ABSTRAK
Sejak pemberlakuan SKB tiga menteri porsi
pendidikan agama semakin berkurang, sehingga tamatan Madrasah dianggap serba
tanggung karena pengetahuan agamanya kurang mendalam, sedangkan pengetahuan
umumnya juga rendah. Eksistensi Madrasah sebagai subsistem pendidikan nasional
ini semakin diakui meskipun di sisi lain memunculkan dualisme sistem pendidikan
yang dikotomis. Munculnya UU Sisdiknas no.20 tahun 2003 dan pemberlakuan
kurikulum 2004 dan 2006 memberikan angin segar kepada madrasah untuk mengembangkan
muatan lokal keagamaan sebagai ciri khas dan keunggulannya dengan penambahan
jam pelajaran yang disesuaikan. Latar belakang tersebut mengarahkan peneliti
untuk mengetahui secara mendalam implementasi kurikulum muatan lokal berbasis
pesantren di M.I I’anatul mubtadi’in wringinjajar, baik pada tahap persiapan,
pelaksanaan maupun evaluasinya.
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan sistem
pendidikan dan implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren (baik
persiapan, pelaksanaan maupun evaluasinya) di M.I I’anatul mubtadi’in
wringinjajar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, oleh karena itu
teknik pengambilan data melalui indepth interview, observasi partisipatory, dan
dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode deskriptif dan
interpretatif, melalui langkah-langkah siklus interaktif yang
komponennya meliputi reduksi data (data reduction), sajian data (data
display), dan kesimpulan (conclution drawing).
Berdasarkan hasil temuan penelitian bahwa M.I
I’anatul mubtadi’in wringinjajar mranggen telah mengimplementasikan kurikulum
muatan lokal berbasis pesantren dengan strategi penerapan secara penuh sejak
sistem Integrasi antara pendidikan umum dan pesantren.
Implementasi tersebut nampak pada nuansa pesantren yang bersifat khas, baik dari aspek fisik
maupun aspek nonfisik. Aspek fisik pesantren yang khas di antaranya ialah
adanya masjid, santri, asrama/pondok, kyai dan kitab-kitab Islam klasik, serta
adanya kegiatan keagamaan yang rutin seperti shalat berjamaah lima waktu dan
pembelajaran agama yang lain. Sedangkan pada aspek non fisik pesantren ialah adanya
pengembangan nilai-nilai pesantren seperti keramahan, kesahajaan
(kesederhanaan), keikhlasan, keakraban dan kerukunan dari segenap unsur lain pesantren,
kemandirian, belajar tuntas, tanggung jawab dan ketaatan pada norma-norma agama
yang berlaku dalam tradisi pesantren.
Keberhasilan implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren
tersebut tidak terlepas dari sistem pendidikan yang ada, baik visi-misi, tujuan
pendidikan, peserta didik, tenaga pendidik dan administrasi, jalur pendidikan,
kurikulum maupun proses pembelajarannya, yang dilaksanakan melalui tiga
tahapan, yaitu persiapan implementasi, pelaksanaan implementasi dan evaluasi
terhadap implementasi kurikulum secara keseluruhan. Sedangkan pelaksanaan
kurikulumnya berbentuk intrakurikuler, ekstrakurikuler dan kokurikuler, yang
strategi pelaksanaannya masing-masing memiliki perbedaan dari segi bentuk
kegiatan, metode pembelajaran dan evaluasinya.
IMPLEMENTASI KURIKULUM MUATAN LOKAL BERBASIS
PESANTREN DI M.I
I’ANATUL MUBTADI’IN WRINGINJAJAR
A.
Latar Belakang Masalah
Lembaga
Pendidikan Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk
pesantren.[i]
Melalui karakternya yang khas, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar
pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri
tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk
menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Masuknya model
pendidikan sekolah oleh kolonial Belanda membawa dampak kurang menguntungkan
bagi umat Islam saat itu, karena mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama dan
ilmu sekuler, dan bahkan diskriminatif[ii].
Sebagaimana diungkapkan oleh Karel A. Steenbrink[iii],
bahwa pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial ini berpusat pada pengetahuan
dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum, sedangkan pendidikan Islam
lebih ditekankan pada penghayatan agama.[iv]
Dampak positif bagi perkembangan pendidikan Islam ialah masuknya sistem
pendidikan sekolah ini ke dalam lembaga pendidikan Islam. Corak model
pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi
juga di luar pulau Jawa, dari sinilah embrio madrasah lahir.
Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren.
Ia lahir pada abad 20 dengan munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan
Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909.[v]
Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan
Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut, menurut Karel A. Steenbrink,[vi]
meliputi tiga hal, yaitu:
1. Usaha menyempumakan sistem
pendidikan pesantren
2. Penyesuaian dengan sistem
pendidikan Barat, dan
3. Upaya menjembatani antara
sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam
sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB Tiga Menteri[vii]
menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah
umum. Munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif
bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun
kurikulumnya.[viii]
Pada salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut dijelaskan perlunya diambil langkah-langkah
untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah
dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.
Sebagai upaya
inovasi dalam sistem pendidikan Islam, madrasah tidak lepas dari berbagai
problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in,[ix]
antara lain:
1. Madrasah telah kehilangan
akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan
pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan
Islam pertama di Indonesia.
2. Terdapat dualisme pemaknaan
terhadap madrasah, di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah karena
memiliki muatan kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Madrasah
dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan
madrasah diniyah.
Sebagai sub
sistem pendidikan nasional, madrasah belum memiliki jati diri yang dapat
dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Efek pensejajaran madrasah dengan
sekolah umum yang berakibat berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60%
agama dan 40% umum menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang
melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang muncul
kemudian, antara lain:
- Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi.
- Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.
Pada era
reformasi, desentralisasi dan deregulasi ini, memberikan dampak madrasah mulai
diperhatikan oleh pemerintah Indonesia,
antara lain dikeluarkannya berbagai kebijakan berupa Undang-undang berkenaan
dengan peningkatan pendidikan Islam. Meski demikian, peraturan itu tidak serta
merta mengubah madrasah tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Sebab,
madrasah sendiri lahir, tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Keterkaitan masyarakat dengan madrasah ini,
menurut Ainurrafiq Dawam[x]
lebih ditampakkan sebagai 'ikatan emosional' dibanding ikatan rasional. Ikatan
ini muncul dikarenakan konfrontasi antara dua kepentingan, yakni hasrat kuat
umat Islam untuk berperan serta dalam pendidikan dan karena motivasi keagamaan.
Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini menyebabkan madrasah menjadi massif,
populis dan mencerminkan suatu gerakan masyarakat bawah.
Eksistensi
madrasah terus mengalami perkembangan sesuai dengan konteks masyarakat yang
melingkupinya. Sejalan dengan hal itu, dinamisasi pemikiran untuk terus
memajukan dan mengkontekstualisasikannya menjadi sebuah keniscayaan. Jika tidak
demikian, maka sangat dimungkinkan madrasah mulai ditinggalkan oleh masyarakat
karena dianggap kurang menjanjikan. Berkaitan dengan hal ini A. Malik Fadjar[xi]
pernah berkomentar bahwa "kurang tertariknya masyarakat untuk memilih
lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan karena terjadi pergeseran nilai atau
ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar kurang
menjanjikan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan permintaan saat ini
maupun mendatang".
Menurut data
pendidikan yang ada tahun 2005, sebagaimana diungkapkan Abdul Azis pada Kata
Sambutan An. Direktur Mapenda Islam RI, dalam Zayadi,[xii]
bahwa jumlah siswa madrasah mencapai 20 % atau mencapai 6 juta peserta didik
dari total populasi siswa di tingkat dasar dan menengah. Tentunya jumlah ini
tidak bisa diabaikan begitu saja dalam proses dan sistem pendidikan nasional.
Sebuah keniscayaan bahwa upaya pemberdayaan madrasah perlu dipikirkan bersama,
dengan meningkatkan kualitas program pendidikannya supaya mampu merespon
tuntutan masyarakat.
Persepsi
masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang unik. Saat ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami
krisis keagamaan[xiii]
dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya,
keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang. Sebab, melalui pengetahuan
agama dan umum yang berimbang dan terintegrasi yang didapat, output dan outcame
siswa madrasah di masa globalisasi ini tidak akan tertinggal dari segi
iptek maupun imtak.
Terlepas dari
berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti
masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya,
maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan
aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai 'sapi perah',
madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model
pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern
untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri
dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring
dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.
Sebagai jembatan
antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah
menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Pada lingkungan
pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah
merupakan inovasi model pendidikan pesantren.
Model-model
pesantren modern yang terintegrasi dengan madrasah kini telah bermunculan di
berbagai daerah. Pesantren Darul Amanah di Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal
misalnya, juga mengutamakan penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan
Inggris. Pesantren yang didirikan oleh
para alumni Pesantren Modern Gontor Ponorogo pada tahun 1990 ini telah
menampung sekitar 1300 santri (siswa), yang terdiri dari 670 orang siswa MTs
dan 630 orang siswa MA. Lembaga inilah yang akan menjadi obyek penelitian kali
ini, yakni implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul
Amanah Sukorejo Kendal.
Lembaga tersebut
di atas sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian. Sebab, kurikulum
muatan lokal di MTs Darul Amanah memiliki keunikan tersendiri, yang sangat
mendukung bagi mata pelajaran intrakurikuler lain (baik dari Depdiknas maupun
Depag). Pada kegiatan intrakurikuler misalnya, terdapat 15 mata pelajaran
muatan lokal yang diambil dari kurikulum pesantren modern Gontor maupun
pesantren salafi. Pada kegiatan ekstrakurikuler terdapat banyak pilihan, baik
yang bersifat kesenian, keterampilan, kepemimpinan, keagamaan maupun olah raga.
Bentuk kegiatan kokurikuler dilaksanakan dalam bentuk kegiatan kepesantrenan
yang bersifat fisik[xiv]
maupun non fisik[xv],
yakni kegiatan rutinitas yang dibimbing oleh para ustadz dan dikontrol langsung
oleh pimpinan pesantren selama 24 jam.
Berdasarkan
kebutuhan kurikulum muatan lokal, maka untuk membekali keluaran (output dan
outcame) siswa madrasah, maka perlu diperhatikan standar kelulusannya,
yaitu menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademik dan atau kejuruan
yang bermanfaat dalam kehidupan akademik maupun kehidupan masyarakat, serta
kompetensi non-akademik lainnya seperti kegiatan keagamaan, olah raga, dan
kesenian.[xvi]
Implementasi
kurikulum muatan lokal berbasis pesantren merupakan implementasi kurikulum
pesantren yang dialokasikan dalam bentuk persiapan, pelaksanaan dan evaluasi
kurikulum muatan lokal, yang materinya mengacu pada kurikulum pesantren
tertentu. Kurikulum yang ada di madrasah tidak hanya berdasarkan kurikulum dari
Diknas dan Depag saja, namun ditambah dengan kurikulum pesantren yang
dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana implementasi kurikulum muatan lokal
berbasis pesantren, baik persiapan, pelaksanaan dan evaluasinya di MTs Darul
Amanah Sukorejo Kendal?
C. Metode Penelitian
Teknik pengumpulan data dipergunakan untuk memperoleh data teoritik
maupun empirik. Pengumpulan data teoritik dilakukan melalui studi pustaka (library
research), sedangkan pengumpulan data empirik menggunakan teknik Indepth
Interview (wawancara mendalam), observasi partisipatif, dan teknik
dokumentasi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif,
sedangkan analisis datanya menggunakan metode deskriptif-interpretatif.
D.
Landasan
Teori
1. Kurikulum Madrasah
a. Pengertian Madrasah
Madrasah merupakan isim makan dari kata darasa
dalam bahasa Arab, yang berarti tempat duduk untuk belajar atau popular dengan madrasah.[xvii]
Istilah madrasah kini telah menyatu dengan istilah madrasah atau perguruan,
terutama perguruan Islam.[xviii]
Senada dengan pengertian di atas, A. Malik
Fadjar[xix]
mengungkapkan bahwa madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam
proses pembelajaran. Maksudnya, di madrasah itulah anak menjalani proses
belajar secara terarah, terpimpin, dan terkendali. Secara teknis madrasah menggambarkan
proses pembelajaran secara formal tidak berbeda dengan sekolah. Hanya saja
dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Pada lembaga ini
anak memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan.
Sehingga dalam pemakaiannya, kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah agama.
Pada awalnya, madrasah merupakan lembaga
pendidikan yang mengajarkan pengetahuan agama saja, dan dilaksanakan di kuttab,
masjid, maupun halaqah-halaqah. Pada masa klasik (pra-modern) madrasah
juga merupakan cikal bakal berdirinya universitas.
Pada perkembangan selanjutnya madrasah mengalami
perubahan orientasi, yakni tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama saja namun
juga pengetahuan umum. Menurut Isma’il Raji Al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh
Abdul Mujib dkk.[xx]
berpendapat bahwa madrasah merupakan pendidikan yang menggabungkan antara
sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan modern (Barat).[xxi]
Senada dengan pendapat di atas, menurut Muhaimin-Abdul Mujib sebagaimana
dikutip oleh Hasbullah[xxii]
bahwa setidak-tidaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan mempunyai
beberapa latar belakang, yaitu:
a.
Sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan sistem
pendidikan Islam
b.
Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu
sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh
kesempatan yang sama dengan madrasah umum.
c.
Adanya sikap mental pada sebagian golongan umat Islam,
khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.
Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem
pendidikan tradisional yang dilaksanakan oleh pesantren dan sistem pendidikan
modern dari hasil akulturasi.[xxiii]
Bisa dipahami bahwa kehadiran madrasah di Indonesia dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk memberlakukan secara berimbang antara ilmu agama dengan ilmu
pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan umat Islam. Madrasah
merupakan perpaduan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan
kolonial.
b.
Integrasi Pesantren-Madrasah
Pesantren adalah lembaga keagamaan,
yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan
ilmu agama Islam.[xxiv]
Pesantren juga berarti suatu lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang
pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasikal,
metode pengajarannya dengan sistem bandongan dan sorogan.
Persentuhan global dengan pusat
Islam di Haramain memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat
sistem pembelajaran yang lebih terprogram. Maka tumbuh dan berkembanglah pola
pembelajaran pelajaran-pelajaran Islam yang dikelola secara madrasi.
Lebih lanjut dijelaskan oleh A. Malik Fadjar,[xxv]
bahwa format madrasah dari waktu ke waktu menjadi semakin jelas sosoknya. Sejak
akhir abad ke-19M.
Sistem pendidikan Islam yang tadinya
lebih bersifat tradisional[xxvi] dituntut untuk merespon perkembangan modern
(sistem baru; klasikal; madrasi) dengan tanpa menghilangkan ciri
khasnya. Dalam kaitan ini, pesantren Mambaul Ulum di Surakarta misalnya, telah
mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respon pesantren terhadap
ekspansi pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Pesantren Mambaul Ulum
yang didirikan Susuhunan oleh Pakubuwono pada tahun 1906 ini merupakan perintis
bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren.[xxvii]
Menurut laporan inspeksi pendidikan
Belanda pada tahun tersebut, Pesantren Mambaul Ulum telah memasukkan mata
pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung ke dalam
kurikulumnya. Rintisan pesantren ini kemudian diikuti beberapa pesantren lain.
Pesantren Tebuireng misalnya, Pesantren Rejoso di Jombang, dan yang agak
sedikit berbeda adalah Pesantren Modern Gontor.[xxviii]
Munculnya sistem madrasi
(madrasah) ini juga menyebabkan adanya dua pemahaman mengenai tipologi
pesantren, yaitu 1) pesantren salafiyah,[xxix] di mana
pendidikannya diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan klasikal,
sistem pengajarannya sorogan dan bandongan; 2) pesantren khalafiyah
(ashriyah=modern)[xxx],
yaitu selain
menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah), baik jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU dan SMK), maupun jalur
sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA atau MAK).[xxxi]
Berdasarkan deskripsi
di atas, dapat dipahami bahwa munculnya madrasah sebenarnya tidak dapat dipisahkan
dengan eksistensi pesantren dalam menghadapi tantangan modernitas. Sebagaimana diketahui, madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang
telah muncul dan berkembang seiring dengan berkembangnya Islam di Indonesia.
Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan
perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa
kemerdekaan.[xxxii]
Apa yang dipelajari di madrasah
tidak jauh berbeda dengan di pesantren. Yang membedakannya adalah sistem,
administrasi, dan penjenjangannya. Madrasah adalah perpaduan sistem pendidikan
madrasah dengan sistem pendidikan Pesantren.[xxxiii]
Madrasah kini disebut sebagai sekolah umum berciri khas agama, di mana ilmu agama
hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini. Penyebutan madrasah sebagai madrasah umum berciri khusus agama, seharusnya
bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan
alternatif. Penyebutan demikian merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis
yang tidak lagi meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer
nilai, tetapi media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang.
2.
Pendidikan Berbasis Masyarakat sebagai Landasan
Pengembangan Kurikulum Madrasah Berbasis Pesantren
a.
Konsep
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Community based education/pendidikan berbasis masyarakat (PBM) adalah konsep
pendidikan yang menekankan pada paradigma pendidikan dalam upaya peningkatan
partisipasi dan keterlibatan masyarakat, serta pengelolaan pendidikan yang
sesuai dengan tuntutan global
dan nasional.[xxxiv]
Senada dengan itu, U. Sihombing menjelaskan bahwa konsep pendidikan berbasis masyarakat adalah: dari
masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Konsep tersebut dapat
dinyatakan bahwa PBM adalah pendidikan yang dikelola oleh masyarakat dengan
memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan menekankan pentingnya
partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta bertujuan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat.
Pada awalnya, Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan pilot
project yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan belajar anak melalui
suara, pilihan dan tindakan kolektif masyarakat. Proyek percontohan ini akan
dilaksanakan melalui mekanisme Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang
merupakan program pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan
pada masyarakat pedesaan dan untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan setempat.
Pada
perkembangan selanjutnya, pendidikan berbasis masyarakat diarahkan sebagai
perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan
untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah
gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat (long life
education) dalam mengisi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Sesuai dengan
Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis
masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan
dari, oleh, dan untuk masyarakat.[xxxv]
Nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu
pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk
menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu
sendiri.
Sementara itu di lingkungan akademik para ahli juga memberikan batasan
pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W.
Galbraith, sebagaimana dikutip oleh Ardiani:
“Community-based education could be
defined as an educational process by which individuals (in this case adults)
become more competent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to
live in and gain more control over local aspects of their communities through
democratic participation”. (Pendidikan berbasis
masyarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu
atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan
konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari
masyarakatnya melalui partisipasi demokratis).[xxxvi]
Menurut UU
sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan
sebagai berikut:
1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan
berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan
kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat
2)
Penyelenggara
pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan
evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
3)
Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4)
Lembaga
pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana,
dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
5)
Ketentuan
mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan undang-undang di atas, nampak
bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal
maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah
kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas
untuk mengelolanya. Apabila kondisi masyarakat setempat menghendaki madrasah
yang memiliki kekhasan agama, maka hak pendirian telah dijamin dalam
pasal 55 butir 1) UU Sisdiknas no. 20/2003 di atas.
Menurut Misyanto,[xxxvii]
pendidikan berbasis
masyarakat (community based education) merupakan pengembangan dari
manajemen berbasis madrasah (school based management) yang memberikan
otonomi kepada madrasah, dalam hal ini kepala madrasah yang mengelola
pendidikan dan penyelenggaraan belajar mengajar di madrasah. Masyarakat (community)
dalam pengertian ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu masyarakat biasa (general
public) dan masyarakat khusus (special public). Masyarakat biasa
yang secara struktural maupun fungsional memiliki keterlibatan khusus dengan
madrasah. Sedangkan masyarakat khusus adalah masyarakat yang sudah menjalin
kerja sama dengan pihak madrasah, seperti orang tua (wali murid), komite madrasah,
kelompok-kelompok donatur dan organisasai/instansi yang memiliki ikatan kerja
dengan madrasah.
Oleh karena itu dalam
menyelenggarakan pendidikan madrasah berbasis pesantren sangat perlu diperhatikan
tujuan yang sesuai dengan kepentingan madrasah tersebut. Jika kepentingan
masyarakat untuk mendirikan madrasah madrasah berciri khas pesantren, maka
untuk menyusun kurikulumnya perlu diperhatikan mengenai tujuan yang hendak
dicapai. Apakah akan menganut sistem pesantren salafiyah atau pesantren khalafiyah
(modern), hal itu bergantung dari kepentingan penyelenggara madrasah atau
yayasan bersangkutan.
Kurikulum pesantren yang dijadikan
sebagai ciri khas dan keunggulan madrasah dapat diakomodir melalui bentuk
kurikulum muatan lokal madrasah berbasis pesantren. Selain memberlakukan
kurikulum dari Diknas dan Depag, maka kurikulum pesantren (baik pesantren salaf
maupun modern) perlu dimasukkan dalam kurikuler, baik berupa intrakurikuler,
ekstrakurikuler maupun nonkulikuler.
Bentuk intrakurikuler seperti
layaknya kurikulum nasional, kegiatan ekstrakurikuler merupakan pengembangan
bakat, ketrampilan, kesenian dan olah raga, seperti seni baca al-Qur’an, tahfidz
al-Qur’ân, qasidah rebana, muhâdharah, kajian kitab kuning, marchingband,
olah raga, pramuka, seni bela diri (pencak silat), kursus komputer, kursus
bahasa Arab dan bahasa Inggris, sablon, tilawah al-Qur’ân, menjahit, dan
organisasi-organisasi ekstrakurikuler. Bentuk kegiatan kokurikuler merupakan
kegiatan rutinitas yang mendukung kurikulum nasional maupun lokal, seperti:
pembiasaan shalat berjamaah lima waktu dan shalat sunnah rawatib, shalat dhuha,
shalat tahajjud, shalat tasbih, istighasah, puasa sunnah, peringatan
PHBI, zakat fitrah, qurban, tahlil, zikir, shalawat al-barzanji,
pentas seni, berjilbab bagi siswa putri, memakai celana panjang dan peci bagi
siswa laki-laki, serta kegiatan-kegiatan lain yang bernuansa Islami selama 24
jam di lingkungan pesantren yang diatur dalam tata tertib.
Berkaitan dengan pelaksanaan konsep
pendidikan berbasis masyarakat (PBM) ada tiga pokok catatan yang perlu menjadi
perhatian penerapan tersebut di madrasah. Pertama, kemampuan ekonomi
masyarakat pendukung madrasah masih lemah. Kedua, madrasah terutama
madrasah swasta, dinaungi oleh yayasan yang acap kali berkultur sangat kaku dan
cenderung otoriter. Yayasan berlaku sebagai pemegang otoritas dalam pengelolaan
madrasah dalam arti yang luas. Ketiga, para pengelola madrasah kurang
memahami secara mendalam dan luas peran serta fungsi mereka.[xxxviii]
b.
Pinsip-prinsip
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Michael W. Galbraith
sebagaimana dikutip oleh Ardiani, pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1)
Self
determination (menentukan sendiri).
2)
Self
help (menolong diri sendiri).
3)
Leadership
development (pengembangan kepemimpinan)
4)
Localization (lokalisasi).
5)
Integrated
delivery of service (keterpaduan pemberian
pelayanan).
6)
Reduce
duplication of service. Pelayanan Masyarakat
seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber
daya manusia dalam lokalitas mereka dan mengkoordinir usaha mereka tanpa
duplikasi pelayanan.
7)
Accept
diversity (menerima perbedaan).
8)
Institutional
responsiveness (tanggung jawab kelembagaan).
3. Kurikulum Muatan Lokal
Berbasis Pesantren
Muatan lokal merupakan
kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri
khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat
dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan lokal
ditentukan oleh satuan
pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.[xl]
Salah satu ciri kurikulum
pendidikan dasar 9 tahun adalah adanya mata pelajaran muatan lokal, yang
berfungsi memberi peluang untuk mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap
perlu oleh madrasah dan daerah yang bersangkutan.[xli]
Fungsi kurikulum muatan lokal sebagaimana diungkapkan oleh Oemar Hamalik, bahwa sebagai komponen kurikulum, muatan lokal memiliki
fungsi: penyesuaian, integrasi, dan perbedaan.[xlii]
Tujuan muatan lokal sebagaimana
dijelaskan dalam (Depdiknas, 2007: 2), yaitu untuk memberikan bekal
pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka
memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat
sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung
kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Ruang lingkup muatan lokal
adalah sebagai berikut:
a) Lingkup
Keadaan dan Kebutuhan Daerah
b) Lingkup isi/jenis muatan lokal, dapat
berupa: bahasa daerah, bahasa asing (Inggris, Mandarin, Arab dll), kesenian
daerah, keterampilan
dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas
lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang
bersangkutan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah.[xliii]
Ada dua pola pengembangan mata pelajaran muatan
lokal dalam rangka menghadapi pelaksanaan KTSP. Pola tersebut adalah:
a) Pengembangan Muatan Lokal
Sesuai Kondisi Madrasah
b) Pengembangan Muatan Lokal
dalam KTSP
4. Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Implementasi menurut Tim Penyusun
Kamus PPPB, mempunyai arti pelaksanaan atau penerapan.[xliv]
Implementasi pada pengertian lain berarti suatu penerapan ide, konsep,
kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak,
baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap.[xlv]
Mengacu pada pengertian implementasi
kurikulum di atas, maka implementasi kurikulum muatan
lokal berbasis pesantren berarti suatu proses penerapan ide, konsep, dan
kebijakan kurikulum berbasis pesantren dalam suatu aktivitas pembelajaran,
sehingga akan terjadi perubahan-perubahan pada peserta didik sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki, sebagai hasil proses interaksi antara fasilitator
sebagai pengembang kurikulum dan peserta didik sebagai subjek belajar.
Implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren pada kenyataannya
mencakup tiga kegiatan pokok; yakni persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi.
E.
Analisis
Hasil Penelitian
Secara terperinci implementasi
kurikulum muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah bisa dianalisa
berdasarkan kenyataan yang ada, baik pada tahap persiapan, pelaksanaan maupun
evaluasinya.
1. Persiapan Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Pada tahap persiapan implementasi
kurikulum muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah ini, pihak yang
terlibat antara lain; 1) Guru/ustadz
pengampu mata pelajaran dan pembimbing santri di pesantren, 2) Kepala Madrasah,
3) Waka. Kurikulum, 4) Pimpinan Pesantren dan 5) Tim Khusus yang terdiri dari 8
orang anggota (Kepala Madrasah sendiri, Waka. Kurikulum dan Pengajaran, Waka.
Kesiswaan, Waka. Sapras, Waka. Tata Usaha, Waka. BP, Komite Madrasah, dan
Pengurus Yayasan).
Berdasarkan uraian di atas,
menunjukkan bahwa pihak masyarakat
biasa (general public) dan masyarakat khusus (special public)
sebagaimana dimaksud di atas telah dilibatkan dalam implementasi kurikulum
muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah. Meskipun hanya melibatkan
secara kolektif masyarakat, namun di antara kedelapan kelompok di atas telah
mewakili pihak masyarakat biasa maupun masyarakat khusus.
Meskipun dari keempat unsur tersebut
saling berkaitan dan sama-sama menentukan keberhasilan implementasi, namun
unsur guru sebagai pelaksana pembelajaran lebih urgens dalam menentukan
kesuksesannya dibanding unsur-unsur lain. Sebagaimana diketahui, bahwa secara
umum tugas guru ialah mencakup tiga jenis: tugas profesi, tugas kemanusiaan dan
tugas kemasyarakatan. Terkait dengan pelaksanaan tugas keprofesionalan guru
tersebut, maka perlu dikaji UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pasal 20, di antaranya guru wajib merencanakan, melaksanakan pembelajaran dan
mengevaluasi hasil pembelajaran.
Melihat tugas yang harus dilakukan
guru di atas, maka implementasi pada tahap pelaksanaan oleh guru di MTs Darul
Amanah telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Para
guru/ustadz pengajar muatan lokal intrakurikuler, ekastrakurikuler maupun
kokurikuler telah mengikuti prosedur tersebut di atas. Meskipun teknis
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajarannya berbeda-beda antara satu
dengan yang lain, namun pelaksanaannya mengikuti instruksi kepala MTs, Waka.
Kurikulum maupun pimpinan pesantren, setelah dilakukan rapat pembahasan
kurikulum melalui Tim Khusus.
Melalui Tim Khusus inilah rapat
pembahasan mengenai prosedur persiapan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum
diselenggarakan. Pada setiap penetapan berbagai elemen yang digunakan dalam
proses implementasi kurikulum oleh Tim Khusus di MTs Darul Amanah, menunjukkan
bahwa terdapat tahapan proses pembuatan keputusan yang meliputi: 1)
identifikasi masalah yang dihadapi (tujuan yang ingin dicapai), 2) pengembangan
setiap alternatif metode, evaluasi, personalia, anggaran dan waktu, 3) evaluasi
setiap alternatif tersebut, serta 4) penentuan alternatif yang paling baik.
Hasil nyata pada tahap ini adalah blue print (cetak biru) sebagai
rancangan final yang disepakati menjadi pedoman dalam pelaksanaan. Kemudian
Kepala Sekolah beserta Waka. Kurikulum mengadakan rapat koordinasi dengan para
guru dan staf lainnya yang berkompeten, untuk melakukan pembagian tugas sebelum
pelaksanaan implementasi kurikulum dimulai.
Berdasarkan deskripsi penemuan
lapangan pada bab sebelumnya, menunjukkan bahwa kegiatan perencanaan
implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah
melalui beberapa tahapan; 1) proses penentuan bentuk
muatan lokal, 2) menyiapkan perangkat kurikulum muatan lokal, dan 3) koordinasi
antara guru mata pelajaran, Waka. Kurikulum, Kepala Sekolah dan Pimpinan
Pesantren.
2. Pelaksanaan Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Pelaksanaan implementasi kurikulum
muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah ini telah dilakukan dengan
baik, meskipun masih terdapat beberapa kekurangan tertentu. Namun yang perlu
diketahui, bahwa tahap ini bertujuan untuk melaksanakan blue print yang disusun dalam fase perencanaan, dengan menggunakan
sejumlah teknik dan sumber daya yang ada dan telah ditentukan pada tahap
perencanaan sebelumnya. Jenis kegiatan kurikulum yang dilaksanakan meliputi
intrakurikuler, ekstrakurikuler dan kokurikuler. Bahkan sistem pelaksanaan pada
masing-masing kegiatan ini berbeda-beda satu sama lain.
Adapun teknik yang digunakan, alat
bantu yang dipakai, lamanya waktu pencapaian kegiatan, pihak yang terlibat,
jadwal yang ditetapkan, serta besarnya anggaran yang telah dirumuskan dalam
tahap perencanaan, diterjemahkan kembali dalam praktik di lingkungan MTs Darul
Amanah oleh para guru/ustadz dan staf
yang berkompeten.
Hasil dari pekerjaan ini adalah
tercapainya tujuan kegiatan yang telah ditetapkan. Secara umum, hasilnya akan
meningkatkan pemanfaatan dan penerapan kurikulum muatan lokal berbasis
pesantren ini. Oleh karena itu, apabila setiap evaluasi akhir tahun terdapat
muatan lokal tertentu yang harus diperbaiki, maka hal itu perlu dipertimbangkan
dalam rapat Tim Khusus.
Dengan demikian, tugas guru/ustadz di
MTs Darul Amanah yang paling utama ialah mengkondisikan lingkungan agar
menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Karena pada
hakikatnya pembelajaran sebagaimana diungkapkan oleh Oemar Hamalik[xlvi]
adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga
terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.
Pada tahap ini akan dideskripsikan
secara lebih detail mengenai pelaksanaan implementasi, baik persiapan para
pengajarnya maupun kegiatan pelaksanaannya. Sebab, pada tahap ini tugas guru
ialah melaksanakan pembelajaran muatan lokal baik di dalam kelas, pada kegiatan
ekstrakurikuler maupun kegiatan kokurikuler di pesantren selama 24 jam.
Pertama, persiapan para pengajarnya. Berkaitan dengan kegiatan
intrakurikuler, maka Kepala Sekolah dan Waka. Kurikulum mengadakan koordinasi
dengan seluruh guru pengampu untuk membahas teknik dan pembagian tugas,
terutama dalam menyusun silabus, standar kompetensi, kompetensi dasar,
menentukan metode, media, dan prosedur evaluasi. Semua itu disusun dalam bentuk
RPP. Sedangkan terkait dengan kegiatan
ekstrakurikuler, para guru yang berkompeten untuk merencanakan dan
mengembangkan secara mandiri. Adapun pada kegiatan kokurikuler seluruh rencana
dan prosedur kegiatan diatur oleh pimpinan pesantren, yang selanjutnya
dimusyawarahkan dengan Tim Khusus dan hasilnya dikoordinasikan dengan seluruh
guru atau staf yang terlibat dalam pelaksanaan di dalam lingkungan pesantren.
Kedua, pelaksanaan pembelajaran (proses pembelajaran) merupakan hal yang
sangat esensial. Keberhasilan kurikulum kuncinya terletak pada proses belajar
mengajar sebagai ujung tombak dalam mencapai sasaran. Sebagaimana diungkapkan
oleh Ali,[xlvii]
bahwa pelaksanaan pembelajaran seharusnya berpegang kepada apa yang telah
direncanakan. Namun kadang-kadang situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan
pembelajaran juga berpengaruh besar terhadap proses pembelajaran tersebut. Baik
situasi yang datang dari faktor guru itu sendiri, peserta didik, maupun faktor
kurikulum dan lingkungan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Nana
Sujana, bahwa pembelajaran mengandung pengertian sebagai perubahan dalam diri
seorang, baik perubahan yang ditunjukkan dari pengetahuan, pemahaman, sikap,
dan tingkah laku, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan
aspek-aspek lain yang diakibatkan dari belajar seseorang. Dengan demikian
ukuran keberhasilan pembelajaran tidak hanya diukur dengan nilai dan prestasi
yang tinggi saja, namun mencakup semua aspek penilaian sebagaimana arti
pembelajaran di atas.
Berkaitan dengan proses pembelajaran
muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah, baik pada kegiatan intrakurikuler,
ekstrakurikuler maupun kokurikuler, tentunya harus diperhatikan kompetensi yang
dimiliki oleh setiap element pelaksana. Hal ini perlu diperhatikan agar
tujuan pembelajaran benar-benar tercapai. Meskipun antara ketiga kegiatan
kurikuler tersebut memiliki perbedaan pada unsur pelaksananya maupun prosedur
pelaksanaannya.
Pada kegiatan intrakurikuler
ini merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas yang
penjatahan waktunya telah ditentukan dalam stuktur program, dan dilakukan pada
jam pelajaran setiap hari. Kegiatan pembelajaran ini sangat dipengaruhi oleh
faktor kurikulum yang digunakan, yaitu kurikulum pesantren (salafi dan modern),
faktor pendidiknya, dan faktor lingkungan pesantren.
Oleh sebab itu, proses pembelajaran
muatan lokal pada kegiatan intrakurikuler sudah mengikuti sistem modern
sebagaimana mata pelajaran yang lain, meskipun bentuk pelajarannya berasal dari
kurikulum pesantren salafi. Di mana para pendidik sudah menggunakan berbagai
strategi dan metode pembelajaran modern, serta media pembelajaran dan sarana
yang cukup memadai, sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya.
Setiap kali proses pembelajaran
selesai, guru selalu mengadakan evaluasi tidak tertulis berupa post test,
dengan melontarkan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh para peserta
didik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauhmana daya serap peserta
didik terhadap materi yang telah diajarkan, sebagai bahan evaluasi dalam proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan, dan sebagai bahan perencanaan
pembelajaran selanjutnya.
Pembagian waktu belajar kegiatan
intrakurikuler cukup terbatas, oleh karenanya dibutuhkan jam pelajaran yang
seimbang dan memadai. Pada kenyataannya, MTs Darul Amanah memadukan dua sistem
pendidikan, yaitu sistem pesantren dan sistem persekolahan, yang mempunyai
konsekwensi tersendiri. Di antara konsekwensinya ialah harus membagi waktu dari
sekian banyaknya mata pelajaran yang harus disampaikan kepada peserta didik.
Kegiatan ekstrakurikuler di MTs Darul
Amanah lebih ditekankan pada kegiatan kelompok yang dilakukan di luar jam
pelajaran pagi. Pelaksanaan kegiatan ini di samping harus memperhatikan minat
dan kemampuan peserta didik, juga harus mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
sosial masyarakat. Kegiatan ekstrakurikuler ini semuanya dilakukan dalam nuansa
yang Islami, meskipun bentuk kegiatannya tidak semua berkaitan dengan PAI,
seperti pramuka, seni bela diri, marcingband, komputer, menjahit dan
keputrian, namun semuanya dilaksanakan secara Islami sebagaimana halnya kegiatan-kegiatan
lain.
Adapun kegiatan ekstrakurikuler
secara keseluruhan yang ada hubungannya dengan PAI maupun tidak, antara lain:
1) Wajib diikuti oleh siswa/santri mukim (tidak
wajib bagi santri kalong), seperti: belajar al-Qur`an, amstilati dan kajian kitab kuning, mufradat (kosa kata bahasa Arab & Inggris), komputer,
pramuka, seni bela diri, seni baca al-Qur`an, mujahadah, kursus bahasa Arab dan bahasa Inggris. 2) Wajib bagi
semua santri, seperti: Muhadharah empat
bahasa (Arab, Inggris, Indonesia, Daerah/Jawa), Upacara tiga bahasa (Arab,
Inggris, Indonesia), dan PHBI. Sedangkan yang tidak wajib diikuti semua santri, seperti: Menjahit,
Tahfidz al-Qur`an, Club Bahasa,
Sablon, Rebana Modern, Marching Band,
Keputrian, Olah Raga, ATLADA, dan Perbengkelan Sepeda Motor.
Sedangkan pada kegiatan kokurikuler
dilaksankan untuk lebih mendalami dan menghayati materi pelajaran yang
telah dipelajari pada kegiatan intra-kurikuler yang dilaksankan di dalam kelas,
baik yang tergolong program inti maupun program khusus. Sebagaimana diungkapkan
oleh Nurgiantoro, bahwa kegiatan ini ada kalanya dilakukan secara berkelompok
ada kalanya secara perorangan.
Sebagai madrasah yang berada pada di
lingkungan pesantren, MTs Darul Amanah melaksanakan kegiatan kokurikulernya
lebih banyak berhubungan dengan pelajaran kepesantrenan, yang tidak memiliki kurikulum tertulis (hidden
curriculum), namun menjadi sebuah kelaziman bagi semua santri untuk
menjalankannya, dan dianjurkan untuk mengembangkannya sesuai dengan minat dan
bakat masing-masing santri.
Kokurikuler
ini merupakan bentuk ciri khas atau merupakan kegiatan yang diunggulkan oleh
MTs Darul Amanah. Adapun bentuk kokurikuler yang wajib diikuti oleh semua
santri (baik mukim atau pulang pergi) MTs Darul Amanah seperti: kewajiban berseragam busana muslimah bagi
santriwati dan memakai celana panjang setiap hari bagi santriwan serta
dilengkapi peci/kopiah pada hari Sabtu dan Ahad, membaca do’a dan asma’
al-husna bersama sebelum dimulainya pembelajaran di kelas, dan menutupnya
dengan do’a pula, kemudian kewajiban melaksanakan shalat maktubah secara
berjama’ah, kewajiban berbicara dengan bahasa Indonesia (dilarang berbahasa
daerah) serta dianjurkan berbahasa Arab dan Inggris ketika di kelas pagi,
latihan berorganisasi, seperti OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), OSDA
(Organisasi Santri Darul Amanah), Pramuka, PERSIDA (Persatuan Silat Darul
Amanah), dan Orda (Organisasi Daerah).
Bentuk
kokurikuler yang dilakukan oleh santri mukim MTs Darul Amanah antara lain:
berbicara dengan bahasa Arab dan Inggris, shalat maktubah secara
berjama’ah, kajian al-Qur’an dan kitab kuning setiap pagi dan malam, muhadatsah/conversation
setiap pagi, pembacaan asma’ al-husna, tahlil, dan yasin
berjama’ah setiap malam Jum’at ba’da Maghrib dan muhadharah ba’da Isya, pembacaan al-Barzanji setiap malam
Senin, shalat sunnat rawatib, dhuha, tahajjud, dan shalat sunnat lain, mujahadah
pada hari-hari tertentu, dianjurkan menjalankan puasa sunnat (seperti puasa
Senin dan Kamis, puasa Dawud, dan lain-lain), serta peringatan hari besar Islam
(PHBI) yang didahului perlombaan sesuai dengan bakat santri dan dilanjutkan
dengan pentas seni dan ceramah agama.
Berdasarkan deskripsi di atas,
praktik kegiatan kokurikuler di MTs Darul Amanah termasuk ke dalam hidden
curriculum (kurikulum tersembunyi), sebagaimana diungkapkan oleh Nasution[xlviii]
yakni merupakan aturan tidak tertulis di
kalangan para peserta didik yang turut mempengaruhi suasana pembelajaran dalam
kelas.
3. Evaluasi Implementasi Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Secara garis besar,
pada tahap ini bertujuan untuk melihat dua hal. Pertama, melihat proses pelaksanaan yang
sedang berjalan sebagai fungsi kontrol, apakah pelaksanaan evaluasi telah
sesuai dengan rencana, dan sebagai fungsi perbaikan jika selama proses terdapat
kekurangan. Kedua, melihat hasil
akhir yang dicapai. Hasil akhir ini merujuk pada kriteria waktu dan hasil yang
dicapai dibandingkan dengan proses perencanaan. Evaluasi di MTs Darul Amanah
ini dilaksanakan oleh Tim Khusus, menggunakan suatu metode, sarana dan prasarana,
anggaran personal, dan waktu yang ditentukan dalam tahap perencanaan. Berkaitan
dengan tujuan tersebut, maka evaluasi implementasi kurikulum muatan lokal
berbasis pesantren di MTs Darul Amanah bisa dianalisa sebagai berikut:
Pertama, Waktu Pelaksanaan Evaluasi. Pelaksanaan
evaluasi di MTs Darul Amanah biasanya dilakukan setidaknya setahun dua kali. Di
mana sebelum dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
kurikulum selama satu semester, satu tahun pelajaran maupun pada akhir
periode satuan pendidikan, perlu dievaluasi terlebih dahulu proses interaksi
pembelajaran pada masing-masing mata pelajaran di kelas maupun kegiatan
ekstrakurikuler dan kokurikuler kepesantrenan.
Evaluasi kegiatan intrakurikuler yang
dilakukan oleh masing-masing guru pengampu di kelas berupa penilaian formatif
dan sumatif, yang mencakup penilaian keseluruhan secara utuh untuk keperluan
evaluasi pelaksanaan kurikulum. Pada praktiknya evaluasi atau penilaian yang
dilakukan adalah penilaian berbasis kelas (PBK) sebagaimana dijelaskan oleh
Masnur Muslich[xlix]
ialah penilaian yang dilaksanakan secara
terpadu dalam kegiatan pembelajaran yaitu suatu kegiatan pengumpulan informasi
tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru yang
bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan mengukur apa yang hendak diukur
dari peserta didik.
Setelah evaluasi suatu kegiatan
pembelajaran mata pelajaran muatan lokal tertentu selama kurun waktu satu
semester, satu tahun atau akhir program pendidikan, maka pelaksanaan evaluasi
selanjutnya ialah dilaksanakan oleh Tim Khusus yang membahas tentang persiapan
maupun pelaksanaan kurikulum yang telah selesai dilakukan. Baik dilaksanakan setelah ujian akhir semester, setelah ujian akhir tahun
maupun setelah ujian akhir program pendidikan.
Evaluasi ini dilakukan oleh Tim
Khusus sebagai usaha untuk mengetahui pencapaian hasil pembelajaran atau
prestasi yang diperoleh para santri setelah kurun waktu tertentu. Apakah telah
memenuhi tujuan yang telah direncanakan sebelumnya, atau bahkan sebaliknya. Oleh
karena itu akan diketahui kendala-kendala yang dihadapinya, dan selanjutnya
dicari solusi penyelesaian secara tepat. Melalui kajian yang mendalam ini, akan
memunculkan ide-ide dan kebijakan untuk pelaksanaan pembelajaran selanjutnya.
Dengan demikian dapat diketahui,
apakah mata pelajaran tertentu pada kegiatan intrakurikuler akan dilanjutkan,
ditingkatkan, direvisi atau bahkan diganti dengan yang lainnya, hal ini dikaji
pada akhir kegiatan evaluasi oleh Tim Khusus di MTs Darul Amanah sebagai bahan
pijakan perencanaan dan pengembangan kurikulum pada periode selanjutnya.
Begitu halnya dengan kegiatan
ekstrakurikuler dan kokurikuler, Tim Khusus Darul Amanah ini juga mengkajinya
secara cermat, apakah prestasi kegiatan-kegiatan ini meningkat atau justru
menurun, apakah santri semakin memiliki perilaku dan sikap islami sebagaimana
tujuan yang telah dirancang sebelumnya.
Kedua, Pelaksana Evaluasi. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya,
bahwa pelaksana evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kurikulum muatan
lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah Sukorejo oleh Tim Khusus, yang
terdiri dari 8 orang anggota sebagaimana tersebut di atas. Tim Khsus ini
bertugas melakukan perencanaan program kerja, mengevaluasi kurikulum, serta
pengembangan kurikulum secara menyeluruh.
Ketiga, Materi Evaluasi. Materi evaluasi implementasi
kurikulum muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah ialah melihat
hasil yang diperoleh sejak tahap persiapan, pelaksanaan hingga evaluasi.
Evaluasi terhadap persiapan
dilakukan terhadap kinerja Waka. Kurikulum dan Pengajaran, guru mata pelajaran,
guru pengajar ekstrakurikuler, guru pengajar kitab kuning, dan guru
pembimbing kegiatan pesantren selama 24 jam. Hal ini dilakukan agar pada tahap
persiapan ini bisa diketahui kendala persiapan dan solusinya.
Adapun evaluasi terhadap pelaksanaan
implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren yang dilakukan ialah
berkenaan dengan praktik pembelajaran, baik pada kegiatan intrakurikuler,
ekstrakurikuler, maupun kokurikuler. Dengan demikian, dapat diketahui
evektifitas penggunaan metode dan media, penguasaan materi, keaktifan siswa,
pelaksanaan evaluasi serta prestasi yang dihasilkan siswa pada tahap dan
jenjang tertentu.
Pelaksanaan pembelajaran berserta
evaluasinya ini dikaji oleh Tim Khusus terutama mengenai kinerja para pendidik
dalam melaksanakan tugasnya. Ada
dua jenis evaluasi yang dilakukan oleh para guru dalam kegiatan intrakurikuler,
yaitu: evaluasi formatif (penilaian proses) yakni penilaian yang dilakukan pada
saat berlangsungnya suatu program. Tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki
beberapa kelemahan sesegera mungkin tanpa menunggu program tersebut selesai
dilaksanakan. Serta evaluasi sumatif (penilaian hasil), yakni penilaian
terhadap hasil dari suatu program unit pelajaran tertentu. Tujuannya adalah
untuk menilai keberhasilan suatu program dilihat dari tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya.
Evaluasi ini dilakukan dengan
menggunakan tes tertulis berupa soal-soal, baik pilihan ganda, uraian maupun
soal test lisan dan praktik. Soal-soal ini dibuat langsung oleh guru-guru yang
berkompeten. Selanjutnya dilakukan editing oleh Kepala Sekolah dan Waka. Bidang
Kurikulum. Pada evaluasi sumatif mata pelajaran muatan lokal, pelaksanaannya
sama dengan pelajaran-pelajaran lain, yaitu dilakukan melalui tiga tahap: ujian
tengah semester, akhir semester dan ujian akhir sekolah, yang dilaksanakan
setelah selesai program pembelajaran secara keseluruhan.
Pada tahap evaluasi
implementasi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren ini materinya mengenai
penilaian secara keseluruhan proses implementasi. Terutama dalam hal ini
kinerja Tim Khusus dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan penilaian
terhadap seluruh rangkaian pelaksanaan kurikulum secara komprehensif di MTs
Darul Amanah. Oleh karena itu, selanjutnya dihasilkan kebijakan-kebijakan baru
untuk melaksanakan kurikulum muatan lokal berbasis pesantren secara baik,
efektif dan efisien di masa mendatang.
F.
Penutup
Implementasi kurikulum muatan lokal
berbasis pesantren merupakan penerapan atau pelaksanaan program kurikulum
muatan lokal berbasis pesantren yang telah dikembangkan dalam tahap persiapan,
kemudian diujicobakan melalui pelaksanaan dengan pengelolaan, penyesuaian
terhadap situasi lapangan dan karaksional, serta fisiknya.
Hasil dari
implementasi kurikulum muatan lokal ini adalah pengembangan
madrasah dengan nuansa pesantren yang bersifat fisik dan atau nuansa
yang bersifat nonfisik. Nuansa fisik pesantren yang khas di antaranya ialah
adanya masjid, asrama/pondok, kyai dan kitab-kitab agama Islam, serta adanya
kegiatan keagamaan yang rutin seperti shalat berjamaah lima waktu dan
pembelajaran agama secara rutin. Sedangkan nuansa non fisik pesantren adalah
adanya pengembangan nilai-nilai pesantren seperti adanya keramahan, kesahajaan
(kesederhanaan), keikhlasan, keakraban dan kerukunan dari segenap unsur lain pesantren,
yaitu kemandirian, belajar tuntas, tanggung jawab dan ketaatan pada norma-norma
agama yang berlaku dalam lingkungan pendidikan pesantren.
Strategi
penerapan kurikulum muatan lokal berbasis pesantren di MTs Darul Amanah ialah
menerapkan pendidikan agama Islam secara penuh, dengan model pesantren dimunculkan bersamaan dengan pengembangan
madrasah. Implementasinya dalam bentuk intrakurikuler,
ekstrakurikuler maupun kokurikuler, yang mengikuti kurikulum pesantren salafi maupun pesantren
modern.
1.
Persiapan
Implementasi
Pada tahap persiapan implementasi kurikulum muatan lokal berbasis
pesantren di MTs Darul Amanah ini, pihak yang terlibat antara lain; 1)
Guru/ustadz pengampu mata pelajaran dan pembimbing santri di pesantren, 2)
Kepala Madrasah, 3) Waka. Kurikulum, 4) Pimpinan Pesantren dan 5) Tim Khusus
yang terdiri dari 8 orang anggota (Kepala Madrasah sendiri, Waka. Kurikulum dan
Pengajaran, Waka. Kesiswaan, Waka. Sapras, Waka. Tata Usaha, Waka. BP, Komite
Madrasah, dan Pengurus Yayasan).
Tahapan proses pembuatan keputusan oleh Tim Khusus di MTs Darul
Amanah meliputi: 1) identifikasi masalah yang dihadapi (tujuan yang ingin
dicapai), 2) pengembangan setiap alternatif metode, evaluasi, personalia,
anggaran dan waktu, 3) evaluasi setiap alternatif tersebut, serta 4) penentuan
alternatif yang paling baik.
Hasil nyata pada tahap ini adalah blue print (cetak biru)
sebagai rancangan final yang disepakati menjadi pedoman dalam pelaksanaan.
Kemudian Kepala Sekolah beserta Waka. Kurikulum mengadakan rapat koordinasi
dengan para guru dan staf lainnya yang berkompeten, untuk melakukan pembagian
tugas sebelum pelaksanaan implementasi kurikulum dimulai.
Secara umum, kegiatan perencanaan ini dilaksanakan melalui tiga
tahapan, yaitu: 1) proses penentuan bentuk muatan lokal, 2) menyiapkan
perangkat kurikulum muatan lokal, dan 3) koordinasi antara guru mata pelajaran,
Waka. Kurikulum, Kepala Sekolah dan Pimpinan Pesantren.
2.
Pelaksanaan
Implementasi
Tahap ini bertujuan untuk
melaksanakan blue print yang disusun dalam fase perencanaan, dengan
menggunakan sejumlah teknik dan sumber daya yang ada dan telah ditentukan pada
tahap perencanaan sebelumnya. Jenis kegiatan kurikulum yang dilaksanakan meliputi
intrakurikuler, ekstrakurikuler dan kokurikuler.
Hasil dari pekerjaan ini adalah
tercapainya tujuan kegiatan yang telah ditetapkan. Secara umum, hasilnya akan
meningkatkan pemanfaatan dan penerapan kurikulum muatan lokal berbasis
pesantren ini. Oleh karena itu persiapan para pengajarnya maupun kegiatan
pelaksanaannya sangat menentukan keberhasilan. Sebab, pada tahap ini tugas guru
ialah melaksanakan pembelajaran muatan lokal baik di dalam kelas, pada kegiatan
ekstrakurikuler maupun kegiatan kokurikuler di pesantren.
3.
Evaluasi
Implementasi
Secara garis besar tahap
ini untuk melihat dua hal. Pertama, melihat proses pelaksanaan yang
sedang berjalan sebagai fungsi kontrol, apakah pelaksanaan evaluasi telah
sesuai dengan rencana, dan sebagai fungsi perbaikan jika selama proses terdapat
kekurangan. Kedua, melihat hasil akhir yang dicapai. Hasil akhir ini
merujuk pada kriteria waktu dan hasil yang dicapai dibandingkan dengan proses
perencanaan. Evaluasi di MTs Darul Amanah ini dilaksanakan oleh Tim Khusus, menggunakan
suatu metode, sarana dan prasarana, anggaran personal, dan waktu yang
ditentukan dalam tahap perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anur, Fadliy, 2007, Pendidikan Berbasis
Masyarakat (Community Based Education) http://fadliyanur.multiply.com/journal/item/32
Aziz, Abdul, An. Dirjend Bimbaga
Islam RI, 2005, Kata Sambutan, dalam Ahmad Zayadi, "Desain
Pengembangan Madrasah", Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam.
Bloom, B.S., 1956, Toxonomy of
Educational Objectives, the Classification of Educational Goals, Hand Book I:
Cognitive Domain. New York:
Long mans, Green and Co.
Darmuin, 1998, Prospek
Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah,
dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, ”PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses
Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja
sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang.
Dauly, Haidar Putra,
2001, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet I.
Dawam, Ainurrafiq, dkk., 2005, Manajemen
Madrasah Berbasis Pesantren, Sapen: Listafariska Putra.
Depdiknas, 2003, Sistem
Penilaian Kelas, Jakarta:
Dirjend Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Depdiknas.
_______, 2007, Model Pengembangan
Mata Pelajaran Muatan Lokal SD/MI/SDLB - SMP/MTS/SMPLB – SMA/MA/SMALB/SMK,
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Jakarta.
Dhofier,
Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES.
Fadjar, A. Malik,
1999, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan bekerjasama dengan YASMIN
Bogor.
Hadara, Ali, Pelajaran
Muatan Lokal, Makalah disampaikan pada Kongres Kebudayaan V Tahun 2003,
Bukittinggi, 20-23 Oktober 2003.
Hamalik, Oemar, 2007, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Hasbullah, 1996, Kapita
Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
Madjid,
Nurcholis, 1997, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Penerbit
Paramadina.
Masyhud, Sulthon,
dkk., 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta:
Diva Pustaka dan Depag RI.
Misyanto, 2004, Pendidikan Berbasis Masyarakat (community based education) Menuju Madrasah Unggul, Thesis, Pasca Sarjana, UNISMA, Malang.
Muhaimin, 2003, Arah Baru
Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga
Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung:
Yayasan Nuansa Cendekia.
Muhtarom, H.M., 2005, Reproduksi
Ulama di Era Globalisasi, Resistensi Tradisional Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mujib, Abdul dan Jusuf
Mudzakkir, 2006, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Mulyasa,
Ecols, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik dan
Implementasi, Bandung:
P.T. Remaja Rosdakarya.
Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif.
Mursyid, Ali, 2007, Urgensi Penguatan Civic Education Bagi Kalangan Madrasah,
blogspot.com/2007.
Muslich, Masnur, 2007, KTSP; Dasar Pemahaman dan
Pengembangan Pedoman bagi Pengelola Lembaga Pendidikan, Pengawas Sekolah,
Kepala Sekolah, Dewan Sekolah, dan Guru, Jakarta: Bina Aksara
Nasution,
S., 1990, Pemngembangan Kurikulum,
Bandung: Citra
Aditya Bakti
Nata, Abuddin, 2005, Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rahardjo, Dawam (ed), 1983, Pesantren
dan Pembaharuan, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan Pendidikan,
Ekonomi dan Sosial.
Sarijo, M.,
1980, Sejarah Pondok Pesantren
di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.
Steenbrink,
Karel A., 1986, Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, Jakarta. LP3ES.
Tim
Penyusun Kamus PPPB Depdikbud, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penyusun, 2006, Pedoman
Penilaian Kelas KTSP, TK-SD-SMP-SMA-SMK, MI-MTs-MA-MAK Dilengkapi
Penyusunan KTSP, Jakarta:
BP. Cipta Jaya.
Tim Penulis Depdiknas, 2003, Sistem
Penilaian Kelas, Jakarta:
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bandung: Citra Umbara, 2003.
Usman, Moh.
Uzer, 2001, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
SINOPSIS
IMPLEMENTASI KURIKULUM MUATAN LOKAL
BERBASIS PESANTREN
DI MTS DARUL AMANAH SUKOREJO KENDAL
Diajukan sebagai Persyaratan untuk
Memperoleh Gelar Magister Studi Islam
Oleh
AHMAD MUSTAFIDIN
NIM 065112006
PROGRAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
2008
2.
HIS (Hollandsch-Inlandsche School) misalnya, merupakan
sekolah yang mempunyai kurikulum 7 tahun ini, diperuntukkan bagi murid-murid
Indonesia yang berasal dari kalangan keluarga terkemuka baik dari segi jabatan,
keturunan, penghasilan maupun pendidikan. Selain HIS, terdapat “sekolah desa”
yang merupakan bentuk sekolah dasar selama 3 tahun, pengajarannya diberikan
dalam bahasa Indonesia.
Setelah sekolah desa, semenjak tahun 1921 murid juga dapat masuk ke Schakelschool
yang memiliki kurikulum 5 tahun dan lulusan sekolah ini mempunyai
kesempatan sama dengan murid lulusan HIS (lihat: Karel A. Steenbrink, Pesantren,
Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. 24-25.
4.
Pada sisi
lain terdapat reaksi dari sistem pendidikan tradisional terhadap pendidikan
Barat. Reaksi tersebut bermacam-macam bentuknya seperti menolak, persaingan
maupun imitasi yang terlalu cepat. Pada perkembangan berikutnya terjadi
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia pada abad ke-20 yang dipelopori oleh
beberapa tokoh, Ibid., hlm. 25.
7.
[vii] SKB Tiga Menteri ini adalah kesepakatan
antara: Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri dalam
Negeri, yang dilakukan pada tahun 1975 tentang peningkatan mutu
pendidikan pada madrasah, lihat: A. Malik Fadjar, loc.cit..
9. Darmuin, Prospek
Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Madrasah,
dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, ”PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses
Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja
sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang, 1998.
14.
Nuansa
fisik pesantren di antaranya terdapat masjid, asrama/pondok, kyai (ustadz),
kitab agama Islam (kitab kuning), kegiatan keagamaan seperti shalat
berjamaah, pakaian, simbol-simbol, pembacaan al-Qur’an, majelis dzikir,
tahajjud, serta kegiatan keagamaan lainnya. Nuansa yang nampak pada pesantren
tersebut merupakan suatu ciri khas lembaga pendidikan Islam pesantren yang ada
di Indonesia.
Meskipun masih banyak lagi nuansa fisik yang berkembang sesuai dengan kondisi
dan situasinya masing-masing, namun secara umum memiliki ciri khas yang sama.
21.
Dalam visi
ini madrasah mempunyai dua keuntungan dari kedua sistem tersebut, yaitu upaya
menghilangkan kelemahan-kelemahan tiap sistem, dan adanya adaptifikasi
metodologi dan ide ideal Barat sekuler, serta adanya sumber pendidikan yang
tidak hanya diperoleh dari dana wakaf tapi juga dari pemerintah setempat,
karena pemerintah menyetujui kebijakan-kebijakan baru yang telah diambil dan
dilaksanakan oleh lembaga pendidikan madrasah tersebut Ibid.
24.
Lebih
lanjut dikatakan bahwa pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan
dan keagamaan yang ada di Indonesia.
Secara lahiriah, pesantren pada umumnya merupakan suatu komplek bangunan yang
terdiri rumah kyai, masjid, pondok tempat tinggal para santri dan ruangan
belajar. Di sinilah para santri tinggal selama beberapa tahun belajar langsung
dari kyai dalam hal ilmu agama. Meskipun dewasa ini pesantren telah tumbuh dan
berkembang secara bervariasi (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 18.
26.
Karakter
pesantren tradisional dapat dilihat dari beberapa dimensi yang mencakup
dimensi: 1) Institutional, yaitu sebagai educational institution asli
Indonesia/Jawa dan memiliki hikmah (etos) keilmuan yang tinggi, 2) Historic
Conventional, yaitu memiliki tugas menyebarkan Islam dan menanamkan tauhid
dan nilai-nilai moral. Para penyiar Islam, selain berdagang juga punya misi
dakwah, 3) Cultural Adaptif, yaitu kemampuan beradaptasi dengan
kemajemukan masyarakat dan responsive terhadap kemunculan kebutuhan masyarakat
dan santri (Lihat: Muhtarom H.M., Reproduksi Ulama
di Era Globalisasi, Resistensi Tradisional Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
28.
Istilah
yang dipakai tidak seperti pesantren pada umumnya, memakai kata “pesantren” ,
namun menggunakan istilah “pondok modern” Gontor Ponorogo. Salah satu alasannya
ialah karena tidak memakai kitab klasik (kitab kuning) sebagai ciri khas
pesantren pada umumnya, namun menggunakan kitab-kitab modern.
29. Pesantren
salafiyah adalah pesantren yang menyelenggarakan pengajaran al-Qur’an
dan ilmu-ilmu agama Islam dan berlangsung sejak awal pertumbuhannya.
Pembelajaran secara non-klasikal atau dengan klasikal. Jenis
pesantren ini pun dapat meningkat dengan membuat kurikulum sendiri, penjenjangan
dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun
(tema kitab) yang sama, setelah tamatnya suatu kitab. Para santri bisa tinggal di
asrama (mukim), dan dapat juga tinggal di luar lingkungan pesantren (santri
kalong). (Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Dirjend Pendidikan Islam, 2003, hlm. 41.
30.
Pesantren khalafiyah
(ashriyah) adalah pesantren yang
selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah), baik
itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU clan SMK), maupun jalur sekolah berciri
khas agama Islam (MI, MTs, MA atau MAK). Biasanya kegiatan pembelajaran
kepesantrenan pada tipe ini memiliki kurikulum yang klasikal dan berjenjang,
dan bahkan pada sebagian kecil pesantren pendidikan formal yang
diselenggarakannya berdasarkan pada kurikulum mandiri, bukan dari Diknas atau Depag.
Pesantren ini mungkin dapat pula dikatakan sebagai pesantren salafiah plus,
yakni yang menambah lembaga pendidikan formal dalam pendidikan dan
pengajarannya. Penjenjangan dapat dilakukan berdasarkan pada sekolah formalnya
atau berdasarkan pengajiannya (seperti pada pesantren salafiah). Lihat: Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 41.
34.
Fadliy Anur, Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community
Based Education) Multiply.Com/Journal,
2007, hlm. 1.
36.
Michael W.
Galbraith, sebagaimana dikutip oleh Ardiani, Pendidikan Berbasis Masyarakat, 2006, hlm. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda