bagi seluruh ulama yang berada di Makkah. Dari sini dapat diketahui bahwa
Surkati termasuk ulama yang diakui keilmuannya, sehingga dimasukkan dalam ulama
ternama di Makkah.
Seperti
halnya di Madinah, Ahmad Surkati telah berguru pada ulama sesuai dengan keahlian masing-masing. Diantara guru-gurunya
adalah Syekh As’ad dan Syekh Abdurrahman yaitu putra Syekh al-Kabir Ahmad ad-Duhan.
Selain itu adalah al-’Allamah Syekh Muhammad bin Yusuf al-Kayyath dan Syekh
Shu’aib bin Musa al-Maghribi.[10]
Karena prestasinya yang gemilang, pada tahun 1906 as-Surkati menerima
sertifikat tertinggi guru agama dari pemerintah Istanbul.[11] Syekh Ahmad kemudian
mendirikan sekolah di Makkah, dan mengajar tetap di Masjidil Haram.
Di kota Makkah ini juga Syekh Ahmad as-Surkati membaca tulisan tentang
pembaruan Islam karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dua orang
tokoh yang diakui sebagai pelopor reformisme di Mesir.[12] Bacaan tersebut telah
mempengaruhi perkembangan pemikiran as-Surkati dalam pembaruan bidang agama.
Meski berada di Makkah, ia
rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat menyurat. Hingga
suatu waktu datang utusan dari Jami’at al-Khair (Indonesia) untuk meminta
guru, dan ulama Al-Azhar langsung menunjuk ke Syekh Ahmad. Ia pergi ke
Indonesia bersama dua kawannya yaitu Syekh Muhammad Abdul Hamid al-Sudani dan
Syekh Muhammad Ţayyib al-Maghribi.
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Syekh
Ahmad as-Surkati perlu dilakukan untuk mengetahui pemikirannya, yang tersebut
dalam karya tulisnya. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkannya,
tidak diungkap dan dijelaskan semua, karena tidak semua karyanya membahas
tentang tauhid. Karya-karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Arab, Melayu,
atau Belanda. Pembahasan hanya akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang
terkait dengan pemikiran tauhidnya atau gagasan sentralnya, antara lain :
1. Surah al-Jawăb (1915):
Risalah ini
merupakan jawaban Ahmad as-Surkati
terhadap permintaan pemimpin surat
kabar Suluh India,
H.O.S. Tjokroaminoto, sehubungan
dengan makin luasnya pembicaraan
tentang kafa'ah yaitu membahas larangan bagi seorang putri Sayyid untuk
menikah dengan seorang pria dari turunan yang lebih rendah derajatnya. Hal ini ditentang oleh as-Surkati karena
Islam mengajarkan persamaan harkat dan martabat manusia.
Perbedaan derajat itu dalam sejarahnya dihapuskan dengan
ajaran kesetaraan dalam Islam, yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah dengan menikahkan
Zainab binti Jahz seorang bangsawan Quraisy dengan Zaid bin Harits seorang budak
yang dimerdekakan dan dijadikan sebagai anak angkat Rasulullah.
Syekh
Ahmad as-Surkati berusaha meluruskan pandangan pengkultusan individu maupun
kelompok itu, yang dipandang dapat mengotori tauhid dan menumbuhkan bid’ah.
2. Risălah Tawjih al-Qur'an ila Adab
al-Qur'an (1917):
Karyanya ini antara
lain : membahas tentang kedekatan
seseorang pada Muhammad
sebagai Rasulullah bukan
didasarkan atas keturunan, namun atas dasar
ketekunan dan kesungguhan dalam
mengikuti jejak dan dakwahnya.
3. Al-Dăkhirah al-Islămiyah
(1923):
Merupakan
majalah bulanan yang dikelola
Syekh Ahmad Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al
- Anşăry. Melalui majalah ini Syekh
Ahmad Surkati membongkar praktek-praktek keagamaan yang keliru, misalnya
meminta kepada yang sudah meninggal dan berdoa dikuburan, melakukan bid’ah,
tahayul. Ia juga menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di
segala waktu, serta persatuan ummat.
4. Al-Masă'il as-Śalaś (1925):
Al-Masa'il as-Śalaś adalah
sebuah buku yang diterbitkan di Surabaya 16 Pebruari 1925. Buku ini telah
menimbulkan reaksi yang keras terhadap kaum Sayyid karena buku ini mengandung
tiga masalah pokok: (1) Ijtihad dan Taqlid, (2) Sunnah dan Bid’ah, (3) Ziarah kubur
dan Tawassul.
Naskah ini sebenarnya di
siapkan as-Surkati untuk memenuhi tantangan seorang ulama dari Madinah bernama
Muhammad Ali Ţayyib, yang mengunjungi as-Surkati tahun 1925, untuk mengadakan
perdebatan di masjid Ampel Surabaya. Namun sampai pada waktu yang ditentukan,
Ali Ţayyib tidak datang meski telah dinanti-nantikan oleh Surkati di tempat
yang telah ditentukan. Maka naskah yang memang telah disiapkan as-Surkati itu
diterbitkanlah menjadi buku kecil dengan judul “Al-Masă'il as-Śalaś”.
[13]
5. Al-Wasiyyat al-‘Amiriyyah
(1918), yang berisi
perintah dan larangan agama.
6.
Al-Masă'il as-Śalaś
Zedeleer Uit Den Qor'an (1932), yang berisi ayat-ayat sopan
santun serta akhlaq
7. Al-Khawăţir al-Hisan (1941)
8. Huquq
an-Nisa, yang berisi tentang hak-hak wanita.
Dari karya-karyanya, tampak bahwa as-Surkati mampu mengembangkan pemikirannya
tentang pendidikan agama bagi masyarakat. Hal tersebut kemudian diaplikasikan
melalui pendidikan agama bagi masyarakat melalui organisasi al-Irsyad dan
sekolah yang dikelola al-Irsyad.
Luasnya wawasan as-Surkati seperti tersurat dalam karyanya menyebabkan
muridnya tidak terbatas orang Jawa, ada murid Syekh Ahmad as-Surkati dari
kalangan kolonialis Belanda seperti Dr. Charles Olke van der Plas. Dia pernah
menjabat sebagai konsul Belanda di Jeddah, terakhir dia menjadi gubernur
Jenderal di Jawa Timur. Setelah
invasi Jepang tanggal 9 Maret 1942, Van der Plas melarikan diri ke Australia.
Van der Plas merupakan tokoh kolonial Belanda yang ingin menangkap Soekarno
pada akhir September 1945.[14]
Syekh Ahmad as-Surkati menyadari bahwa pendidikan agama merupakan pintu
untuk mencerdaskan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran tentang kesetaraan dan
keadilan yang digariskan Islam. Dengan menyebarnya lembaga pendidikan dibawah al-Irsyad, maka pemikiran as-Surkati
tersebar pula di Indonesia.
C. Pemikiran Syekh
Ahmad as-Surkati di Bidang Pendidikan Tauhid
Kiprahnya bagi pengembangan dan peningkatan pendidikan di Indonesia, adalah
mereformasi pandangan-pandangan mengenai materi pendidikan. Ia mendirikan madrasah/sekolah
al-Irsyad al-Islǎmiyyah di Jati Petamburan, Jakarta, dengan bantuan
pemuka-pemuka masyarakat Arab pada tahun 1332 H/1914 M.
Tujuan didirikannya al-Irsyad, disamping untuk pengembangan dan peningkatan
pendidikan di Indonesia juga untuk meluruskan aqidah kaum muslimin, yang pada saat itu sebagian telah
menyimpang dari ajaran tauhid yang di bawa oleh Rasulullah.
Pada awal abad ke-20 Syekh Ahmad Surkati tidak hanya
dikenal sebagai pemimpin keturunan Arab
di Indonesia, tetapi dikenal pula sebagai tokoh reformasi Islam yang banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh.[15]
Pemikiran Syekh Ahmad Surkati tentang pendidikan adalah
sebagai berikut :
1. Memperjuangkan hak
sesama muslim dan menunjukkan kepada mereka kebenaran Aqidah dan Ibadah
2. Mendasarkan pemikiran
kepada Al-Qur’an dan Hadits
3. Memperjuangkan dan
mementingkan bahasa Arab sebagai ilmu alat untuk memahami sumber-sumber Islam
4. Menekankan pengembangan
jalan pikiran anak didik dengan cara menekankan kepada pengertian dan daya
kritis, bukan hafalan. Hal tersebut juga diterapkan pada pelajaran lain seperti
sejarah, ilmu bumi dan lain-lain
5. Menggunakan alat peraga dalam menyampaikan pelajaran, terurama gambar-gambar manusia, yang sebagian tradisi lain
melarangnya.[16]
Menurut as-Surkati masih banyak pengamalan agama orang Arab
Indonesia yang diikuti oleh orang pribumi menyimpang dari tauhid, yang
seharusnya ditujukan kepada Allah tapi
ditujukan kepada selainnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Shalat, puasa, haji, dan sedekah yang
dikerjakan bukan karena Allah
b) Penyembelihan yang bertujuan untuk
mengagungkan, dalam pandangan kerohanian, atau untuk menolak
keburukan, misalnya dihadiahkan kepada jin atau yang lainnya menurut Syekh
Ahmad as-Surkati adalah syirik.
c) Bernadzar karena selain
Allah.
d) Istighosah (mohon
bantuan pertolongan) kepada selain Allah
e) Bersumpah kepada selain
Allah
f) Berdo’a kepada selain
Allah
g) Takut kepada selain
Allah.
h) Mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan
Allah.
i)
Memakai jimat atau benda bermantera
yang diyakini berkekuatan ghaib untuk kepentingan
tertentu.[17]
Yang disampaikan as-Surkati merupakan sikap hati-hati
terhadap hal-hal yang dapat merusak dan mengotori iman, karena iman harus
dijaga dengan selalu taat dan tunduk terhadap aturan Allah. Dan motivasi
seseorang dalam amal ibadahnya, semestinya untuk akhirat bukan untuk
kepentingan duniawi semata.
Bagi masyarakat Arab di
Jakarta, as-Surkati telah memberikan pencerahan dalam pemahaman agama yang
dianggapnya sebagai pembodohan dan
fanatik jahiliyah dengan berbangga-bangga pada silsilah keturunan serta
mengkultuskan kuburan-kuburan mereka. Ia mengoreksi pandangan diskriminatif
yang membedakan kelompok Sayyid dengan lainnya, seperti kewajiban mencium
tangan seorang Sayyid.
Nenek moyang Sayyid atau
Ba’alawi meyakini bahwa kemuliaan mereka itu adalah dari dzatnya atau alami,
bukan dicari-cari, dan orang selain mereka adalah budak mereka. Mereka berdalil
dengan hadiś : “Siapa saja yang menjadikanku sebagai Maula (tuan) maka Ali
adalah Maulanya.” Hal ini seperti yang difatwakan oleh Umar al-Attas di
Singapura pada tahun 1323 H dan telah dibantah oleh Sayyid Rasyid Ridha dalam
majalah beliau al-Manar jilid VIII.
Sayyid Rasyid Ridha
menjelaskan bahwa, kata Maula dalam hadiś di atas maksudnya adalah penolong,
dan secara bahasa maknanya adalah teman, kerabat, tetangga, sekutu, budak,
(tuan yang memerdekakan). As-Surkati juga menjelaskan makna Sayyid dalam bahasa
artinya tuan, dan bisa diberikan kepada setiap orang, bahkan di negara-negara
Arab seperti Syria dan Libanon, orang-orang Yahudi dan Nasrani juga digelari Sayyid.
As-Surkati mencontohkan Nabi
Muhammad yang menikahkan Zainab binti Jahsh dengan Zaid bin Hariśah. Awalnya
Zainab menolak namun akhirnya menerima Zaid dengan turunnya surah al-Ahzab ayat 36 :
“Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Q.S. al-Ahzab [33] : 36).
Pernikahan anak Rasulullah
yaitu Ruqayyah dengan Uśman bin Affan yang bukan keturunan Bani Hasyim,
kemudian Diba’ah binti Zubair bin Abdul Muţalib, seorang bangsawan Quraisy
dengan Miqdad, dari kalangan biasa. Perkawinan ini tidak menyandarkan pada
keturunan dan ternyata berjalan dengan rukun dan penuh kebahagiaan.
Setelah keluar dari Jami’atul Khair bersama beberapa sahabatnya dari golongan
bukan Sayyid, ia mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islǎmiyyah, serta
organisasi Jam’iyat al-Işlah
wal-Irsyad al-‘Arabiyah (kemudian berganti nama Jam’iyat
al-Islah wal-Irsyad Al-Islǎmiyyah), pada tanggal 17 Juli 1914.[18] Nama ini diambil dari nama Jam’iyyah ad-Da’wah wa al-Irsyad di Mesir yang
didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Banyak ahli sejarah mengakui perannya yang besar dalam pembaruan
pemikiran Islam di Indonesia, beliau bukanlah
orang pribumi, yang telah melakukan perjalanan intelektual dengan mengabdikan diri berjuang di negeri orang yaitu Indonesia,
diantara pendapat itu dari sejarawan
Deliar Noer yang menyatakan Ahmad Surkati memainkan peran penting sebagai mufti.[19]
Sedang sejarawan Belanda G.F.
Pijper[20] menyebut dia seorang
pembaru Islam di Indonesia. Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan
pembaruan yang punya kesamaan dalam perubahan pemikiran dalam Islam dengan
gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha lewat Jam’iyat al-Işlah wal Irsyad . Pijper juga
mengemukakan bahwa as-Surkati seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri
dari para pejabat pemerintah.[21]
Howard M. Federspiel
menyebut Syekh Ahmad as-Surkati sebagai penasehat awal pemikiran Islam
fundamental di Indonesia. Sehingga banyak tokoh Islam di Indonesia yang berguru
kepadanya. Pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus,
oleh Federspiel disebut sebagai sahabat karib Syekh Ahmad as-Surkati.
Pengakuan terhadap Syekh
Ahmad as-Surkati sebagai seorang tokoh datang pula dari tokoh Persis, A.
Hassan. Menurutnya pendiri Muhammadiyah K.H. Ahamd Dahlan dan pendiri Persis
Haji Zamzam merupakan murid-murid Syekh Ahmad as-Surkati.
- Jami’at al-Khair dan al-Irsyad
Tampilnya Jami’at al-Khair dalam gerakan pembaruan
pendidikan Islam terasa penting karena organisasi ini termasuk organisasi moderen
dalam masyarakat Islam waktu itu. Moderennya organisasi ini terlihat dalam
anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, dan rapat-rapat. Ia merupakan
organisasi pertama yang didirikan oleh orang yang bukan Belanda, yang
keseluruhan kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem barat. Dengan begitu
organisasi ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengakuan resmi
pemerintah.[22]
Lembaga ini sudah dipersiapkan berdirinya sejak tahun
1901. Para pemrakarsanya adalah golongan terpelajar dari masyarakat Indonesia
Arab, keluarga Shihab dan Yahya. As-Shihab. Al-Yahya dikalangan Sayyid
(‘Alawiyyin) termasuk kelas yang terendah. Upaya mendirikan lembaga ini
mengalami berbagai hambatan. Berulang kali permohonan pengesahan di ajukan
kepada Gubernur Jendral W. Rooseboom tahun 1903. Untuk pendirian lembaga ini
telah dikirimkan beberapa surat permohonan dengan pemohon yang berbeda, yaitu
Said bin Ahmad Basandid dan Muhammad bin Abdurrahman al-Masyhur. Akhirnya izin
untuk lembaga ini di keluarkan pada tanggal 17 Juni 1905 setelah permohonan
diperbarui kepada Gubernur Jendral J.V. Van Heutsz.[23]
Jami’at al-Khair beranggotakan mayoritas orang-orang Arab, tetapi
tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa
diskriminasi asal usul, termasuk juga pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan yang bergabung
dalam organisasi ini.
Pengurus pada awal berdirinya terdiri dari Said bin Ahmad
Basandid sebagai Ketua; Muhammad bin Abdullah bin Shihab sebagai Wakil Ketua;
Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur sebagi Sekretaris; dan Idrus bin
Ahmad bin Shihab sebagai Bendahara.[24]
Berdirinya Jami’at al-Khair bertujuan untuk
membantu orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya di bidang
pendidikan dengan mendirikan sekolah di Pekojan Jakarta. Beberapa tahun setelah
itu dibuka pula sekolah-sekolah di Krukut dan Tanah Abang. Kemudian dibuka juga
sekolah Jami’at al-Khair di Bogor.
Madrasah Jami’at al-Khair tidak sepenuhnya
mengajarkan agama melainkan ditambah ilmu hitung, sejarah, dan geografi. Bahasa
pengantarnya adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Arab. Sedang bahasa Belanda
tidak diajarkan tetapi bahasa Inggris merupakan keharusan.[25]
Ada dua bidang yang menjadi perhatian Jami’at
al-Khair antara lain:
a. Pendirian
dan pembinaan sekolah tingkat dasar
b. Pengiriman
anak-anak muda ke Turki umtuk melanjutkan studi.
Namun pengiriman ini sering terhambat karena
kekurangan biaya dan kemunduran khilafat (tidak seorang dari mereka yang
dikirim memainkan peranan penting) setelah kembali ke Indonesia.[26]
Untuk kepentingan pendidikan, Jami’at
al-Khair mendatangkan guru langsung dari luar negeri. Empat guru dari
negara-negara Arab yang diharapkan dapat membantu kemajuan dan perkembangan
pendidikan di Jami’at al-Khair dengan ajaran Sunni. Keempatnya adalah : Syekh
Ahmad as-Surkati, (Sudan), Syekh Muhammad bin Abdul Hamid (Makkah), Syekh
Muhammad Ţayyib (Maroko), dan al-Hasyimi (Tunisia).[27]
Pada saat guru-guru tersebut tiba, Jami’at al-Khair baru membuka dua cabang, di
Bogor dipimpin oleh Muhammad Abdul Hamid, dan di Krukut Jakarta dipimpin oleh
Muhammad Ţayyib, sedangkan Syekh Ahmad as-Surkati ditunjuk sebagai pengawas
seluruh madrasah Jami’ah al-Khair di Jakarta.
As-Surkati berperan dalam usaha mengembangkan Jami’at
al-Khair, diantaranya dapat menyakinkan para pemimpin Jami’at al-Khair untuk mendatangkan
guru dari luar negeri, termasuk salah seorang saudara as-Surkati, Abu al-Fadl
Muhammad as-Sati as-Surkati, dan tiga guru lain datang ke Jakarta pada tahun
1942. Ketiga guru yang datang bersama Sati as-Surkati ini semuanya berasal dari
Sudan, masing-masing Syekh Muhammad Nur bin Muhammad Khayr al-Anşăry, Syekh
Muhammad al-’Aqib, dan Syekh Hasan Hamid al-Anşăry.
Guru-guru asing yang di datangkan Jami’at al-Khair tersebut
akrab dengan pikiran dan tulisan-tulisan reformis dari Mesir seperti Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha. Bahkan Muhammad Nur dan Muhammad ’Aqib yang sebelumnya
belajar di al-Azhar adalah murid dari Muhammad Abduh. Hubungan antara Ahmad
as-Surkati dengan para lulusan al-Azhar ini mulanya terjalin lewat
korespondensi yang dia lakukan untuk menambah pengetahuannya tentang reformasi
Islam.[28]
Dan guru lainnya seperti Muhammad al-Hasyimi seorang
berkebangsaan Tunis termasuk pejuang yang gigih membela kepentingan umat Islam
di negerinya pernah ikut dalam memberontak melawan pemerintah Perancis. Ia
sebagai guru olahraga di Jami’at al-Khair dan memiliki berbagai pengetahuan
keterampilan seperti memasak, dan membuat sabun. Dia juga yang pertama kali
memperkenalkan Gerakan Kepanduan di kalangan orang Islam di Indonesia.[29]
Ketika al-Attas yang berjasa mendatangkan al-Hasyimi ke
Indonesia berselisih dengan pengurus Jami’at al-Khair dan meninggalkan
perguruan itu lalu mendirikan al-Attas School tahun 1912, al-Hasyimi pun segera
keluar meninggalkan Jami’at al-Khair dan bergabung dengan al-Attas School.
Ketika sekolah al-Irsyad berdiri, ia lalu meninggalkan al-Attas School dan
bergabung serta menjadi guru pada sekolah al-Irsyad.[30]
Sebagai pendidik, guru-guru asal Sudan itu membimbing
siswanya berfikir rasional, berani bertanya dan mengungkapkan pendapatnya
tentang hukum Islam yang disertai dalil al-Qur’an dan Sunnah.
Kedatangan Ahmad Surkati dan gurur-guru Jami’at al-Khair
ke Indonesia adalah atas undangan orang Arab yang menganut ajaran reformis,
antaranya Abdullah bin Abu Bakar al- Habsyi, Muhammad bin Abdurrahman bin
Shahab, Muhammad bin Abdullah as-Sattari, Ahmad bin Abdullah Assagaf dan Abdul
Maula bin Yahya. Kalangan reformis Arab ini dibantu guru-guru yang mereka
datangkan untuk mendorong masyarakat setempat agar menyetarakan kelompok Sayyid
dengan penduduk lainnya. Hal ini membawa hasil dengan mulainya beberapa
penduduk non-Sayyid membuang kebiasaan mencium tangan orang-orang Sayyid
(taqbil). Dirintis oleh ketua masyarakat Arab di Jakarta, Umar Mangqus yang
mendobrak tradisi wajib mencium tangan
kalangan Arab yang menyandang gelar Sayyid.[31]
Lambat laun golongan bukan
Sayid merasa bahwa mereka sederajat dengan golongan Sayid. Sikap ini mendapat
dukungan dari sebuah fatwa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar,
yang mengemukakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki Islam Arab non-Sayid
atau bukan Arab dengan wanita Sayyid adalah boleh.
Perjuangan agar kelompok bukan Sayyid mendapat
hak-hak yang sama dengan kelompok Sayyid didukung fatwa dari Rasyid Ridha yang
memperbolehkan antara lelaki non-Sayyid menikah dengan wanita Sayyid. Hal ini dinyatakan dalam surat balasannya kepada
tokoh Sayyid terkemuka di Singapura, Syekh Umar al-Attas, dengan judul ”Pernikahan
Orang Syarifah dan Non Syarif dan Posisi Istimewa ahl-Bayt (keturunan Ali)”,
tertanggal Muharram, 1323 H – Maret 1905 M. Bentuk kepercayaan kelompok Sayyid yang ditulis al-Attas
yang kemudian mendapat fatwa Rasyid Ridha adalah : status pengantin pria dan
wanita haruslah sejajar.[32]
Konsep kafa’ah yang dianut oleh kaum Ba’alawi
semata-mata karena tradisi turun-temurun belaka dari nenek moyang yang ada di Hadramaut,
yaitu :
1. Non - Arab tidak sejajar
dengan keturunan Arab
2. Non-Quraisy tidak sejajar
dengan keturunan Quraisy
3. Keturunan suku
Quraisy tidak sejajar dengan Bani Hasyim
4. Bani Hasyim tidaklah sejajar dengan keturunan Bani
Fatimah melalui Hasan dan Husain.[33]
Berdasarkan kriteria itulah golongan Ba’alawi
menyimpulkan bahwa wanita Sayyid tidak diperbolehkan kawin dengan lelaki yang
bukan Sayyid, karena tidak sejajar dan hak kesejajaran di dasari harga diri.[34]
Ahmad as-Surkati menyebarkan prinsip kesetaraan antara Sayyid
dengan bukan Sayyid dengan mengarang arjazah (sajak) yang berjudul Ummahăt
al-Akhlăq (ibu dari moralitas) yang wajib dinyanyikan setiap awal dan akhir
pelajaran di Madrasah tempatnya mengajar, syairnya sebagai berikut :
”Seseorang tidaklah mendapatkan kebanggan akan garis
keturunan ataupun pakaian yang ia kenakan. Kebanggan di dapat hanya dari
pengetahuan dan kebudayaan dan agama adalah pelita dari orang-orang yang terpelajar”.[35]
Dua tahun perjuangan as-Surkati di Jami’at al-Khair
harus berakhir, yang berawal dari pendapatnya di Solo. Dalam pertemuan di Solo menjamu Surkati, terjadi pembicaraan mengenai
nasib syarifah yang karena tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama tanpa
nikah (kumpul kebo) dengan seorang Cina di Solo. As-Surkati menyarankan agar
dicarikan dana secukupnya untuk kedua orang yang kumpul kebo tersebut, dan
pilihan lain yang diajukan beliau supaya dicarikan seorang muslim yang ikhlas
dan rela, menikahi secara sah syarifah itu agar lepas dari gelimangan
dosa. Diantara yang hadir itu Umar bin Said Sungkar menanyakan apakah calon
suami dari mereka diperbolehkan, karena ada hukum Islam yang mensyaratkan kafa’ah,
dan haram hukumnya seorang syarifah menikah dengan non-Sayyid meski
sama-sama pemeluk agama Islam dan syarat-syarat lainnya terpenuhi. Maka as-Surkati
mengeluarkan fatwa tentang jaiz atau sahnya pernikahan antara syarifah dengan
bukan Sayyid. Hukum kafa’ah yang seperti dikemukakan Umar tersebut sudah
tersingkir di Mesir, Sudan, Hijaz, dan negara-negara Islam lainnya. Dan persoalan
yang membuat diskriminasi itu mempunyai andil tidak mencerdaskan umat
Islam di Indonesia. Diantara argumentasi yang digunakan untuk memperkuat
pendapatnya adalah bahwa sesungguhnya manusia dengan manusia lain adalah sama
dalam pandangan Allah yang membedakan hanya ketaqwaannya.[36]
Fatwa yang sama dikemukakan oleh Syekh
Ahmad as-Surkatti di Solo tahun 1913, ketika ada pertemuan ia menjelaskan bahwa
Islam memperjuangkan persamaan sesama muslim dan tidak mengakui kedudukan yang
mendiskriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta atau
pun pangkat dengan merujuk Firman Allah dalam surah al-Hujurat :
”Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S
al-Hujarat [49 : 13]).
Sebagai seorang mubaligh, Syekh Ahmad as-Surkati sering tampil dalam
berbagai perdebatan terbuka tentang Islam, terutama masalah Furu’. Ia berusaha
membongkar hadiś-hadiś palsu dan dengan gigih membasmi segala kebiasaan agama
yang bersifat bid’ah, seperti pemujaan terhadap orang yang dianggap suci atau
pemujaan terhadap makam-makam keramat. Ia berusaha membawa al-Irsyad melawan
kejumudan.
- Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati dan al-Irsyad
Al-Irsyad
adalah tempat menuangkan pemikiran atau ide-ide as-Surkati. Maka
anggota-anggota al-Irsyad pada umumnya pendukung pemikiran Syekh Ahmad
as-Surkati, misalnya dalam pendidikan tauhid.
Pemikiran
as-Surkati tidak dapat dilepaskan dari pengaruh gerakan pembaruan Islam yang
mengupayakan pemurnian tauhid. Taklid atau ketaatan buta kepada penafsiran
dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kehidupan umat Islam
mengalami kemunduran.
Perlunya
pemurnian tauhid pernah dilontarkan antara lain oleh Ibnu Taymiyah (1263 M –
1328 M), Ibn Qayyim al-Jawwziyyah (1292 M – 1350 M) dan Muhammad Ibn Abdul
Wahab (1702 M – 1787 M). Ibn Taymiyah tidak pernah sangsi mengemukakan
kebenaran walaupun di depan para ulama, para pejabat dan Sultan yang paling
keras menentangnya. Ia tetap mempertahankan pendapatnya sekalipun ketika ia
ditahan dan dipenjara. Ia juga sedih melihat ulah ulama-ulama yang dipandang
korup dan tidak tahan godaan kemewahan dunia.[37] Karena apabila hati telah
tertambat kepada dunia, maka segenap aktifitas dan fikiran hanya tertuju
kepadanya, sehingga lalai dan lupa terhadap Allah dan akhirat, seakan-akan dunia
adalah tujuan akhir kehidupan. Jika ini terjadi maka dapat merusak keimanan
terhadap Allah dan hari Akhir.
Tidak didapati secara rinci mazhab guru-guru
as-Surkati, namun secara keseluruhan dari mazhab yang dianut oleh para gurunya
adalah mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, sehingga as-Surkati
menguasai dari empat mazhab tersebut, ini terbukti dari gelar al-’Allamah
yang didapatkannya dari majlis ulama Makkah.[38]
As-Surkati pada tahun 1906 mulai mengajar di Makkah dan pada waktu itu ia
telah mengenal tulisan-tulisan Abduh.[39] Ini menunjukkan bahwa pemikiran as-Surkati tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh pemikiran Ibn
Taimiyyah, Ibn Qayyim dan Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha.
Selama di Madinah maupun di
Makkah tak ditemukan catatan penting mengenai hubungannya dengan Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha, kecuali dalam riwayat hidup as-Surkati (Biografi as-Surkati)
diungkap bahwa selama di Makkah ia mulai mempelajari ajaran Abduh dengan
berkorespondensi dengan para pengajar di al-Azhar yang sealiran dengan Muhammad
Abduh.
Jadi, pendidikan yang didapati oleh as-Surkati dari guru-gurunya adalah
dengan memperdalam beberapa disiplin ilmu dari setiap madzhab. Sedangkan
pandangannya terhadap pemikiran pembaruan Islam banyak dipengaruhi oleh Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha serta murid-muridnya.
Indikator yang menunjukkan adanya kontak as-Surkati dengan murid-murid
Abduh di Mesir adalah, Pertama : Adanya utusan jami’at al-Khair
menghubungi murid-murid Abduh di Kairo untuk pengadaan guru, mereka kemudian
menunjuk nama as-Surkati. Kedua : Diantara para guru yang diundang jami’at al-Khair melalui as-Surkati adalah
Ahmad bin al’Aqib al-Anşãri (alumni al-Azhar, tahun 1909) dan Muhammad Nur bin
Muhammad Khair al-Anşãri mereka adalah pengikut Muhammad Abduh.
Pemikiran
as-Surkati yang menyebabkan perpecahan di dalam Jami’at al-Khair adalah tentang
kesetaraan manusia di hadapan Allah. Sikap masyarakat Arab Hadrami di
Indonesia yang menjurus pada kultus atas dasar keturunan dengan memandang Sayyid
lebih tinggi dari non-Sayyid merupakan kritikan as-Surkati yang menimbulkan
kemarahan golongan Sayyid dari keturunan Arab Hadrami di Indonesia pada masa
itu.
Pendirian
seperti ini bertentang dengan ajaran Islam yang mengajarkan semua manusia
mempunyai harkat dan martabat sama sebagai hamba Allah, yang membedakannya
hanya taqwa.
Kelompok
Sayyid (keturunan Rasulullah dari Fatimah) menganggap diri mereka lebih mulia.
Pandangan ini di bantah oleh as-Surkati, menurutnya konsep tafadul
bukan di dasarkan atas keturunan, tetapi berlandaskan pada ilmu, amal serta ketaqwaan.
Mengagungkan keturunan tertentu merupakan kesombongan yang perlu diluruskan.
Pemikiran as-Surkati yang mengkritisi
pandangan yang membedakan derajat manusia atas dasar keturunan itu sesuai
dengan firman Allah yang menetapkan kesetaraan manusia :
“Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
(Q.S. al-Hujurat, 13). Kesetaraan
manusia yang bersumber pada ajaran al-Qur’an, merupakan bagian dari kepercayaan
terhadap firman Allah dan prinsip ketauhidan.
Karena prinsip kesetaraan itu sesuai
dengan al-Qur’an, maka pemikiran as-Surkati tersebut sampai sekarang
dilanjutkan oleh al-Irsyad sebagai organisasi yang secara ideologis adalah
penerus ide-ide as-Surkati. Al-Irsyad sejak didirikannya mempunyai tujuan untuk
merubah pandangan kaum Arab Hadrami yang tenggelam dalam fanatisme kesukuan,
dan adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun tujuan al-Irsyad disebut
dalam mabadi’ al-Irsyad bahwa al-Irsyad
didirikan sebagai gerakan untuk mengembalikan kaum muslimin kepada al-Kitab dan
as-Sunnah, serta memahamkan mereka bahwa sebaik-baik kebaikan adalah berpegang
pada dua pokok ini.[40]
Prinsip ketauhidan yang dilontarkan as-Surkati
sejalan dengan yang dikemukakan Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Hal ini tampak dari ucapan Syekh
Ahmad as-Surkati dan murid-muridnya seperti tersebut di dalam Mabadi Al-Irsyad
tahun 1938, bahwa awal mula yang menggerakkan pemberantasan bid’ah dan khurafat
adalah Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dari Nejed di pedalaman jazirah Arab.
Hal penting yang tidak disinggung para pembaru di dunia Islam adalah tentang
pendapat as-Surkati bahwa tidak ada perbedaan Sayyid dan non-Sayyid.
Fanatisme dari masyarakat Arab golongan Sayyid menganggap terjadinya perselisihan as-Surkati dengan Jami’at al-Khair berawal dari
pendapatnya di Solo tentang jaiz atau sahnya pernikahan antara syarifah dengan
bukan Sayyid/Syarifah..
Disamping perbaikan hak azasi manusia tentang
kesetaraan, harkat dan martabat manusia maka pemikiran as-Surkati tentang
pentingnya pendidikan, dilanjutkan pula oleh pengurus al-Irsyad.
Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke
dalam kehinaan tidak lain disebabkan merajalelanya kebodohan karena mereka lupa
terhadap ajaran-ajaran kitab suci dan Sunnah Rasul. Sebagaimana Firman Allah : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S Al-Mujadilah, [58] : 11).
Umat Islam sudah waktunya
kembali kepada semangat pendidikan seumur hidup yang telah dicanangkan oleh
Rasulullah Saw sejak empat belas abad silam. Banyak tuntunan Rasulullah Saw
yang memberi dorongan pada umat Islam akan pentingnya menuntut dan
mengembangkan ilmu. Tuntunan Rasul yang cukup dikenal adalah perintah menuntut
ilmu bagi setiap Muslim dan Muslimah sejak saat dalam buaian sampai masuk ke
liang lahat.[41]
Demikian pula al-Qur’an
mengingatkan, agar manusia jangan meninggalkan generasi yang lemah, sebagaimana
firman Allah :
“Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. (Q.S. an-Nisa : 9).
Karena kebodohan menjadi
penyebab timbulnya kemiskinan, sedangkan kemiskinan dapat membawa pada
kekufuran, maka as-Surkati dalam menyampaikan ajaran Islam tentang pentingnya
pendidikan sering dengan nada yang keras dan tegas. Ini dapat dilihat dari
ajarannya yang mengajak kembali pada bentuk Islam yang murni, sehingga tidak
tercampur dari budaya-budaya asing (apapun bentuknya) yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Untuk menyebarkan pemikirannya itu, ia bersama tokoh al-Irsyad
mendirikan lembaga pendidikan al-Irsyad.
As-Surkati berusaha mengembangkan
pendidikan yang menjadi prioritas utama perjuangannya untuk mencapai kemajuan
berfikir, kesamaan derajat manusia dalam kehidupan sosial masyarakat.
Perjuangan ini dituangkannya dalam mabda’ al-Irsyad sebagai landasan pendidikan
al-Irsyad.
Diantara lulusan sekolah al-Irsyad adalah
tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan politik di Indonesia, seperti
Prof. Kahar Muzakkir, setelah tamat di madrasah al-Irsyad ia melanjutkan studinya
di Darul ‘Ulum Kairo, begitu pula Muhammad Rasyidi, Abdurrahman Baswedan, Umar
Hubays, serta Sulaiman Naji.[42]
Untuk mengembangkan pendidikan di
al-Irsyad, maka Pada tanggal 29 Agustus 1917 al-Irsyad membuka cabangnya yang
pertama di Tegal dengan ketuanya Ahmad Ali Baisa. Selanjutnya pada tanggal 20
Nopember 1917 dibuka cabang al-Irsyad yang kedua di Pekalongan dengan ketuanya Said
bin Salmin Sahaq. [43]
D. Rekonstruksi
Metode Pendidikan Syekh Ahmad as-Surkati
Dalam menyusun program pendidikan, as-Surkati mempelajari
apa yang terjadi dalam masyarakat terlebih dulu. Prinsip pendidikan dilontarkan
as-Surkati yang sesuai dengan pemikiran Muhammad Abduh, yaitu tentang transformasi
pendidikan dan pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang salah dan menyimpang
dari ajaran Islam.[44] Kesesuaian itu
dapat dilihat dari program yang dilakukan oleh Muhammad Abduh :
a) The purificatiom of Islam from Corrupting
Influence and practice (pemurnian Islam dari pengaruh dan kebiasaan
yang merusak)
b) The reformation of Muslim higher education (penyusunan
kembali pendidikan tinggi bagi umat Islam)
c)
The
reformulation of Muslim higher education (reformulasi
pendidikan tinggi bagi umat Islam)
d)
The
defence of Islam againt Eurephean influence and Christian attacks (mempertahankan Islam
dari pengaruh Eropa dan serangan Nasrani).[45]
Program khusus as-Surkati (Takhassus) yang
berusaha menghasilkan alumni Irsyadi yang pada saatnya dapat mewujudkan
tercapainya program Muhammad Abduh, yakni perumusan kembali ajaran Islam
sehubungan dengan pemikiran modern. As-Surkati juga mengarahkan umat Islam
untuk menuntut pengetahuan yang mendasari kemajuan dan kemuliaan duniawi,
hingga tidak menjadi noda hitam dalam pandangan Islam.
Pemikiran as-Surkati dalam bidang pendidikan tauhid
adalah dapat di pilah dalam beberapa aspek, diantaranya konsep pendidikan, kurikulum,
metode dan media pendidikan.
- Konsep Pendidikan tauhid
Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang
berarti buram; bagan; rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia di
tulis dengan “konsep” dengan arti ruang; rancangan; buram (surat).[46]
Menurut Syekh Ahmad as-Surkati, kebodohan harus di berantas. Dan ia berpendapat bahwa perbuatan
mendidik dan mengajar adalah pekerjaan yang termulia di sisi Allah SWT.
Keyakinan ini dikuatkan dengan Hadiś
Rasulullah yang diriwayatkan Imam
Turmuzi dan Ibnu Majah bahwa sebaik-baik di antara manusia adalah orang yang belajar dan mengajar.[47]
Tatkala mayoritas kaum muslimin terbelenggu oleh khurafat,
takhayul, dan bid’ah yang penuh dengan kemusyrikan, dan ajaran tauhid masih
asing di jiwa mereka, karena pendidikan yang masih rendah, maka bangkitlah Syekh
Ahmad as-Surkati menyuarakan hakikat tauhid dan kebenaran yang sejati. Ia tidak
takut ancaman dari orang-orang yang membencinya termasuklah dari golongan Sayyid
yang berusaha untuk mencela dan memfitnahnya.
Pandangan tentang tauhid yang murni itu
sebagaimana disampaikan Syekh Ahmad
as-Surkati dalam kuliah umum pada tahun 1937 yang berjudul Muhadharah
Islamiyah. Ia menegaskan bahwa aspek tauhid yang ditekankan oleh Ahlus
Sunnah, adalah :
“Pengakuan seorang hamba, pengakuan akan
keyakinannya dan keimanannya akan kemandirian Allah dengan segala sifat
kesempurnaan-Nya dan peng-Esa-an terhadap-Nya dalam segala hal tersebut. Dan
keyakinan seorang hamba bahwasanya tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang
menyerupai-Nya di dalam kesempurnaan-Nya, dan hanya Dia-lah yang berhak untuk
disembah dan diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya”.[48]
Ucapan as-Surkati di atas mengandung penekanan
kepada tauhid Uluhiyah dan Asma’ wa Şifǎt yang juga ditekankan
oleh para ulama ahlus sunnah. Karena pada kedua tauhid inilah kebanyakan kaum
muslimin menyimpang dan menyeleweng.
Menurut Syekh Ahmad as-Surkati ada beberapa hal
yang mempengaruhi atau merusak keimanan seseorang baik secara langsung maupun
tidak langsung, antara lain :
- Sunnah dan Bid’ah
Bid’ah yang banyak terdapat ditengah kaum
muslimin, yang berdampak buruk pada agama dan kehidupan adalah yang menjadikan
mereka berpaling dari amal-amal yang bermanfaat dan disyariatkan menuju
kesesatan-kesesatan yang direkayasa oleh guru-guru dan pimpinan mereka.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
Bid’ah itu lebih disukai oleh iblis daripada ma’siat, karena ma’siat itu masih
diharapkan taubatnya, sedangkan bid’ah tidak ada harapan untuk bertaubat
darinya”. Karena sudah keenakan dalam melakukan bid’ah tersebut.[49]
Diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari ’Aisyah, bersabda Rasulullah: “Barang
siapa yang berbuat perkara yang baru dalam urusan (kami) agama yang tidak ada
perintahnya maka tertolak”.[50]
Kemudian dari Riwayat Imam Muslim dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda “Barangsiapa
yang berbuat dengan perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka perbuatan
tersebut tertolak.” [51]
Imam Malik menambahkan bagi siapa yang membuat-buat dalam
Islam, hal baru yang ia anggap baik, maka berarti ia telah meyakini bahwa
Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengkhianati Risalah, karena Allah
telah berfirman :اليوم اكملت لكم دينكم maka apa saja yang pada waktu itu
tidak menjadi agama, hari inipun ia tidak akan jadi agama. Sedangkan Imam
Syafi’i juga menjelaskan: Barangsiapa beristihsan (menilai baik dalam soal
agama hanya dengan akal) berarti ia telah membuat syari’at.[52]
As-Surkati mengemukakan bahwa orang yang membolehkan
menjadikan sesuatu sebagai agama, dan digunakan untuk menyembah Allah maka ia
telah membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, dan dengan demikian itu
maka ia telah berbuat syirik.
Pendekatan yang dipandang penting oleh as-Surkati untuk
memberantas bid’ah adalah memberikan pemahaman tentang al-Qur’an dan Hadiś, dengan cara diskusi atau dialog,
as-Surkati memaparkan dalil-dalil tentang larangan melakukan bid’ah. Kemudian
pendekatan psikologis dan konseling dalam melihat budaya dan adat istiadat
serta tingkat kemampuan intelegensinya.
- Ziarah Kubur dan Tawassul
Kehidupan jahiliyah dalam
perbudakan manusia merupakan penyebab-penyebab kerusakan akal dan fitrah
manusia. Oleh karena itu, kaum muslimin perlu menjauhi kebiasaan jahiliyah itu
dan berusaha mengembalikan kemerdekaan akalnya, dan digunakan untuk berfikir
tentang sesuatu yang bisa mendatangkan mashlahat bagi dirinya di dunia dan di
akhirat. Tentunya semua itu dilakukan dengan bimbingan Allah Ta'ala dan
Rasul-Nya dan melepaskan diri dari kungkungan jahiliyah yang memasung kemerdekaan
berfikir yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala kepada para hamba-Nya.[53]
Pemasungan kemerdekaan
berpikir itu bisa dalam bentuk penyembahan terhadap sesuatu yang tidak berakal
seperti batu, pepohonan, kuburan dan sebagainya. Akibatnya semua kemaşlahatan
hidup dan kemudaratan harus digantungkan kepada benda-benda tersebut.
Menurut as-Surkati ziarah
kubur bisa dianggap sunnah jika niatnya untuk mengingat akhirat, dan ziarah
kubur harus menghindari semua tindakan munkarat termasuk tawasul, pemujaan para
wali, permintaan berkah dari orang yang sudah meninggal agar mendapat sesuatu,
duduk dan membaca al-Qur’an di makam, berkorban untuk yang sudah meninggal. Hal
ini di dasarkan pada hadiś yang menyatakan bahwa ”Ziarahlah kemakam namun
jangan mengucapkan hujr (aduan dan permintaan untuk berkah dari orang yang
meninggal)”. Dan ”Ziarahlah ke makam untuk mengingat kamu akan akhirat”.[54]
Ajaran as-Surkati mendapatkan
perlawanan dari golongan Sayyid yang merasa posisi mereka sebagai perantara
Tuhan dan manusia akan terancam.[55]
Mereka memberikan pemahaman
yang salah kepada masyarakat bahwa orang-orang yang telah dikubur itu memiliki
Jah (kedudukan) dan Tasharruf (tindakan) yang mencampuri kehendak Allah dan
keinginan-Nya.
Mereka juga mengelabui bahwa
bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan itu adalah rahasia yang mereka warisi dari
guru-guru pendahulu mereka, yang memiliki manfaat-manfaat yang tidak terdapat
pada amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan.
Perlu memperhatikan dan
mempertegas lingkungan masyarakat dari kecenderungan melakukan bid’ah dengan
melakukan pendekatan aqliyah untuk mengembangkan tingkat kemampuan berfikir,
sehingga tidak menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada
penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta
diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan
sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.
- Ijtihad dan Taqlid
Dalam pandangan Harun Nasution
Ijtihad tidak hanya berlaku dalam bidang fiqih atau hukum Islam saja, tetapi
berlaku juga dalam berbagai bidang ilmu; baik dalam ilmu kalam, filsafat,
tasawuf, dan sebagainya.[56]
Berbeda dengan pendapat
diatas, Ibrahim Hoesen berpendapat bahwa ijtihad hanya berlaku dalam bidang
fiqih saja, tidak berlaku dalam bidang Aqidah dan Akhlaq.[57]
Ijtihad adalah pengambilan
hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil kulliyah (menyeluruh) dan kaidah-kaidah
umum yang terinci, yang dikenal dalam ilmu uşul.[58] Yang dimaksud dalil-dalil
yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, hanya ruang lingkupnya ada yang
sudah jelas sehingga tidak perlu adanya ijtihad sedangkan lainnya dimungkinkan
untuk dilakukan ijtihad.
As-Surkati mengemukakan bahwa
ijtihad atau qiyas tidak diterapkan pada masalah-masalah agamawi yang menyentuh
ibadah, al-’Aqăid dan ilmu akhirat, sehingga tidak bisa ditambah dan dikurang.[59] Hubungan manusia dan
Allah yang diwujudkan dengan ibadah dan keimanan diatur dalam al-Qur’an dengan
jelas.
Dari beberapa
penjelasan ulama tersebut diatas, maka ada beberapa masalah yang bisa
diterapkan sebagai ruang ijtihad, namun ada pula yang tidak bisa diterapkan
sebagai ruang ijtihad. Permasalahan yang tidak dapat masuk pada ruang ijtihad
adalah yang disandarkan pada dalil qaţ’iy.
Penjabaran yang
dirinci mengenai pembagian hukum Islam adalah sebagai berikut:
1) Hukum
yang sudah tetap (qaţ’iy) yang sampai kepada kita semua secara mutawatir
, seperti salat lima waktu, puasa, haji, haramnya perbuatan zina, riba, hukum ahwal
syaksyiyyah (urusan kekeluargaan) seperti perceraian dan pernikahan.
2) Beberapa
hukum yang sudah ditetapkan ketetapannya secara ijmak tanpa ada satupun ulama
yang mengingkari.
Imam Syafi’i yang dinyatakan
oleh Ahmad Surkati sebagai orang yang paling tegas dalam melarang taqlid dan
mendorong untuk berijtihad, mengungkapkan dalam al-Umm : ”Tidak seorangpun
selain Rasullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam berhak mengatakan sesuatu
kecuali harus mendatangkan dalil”.
Istilah lain yang berkenaan
dengan ijtihad yang disebutkan dalam tulisan as-Surkati, sebagai kategorisasi
pilihan yang ditawarkan, ialah ittiba’ dan ta’assi.[61] Yang diharapkan muncul
dalam masyarakat adalah pemuka agama khususnya generasi al-Irsyad dengan
predikat berilmu, wara’, hati-hati, dan terpercaya, sebagai muttaba’ atau
mufti dan hakim.
Taqlid adalah perbuatan
mengikuti pendapat orang dengan tanpa pengertian dan tanpa menyelidiki dari
mana sumber hukum itu datang (dasar hukum).[62]
Taqlid buta yang dimaksud oleh
Ahmad as-Surkati adalah model pemahaman keagamaan para pemuka agama tradisional
yang sesungguhnya mempunyai kemampun mengarahkan orang awam pada dalil
al-Qur’an dan sunnah, namun mereka hanya terhenti pada keterangan Faqih.
As-Surkati
menyatakan bahwa : Seorang muqallid ialah orang yang berkemampuan dan mempunyai
kesempatan untuk memahami materi ajaran-ajaran Allah dan hukum-hukum-Nya, namun
ia tidak mempergunakan akalnya untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
dan tidak mau melihat dan memikirkan tentang keduanya; tidak pula mau
mendengarkan keduanya. Inilah orang yang keadaannya diperkenalkan oleh Allah
dalam surah al-’Araf dengan firman-Nya yang mulia ”Dan sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah)...
Mereka itulah orang-orang yang lalai.[63]
Dalil agama yang harus di
pegang adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, bukanlah pendapat para ulama
yang terdapat di beberapa kitab. Muhammad Ibn Abdul Wahab tidak mempertahankan
paham taqlid (tunduk kepada pendapat ulama-ulama terdahulu). Bahkan, sebagai
pengikut Imam Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah, ia berpendapat bahwa pintu ijtihad
tidak tertutup. Mengadakan ijtihad tetap dibolehkan, dan ijtihad dijalankan
dengan kembali kepada kedua sumber asli dari ajaran-ajaran Islam yakni
al-Qur’an dan Hadiś.[64]
Tidak ada satu pun kesesatan
kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga
tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah
yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat mereka tanpa melihat dari mana ia
mengambil dalil-dalil tersebut.
Taqlid buta, menurut
as-Surkati hanya bisa diizinkan bagi orang-orang yang tidak mempelajari atau
tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajarinya. Sedangkan umat Islam yang lain
wajib untuk menyelarasi hidupnya sesuai al-Qur’an dan Hadiś Nabi.[65]
Taqlid dapat dilakukan dengan
pendekatan pendidikan tauhid yang bersih dari budaya-budaya yang dapat merusak
aqidah dengan metode yang tepat dalam memberikan pengertian tentang taqlid
serta cara berkomunikasi antara mufti
atau muttaba’ (orang yang diikuti) dengan para pengikut-pengikutnya. Kemudian
para mufti mempelajari masalah yang dipertanyakan dari berbagai sumber rujukan,
yaitu yang bersumber pada dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah.
Firman Allah : Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(Q.S. al-Imran [3] : 31).
Konsep gerakan pembaruan tauhid
yang dilontarkan Syekh Ahmad as-Surkati, bersama guru-guru yang datang dari
Timur Tengah telah dirumuskan dalam bentuk mabadi al-Irsyad, yaitu :
1) Meng-Esa-kan Allah
dengan sebersih-bersihnya, peng-Esa-an dari segala hal yang berbau syirik,
mengikhlaskan beribadah kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam
segala hal
2) Mewujudkan kemerdekaan
dan persamaan dikalangan kaum Muslimin dan berpedoman pada al-Qur’an,
as-Sunnah, perbuatan pada imam yang sah dan perilaku ulama salaf dalam
persoalan khilafiyah
3) Memberantas Taqlid buta tanpa sandaran akal dan dalil
naqli
4) Menyebarkan ilmu
pengetahuan, kebudayaan Arab-Islam dan budi pekerti luhur yang diridhai Allah
5) Berusaha mempersatukan
Muslimin dan bangsa Arab sesuai dengan kehendak dan Ridha Allah.[66]
Konsep
gerakan pembaruan yang dilontarkan as-Surkati ini menjadi dasar pergerakan
al-Irsyad sebagai lembaga yang berkonsentrasi pada pendidikan dan sosial
masyarakat hingga saat ini.
- Lembaga Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan Tauhid
Aspek yang sering terlupakan dalam sistem pendidikan
secara umum adalah tentang kelembagaan. Syekh Ahmad as-Surkati sudah memperhatikan
pentingnya aspek kelembagaan. Hal ini terbukti dengan berdirinya
organisasi Al-Irsyad sesuai dengan tujuannya, diantaranya untuk mendirikan
lembaga sekolah yang peserta didiknya terbuka untuk umum asalkan beragama Islam,
dan tidak membedakan suku, ras dan kedudukan.[67]
Sebagai akibat globalisasi yang kian merambah disetiap
segi kehidupan, maka kehadiran lembaga pendidikan Islam yang memfokuskan pada
pendidikan tauhid diharapkan mampu untuk memberikan pondasi bagi aqidah pemeluk
Islam.
As-Surkati dalam menjalankan
program pendidikannya, ia hanya membagi tiga bidang ilmu antara lain :
1. Ilmu Bahasa yang meliputi : Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, Bahasa Indonesia.
2. Pendidikan Agama
meliputi : Al-Qur’an dan Hadiś, Tauhid (Aqidah) dan Akhlaq, Fiqih, Tarikh Islam
3. Ilmu Pengetahuan Umum
meliputi : Ilmu Bumi, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat/Kesehatan, Menggambar,
Gerak Badan.
Dari semua bidang ilmu tersebut, merujuk pada
buku-buku yang telah ditetapkan dan langsung pada sumber buku pengarangnya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tauhid diperlukan kurikulum
yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum yang disusun Ahmad as-Surkati,
khususnya pada pendidikan formal lebih menekankan pada pendidikan religius yang
dilaksanakan oleh guru-guru yang kompeten dalam bidangnya.
Ini
sesuai dengan program yang dikemukakan oleh as-Surkati, antara lain :
a. Tauhid menjadi
penting karena mengandung tujuan beragama yang mendasar
b. Tarikh dalam
kaitannya dengan ilmu bumi untuk mengetahui tempat dan waktu suatu kisah dalam
al-Qur’an, sehingga dengan tarikh ini diketahui lebih jauh kebenaran dari
al-Qur’an dan untuk pembinaan kepribadian yang bertauladan pada Nabi dan
Pemuka-pemuka Islam di awal perkembangan sejarah Islam
c. Ilmu Alam dituntut
karena berkaitan erat dengan pengertian Sunnatullah fil ka’inat
d. Ilmu Hayat dan Ilmu
Tumbuh-tumbuhan mempunyai kaitan dengan bukti-bukti kebesaran Allah dan agar
manusia mengadakan pengkajian terhadap binatang dan tumbuh-tumbuhan, untuk
digali hikmahnya dan dimanfaatkan
e. Fiqih penting karena
materi diambil dari al-Qur’an dan Sunnah, maka penerapannya di dasarkan atas
al-Qur’an
f. Ilmu Ekonomi menjadi
penting karena di dalam al-Qur’an banyak mengandung kaidah-kaidah ekonomi, baik
yang berkaitan dengan moral maupun pemanfaatan kekayaan
g. Ilmu Kesehatan
Jasmani dan Rohani sangat penting diketahui karena beberapa bentuk ibadah
mengandung keterkaitan dengan ilmu ini
h. Ilmu Hitung untuk
mempertanggungjawabkan ajaran al-Qur’an yang menuntut perhitungan yang teliti,
seperti warisan, zakat, dan jual beli.[68]
Penerapan program tersebut
perlu dilaksanakan dalam bentuk religius agar anak didik dapat mengetahui dan
memahami hubungan antara ilmu akhirat dengan ilmu duniawi. Menuntut ilmu bukan
hanya pada ilmu akhirat akan tetapi ilmu dunia tersebut dijadikan sebagai alat
untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat, sesuai dengan tujuan pendidikan
tauhid.
Secara kelembagaan program pendidikan Al-Irsyad pada
tahun 1913 memprioritaskan kajian ilmu
yang harus dipelajari. Ini tergambar jelas dalam tiap jenjang pendidikan sebagai
berikut :
a.
Madrasah Awwaliyah : berjenjang tiga tahun, kurikulumnya adalah muhadatsah,
qira’ah bahasa Arab, disamping pelajaran yang lain seperti bahasa Indonesia, berhitung, dan olah raga.
b.
Madrasah Ibtidaiyyah : berjenjang empat tahun, kurikulumnya adalah Al-Qur’an, fikih, nahwu, şaraf, muţala’ah dan imla’. Sebagai tambahan diajarkan sejarah, geografi, bahasa
Indonesia, berhitung, menggambar,
dan olah raga.
c.
Madrasah Tajhiziyyah : berjenjang
dua tahun, yang diajarkan adalah fikih, tauhid, tafsir dan Hadiś, bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris
d.
Madrasah Mu’allimin : berjenjang empat tahun diajarkan bahasa Arab, tafsir, Hadiś
dan ilmu Hadiś, pedagogi, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia
e.
Takhassus yang berjenjang dua
tahun diajarkan sepenuhnya religius yaitu adab al-lughah al-’arabiyah (literatur Arab), mantiq (logika), balaghah (retorika), fiqh wa uşul al-fiqh, tafsir, Hadiś, ilmu Hadiś dan filsafat.[69]
Pada tahun 1915 didirikan Takhassus berjenjang
dua tahun sebagai jenjang pendidikan tertinggi atau setara dengan perguruan
tinggi diploma.[70]
Dalam mata pelajaran yang disampaikan kepada peserta
didik di dasarkan pada kurikulum yang dibuat non-dikotomik, artinya tidak ada pembedaan
yang bersifat diskriminatif antara ilmu agama dengan ilmu umum. Selain itu, kurikulum yang dibuat menekankan pada
ilmu alat dalam hal ini bahasa
Arab sebagai alat untuk mempelajari dan memahami
sumber-sumber ajaran Islam.[71] Sehingga dapat digunakan untuk menggali ilmu yang
berasal dari al-Qur’an dan Hadiś serta dapat membedakan yang halal dan haram
terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan keimanan atau tauhid. Contoh,
melakukan şalat dengan benar dan tidak berharap selain pada Allah.
Dalam mata pelajaran tauhid dihubungkan dengan bagaimana
pendekatan diri kepada Allah melalui akhlak, perilaku terhadap sesama makhluk
dan ibadah yang berlandaskan pada ajaran Islam yang murni. Siapapun dia, jika
menyimpang dari ajaran yang datangnya dari Allah melalui Rasul-Nya maka wajib
diluruskan.
- Metode dan Pendekatan
Metode dan pendekatan merupakan aspek penting dalam
proses belajar mengajar. Pemahaman materi dikalangan peserta didik dipengaruhi
oleh cara menyampaikannya. Karenanya metode mengajar yang digunakan oleh
pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik, akan menunjang
pemahaman.
Untuk pengembangan daya
tangkap anak, Ahmad as-Surkati menekankan pada metode kritik daripada hafalan. Hal ini diberlakukan tidak hanya pada mata pelajaran
agama, tetapi juga mata pelajaran lainnya seperti sejarah, ilmu bumi dan lain
sebagainya.[72]
Hafalan dapat melemahkan kemampuan dalam memahami materi
pendidikan, sehingga tidak bisa menangkap materi isinya dengan baik.
Ada beberapa metode dalam proses belajar mengajar, yang mempunyai
prinsip-prinsip umum dan faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain :
a)
Harus memperhatikan kecenderungan anak didik, yaitu memperhatikan
dan menyesuaikan kapasitas anak didik, bakat, minat, lingkungan dan kesiapan anak didik. Sehingga akan
terwujud proses belajar mengajar yang menyenangkan.
b)
Memanfaatkan aktivitas individual anak didik. Hal ini
dapat dilakukan dengan melibatkan anak didik dalam setiap kegiatan yang
dilakukan dan memberi kesempatan kepada mereka untuk berpikir dan berbuat.[73]
Ahmad as-Surkati menerapkan metode dan pendekatan dalam belajar
mengajar pada sekolah al-Irsyad. Metode dan pendekatan yang diterapkan adalah sebagai
berikut :
- Pembiasaan, dilakukan dalam pelajaran bahasa Arab dengan mengajak salah satu murid beliau untuk jalan dan kemudian mengajarkan bahasa Arab dari benda-benda yang dijumpai (yang berkaitan dengan ciptaan Allah).
- Pendekatan psikologis dan konseling dalam melihat minat dan bakat serta tingkat kemampuan intelegensi para siswa yang diajar.
- Demokratis dalam suasana belajar mengajar dan menggunakan pendekatan aqliyah untuk mengembangkan tingkat kemampuan berpikir siswa.
- Metode Diskusi untuk tukar menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman dilaksanakan secara teratur. Tujuannya adalah untuk memperoleh pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu serta guna mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. Dalam metode ini mengandung nilai-nilai demokratis, karena Anak didik akan berpacu dalam mengeluarkan pendapat, sesuai aturan yang ditetapkan oleh kelompoknya.[74]
Dengan metode diskusi, peserta didik lebih bebas untuk mengeksplorasikan pemikiran tanpa harus merasa minder.
Dengan sendirinya akan muncul karakter spontan tanpa ada pemaksaan, dan yang
muncul adalah keunikan-keunikan pribadi yang harus dihormati menurut nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk mengajarkan keimanan
atau ketauhidan tentunya dapat menggunakan metode bertanya, cerita, ceramah,
Demonstrasi, dialog (hiwar) atau menjawab pertanyaan.[75]
- Media Pendidikan
Media pendidikan merupakan alat-alat fisik yang
menjelaskan isi pengajaran seperti film, video kaset, gambar dan lain-lain,
yang berfungsi sebagai alat bantu yang memperlancar dan mempertinggi proses
belajar mengaja.[76]
Ahmad Surkati dalam proses belajar mengajar sudah
menggunakan media pendidikan walaupun masih sangat sederhana dengan menggunakan buku-buku bergambar, terutama gambar manusia
yang oleh sebagian kelompok dianggap haram, untuk menjelaskan maksud dari
materi yang disampaikan.[77]
Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati tentang pembaruan Islam
sampai sekarang mewarnai perkembangan Al-Irsyad sebagai organisasi modern dan khususnya
lembaga pendidikannya.
Dari segi
pendidikan, al-Irsyad lebih memperhatikan bagaimana membekali anak didiknya
dengan pendidikan agama, yang akan membantu mereka berhadapan dengan ide-ide
reformasi.
E. Kesimpulan
Prinsip utama pendidikan Islam adalah aqidah atau
tauhid, yang merupakan falsafah hidup bagi umat Islam. Agar pendidikan tauhid itu berjalan efektif dan
tidak menyimpang, sebaiknya dilakukan dengan metode yang benar lagi tepat.
Setidaknya ada empat langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pendidikan
tauhid harus berpedoman kepada sumber yang asli, yakni Alquran. Kedua,
harus dipelajari secara menyeluruh. Ketiga, pendidikan tauhid juga harus
mempertimbangkan kepustakaan yang ditulis para ulama, dan ilmuwan Muslim. Yang keempat,
pendidikan tauhid tidak bisa hanya dilandaskan pada kenyataan hidup umat Islam
yang ada saat ini..
Munculnya konsep pendidikan as-Surkati
lebih dilatarbelakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan
Islam yang sedang mengalami kemunduran, baik di bidang ilmu pengetahuan dan di
bidang keagamaan. Ia menekankan tumbuhnya pribadi yang ideal, yang memiliki
ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu yang
bersifat umum. Dan ia juga
lebih menekankan pemahaman dan penalaran daripada hafalan.
Keberadaan lembaga al-Irsayad yang
membawa pemikiran pembaruan pendidikan Islam as-Surkati, berdampak pada
perubahan pola pikir anggota al-Irsyad dan masyarakat Arab Indonesia. Namun sebagian
masyarakat, ada yang tidak begitu perduli terhadap al-Irsyad karena mereka
beranggapan bahwa gerakan al-Irsyad bersifat eksklusif untuk kelompok Arab,
meskipun sebenarnya gerakan ini terbuka untuk semua umat Islam.
END
NOTES
[1] Mulkhan, A. Munir, Nalar Spiritual
Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yokyakarta: Tiara
Wacana Yokya, 2002, h. 342
[2] Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Cet-5, Jakarta: UI-Press, 1986, h. 90
[3] Abduh, Muhammad, Risalah
at-Tauhid, Alih Bahasa: Firdaus, Jakarta: Bulan Bintang, Cet-5, 1975, h. 4
[4] As-Surkati
menurut bahasa/dialek Sudan, soor berarti buku-buku, kitab-kitab – Kattiy
adalah banyak. As adalah awalan sebagaimana bahasa Arab
al-Kitab, as-Syams, an-Nur, dan seterusnya. As-Surkati disini berarti : suka
membaca, gemar membaca atau banyak ilmu. Gaya nama seperti itu tampaknya
memiliki persamaan dengan kebiasaan nama Jawa, seperti : Sugiarto, Sugih – Kaya
dan Arto – Harta. Al-Anşǎry adalah nama marga beliau yang menunjukkan bahwa
beliau dari kelompok Anşar. Suku Ahmad Surkati adalah suku Jawabirah.
[5] Menurut cerita beliau kepada GP.Pijper juga pada Otobiografi (di
tulis oleh Muhammad Noor al-Anshary, karena pada usia tuanya beliau menderita
“buta”).
[6] Trimingham, J.Spenser, Islam In The
Sudan, London: oxford university press, 1949, h. 116-117
[9] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati
(1874-1943):Pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar,
1999, 226
[12] Pijper, G.F, Beberapa Studi tentang
Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950, terj. Tudjimah dan Yessy Dagusdin,
Jakarta: Universitas Indonesia, 1985, h.
115
[15] Muhammad Abduh
adalah seorang pembaru Islam yang berasal dari Mesir. Beliau lahir di Gharbiyah
Mesir pada tahun 1849, terkenal sebagai tokoh ahli tafsir, hukum Islam, bahasa Arab dan kesusastraan, logika, ahli ilmu
kalam, filsafat dan sosial kemasyarakatan (Kamal, 2000 : 32).
[18] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Ed. 1, Cet. I, 1996, h. 132
[20] Pijper adalah
penasehat Pemerintah Hindia Belanda menjelang dan sampai masuknya Jepang ke
Indonesia. Menurut pengakuannya, ia kenal baik dengan Syekh Ahmad as-Surkati,
bahkan ia sempat tiga tahun belajar Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqih pada Syekh Ahmad
as-Surkati (http://img220.imageshack.us/
img220/3430/image0289et0.jpg)
[22] Steenbrink, Karel,“Qur’an
Interpretation Of Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A
Comparison, 1994, h. 60
[25] Noer, Deliar, Gerakan
Modern Islam.........., h. 59
[34] Bahkan sebagian
pikiran mereka yang sudah tertanam dan berakar beranggapan jika seorang wanita
Sayyid kawin dengan orang yang bukan Sayyid dianggap sudah keluar dari kandang
Nabi (sangat ironis sekali jika ada pemikiran seperti itu). Pemikiran seperti
itulah yang harus diluruskan sehingga mereka tidak beranggapan bahwa di dalam
Islam terjadi perbedaan garis keturunan dan suku. Hal seperti ini, sudah
diajarkan kepada anak-anak mereka dari kecil, jika kita bertanya kepada
anak-anak mereka, maka mereka akan menjawab bahwa keturunan mereka adalah yang
paling mulia dan mereka tidak boleh kawin dengan orang selain dari suku mereka.
[37] Asmuni, Yusran, Pengantar
Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: PT.
RajaGrafindo, Cet-2, 1996, h. 54
[38] Gelar tersebut
diberikan oleh Majlis Ulama Makkah jika seseorang telah menguasai beberapa
disiplin ilmu termasuk memahami dan menguasai mazhab yang empat, serta
berprestasi dalam bidangnya.
[46] Poerwodarminta, Wj.S, Kamus
Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985, h. 377
[49] Al-Makhdali, Zaid
bin Muhammd, Syarah Aqidah Muhammad bin Abdul Wahhabhal, alih bahasa:
Hanan Hoesin bahanan, Solo: Pustaka Ar-Rayyan, 2007, h. 100
[56] Nasution, Harun, Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran
Islam, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri, eds, Ijtihad Dalam Sorotan,
Bandung: Mizan, tt, h. 108-109
[57] Hoesen, Ibrahim, Kajian Tentang Ijtihad dan
Taqlid, Mimbar Ulama, Tahun ke-11, no.124, Desember, 1987, h. 8
[62] Mahmassani, Sayyid Subhi, Filsafat Hukum Dalam
Islam ( Falsafat al-Tashri), Alih bahasa: Ahmad Soejono, Bandung:
al-Ma’arif, 1981, h. 143
[64] Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jakarta, UI Press, Jilid II, 1985, h. 94
[73] RI, Depag, Metodologi Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: Depag RI, 2001, h. 88-89
[76] Thoha, Chabib, et.al, PBM-PAI di Sekolah
Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Cet.-I, 1998, h. 268-270
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda