Pengikut

Selasa, 27 Februari 2018

Rekonstruksi Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati tentang Pendidikan Tauhid


Rekonstruksi Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati
tentang Pendidikan Tauhid
Kata Kunci: Surkati, Pemikiran, Tauhid
Abstrak : Syekh Ahmad as-Surkati tercatat dalam peristiwa sejarah perkembangan Islam di Indonesia, terutama sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Ia seorang pemikir pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Ahli sejarah mengakui peranannya dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, meski as-Surkati bukan orang pribumi, tetapi telah mengabdikan diri di Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya. Syekh Ahmad Bin Muhammad as-Surkati Al-Kharraj al-Anşări berasal dari Sudan. Awalnya as-Surkati datang atas permintaan Jami’at al-Khair sebuah organisasi sosial keagamaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga tersebut. Namun keberadaannya di Jami’at al-Khair hanya bertahan selama dua tahun, karena perbedaan cara pandang yang terkait dengan persoalan status sosial manusia. As-Surkati yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh berpendapat bahwa semua manusia adalah sama, tidak peduli orang Arab atau bukan, Sayid atau non-Sayyid semuanya sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya. Ini merupakan ajaran tauhid yang menegaskan bahwa yang Maha tinggi hanyalah Allah. Setelah keluar dari Jami’at al-Khair, ia mendirikan lembaga pendidikan yang dikenal dengan madrasah al-Irsyad al-Islǎmiyyah. Dalam pengajaran formal ia mampu mewujudkan pandangan-pandangan yang berorientasi pada kemajuan pendidikan.

A.    Pendahuluan
Tauhid sebagai inti ajaran Islam, yang menjadi dasar bagi pembelajaran semua bidang studi. Dalam sejarah pemikiran Islam, ajaran tauhid tersusun dalam ilmu Uşŭluddin atau ilmu tentang pokok-pokok ajaran Islam.[1]
Adapun tujuan ilmu tauhid tersebut adalah untuk memantapkan keyakinan terhadap agama melalui akal pikiran disamping kemantapan hati yang didasarkan pada wahyu. Selain itu ilmu tauhid juga digunakan untuk memperteguh kepercayaan dengan menghilangkan berbagai macam keraguan yang masih melekat. Dengan kata lain, ilmu tauhid bertujuan untuk mengangkat kepercayaan seseorang dari lembah taklid ke puncak keyakinan. Itulah sebabnya ilmu tauhid dianggap sebagai induk ilmu-ilmu agama.[2]
Atas dasar tujuan seperti itu, maka sumber utama ilmu tauhid  pertama: al-Qur’an dan Hadiś Rasulullah yang sering disebut sebagai dalil-dalil Naqli, dan yang kedua: akal pikiran yang disebut dengan dalil Aqli. Kedua dalil inilah menurut Islam memiliki keabsahan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran ajaran tauhid.[3]
Diantara yang melontarkan pemikiran mengenai pendidikan tauhid adalah Syekh Ahmad as-Surkati seorang pembaru Islam yang berjuang untuk memurnikan aqidah Islam di Indonesia pada awal abad 20.
Ia dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam di Indonesia, yang berhasil mereformasi pandangan-pandangan yang menyimpang dari ketauhidan. Implementasi gagasan pendidikan tauhid tidak saja diaktualisasikan pada lembaga pendidikan, namun juga pada aktivitas organisasi atau perkumpulan yang  dibentuk dengan nama Jam‘iyyah al-Işlah wa al-Irsyad al-‘Arabiyyah yang beberapa tahun kemudian diganti dengan nama Jam‘iyyah al-Işlah wa al-Irsyad al-Islǎmiyyah, yang mengelola sekolah sampai saat ini.
Mengingat adanya jalinan ideologi antara as-Surkati dengan al-Irsyad maka menarik untuk diketahui apakah pendidikan tauhid yang diajarkan di lembaga ini masih menggunakan konsep yang dikemukakan oleh as-Surkati, mengingat bahwa materi pendidikan cenderung mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat.
Mengenai pentingnya pendidikan, al-Qur'an telah memberi isyarat prinsip dasar pendidikan, yang dapat dijadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa unsur yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; menghormati akal manusia (Q.S. Az-Zumar, [39] : 9), bimbingan ilmiah dan fitrah manusia (Q.S. Ar-Rum, [30] : 8 dan 30), penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan (Q.S. Al-An’am [6] : 6) dan memelihara keperluan sosial masyarakat (Q.S. Al-Qashash, [28] : 77).
Pendidikan Tauhid tidak hanya menempati posisi sentral di dalam ajaran Islam, tetapi juga merupakan prinsip dasar dari ajaran para Nabi. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa risalah tauhid, yakni risalah yang berisikan penegasan ke-Esaan Allah, merupakan suatu risalah permanen dan akan selalu relevans dengan fitrah kemanusiaan.
Oleh karena itu, pendidikan tauhid yang menempati posisi penting dalam pendidikan pernah menjadi pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati dan sampai sekarang  dilaksanakan oleh al-Irsyad.
B.     Riwayat Hidup dan Karya-karya Syekh Ahmad as-Surkati
Syekh Ahmad as-Surkati adalah tokoh utama berdirinya Jam’iyat al-Islah wal Irsyad  al-Islǎmiyyah, atau disingkat dengan nama Al-Irsyad.
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad as-Surkati[4] al-Khazrajiy al-Anşǎry. Lahir di pulau Argu daerah Dunggula, Udfu, Sudan, (1292 H atau 1875 M).[5] Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih punya hubungan keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Anşăry, Sahabat Rasulullah saw. dari golongan Anşăr.
Syekh Ahmad as-Surkati lahir dari keluarga terpelajar dalam ilmu agama Islam. Ayahnya, Muhammad Surkati, adalah lulusan Universitas Al-Azhar (Mesir), kemudian menjadi guru dan memiliki banyak sekali anak didik yang kemudian menyebar ke Mesir dan Saudi Arabiyah. Syekh Ahmad as-Surkati dikenal cerdas sejak kecil. Dalam usia muda, ia sudah hafal Al-Qur'an. Dasar-dasar Dogmatik Islam, yaitu fiqih dan Tauhid, diajarkan ayahnya. Setelah tamat pendidikan dasar di Mesjid Al-Qaulid, Ahmad Surkati dikirim oleh ayahnya belajar di Ma’had Şarqi Nawi, sebuah pesantren besar di Sudan waktu itu. Pendidikan yang dilalui oleh as-Surkati di Sudan, masih dalam sistem pendidikan tradisional. Baik metode maupun kurikulum yang dipakai sangat tradisional. Awalnya anak-anak menghafal al-Qur’an di luar kepala karena orang Sudan percaya bahwa kemampuan ini akan meningkatkan iman dan memberi landasan hingga mudah masuknya doktrin-doktrin dalam Islam.[6] Ia lulus dengan memuaskan, dan ayahnya ingin agar ia bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Namun pemerintahan Al-Mahdi yang berkuasa di Sudan waktu itu, melarang warganya meninggalkan Sudan. Putuslah harapan syekh Ahmad as-Surkati untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi sarjana dari Universitas Al-Azhar.
Ahmad as-Surkati bisa lolos dari Sudan dan berangkat ke Madinah dan Makkah untuk belajar agama setelah ayahnya wafat pada 1896 M. Beberapa kegiatan yang dilakukan di kota suci itu dimulai dalam usia 22 tahun, yakni tahun 1314 H, as-Surkati melawat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim selama 5 tahun di Madinah. Di kota Madinah inilah, beliau memperdalam al-Qur’an, Tafsir, Tauhid, Hadiś, Fiqih, Falsafah, dan Ilmu Falaq, bahkan juga Ilmu Ketabiban.[7]
Pendapat lain mengatakan bahwa beliau di Madinah selama empat tahun.[8] Diantara guru-guru beliau di Madinah adalah Syekh Şalih Hamdan al-Maghribi dan Syekh Umar Hamdan al-Maghribi (dua ulama besar ahli hadiś asal Maroko). Beliau juga belajar Al-Qur’an pada ulama ahli qira’at yaitu Syekh Muhammad al-Khayari al-Maghribi; belajar fikih pada Syekh Ahmad bin al-Haji Ali al-Mahjub dan Syekh Mubarak al-Nismat; dan berguru bahasa Arab dari ahli bahasa yang bernama Syekh Muhammad al-Barzanji.
Di Madinah ini pula beliau menyerap pengetahuan tentang Tajdid lewat karangan Ibn Taimiyyah, dan Ibn Qayyim al-Jawwziyyah sekalipun dalam kondisi sembunyi-sembunyi karena buku-buku tajdid dari Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, al-Afghany dan Abduh dilarang beredar oleh pemerintah Turki Uśmăniyah waktu itu.[9]
Setelah itu, Surkati tidak langsung pulang ke Sudan, tetapi melanjutkan usahanya untuk menuntut ilmu di Makkah. Dan di Makkah, ia memperdalam al-Qur’an, Tafsir, Fiqh, Hadiś, Tauhid, Filsafat, dan juga ilmu ketabiban (at-Ţibb al-Yunani).
Dalam Tarikh Hadramaut as-Siyăsi, Şalah Abd al-Qadir al-Bakri menyatakan bahwa Ahmad Surkati pindah dari Madinah ke Makkah dan bermukim di sana selama 11 tahun untuk memperdalam ilmu terutama fikih madzhab Syafi’i.
Di Makkah as-Surkati mendapat gelar al-‘Allămah dari Majlis Ulama Makkah dan merupakan ulama Sudan yang pertama kali namanya tertulis dalam daftar ulama Makkah, walaupun waktu itu tidak sedikit ulama Sudan yang berada di Makkah. Ulama Makkah dikenal selektif dalam menentukan orang-orang Afagi (orang yang bukan Hijaz) dalam daftar ulama. Hal itu dilakukan untuk memelihara penghargaan yang diberikan pada ulama yang terdaftar dalam pemerintahan Uśmaniyah dan berlaku bagi seluruh ulama yang berada di Makkah. Dari sini dapat diketahui bahwa Surkati termasuk ulama yang diakui keilmuannya, sehingga dimasukkan dalam ulama ternama di Makkah.
 Seperti halnya di Madinah, Ahmad Surkati telah berguru pada ulama sesuai dengan keahlian masing-masing. Diantara guru-gurunya adalah Syekh As’ad dan Syekh Abdurrahman yaitu putra Syekh al-Kabir Ahmad ad-Duhan. Selain itu adalah al-’Allamah Syekh Muhammad bin Yusuf al-Kayyath dan Syekh Shu’aib bin Musa al-Maghribi.[10]
Karena prestasinya yang gemilang, pada tahun 1906 as-Surkati menerima sertifikat tertinggi guru agama dari pemerintah Istanbul.[11] Syekh Ahmad kemudian mendirikan sekolah di Makkah, dan mengajar tetap di Masjidil Haram.
Di kota Makkah ini juga Syekh Ahmad as-Surkati membaca tulisan tentang pembaruan Islam karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dua orang tokoh yang diakui sebagai pelopor reformisme di Mesir.[12] Bacaan tersebut telah mempengaruhi perkembangan pemikiran as-Surkati dalam pembaruan bidang agama.
Meski berada di Makkah, ia rutin berhubungan dengan ulama-ulama Al-Azhar lewat surat menyurat. Hingga suatu waktu datang utusan dari Jami’at al-Khair (Indonesia) untuk meminta guru, dan ulama Al-Azhar langsung menunjuk ke Syekh Ahmad. Ia pergi ke Indonesia bersama dua kawannya yaitu Syekh Muhammad Abdul Hamid al-Sudani dan Syekh Muhammad Ţayyib al-Maghribi.
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Syekh Ahmad as-Surkati perlu dilakukan untuk mengetahui pemikirannya, yang tersebut dalam karya tulisnya. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkannya, tidak diungkap dan dijelaskan semua, karena tidak semua karyanya membahas tentang tauhid. Karya-karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Arab, Melayu, atau Belanda. Pembahasan hanya akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang terkait dengan pemikiran tauhidnya atau gagasan sentralnya, antara lain :
1. Surah al-Jawăb (1915):
            Risalah  ini  merupakan  jawaban  Ahmad  as-Surkati terhadap permintaan pemimpin surat  kabar  Suluh  India,  H.O.S.  Tjokroaminoto,   sehubungan   dengan  makin luasnya pembicaraan tentang kafa'ah yaitu membahas larangan bagi seorang putri Sayyid untuk menikah dengan seorang pria dari turunan yang lebih rendah derajatnya. Hal ini ditentang oleh as-Surkati karena Islam mengajarkan persamaan harkat dan martabat manusia.
Perbedaan derajat itu dalam sejarahnya dihapuskan dengan ajaran kesetaraan dalam Islam, yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah dengan menikahkan Zainab binti Jahz seorang bangsawan Quraisy dengan Zaid bin Harits seorang budak yang dimerdekakan dan dijadikan sebagai anak angkat Rasulullah.
            Syekh Ahmad as-Surkati berusaha meluruskan pandangan pengkultusan individu maupun kelompok itu, yang dipandang dapat mengotori tauhid dan menumbuhkan bid’ah.
2. Risălah Tawjih al-Qur'an ila Adab al-Qur'an (1917):
Karyanya   ini antara  lain : membahas tentang kedekatan  seseorang  pada  Muhammad  sebagai  Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan,  namun atas  dasar  ketekunan dan  kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya.
3. Al-Dăkhirah al-Islămiyah  (1923):
            Merupakan majalah bulanan  yang  dikelola  Syekh  Ahmad  Surkati bersama  saudaranya, Muhammad  Nur  al - Anşăry. Melalui majalah  ini  Syekh  Ahmad Surkati membongkar praktek-praktek keagamaan yang keliru, misalnya meminta kepada yang sudah meninggal dan berdoa dikuburan, melakukan bid’ah, tahayul. Ia juga menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, serta persatuan ummat.
4.   Al-Masă'il as-Śalaś (1925):
Al-Masa'il as-Śalaś adalah sebuah buku yang diterbitkan di Surabaya 16 Pebruari 1925. Buku ini telah menimbulkan reaksi yang keras terhadap kaum Sayyid karena buku ini mengandung tiga masalah pokok: (1) Ijtihad dan Taqlid, (2) Sunnah dan Bid’ah, (3) Ziarah kubur dan Tawassul.
Naskah ini sebenarnya di siapkan as-Surkati untuk memenuhi tantangan seorang ulama dari Madinah bernama Muhammad Ali Ţayyib, yang mengunjungi as-Surkati tahun 1925, untuk mengadakan perdebatan di masjid Ampel Surabaya. Namun sampai pada waktu yang ditentukan, Ali Ţayyib tidak datang meski telah dinanti-nantikan oleh Surkati di tempat yang telah ditentukan. Maka naskah yang memang telah disiapkan as-Surkati itu diterbitkanlah menjadi buku kecil dengan judul “Al-Masă'il as-Śalaś”. [13]
5.  Al-Wasiyyat al-‘Amiriyyah  (1918), yang berisi perintah dan larangan agama.
6.  Al-Masă'il as-Śalaś Zedeleer Uit Den Qor'an  (1932), yang berisi ayat-ayat sopan santun serta akhlaq
7.  Al-Khawăţir al-Hisan  (1941)
8.  Huquq an-Nisa, yang berisi tentang hak-hak wanita.
Dari karya-karyanya, tampak bahwa as-Surkati mampu mengembangkan pemikirannya tentang pendidikan agama bagi masyarakat. Hal tersebut kemudian diaplikasikan melalui pendidikan agama bagi masyarakat melalui organisasi al-Irsyad dan sekolah yang dikelola al-Irsyad.
Luasnya wawasan as-Surkati seperti tersurat dalam karyanya menyebabkan muridnya tidak terbatas orang Jawa, ada murid Syekh Ahmad as-Surkati dari kalangan kolonialis Belanda seperti Dr. Charles Olke van der Plas. Dia pernah menjabat sebagai konsul Belanda di Jeddah, terakhir dia menjadi gubernur Jenderal di Jawa Timur. Setelah invasi Jepang tanggal 9 Maret 1942, Van der Plas melarikan diri ke Australia. Van der Plas merupakan tokoh kolonial Belanda yang ingin menangkap Soekarno pada akhir September 1945.[14]
Syekh Ahmad as-Surkati menyadari bahwa pendidikan agama merupakan pintu untuk mencerdaskan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran tentang kesetaraan dan keadilan yang digariskan Islam. Dengan menyebarnya lembaga pendidikan dibawah al-Irsyad, maka pemikiran as-Surkati tersebar pula di Indonesia.
C.    Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati di Bidang Pendidikan Tauhid
Kiprahnya bagi pengembangan dan peningkatan pendidikan di Indonesia, adalah mereformasi pandangan-pandangan mengenai materi pendidikan. Ia mendirikan madrasah/sekolah al-Irsyad al-Islǎmiyyah di Jati Petamburan, Jakarta, dengan bantuan pemuka-pemuka masyarakat Arab pada tahun 1332 H/1914 M.
Tujuan didirikannya al-Irsyad, disamping untuk pengembangan dan peningkatan pendidikan di Indonesia juga untuk meluruskan aqidah kaum  muslimin, yang pada saat itu sebagian telah menyimpang dari ajaran tauhid yang di bawa oleh Rasulullah.
Pada awal abad ke-20 Syekh Ahmad Surkati tidak hanya dikenal sebagai pemimpin keturunan Arab di Indonesia, tetapi dikenal pula sebagai tokoh reformasi Islam yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abduh.[15]
Pemikiran Syekh Ahmad Surkati tentang pendidikan adalah sebagai berikut :
         1.   Memperjuangkan hak sesama muslim dan menunjukkan kepada mereka kebenaran Aqidah dan Ibadah
         2.   Mendasarkan pemikiran kepada Al-Qur’an dan Hadits
         3.   Memperjuangkan dan mementingkan bahasa Arab sebagai ilmu alat untuk memahami sumber-sumber Islam
         4.   Menekankan pengembangan jalan pikiran anak didik dengan cara menekankan kepada pengertian dan daya kritis, bukan hafalan. Hal tersebut juga diterapkan pada pelajaran lain seperti sejarah, ilmu bumi dan lain-lain
         5.   Menggunakan alat peraga dalam menyampaikan pelajaran, terurama gambar-gambar manusia, yang sebagian tradisi lain melarangnya.[16]
Menurut as-Surkati masih banyak pengamalan agama orang Arab Indonesia yang diikuti oleh orang pribumi menyimpang dari tauhid, yang seharusnya ditujukan kepada Allah tapi ditujukan kepada selainnya. Diantaranya adalah sebagai berikut :
a)       Shalat, puasa, haji, dan sedekah yang dikerjakan bukan karena Allah
b)       Penyembelihan yang bertujuan untuk mengagungkan, dalam pandangan  kerohanian, atau untuk menolak keburukan, misalnya dihadiahkan kepada jin atau yang lainnya menurut Syekh Ahmad as-Surkati adalah syirik.
c)      Bernadzar karena selain Allah.
d)     Istighosah (mohon bantuan pertolongan) kepada selain Allah
e)      Bersumpah kepada selain Allah
f)       Berdo’a kepada selain Allah
g)      Takut kepada selain Allah.
h)      Mengharamkan yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
i)        Memakai jimat atau benda bermantera yang diyakini berkekuatan ghaib untuk  kepentingan tertentu.[17]
Yang disampaikan as-Surkati merupakan sikap hati-hati terhadap hal-hal yang dapat merusak dan mengotori iman, karena iman harus dijaga dengan selalu taat dan tunduk terhadap aturan Allah. Dan motivasi seseorang dalam amal ibadahnya, semestinya untuk akhirat bukan untuk kepentingan duniawi semata.
Bagi masyarakat Arab di Jakarta, as-Surkati telah memberikan pencerahan dalam pemahaman agama yang dianggapnya sebagai pembodohan dan  fanatik jahiliyah dengan berbangga-bangga pada silsilah keturunan serta mengkultuskan kuburan-kuburan mereka. Ia mengoreksi pandangan diskriminatif yang membedakan kelompok Sayyid dengan lainnya, seperti kewajiban mencium tangan seorang Sayyid.
Nenek moyang Sayyid atau Ba’alawi meyakini bahwa kemuliaan mereka itu adalah dari dzatnya atau alami, bukan dicari-cari, dan orang selain mereka adalah budak mereka. Mereka berdalil dengan hadiś : “Siapa saja yang menjadikanku sebagai Maula (tuan) maka Ali adalah Maulanya.” Hal ini seperti yang difatwakan oleh Umar al-Attas di Singapura pada tahun 1323 H dan telah dibantah oleh Sayyid Rasyid Ridha dalam majalah beliau al-Manar jilid VIII.
Sayyid Rasyid Ridha menjelaskan bahwa, kata Maula dalam hadiś di atas maksudnya adalah penolong, dan secara bahasa maknanya adalah teman, kerabat, tetangga, sekutu, budak, (tuan yang memerdekakan). As-Surkati juga menjelaskan makna Sayyid dalam bahasa artinya tuan, dan bisa diberikan kepada setiap orang, bahkan di negara-negara Arab seperti Syria dan Libanon, orang-orang Yahudi dan Nasrani juga digelari Sayyid.
As-Surkati mencontohkan Nabi Muhammad yang menikahkan Zainab binti Jahsh dengan Zaid bin Hariśah. Awalnya Zainab menolak namun akhirnya menerima Zaid dengan turunnya surah al-Ahzab ayat 36 :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Q.S. al-Ahzab [33] : 36).
Pernikahan anak Rasulullah yaitu Ruqayyah dengan Uśman bin Affan yang bukan keturunan Bani Hasyim, kemudian Diba’ah binti Zubair bin Abdul Muţalib, seorang bangsawan Quraisy dengan Miqdad, dari kalangan biasa. Perkawinan ini tidak menyandarkan pada keturunan dan ternyata berjalan dengan rukun dan penuh kebahagiaan.
Setelah keluar dari Jami’atul Khair bersama beberapa sahabatnya dari golongan bukan Sayyid, ia mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islǎmiyyah, serta organisasi   Jam’iyat al-Işlah wal-Irsyad al-‘Arabiyah (kemudian berganti nama  Jam’iyat  al-Islah wal-Irsyad Al-Islǎmiyyah), pada tanggal 17 Juli 1914.[18] Nama ini diambil dari nama Jam’iyyah  ad-Da’wah wa al-Irsyad di Mesir yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Banyak ahli sejarah  mengakui perannya yang besar dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, beliau bukanlah orang pribumi, yang telah melakukan perjalanan intelektual dengan mengabdikan diri berjuang di negeri orang yaitu Indonesia, diantara pendapat itu dari sejarawan Deliar Noer yang menyatakan Ahmad Surkati memainkan peran penting sebagai mufti.[19]
Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper[20] menyebut dia seorang pembaru Islam di Indonesia. Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaruan yang punya kesamaan dalam perubahan pemikiran dalam Islam dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha lewat Jam’iyat al-Işlah wal Irsyad . Pijper juga mengemukakan bahwa as-Surkati seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah.[21]
Howard M. Federspiel menyebut Syekh Ahmad as-Surkati sebagai penasehat awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia. Sehingga banyak tokoh Islam di Indonesia yang berguru kepadanya. Pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus, oleh Federspiel disebut sebagai sahabat karib Syekh Ahmad as-Surkati.
Pengakuan terhadap Syekh Ahmad as-Surkati sebagai seorang tokoh datang pula dari tokoh Persis, A. Hassan. Menurutnya pendiri Muhammadiyah K.H. Ahamd Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam merupakan murid-murid Syekh Ahmad as-Surkati.
  1. Jami’at  al-Khair dan al-Irsyad
Tampilnya Jami’at al-Khair dalam gerakan pembaruan pendidikan Islam terasa penting karena organisasi ini termasuk organisasi moderen dalam masyarakat Islam waktu itu. Moderennya organisasi ini terlihat dalam anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, dan rapat-rapat. Ia merupakan organisasi pertama yang didirikan oleh orang yang bukan Belanda, yang keseluruhan kegiatannya diselenggarakan berdasarkan sistem barat. Dengan begitu organisasi ini memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pengakuan resmi pemerintah.[22]
Lembaga ini sudah dipersiapkan berdirinya sejak tahun 1901. Para pemrakarsanya adalah golongan terpelajar dari masyarakat Indonesia Arab, keluarga Shihab dan Yahya. As-Shihab. Al-Yahya dikalangan Sayyid (‘Alawiyyin) termasuk kelas yang terendah. Upaya mendirikan lembaga ini mengalami berbagai hambatan. Berulang kali permohonan pengesahan di ajukan kepada Gubernur Jendral W. Rooseboom tahun 1903. Untuk pendirian lembaga ini telah dikirimkan beberapa surat permohonan dengan pemohon yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad Basandid dan Muhammad bin Abdurrahman al-Masyhur. Akhirnya izin untuk lembaga ini di keluarkan pada tanggal 17 Juni 1905 setelah permohonan diperbarui kepada Gubernur Jendral J.V. Van Heutsz.[23]
Jami’at al-Khair beranggotakan mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal usul, termasuk juga pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan yang bergabung dalam organisasi ini.
Pengurus pada awal berdirinya terdiri dari Said bin Ahmad Basandid sebagai Ketua; Muhammad bin Abdullah bin Shihab sebagai Wakil Ketua; Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Masyhur sebagi Sekretaris; dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai Bendahara.[24]
Berdirinya Jami’at al-Khair bertujuan untuk membantu orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah di Pekojan Jakarta. Beberapa tahun setelah itu dibuka pula sekolah-sekolah di Krukut dan Tanah Abang. Kemudian dibuka juga sekolah Jami’at al-Khair di Bogor.
 Madrasah Jami’at al-Khair tidak sepenuhnya mengajarkan agama melainkan ditambah ilmu hitung, sejarah, dan geografi. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Arab. Sedang bahasa Belanda tidak diajarkan tetapi bahasa Inggris merupakan keharusan.[25]
Ada dua bidang yang menjadi perhatian Jami’at al-Khair antara lain:
a. Pendirian dan pembinaan sekolah  tingkat dasar
b. Pengiriman anak-anak muda ke Turki umtuk melanjutkan studi.
Namun pengiriman ini sering terhambat karena kekurangan biaya dan kemunduran khilafat (tidak seorang dari mereka yang dikirim memainkan peranan penting) setelah kembali ke Indonesia.[26]
Untuk kepentingan pendidikan, Jami’at al-Khair mendatangkan guru langsung dari luar negeri. Empat guru dari negara-negara Arab yang diharapkan dapat membantu kemajuan dan perkembangan pendidikan di Jami’at al-Khair dengan ajaran Sunni. Keempatnya adalah : Syekh Ahmad as-Surkati, (Sudan), Syekh Muhammad bin Abdul Hamid (Makkah), Syekh Muhammad Ţayyib (Maroko), dan al-Hasyimi (Tunisia).[27]
Pada saat guru-guru tersebut tiba,  Jami’at al-Khair baru membuka dua cabang, di Bogor dipimpin oleh Muhammad Abdul Hamid, dan di Krukut Jakarta dipimpin oleh Muhammad Ţayyib, sedangkan Syekh Ahmad as-Surkati ditunjuk sebagai pengawas seluruh madrasah Jami’ah al-Khair di Jakarta.
As-Surkati berperan dalam usaha mengembangkan Jami’at al-Khair, diantaranya dapat menyakinkan para pemimpin Jami’at al-Khair untuk mendatangkan guru dari luar negeri, termasuk salah seorang saudara as-Surkati, Abu al-Fadl Muhammad as-Sati as-Surkati, dan tiga guru lain datang ke Jakarta pada tahun 1942. Ketiga guru yang datang bersama Sati as-Surkati ini semuanya berasal dari Sudan, masing-masing Syekh Muhammad Nur bin Muhammad Khayr al-Anşăry, Syekh Muhammad al-’Aqib, dan Syekh Hasan Hamid al-Anşăry.
Guru-guru asing yang di datangkan Jami’at al-Khair tersebut akrab dengan pikiran dan tulisan-tulisan reformis dari Mesir seperti Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Bahkan Muhammad Nur dan Muhammad ’Aqib yang sebelumnya belajar di al-Azhar adalah murid dari Muhammad Abduh. Hubungan antara Ahmad as-Surkati dengan para lulusan al-Azhar ini mulanya terjalin lewat korespondensi yang dia lakukan untuk menambah pengetahuannya tentang reformasi Islam.[28]
Dan guru lainnya seperti Muhammad al-Hasyimi seorang berkebangsaan Tunis termasuk pejuang yang gigih membela kepentingan umat Islam di negerinya pernah ikut dalam memberontak melawan pemerintah Perancis. Ia sebagai guru olahraga di Jami’at al-Khair dan memiliki berbagai pengetahuan keterampilan seperti memasak, dan membuat sabun. Dia juga yang pertama kali memperkenalkan Gerakan Kepanduan di kalangan orang Islam di Indonesia.[29]
Ketika al-Attas yang berjasa mendatangkan al-Hasyimi ke Indonesia berselisih dengan pengurus Jami’at al-Khair dan meninggalkan perguruan itu lalu mendirikan al-Attas School tahun 1912, al-Hasyimi pun segera keluar meninggalkan Jami’at al-Khair dan bergabung dengan al-Attas School. Ketika sekolah al-Irsyad berdiri, ia lalu meninggalkan al-Attas School dan bergabung serta menjadi guru pada sekolah al-Irsyad.[30]
Sebagai pendidik, guru-guru asal Sudan itu membimbing siswanya berfikir rasional, berani bertanya dan mengungkapkan pendapatnya tentang hukum Islam yang disertai dalil al-Qur’an dan Sunnah.
Kedatangan Ahmad Surkati dan gurur-guru Jami’at al-Khair ke Indonesia adalah atas undangan orang Arab yang menganut ajaran reformis, antaranya Abdullah bin Abu Bakar al- Habsyi, Muhammad bin Abdurrahman bin Shahab, Muhammad bin Abdullah as-Sattari, Ahmad bin Abdullah Assagaf dan Abdul Maula bin Yahya. Kalangan reformis Arab ini dibantu guru-guru yang mereka datangkan untuk mendorong masyarakat setempat agar menyetarakan kelompok Sayyid dengan penduduk lainnya. Hal ini membawa hasil dengan mulainya beberapa penduduk non-Sayyid membuang kebiasaan mencium tangan orang-orang Sayyid (taqbil). Dirintis oleh ketua masyarakat Arab di Jakarta, Umar Mangqus yang mendobrak tradisi  wajib mencium tangan kalangan Arab yang menyandang gelar Sayyid.[31]
Lambat laun golongan bukan Sayid merasa bahwa mereka sederajat dengan golongan Sayid. Sikap ini mendapat dukungan dari sebuah fatwa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, yang mengemukakan bahwa perkawinan antara seorang lelaki Islam Arab non-Sayid atau bukan Arab dengan wanita Sayyid adalah boleh.
Perjuangan agar kelompok bukan Sayyid mendapat hak-hak yang sama dengan kelompok Sayyid didukung fatwa dari Rasyid Ridha yang memperbolehkan antara lelaki non-Sayyid menikah dengan wanita Sayyid. Hal  ini dinyatakan dalam surat balasannya kepada tokoh Sayyid terkemuka di Singapura, Syekh Umar al-Attas, dengan judul ”Pernikahan Orang Syarifah dan Non Syarif dan Posisi Istimewa ahl-Bayt (keturunan Ali)”, tertanggal Muharram, 1323 H – Maret 1905 M. Bentuk kepercayaan kelompok Sayyid yang ditulis al-Attas yang kemudian mendapat fatwa Rasyid Ridha adalah : status pengantin pria dan wanita haruslah sejajar.[32]
Konsep kafa’ah yang dianut oleh kaum Ba’alawi semata-mata karena tradisi turun-temurun belaka dari nenek moyang yang ada di Hadramaut, yaitu :
1. Non - Arab tidak sejajar dengan  keturunan Arab
2. Non-Quraisy tidak sejajar dengan keturunan Quraisy
3. Keturunan suku Quraisy tidak sejajar dengan Bani Hasyim
4. Bani Hasyim tidaklah sejajar dengan keturunan Bani Fatimah melalui Hasan dan Husain.[33]
Berdasarkan kriteria itulah golongan Ba’alawi menyimpulkan bahwa wanita Sayyid tidak diperbolehkan kawin dengan lelaki yang bukan Sayyid, karena tidak sejajar dan hak kesejajaran di dasari harga diri.[34]
Ahmad as-Surkati menyebarkan prinsip kesetaraan antara Sayyid dengan bukan Sayyid dengan mengarang arjazah (sajak) yang berjudul Ummahăt al-Akhlăq (ibu dari moralitas) yang wajib dinyanyikan setiap awal dan akhir pelajaran di Madrasah tempatnya mengajar, syairnya sebagai berikut :
”Seseorang tidaklah mendapatkan kebanggan akan garis keturunan ataupun pakaian yang ia kenakan. Kebanggan di dapat hanya dari pengetahuan dan kebudayaan dan agama adalah pelita dari orang-orang yang terpelajar”.[35]
Dua tahun perjuangan as-Surkati di Jami’at al-Khair harus berakhir, yang berawal dari pendapatnya di Solo. Dalam pertemuan di Solo  menjamu Surkati, terjadi pembicaraan mengenai nasib syarifah yang karena tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama tanpa nikah (kumpul kebo) dengan seorang Cina di Solo. As-Surkati menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk kedua orang yang kumpul kebo tersebut, dan pilihan lain yang diajukan beliau supaya dicarikan seorang muslim yang ikhlas dan rela, menikahi secara sah syarifah itu agar lepas dari gelimangan dosa. Diantara yang hadir itu Umar bin Said Sungkar menanyakan apakah calon suami dari mereka diperbolehkan, karena ada hukum Islam yang mensyaratkan kafa’ah, dan haram hukumnya seorang syarifah menikah dengan non-Sayyid meski sama-sama pemeluk agama Islam dan syarat-syarat lainnya terpenuhi. Maka as-Surkati mengeluarkan fatwa tentang jaiz atau sahnya pernikahan antara syarifah dengan bukan Sayyid. Hukum kafa’ah yang seperti dikemukakan Umar tersebut sudah tersingkir di Mesir, Sudan, Hijaz, dan negara-negara Islam lainnya. Dan persoalan yang membuat diskriminasi itu mempunyai andil tidak mencerdaskan umat Islam di Indonesia. Diantara argumentasi yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah bahwa sesungguhnya manusia dengan manusia lain adalah sama dalam pandangan Allah yang membedakan hanya ketaqwaannya.[36]
Fatwa yang sama dikemukakan oleh Syekh Ahmad as-Surkatti di Solo tahun 1913, ketika ada pertemuan ia menjelaskan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta atau pun pangkat dengan merujuk Firman Allah dalam surah al-Hujurat :
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang  paling bertaqwa diantara kamu. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S  al-Hujarat [49 : 13]).
Sebagai seorang mubaligh, Syekh Ahmad as-Surkati sering tampil dalam berbagai perdebatan terbuka tentang Islam, terutama masalah Furu’. Ia berusaha membongkar hadiś-hadiś palsu dan dengan gigih membasmi segala kebiasaan agama yang bersifat bid’ah, seperti pemujaan terhadap orang yang dianggap suci atau pemujaan terhadap makam-makam keramat. Ia berusaha membawa al-Irsyad melawan kejumudan.
  1. Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati dan al-Irsyad
Al-Irsyad adalah tempat menuangkan pemikiran atau ide-ide as-Surkati. Maka anggota-anggota al-Irsyad pada umumnya pendukung pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati, misalnya dalam pendidikan tauhid.
Pemikiran as-Surkati tidak dapat dilepaskan dari pengaruh gerakan pembaruan Islam yang mengupayakan pemurnian tauhid. Taklid atau ketaatan buta kepada penafsiran dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kehidupan umat Islam mengalami kemunduran.
Perlunya pemurnian tauhid pernah dilontarkan antara lain oleh Ibnu Taymiyah (1263 M – 1328 M), Ibn Qayyim al-Jawwziyyah (1292 M – 1350 M) dan Muhammad Ibn Abdul Wahab (1702 M – 1787 M). Ibn Taymiyah tidak pernah sangsi mengemukakan kebenaran walaupun di depan para ulama, para pejabat dan Sultan yang paling keras menentangnya. Ia tetap mempertahankan pendapatnya sekalipun ketika ia ditahan dan dipenjara. Ia juga sedih melihat ulah ulama-ulama yang dipandang korup dan tidak tahan godaan kemewahan dunia.[37] Karena apabila hati telah tertambat kepada dunia, maka segenap aktifitas dan fikiran hanya tertuju kepadanya, sehingga lalai dan lupa terhadap Allah dan akhirat, seakan-akan dunia adalah tujuan akhir kehidupan. Jika ini terjadi maka dapat merusak keimanan terhadap Allah dan hari Akhir.
Tidak didapati secara rinci mazhab guru-guru as-Surkati, namun secara keseluruhan dari mazhab yang dianut oleh para gurunya adalah mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, sehingga as-Surkati menguasai dari empat mazhab tersebut, ini terbukti dari gelar al-’Allamah yang didapatkannya dari majlis ulama Makkah.[38]
As-Surkati pada tahun 1906 mulai mengajar di Makkah dan pada waktu itu ia telah mengenal tulisan-tulisan Abduh.[39] Ini menunjukkan bahwa pemikiran as-Surkati tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim dan Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha.
Selama di Madinah maupun di Makkah tak ditemukan catatan penting mengenai hubungannya dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, kecuali dalam riwayat hidup as-Surkati (Biografi as-Surkati) diungkap bahwa selama di Makkah ia mulai mempelajari ajaran Abduh dengan berkorespondensi dengan para pengajar di al-Azhar yang sealiran dengan Muhammad Abduh.
Jadi, pendidikan yang didapati oleh as-Surkati dari guru-gurunya adalah dengan memperdalam beberapa disiplin ilmu dari setiap madzhab. Sedangkan pandangannya terhadap pemikiran pembaruan Islam banyak dipengaruhi oleh Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha serta murid-muridnya.
Indikator yang menunjukkan adanya kontak as-Surkati dengan murid-murid Abduh di Mesir adalah, Pertama : Adanya utusan jami’at al-Khair menghubungi murid-murid Abduh di Kairo untuk pengadaan guru, mereka kemudian menunjuk nama as-Surkati. Kedua : Diantara para guru yang diundang  jami’at al-Khair melalui as-Surkati adalah Ahmad bin al’Aqib al-Anşãri (alumni al-Azhar, tahun 1909) dan Muhammad Nur bin Muhammad Khair al-Anşãri mereka adalah pengikut Muhammad Abduh.
Pemikiran as-Surkati yang menyebabkan perpecahan di dalam Jami’at al-Khair adalah tentang kesetaraan manusia di hadapan Allah. Sikap masyarakat Arab Hadrami di Indonesia yang menjurus pada kultus atas dasar keturunan dengan memandang Sayyid lebih tinggi dari non-Sayyid merupakan kritikan as-Surkati yang menimbulkan kemarahan golongan Sayyid dari keturunan Arab Hadrami di Indonesia pada masa itu.
Pendirian seperti ini bertentang dengan ajaran Islam yang mengajarkan semua manusia mempunyai harkat dan martabat sama sebagai hamba Allah, yang membedakannya hanya taqwa.
Kelompok Sayyid (keturunan Rasulullah dari Fatimah) menganggap diri mereka lebih mulia. Pandangan ini di bantah oleh as-Surkati, menurutnya konsep tafadul bukan di dasarkan atas keturunan, tetapi berlandaskan pada ilmu, amal serta ketaqwaan. Mengagungkan keturunan tertentu merupakan kesombongan yang perlu diluruskan.
Pemikiran as-Surkati yang mengkritisi pandangan yang membedakan derajat manusia atas dasar keturunan itu sesuai dengan firman Allah yang menetapkan kesetaraan manusia :
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S. al-Hujurat, 13). Kesetaraan manusia yang bersumber pada ajaran al-Qur’an, merupakan bagian dari kepercayaan terhadap firman Allah dan prinsip ketauhidan.
Karena prinsip kesetaraan itu sesuai dengan al-Qur’an, maka pemikiran as-Surkati tersebut sampai sekarang dilanjutkan oleh al-Irsyad sebagai organisasi yang secara ideologis adalah penerus ide-ide as-Surkati. Al-Irsyad sejak didirikannya mempunyai tujuan untuk merubah pandangan kaum Arab Hadrami yang tenggelam dalam fanatisme kesukuan, dan adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun tujuan al-Irsyad disebut dalam mabadi’ al-Irsyad  bahwa al-Irsyad didirikan sebagai gerakan untuk mengembalikan kaum muslimin kepada al-Kitab dan as-Sunnah, serta memahamkan mereka bahwa sebaik-baik kebaikan adalah berpegang pada dua pokok ini.[40]
Prinsip ketauhidan yang dilontarkan as-Surkati sejalan dengan yang dikemukakan Muhammad Ibn Abdul Wahhab. Hal ini tampak dari ucapan Syekh Ahmad as-Surkati dan murid-muridnya seperti tersebut di dalam Mabadi Al-Irsyad tahun 1938, bahwa awal mula yang menggerakkan pemberantasan bid’ah dan khurafat adalah Syekh Muhammad Ibn Abdul Wahhab dari Nejed di pedalaman jazirah Arab. Hal penting yang tidak disinggung para pembaru di dunia Islam adalah tentang pendapat as-Surkati bahwa tidak ada perbedaan Sayyid dan non-Sayyid.
Fanatisme dari masyarakat Arab golongan Sayyid  menganggap terjadinya perselisihan as-Surkati dengan Jami’at al-Khair berawal dari pendapatnya di Solo tentang jaiz atau sahnya pernikahan antara syarifah dengan bukan Sayyid/Syarifah..
Disamping perbaikan hak azasi manusia tentang kesetaraan, harkat dan martabat manusia maka pemikiran as-Surkati tentang pentingnya pendidikan, dilanjutkan pula oleh pengurus al-Irsyad.
Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan merajalelanya kebodohan karena mereka lupa terhadap ajaran-ajaran kitab suci dan Sunnah Rasul. Sebagaimana Firman Allah : Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S Al-Mujadilah, [58] : 11).
Umat Islam sudah waktunya kembali kepada semangat pendidikan seumur hidup yang telah dicanangkan oleh Rasulullah Saw sejak empat belas abad silam. Banyak tuntunan Rasulullah Saw yang memberi dorongan pada umat Islam akan pentingnya menuntut dan mengembangkan ilmu. Tuntunan Rasul yang cukup dikenal adalah perintah menuntut ilmu bagi setiap Muslim dan Muslimah sejak saat dalam buaian sampai masuk ke liang lahat.[41]
Demikian pula al-Qur’an mengingatkan, agar manusia jangan meninggalkan generasi yang lemah, sebagaimana firman Allah :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. an-Nisa : 9).
Karena kebodohan menjadi penyebab timbulnya kemiskinan, sedangkan kemiskinan dapat membawa pada kekufuran, maka as-Surkati dalam menyampaikan ajaran Islam tentang pentingnya pendidikan sering dengan nada yang keras dan tegas. Ini dapat dilihat dari ajarannya yang mengajak kembali pada bentuk Islam yang murni, sehingga tidak tercampur dari budaya-budaya asing (apapun bentuknya) yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk menyebarkan pemikirannya itu, ia bersama tokoh al-Irsyad mendirikan lembaga pendidikan al-Irsyad.
As-Surkati berusaha mengembangkan pendidikan yang menjadi prioritas utama perjuangannya untuk mencapai kemajuan berfikir, kesamaan derajat manusia dalam kehidupan sosial masyarakat. Perjuangan ini dituangkannya dalam mabda’ al-Irsyad sebagai landasan pendidikan al-Irsyad.
Diantara lulusan sekolah al-Irsyad adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan politik di Indonesia, seperti Prof. Kahar Muzakkir, setelah tamat di madrasah al-Irsyad ia melanjutkan studinya di Darul ‘Ulum Kairo, begitu pula Muhammad Rasyidi, Abdurrahman Baswedan, Umar Hubays, serta Sulaiman Naji.[42]
Untuk mengembangkan pendidikan di al-Irsyad, maka Pada tanggal 29 Agustus 1917 al-Irsyad membuka cabangnya yang pertama di Tegal dengan ketuanya Ahmad Ali Baisa. Selanjutnya pada tanggal 20 Nopember 1917 dibuka cabang al-Irsyad yang kedua di Pekalongan dengan ketuanya Said bin Salmin Sahaq. [43]
D.    Rekonstruksi Metode Pendidikan Syekh Ahmad as-Surkati
Dalam menyusun program pendidikan, as-Surkati mempelajari apa yang terjadi dalam masyarakat terlebih dulu. Prinsip pendidikan dilontarkan as-Surkati yang sesuai dengan pemikiran Muhammad Abduh, yaitu tentang transformasi pendidikan dan pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang salah dan menyimpang dari ajaran Islam.[44] Kesesuaian itu dapat dilihat dari program yang dilakukan oleh Muhammad Abduh :
a)      The purificatiom of Islam from Corrupting Influence and practice (pemurnian Islam dari pengaruh dan kebiasaan yang merusak)
b)      The reformation of Muslim higher education (penyusunan kembali pendidikan tinggi bagi umat Islam)
c)      The reformulation of Muslim higher education (reformulasi pendidikan tinggi bagi umat Islam)
d)       The defence of Islam againt Eurephean influence and Christian attacks (mempertahankan Islam dari pengaruh Eropa dan serangan Nasrani).[45]
Program khusus as-Surkati (Takhassus) yang berusaha menghasilkan alumni Irsyadi yang pada saatnya dapat mewujudkan tercapainya program Muhammad Abduh, yakni perumusan kembali ajaran Islam sehubungan dengan pemikiran modern. As-Surkati juga mengarahkan umat Islam untuk menuntut pengetahuan yang mendasari kemajuan dan kemuliaan duniawi, hingga tidak menjadi noda hitam dalam pandangan Islam.
Pemikiran as-Surkati dalam bidang pendidikan tauhid adalah dapat di pilah dalam beberapa aspek, diantaranya konsep pendidikan, kurikulum, metode dan media pendidikan.
  1. Konsep Pendidikan tauhid
Konsep berasal dari bahasa Inggris concept yang berarti buram; bagan; rencana; pengertian. Kata ini dalam bahasa Indonesia di tulis dengan “konsep” dengan arti ruang; rancangan; buram (surat).[46]
Menurut Syekh Ahmad as-Surkati, kebodohan harus di berantas. Dan ia berpendapat bahwa perbuatan mendidik dan mengajar adalah pekerjaan yang termulia di sisi Allah SWT.
Keyakinan ini dikuatkan dengan Hadiś Rasulullah  yang diriwayatkan Imam Turmuzi dan Ibnu Majah bahwa sebaik-baik di antara manusia adalah orang yang belajar dan mengajar.[47]
Tatkala mayoritas kaum muslimin terbelenggu oleh khurafat, takhayul, dan bid’ah yang penuh dengan kemusyrikan, dan ajaran tauhid masih asing di jiwa mereka, karena pendidikan yang masih rendah, maka bangkitlah Syekh Ahmad as-Surkati menyuarakan hakikat tauhid dan kebenaran yang sejati. Ia tidak takut ancaman dari orang-orang yang membencinya termasuklah dari golongan Sayyid yang berusaha untuk mencela dan memfitnahnya.
Pandangan tentang tauhid yang murni itu sebagaimana disampaikan  Syekh Ahmad as-Surkati dalam kuliah umum pada tahun 1937 yang berjudul Muhadharah Islamiyah. Ia menegaskan bahwa aspek tauhid yang ditekankan oleh Ahlus Sunnah, adalah :
“Pengakuan seorang hamba, pengakuan akan keyakinannya dan keimanannya akan kemandirian Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya dan peng-Esa-an terhadap-Nya dalam segala hal tersebut. Dan keyakinan seorang hamba bahwasanya tiada sekutu bagi-Nya dan tiada yang menyerupai-Nya di dalam kesempurnaan-Nya, dan hanya Dia-lah yang berhak untuk disembah dan diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya”.[48]
Ucapan as-Surkati di atas mengandung penekanan kepada tauhid Uluhiyah dan Asma’ wa Şifǎt yang juga ditekankan oleh para ulama ahlus sunnah. Karena pada kedua tauhid inilah kebanyakan kaum muslimin menyimpang dan menyeleweng.
Menurut Syekh Ahmad as-Surkati ada beberapa hal yang mempengaruhi atau merusak keimanan seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :
  1. Sunnah dan Bid’ah
Bid’ah yang banyak terdapat ditengah kaum muslimin, yang berdampak buruk pada agama dan kehidupan adalah yang menjadikan mereka berpaling dari amal-amal yang bermanfaat dan disyariatkan menuju kesesatan-kesesatan yang direkayasa oleh guru-guru dan pimpinan mereka.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Bid’ah itu lebih disukai oleh iblis daripada ma’siat, karena ma’siat itu masih diharapkan taubatnya, sedangkan bid’ah tidak ada harapan untuk bertaubat darinya”. Karena sudah keenakan dalam melakukan bid’ah tersebut.[49]
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ’Aisyah, bersabda Rasulullah: “Barang siapa yang berbuat perkara yang baru dalam urusan (kami) agama yang tidak ada perintahnya maka tertolak”.[50]
Kemudian dari Riwayat Imam Muslim dari  ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang berbuat dengan perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka perbuatan tersebut tertolak.”   [51]
Imam Malik menambahkan bagi siapa yang membuat-buat dalam Islam, hal baru yang ia anggap baik, maka berarti ia telah meyakini bahwa Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengkhianati Risalah, karena Allah telah berfirman :اليوم اكملت لكم دينكم  maka apa saja yang pada waktu itu tidak menjadi agama, hari inipun ia tidak akan jadi agama. Sedangkan Imam Syafi’i juga menjelaskan: Barangsiapa beristihsan (menilai baik dalam soal agama hanya dengan akal) berarti ia telah membuat syari’at.[52]
As-Surkati mengemukakan bahwa orang yang membolehkan menjadikan sesuatu sebagai agama, dan digunakan untuk menyembah Allah maka ia telah membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah, dan dengan demikian itu maka ia telah berbuat syirik.
Pendekatan yang dipandang penting oleh as-Surkati untuk memberantas bid’ah adalah memberikan pemahaman tentang al-Qur’an dan Hadiś, dengan cara diskusi atau dialog, as-Surkati memaparkan dalil-dalil tentang larangan melakukan bid’ah. Kemudian pendekatan psikologis dan konseling dalam melihat budaya dan adat istiadat serta tingkat kemampuan intelegensinya.
  1. Ziarah Kubur dan Tawassul
Kehidupan jahiliyah dalam perbudakan manusia merupakan penyebab-penyebab kerusakan akal dan fitrah manusia. Oleh karena itu, kaum muslimin perlu menjauhi kebiasaan jahiliyah itu dan berusaha mengembalikan kemerdekaan akalnya, dan digunakan untuk berfikir tentang sesuatu yang bisa mendatangkan mashlahat bagi dirinya di dunia dan di akhirat. Tentunya semua itu dilakukan dengan bimbingan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya dan melepaskan diri dari kungkungan jahiliyah yang memasung kemerdekaan berfikir yang telah diberikan oleh Allah Ta'ala kepada para hamba-Nya.[53]
Pemasungan kemerdekaan berpikir itu bisa dalam bentuk penyembahan terhadap sesuatu yang tidak berakal seperti batu, pepohonan, kuburan dan sebagainya. Akibatnya semua kemaşlahatan hidup dan kemudaratan harus digantungkan kepada benda-benda tersebut.
Menurut as-Surkati ziarah kubur bisa dianggap sunnah jika niatnya untuk mengingat akhirat, dan ziarah kubur harus menghindari semua tindakan munkarat termasuk tawasul, pemujaan para wali, permintaan berkah dari orang yang sudah meninggal agar mendapat sesuatu, duduk dan membaca al-Qur’an di makam, berkorban untuk yang sudah meninggal. Hal ini di dasarkan pada hadiś yang menyatakan bahwa ”Ziarahlah kemakam namun jangan mengucapkan hujr (aduan dan permintaan untuk berkah dari orang yang meninggal)”. Dan ”Ziarahlah ke makam untuk mengingat kamu akan akhirat”.[54]
Ajaran as-Surkati mendapatkan perlawanan dari golongan Sayyid yang merasa posisi mereka sebagai perantara Tuhan dan manusia akan terancam.[55]
Mereka memberikan pemahaman yang salah kepada masyarakat bahwa orang-orang yang telah dikubur itu memiliki Jah (kedudukan) dan Tasharruf (tindakan) yang mencampuri kehendak Allah dan keinginan-Nya.
Mereka juga mengelabui bahwa bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan itu adalah rahasia yang mereka warisi dari guru-guru pendahulu mereka, yang memiliki manfaat-manfaat yang tidak terdapat pada amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan.
Perlu memperhatikan dan mempertegas lingkungan masyarakat dari kecenderungan melakukan bid’ah dengan melakukan pendekatan aqliyah untuk mengembangkan tingkat kemampuan berfikir, sehingga tidak menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.
  1. Ijtihad dan Taqlid
Dalam pandangan Harun Nasution Ijtihad tidak hanya berlaku dalam bidang fiqih atau hukum Islam saja, tetapi berlaku juga dalam berbagai bidang ilmu; baik dalam ilmu kalam, filsafat, tasawuf, dan sebagainya.[56]
Berbeda dengan pendapat diatas, Ibrahim Hoesen berpendapat bahwa ijtihad hanya berlaku dalam bidang fiqih saja, tidak berlaku dalam bidang Aqidah dan Akhlaq.[57]
Ijtihad adalah pengambilan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil kulliyah (menyeluruh) dan kaidah-kaidah umum yang terinci, yang dikenal dalam ilmu uşul.[58] Yang dimaksud dalil-dalil yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, hanya ruang lingkupnya ada yang sudah jelas sehingga tidak perlu adanya ijtihad sedangkan lainnya dimungkinkan untuk dilakukan ijtihad.
As-Surkati mengemukakan bahwa ijtihad atau qiyas tidak diterapkan pada masalah-masalah agamawi yang menyentuh ibadah, al-’Aqăid dan ilmu akhirat, sehingga tidak bisa ditambah dan dikurang.[59] Hubungan manusia dan Allah yang diwujudkan dengan ibadah dan keimanan diatur dalam al-Qur’an dengan jelas.
Dari beberapa penjelasan ulama tersebut diatas, maka ada beberapa masalah yang bisa diterapkan sebagai ruang ijtihad, namun ada pula yang tidak bisa diterapkan sebagai ruang ijtihad. Permasalahan yang tidak dapat masuk pada ruang ijtihad adalah yang disandarkan pada dalil qaţ’iy.
Penjabaran yang dirinci mengenai pembagian hukum Islam adalah sebagai berikut:
1)      Hukum yang sudah tetap (qaţ’iy) yang sampai kepada kita semua secara mutawatir , seperti salat lima waktu, puasa, haji, haramnya perbuatan zina, riba, hukum ahwal syaksyiyyah (urusan kekeluargaan) seperti perceraian dan pernikahan.
2)      Beberapa hukum yang sudah ditetapkan ketetapannya secara ijmak tanpa ada satupun ulama yang mengingkari.
3)      Hukum syariat yang mungkin untuk menerima perubahan atau dengan kata lain hukum Zanniy. [60]
Imam Syafi’i yang dinyatakan oleh Ahmad Surkati sebagai orang yang paling tegas dalam melarang taqlid dan mendorong untuk berijtihad, mengungkapkan dalam al-Umm : ”Tidak seorangpun selain Rasullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam berhak mengatakan sesuatu kecuali harus mendatangkan dalil”.
Istilah lain yang berkenaan dengan ijtihad yang disebutkan dalam tulisan as-Surkati, sebagai kategorisasi pilihan yang ditawarkan, ialah ittiba’ dan ta’assi.[61] Yang diharapkan muncul dalam masyarakat adalah pemuka agama khususnya generasi al-Irsyad dengan predikat berilmu, wara’, hati-hati, dan terpercaya, sebagai muttaba’ atau  mufti dan hakim.
Taqlid adalah perbuatan mengikuti pendapat orang dengan tanpa pengertian dan tanpa menyelidiki dari mana sumber hukum itu datang (dasar hukum).[62]
Taqlid buta yang dimaksud oleh Ahmad as-Surkati adalah model pemahaman keagamaan para pemuka agama tradisional yang sesungguhnya mempunyai kemampun mengarahkan orang awam pada dalil al-Qur’an dan sunnah, namun mereka hanya terhenti pada keterangan Faqih.
As-Surkati menyatakan bahwa : Seorang muqallid ialah orang yang berkemampuan dan mempunyai kesempatan untuk memahami materi ajaran-ajaran Allah dan hukum-hukum-Nya, namun ia tidak mempergunakan akalnya untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dan tidak mau melihat dan memikirkan tentang keduanya; tidak pula mau mendengarkan keduanya. Inilah orang yang keadaannya diperkenalkan oleh Allah dalam surah al-’Araf dengan firman-Nya yang mulia ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah)... Mereka itulah orang-orang yang lalai.[63]
Dalil agama yang harus di pegang adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, bukanlah pendapat para ulama yang terdapat di beberapa kitab. Muhammad Ibn Abdul Wahab tidak mempertahankan paham taqlid (tunduk kepada pendapat ulama-ulama terdahulu). Bahkan, sebagai pengikut Imam Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah, ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Mengadakan ijtihad tetap dibolehkan, dan ijtihad dijalankan dengan kembali kepada kedua sumber asli dari ajaran-ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Hadiś.[64]
Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat mereka tanpa melihat dari mana ia mengambil dalil-dalil tersebut.
Taqlid buta, menurut as-Surkati hanya bisa diizinkan bagi orang-orang yang tidak mempelajari atau tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajarinya. Sedangkan umat Islam yang lain wajib untuk menyelarasi hidupnya sesuai al-Qur’an dan Hadiś Nabi.[65]
Taqlid dapat dilakukan dengan pendekatan pendidikan tauhid yang bersih dari budaya-budaya yang dapat merusak aqidah dengan metode yang tepat dalam memberikan pengertian tentang taqlid serta cara  berkomunikasi antara mufti atau muttaba’ (orang yang diikuti) dengan para pengikut-pengikutnya. Kemudian para mufti mempelajari masalah yang dipertanyakan dari berbagai sumber rujukan, yaitu yang bersumber pada dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah.
Firman Allah : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Imran [3] : 31).
Konsep gerakan pembaruan tauhid yang dilontarkan Syekh Ahmad as-Surkati, bersama guru-guru yang datang dari Timur Tengah telah dirumuskan dalam bentuk mabadi al-Irsyad, yaitu :
1)      Meng-Esa-kan Allah dengan sebersih-bersihnya, peng-Esa-an dari segala hal yang berbau syirik, mengikhlaskan beribadah kepada-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala hal
2)      Mewujudkan kemerdekaan dan persamaan dikalangan kaum Muslimin dan berpedoman pada al-Qur’an, as-Sunnah, perbuatan pada imam yang sah dan perilaku ulama salaf dalam persoalan khilafiyah
3)      Memberantas Taqlid buta tanpa sandaran akal dan dalil naqli
4)      Menyebarkan ilmu pengetahuan, kebudayaan Arab-Islam dan budi pekerti luhur yang diridhai Allah
5)      Berusaha mempersatukan Muslimin dan bangsa Arab sesuai dengan kehendak dan Ridha Allah.[66]
Konsep gerakan pembaruan yang dilontarkan as-Surkati ini menjadi dasar pergerakan al-Irsyad sebagai lembaga yang berkonsentrasi pada pendidikan dan sosial masyarakat hingga saat ini.
  1. Lembaga Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan Tauhid
Aspek yang sering terlupakan dalam sistem pendidikan secara umum adalah tentang kelembagaan. Syekh Ahmad as-Surkati sudah memperhatikan pentingnya aspek kelembagaan. Hal ini terbukti dengan berdirinya organisasi Al-Irsyad sesuai dengan tujuannya, diantaranya untuk mendirikan lembaga sekolah yang peserta didiknya terbuka untuk umum asalkan beragama Islam, dan tidak membedakan suku, ras dan kedudukan.[67]
Sebagai akibat globalisasi yang kian merambah disetiap segi kehidupan, maka kehadiran lembaga pendidikan Islam yang memfokuskan pada pendidikan tauhid diharapkan mampu untuk memberikan pondasi bagi aqidah pemeluk Islam.
As-Surkati dalam menjalankan program pendidikannya, ia hanya membagi tiga bidang ilmu antara lain :
1.      Ilmu Bahasa yang meliputi : Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia.
2.      Pendidikan Agama meliputi : Al-Qur’an dan Hadiś, Tauhid (Aqidah) dan Akhlaq, Fiqih, Tarikh Islam
3.      Ilmu Pengetahuan Umum meliputi : Ilmu Bumi, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat/Kesehatan, Menggambar, Gerak Badan.
Dari semua bidang ilmu tersebut, merujuk pada buku-buku yang telah ditetapkan dan langsung pada sumber buku pengarangnya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tauhid diperlukan kurikulum yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum yang disusun Ahmad as-Surkati, khususnya pada pendidikan formal lebih menekankan pada pendidikan religius yang dilaksanakan oleh guru-guru yang kompeten dalam bidangnya.
            Ini sesuai dengan program yang dikemukakan oleh as-Surkati, antara lain :
a.       Tauhid menjadi penting karena mengandung tujuan beragama yang mendasar
b.      Tarikh dalam kaitannya dengan ilmu bumi untuk mengetahui tempat dan waktu suatu kisah dalam al-Qur’an, sehingga dengan tarikh ini diketahui lebih jauh kebenaran dari al-Qur’an dan untuk pembinaan kepribadian yang bertauladan pada Nabi dan Pemuka-pemuka Islam di awal perkembangan sejarah Islam
c.       Ilmu Alam dituntut karena berkaitan erat dengan pengertian Sunnatullah fil ka’inat
d.      Ilmu Hayat dan Ilmu Tumbuh-tumbuhan mempunyai kaitan dengan bukti-bukti kebesaran Allah dan agar manusia mengadakan pengkajian terhadap binatang dan tumbuh-tumbuhan, untuk digali hikmahnya dan dimanfaatkan
e.       Fiqih penting karena materi diambil dari al-Qur’an dan Sunnah, maka penerapannya di dasarkan atas al-Qur’an
f.       Ilmu Ekonomi menjadi penting karena di dalam al-Qur’an banyak mengandung kaidah-kaidah ekonomi, baik yang berkaitan dengan moral maupun pemanfaatan kekayaan
g.      Ilmu Kesehatan Jasmani dan Rohani sangat penting diketahui karena beberapa bentuk ibadah mengandung keterkaitan dengan ilmu ini
h.      Ilmu Hitung untuk mempertanggungjawabkan ajaran al-Qur’an yang menuntut perhitungan yang teliti, seperti warisan, zakat, dan jual beli.[68]
Penerapan program tersebut perlu dilaksanakan dalam bentuk religius agar anak didik dapat mengetahui dan memahami hubungan antara ilmu akhirat dengan ilmu duniawi. Menuntut ilmu bukan hanya pada ilmu akhirat akan tetapi ilmu dunia tersebut dijadikan sebagai alat untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat, sesuai dengan tujuan pendidikan tauhid.
Secara kelembagaan program pendidikan Al-Irsyad pada tahun 1913  memprioritaskan kajian ilmu yang harus dipelajari. Ini tergambar jelas dalam tiap jenjang pendidikan sebagai berikut :
a.       Madrasah Awwaliyah : berjenjang tiga tahun, kurikulumnya adalah muhadatsah, qira’ah bahasa Arab, disamping pelajaran yang lain seperti bahasa Indonesia, berhitung, dan olah raga.
b.      Madrasah Ibtidaiyyah :  berjenjang empat tahun, kurikulumnya adalah Al-Qur’an, fikih, nahwu, şaraf, muţala’ah dan imla’. Sebagai tambahan diajarkan sejarah, geografi, bahasa Indonesia, berhitung, menggambar, dan olah raga.
c.       Madrasah Tajhiziyyah :  berjenjang dua tahun, yang diajarkan adalah fikih, tauhid, tafsir dan Hadiś, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
d.      Madrasah Mu’allimin : berjenjang empat tahun diajarkan bahasa Arab, tafsir, Hadiś dan ilmu Hadiś, pedagogi, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia
e.        Takhassus yang berjenjang dua tahun diajarkan sepenuhnya religius yaitu adab al-lughah al-’arabiyah (literatur Arab), mantiq (logika), balaghah (retorika),  fiqh wa uşul al-fiqh, tafsir, Hadiś, ilmu Hadiś dan filsafat.[69]
Pada tahun 1915 didirikan Takhassus berjenjang dua tahun sebagai jenjang pendidikan tertinggi atau setara dengan perguruan tinggi diploma.[70]
Dalam mata pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik di dasarkan pada kurikulum yang dibuat non-dikotomik, artinya tidak ada pembedaan yang bersifat diskriminatif antara ilmu agama dengan ilmu umum. Selain itu, kurikulum yang dibuat menekankan pada ilmu alat dalam hal ini bahasa Arab sebagai alat untuk mempelajari dan memahami sumber-sumber ajaran Islam.[71] Sehingga dapat digunakan untuk menggali ilmu yang berasal dari al-Qur’an dan Hadiś serta dapat membedakan yang halal dan haram terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan keimanan atau tauhid. Contoh, melakukan şalat dengan benar dan tidak berharap selain pada Allah.
Dalam mata pelajaran tauhid dihubungkan dengan bagaimana pendekatan diri kepada Allah melalui akhlak, perilaku terhadap sesama makhluk dan ibadah yang berlandaskan pada ajaran Islam yang murni. Siapapun dia, jika menyimpang dari ajaran yang datangnya dari Allah melalui Rasul-Nya maka wajib diluruskan.
  1. Metode dan Pendekatan
Metode dan pendekatan merupakan aspek penting dalam proses belajar mengajar. Pemahaman materi dikalangan peserta didik dipengaruhi oleh cara menyampaikannya. Karenanya metode mengajar yang digunakan oleh pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak didik, akan menunjang pemahaman.
Untuk pengembangan daya tangkap anak, Ahmad as-Surkati menekankan pada metode kritik daripada hafalan. Hal ini diberlakukan tidak hanya pada mata pelajaran agama, tetapi juga mata pelajaran lainnya seperti sejarah, ilmu bumi dan lain sebagainya.[72]
Hafalan dapat melemahkan kemampuan dalam memahami materi pendidikan, sehingga tidak bisa menangkap materi isinya dengan baik.
Ada beberapa metode dalam proses belajar mengajar, yang mempunyai prinsip-prinsip umum dan faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain :
a)      Harus memperhatikan kecenderungan anak didik, yaitu memperhatikan dan menyesuaikan kapasitas anak didik, bakat, minat, lingkungan dan kesiapan anak didik. Sehingga akan terwujud proses belajar mengajar yang menyenangkan.
b)      Memanfaatkan aktivitas individual anak didik. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan anak didik dalam setiap kegiatan yang dilakukan dan memberi kesempatan kepada mereka untuk berpikir dan berbuat.[73]
Ahmad as-Surkati menerapkan metode dan pendekatan dalam belajar mengajar pada sekolah al-Irsyad. Metode dan pendekatan yang diterapkan adalah sebagai berikut :
  1. Pembiasaan, dilakukan dalam pelajaran bahasa Arab dengan mengajak salah satu murid beliau untuk jalan dan kemudian mengajarkan bahasa Arab dari benda-benda yang dijumpai (yang berkaitan dengan ciptaan Allah).
  2. Pendekatan psikologis dan konseling dalam melihat minat dan bakat serta tingkat kemampuan intelegensi para siswa yang diajar.
  3. Demokratis dalam suasana belajar mengajar dan menggunakan pendekatan aqliyah untuk mengembangkan tingkat kemampuan berpikir siswa.
  4. Metode Diskusi untuk tukar menukar informasi, pendapat dan unsur-unsur pengalaman dilaksanakan secara teratur. Tujuannya adalah untuk memperoleh pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu serta guna mempersiapkan dan merampungkan keputusan bersama. Dalam metode ini mengandung nilai-nilai demokratis, karena Anak didik akan berpacu dalam mengeluarkan pendapat, sesuai aturan yang ditetapkan oleh kelompoknya.[74]
Dengan metode diskusi, peserta didik lebih bebas untuk mengeksplorasikan pemikiran tanpa harus merasa minder. Dengan sendirinya akan muncul karakter spontan tanpa ada pemaksaan, dan yang muncul adalah keunikan-keunikan pribadi yang harus dihormati menurut nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk mengajarkan keimanan atau ketauhidan tentunya dapat menggunakan metode bertanya, cerita, ceramah, Demonstrasi, dialog (hiwar) atau menjawab pertanyaan.[75]
  1. Media Pendidikan
Media pendidikan merupakan alat-alat fisik yang menjelaskan isi pengajaran seperti film, video kaset, gambar dan lain-lain, yang berfungsi sebagai alat bantu yang memperlancar dan mempertinggi proses belajar mengaja.[76]
Ahmad Surkati dalam proses belajar mengajar sudah menggunakan media pendidikan walaupun masih sangat sederhana dengan menggunakan buku-buku bergambar, terutama gambar manusia yang oleh sebagian kelompok dianggap haram, untuk menjelaskan maksud dari materi yang disampaikan.[77]
Pemikiran Syekh Ahmad as-Surkati tentang pembaruan Islam sampai sekarang mewarnai perkembangan Al-Irsyad sebagai organisasi modern dan khususnya lembaga pendidikannya.
Dari segi pendidikan, al-Irsyad lebih memperhatikan bagaimana membekali anak didiknya dengan pendidikan agama, yang akan membantu mereka berhadapan dengan ide-ide reformasi.
E.     Kesimpulan
Prinsip utama pendidikan Islam adalah aqidah atau tauhid, yang merupakan falsafah hidup bagi umat Islam. Agar pendidikan tauhid itu berjalan efektif dan tidak menyimpang, sebaiknya dilakukan dengan metode yang benar lagi tepat. Setidaknya ada empat langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pendidikan tauhid harus berpedoman kepada sumber yang asli, yakni Alquran. Kedua, harus dipelajari secara menyeluruh. Ketiga, pendidikan tauhid juga harus mempertimbangkan kepustakaan yang ditulis para ulama, dan ilmuwan Muslim. Yang keempat, pendidikan tauhid tidak bisa hanya dilandaskan pada kenyataan hidup umat Islam yang ada saat ini..
Munculnya konsep pendidikan as-Surkati lebih dilatarbelakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan Islam yang sedang mengalami kemunduran, baik di bidang ilmu pengetahuan dan di bidang keagamaan. Ia menekankan tumbuhnya pribadi yang ideal, yang memiliki ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum. Dan ia juga lebih menekankan pemahaman dan penalaran daripada hafalan.
Keberadaan lembaga al-Irsayad yang membawa pemikiran pembaruan pendidikan Islam as-Surkati, berdampak pada perubahan pola pikir anggota al-Irsyad dan masyarakat Arab Indonesia. Namun sebagian masyarakat, ada yang tidak begitu perduli terhadap al-Irsyad karena mereka beranggapan bahwa gerakan al-Irsyad bersifat eksklusif untuk kelompok Arab, meskipun sebenarnya gerakan ini terbuka untuk semua umat Islam.

END NOTES


[1] Mulkhan, A. Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yokyakarta: Tiara Wacana Yokya, 2002, h. 342
[2] Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Perbandingan, Cet-5, Jakarta: UI-Press, 1986, h. 90
[3] Abduh, Muhammad, Risalah at-Tauhid, Alih Bahasa: Firdaus, Jakarta: Bulan Bintang, Cet-5, 1975, h. 4
[4] As-Surkati menurut bahasa/dialek Sudan, soor berarti buku-buku, kitab-kitab – Kattiy adalah banyak. As adalah awalan sebagaimana bahasa Arab al-Kitab, as-Syams, an-Nur, dan seterusnya. As-Surkati disini berarti : suka membaca, gemar membaca atau banyak ilmu. Gaya nama seperti itu tampaknya memiliki persamaan dengan kebiasaan nama Jawa, seperti : Sugiarto, Sugih – Kaya dan Arto – Harta. Al-Anşǎry adalah nama marga beliau yang menunjukkan bahwa beliau dari kelompok Anşar. Suku Ahmad Surkati adalah suku Jawabirah.
[5] Menurut cerita beliau kepada GP.Pijper juga pada Otobiografi (di tulis oleh Muhammad Noor al-Anshary, karena pada usia tuanya beliau menderita “buta”).
[6] Trimingham, J.Spenser, Islam In The Sudan, London: oxford university press, 1949, h. 116-117
[7] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama, 1996, h. 35
[8] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Cet. IV, 1995, h. 163
[9] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943):Pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999, 226
[10] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 8-9
[11] Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev, jilid 5, 1993, h. 281
[12] Pijper, G.F, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950, terj. Tudjimah dan Yessy Dagusdin, Jakarta: Universitas  Indonesia, 1985, h. 115
[13] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi....., h. 68-69
[14] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi......, h. 48-49
[15] Muhammad Abduh adalah seorang pembaru Islam yang berasal dari Mesir. Beliau lahir di Gharbiyah Mesir pada tahun 1849, terkenal sebagai tokoh ahli tafsir, hukum Islam, bahasa Arab dan kesusastraan, logika, ahli ilmu kalam, filsafat dan sosial kemasyarakatan (Kamal, 2000 : 32).
[16] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam...., h. 161
[17] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 48-54
[18] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Ed. 1, Cet. I, 1996, h. 132
[19] Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet-8, 1978, h. 57
[20] Pijper adalah penasehat Pemerintah Hindia Belanda menjelang dan sampai masuknya Jepang ke Indonesia. Menurut pengakuannya, ia kenal baik dengan Syekh Ahmad as-Surkati, bahkan ia sempat tiga tahun belajar Ilmu Tafsir dan Ilmu Fiqih pada Syekh Ahmad as-Surkati (http://img220.imageshack.us/ img220/3430/image0289et0.jpg)
[21] Pijper, G.F, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam………, h. 124
[22] Steenbrink, Karel,“Qur’an Interpretation Of Hamzah Fansuri (CA. 1600) and Hamka (1908-1982): A Comparison, 1994, h. 60
[23] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi....., h. 26
[24] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi....., h. 26
[25] Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam.........., h. 59

[26] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 204
[27] (Naji, Manuskrip : 31).
[28] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 205
[29] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi....., h. 27
[30] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi....., h. 28
[31] Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam.........., h. 62
[32] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 207
[33] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 30
[34] Bahkan sebagian pikiran mereka yang sudah tertanam dan berakar beranggapan jika seorang wanita Sayyid kawin dengan orang yang bukan Sayyid dianggap sudah keluar dari kandang Nabi (sangat ironis sekali jika ada pemikiran seperti itu). Pemikiran seperti itulah yang harus diluruskan sehingga mereka tidak beranggapan bahwa di dalam Islam terjadi perbedaan garis keturunan dan suku. Hal seperti ini, sudah diajarkan kepada anak-anak mereka dari kecil, jika kita bertanya kepada anak-anak mereka, maka mereka akan menjawab bahwa keturunan mereka adalah yang paling mulia dan mereka tidak boleh kawin dengan orang selain dari suku mereka.
[35] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 208
[36] Steenbrink, Karel,“Qur’an Interpretation Of Hamzah Fansuri........., 1994, h. 68
[37] Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo, Cet-2, 1996, h. 54
[38] Gelar tersebut diberikan oleh Majlis Ulama Makkah jika seseorang telah menguasai beberapa disiplin ilmu termasuk memahami dan menguasai mazhab yang empat, serta berprestasi dalam bidangnya.
[39] Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam.........., h. 74
[40] Naji, Umar Sulaiman, Tarikh Thaurat al- Işlah wa al-Irsyad, jilid 1, tt, h. 4-5
[41] (H.R. Turmuzi).
[42] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 222
[43] Badjrey, Hussein, Al-Irsyad Mengisi....., h. 77
[44] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam...., h. 161
[45] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 118
[46] Poerwodarminta, Wj.S, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985, h. 377
[47] Abbas, Sayyid ’Alwi, Fathul Qarib al-Mujib, Makkah: Al-Haramain, 1397 H, h. 41
[48] As-Surkati, Muhadarat al-Islamiyah, al-Murshid, No. 22, 1939, h. 5
[49] Al-Makhdali, Zaid bin Muhammd, Syarah Aqidah Muhammad bin Abdul Wahhabhal, alih bahasa: Hanan Hoesin bahanan, Solo: Pustaka Ar-Rayyan, 2007, h. 100
[50] (H. R. Bukhari dan Muslim)
[51] (H.R. Muslim)
[52] Basari, Agus Hasan, Himpunan Tiga Risalah, Jakarta: PP. al-Irsyad, 2004, h. 4
[53] (majalah asy-Syari’ah, 2005 : 21).
[54] As- Surkati, 1924, Al-Masa’il aś- Śalaś, Borobudur: Batavia, 1924, h. 45
[55] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 234
[56] Nasution, Harun, Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri, eds, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, tt, h. 108-109
[57] Hoesen, Ibrahim, Kajian Tentang Ijtihad dan Taqlid, Mimbar Ulama, Tahun ke-11, no.124, Desember, 1987, h. 8
[58] As- Surkati, 1924, Al-Masa’il aś- Śalaś...., h. 19
[59] As- Surkati, 1924, Al-Masa’il aś- Śalaś, Borobudur: Batavia, 1924, h. 24
[60] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam...., h. 193-194
[61] As- Surkati, 1924, Al-Masa’il aś- Śalaś...., h. 22
[62] Mahmassani, Sayyid Subhi, Filsafat Hukum Dalam Islam ( Falsafat al-Tashri), Alih bahasa: Ahmad Soejono, Bandung: al-Ma’arif, 1981, h. 143
[63] As- Surkati, 1924, Al-Masa’il aś- Śalaś...., h. 21
[64] Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, Jilid II, 1985, h. 94
[65] As- Surkati, 1924, Al-Masa’il aś- Śalaś...., h. 18
[66] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 123-124
[67] Naji, Umar Sulaiman, Tarikh Thaurat al- Işlah......., h. 197
[68] As-Surkati, Muhadarat al-Islamiyah...., h. 7-9
[69] Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam.........., h. 65
[70] Affandi, Bisri, Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943)......., h. 214-215
[71] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam...., h. 161
[72] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam...., h. 161
[73] RI, Depag, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Depag RI, 2001, h. 88-89
[74] Naji, Umar Sulaiman, Tarikh Thaurat al- Işlah......., h. 197-198
[75] Untung, Moh. Slamet, Muhammad Sang Pendidik, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005, h. 106-112
[76] Thoha, Chabib, et.al, PBM-PAI di Sekolah Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Cet.-I, 1998, h. 268-270
[77] Zuhairini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam...., h. 161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda