PELAKSANAAN PEMBELAJARAN SKI
PADA MADRASAH TSANAWIYAH DAN PROBLEMATIKANYA
(Studi Kasus pada MTs Negeri Kendal)
Oleh: Agus Supariadi [1]
Abstrak : Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi, yang difokuskan pada
permasalahan bagaimana pelaksanaan pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal telah
dilakukan dan faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung dan menghambat pelaksanaan
pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal.
Berdasarkan analisis deskriptif kualitatif ini dihasilkan temuan
bahwa:
Pertama;
pelaksanaan pembelajaran SKI telah berjalan sesuai dengan hakikat suatu
pembelajaran yang merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan
antara perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program pembelajaran dengan
memperhatikan; hakikat, fungsi, prinsip dan cara pengembangan, pendekatan,
model, strategi, metode, teknik dan taktik dalam pembelajaran. Walaupun dalam
praktek pelaksanaannya terkadang masih terjebak dalam penggunaan metode yang
monoton, kurang menarik dan kurang variatif, bahkan peran guru cenderung lebih
mendominasi dari pada peran peserta didik.
Kedua; dalam pelaksanaan pembelajaran SKI ditemukan faktor-faktor yang
dapat mendukung pelaksanaan pembelajaran SKI tersebut, yaitu; (1) Guru;
kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru SKI cukup memadai, (2) Peserta
didik; dengan jumlah yang cukup besar menjadi potensi dalam pembelajaran SKI
untuk penyebarluasan semangat pembelajaran SKI, (3) Prasaran; cukup dapat
dimanfaatkan, dan (4) Lingkungan; sangat kondusif untuk mendukung pembelajaran
SKI. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembelajaran SKI,
yaitu; (1) Kurikulum; materi pokok masih terlalu banyak/luas bahasannya, (2)
Sarana; khusus sumber belajar baik buku maupun alat peraga untuk SKI belum
memadai, dan (3) MGMP; musyawarah guru mata pelajaran yang ada belum secara
maksimal berjalan sesuai dengan fungsi dan tujuan MGMP di MTs Negeri Kendal.
Kata Kunci :
Pelaksanaan pembelajaran, SKI, Madrasah
Tsanawiyah, faktor-faktor pendukung, faktor-faktor penghambat.
A. Pendahuluan
Mata pelajaran
Sejarah Kebudayaan Islam (untuk selanjutnya disingkat SKI), dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah
menjadi salah satu bagian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di samping mata
pelajaran Qur’an Hadits, Fiqih, dan Aqidah Akhlaq.
Pembelajaran SKI diarahkan untuk menyiapkan
peserta didik agar mengenal, memahami, dan menghayati Sejarah Kebudayaan Islam,
yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengamatan dan pembiasaan.[2]
Tujuan pembelajaran SKI di Madrasah
Tsanawiyah adalah untuk:
1. Memberikan pengetahuan tentang sejarah agama
Islam dan kebudayaan Islam kepada
peserta didik, agar memiliki data yang obyektif dan sistematis tentang sejarah;
2. Mengapresiasikan dan mengambil ibrah, nilai
dan makna yang terdapat dalam sejarah;
3. Menanamkan
penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai Islam berdasarkan cermatan atas
fakta sejarah yang ada;
4. Membekali peserta didik untuk membentuk
kepribadiannya melalui imitasi terhadap
tokoh-tokoh teladan sehingga terbentuk kepribadian yang luhur.[3]
Namun pada kenyataannya menurut
Suharya, pelajaran ilmu pengetahuan sosial, khususnya sejarah (termasuk SKI),
sering disebut sebagai pelajaran hafalan dan membosankan.
Pembelajaran sejarah ini (termasuk
SKI) dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang
harus diingat kemudian diungkapkan kembali pada saat menjawab soal ujian.
Kenyataan itu tidak dapat dimungkiri, karena memang hal
semacam itu masih terjadi sampai
sekarang. Akibatnya, pelajaran sejarah kurang diminati dan dianggap sebagai
pelajaran ringan. Padahal, hakikat pembelajaran sejarah (termasuk SKI) bukan
semata-mata peserta didik harus hafal fakta dan angka tahun saja, melainkan
menjadikan peserta didik mampu mengenal jati dirinya melalui penemuan
nilai-nilai positif yang harus diteladani dan nilai-nilai negatif yang harus
ditinggalkan dan tidak terulangi.[4]
Berdasarkan hasil penelitian awal yang kami lakukan di
Madrasah Tsanawiah (MTs) Negeri Kendal menunjukkan, bahwa pembelajaran SKI belum
sepenuhnya sesuai antara harapan yang diinginkan secara ideal sebagaimana
tujuan pembelajaran SKI dengan kenyataan yang ada, misalnya:
Pertama; prestasi hasil
belajar SKI peserta didik secara rata-rata masih jauh di bawah rata-rata mata
pelajaran lain yang serumpun (Qur’an Hadits, Fiqih dan Aqidah Akhlaq). Berikut
data nilai ujian akhir MTs Negeri Kendal
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam lima tahun terakhir:[5]
Tahun
Pelajaran
|
Mata Pelajaran
|
|||
Qur’an Hadits
Nilai
Rata-Rata
|
Fiqih
Nilai
Rata-Rata
|
Aqidah Akhlaq
Nilai
Rata-Rata
|
SKI
Nilai
Rata-Rata
|
|
2002/2003
|
7,91
|
7,64
|
8,29
|
7,53
|
2003/2004
|
8,03
|
7,02
|
7,60
|
6,18
|
2004/2005
|
7,25
|
6,59
|
7,17
|
5,21
|
2005/2006
|
8,34
|
7,19
|
7,40
|
6,25
|
2006/2007
|
8,73
|
7,40
|
8,05
|
6,45
|
Kedua; masalah afeksi
peserta didik (penghayatan) terhadap pembelajaran SKI serta aspek psikomotor
peserta didik yang tampak dalam kepribadian sehari-hari dalam tingkah lakunya,
belum tampak signifikan sesuai harapan. Misalnya, pembiasaan hidup taat dan
patuh, pembiasaan hidup bersih dan sehat, pembiasaan hidup disiplin, pembiasaan
hidup mandiri, pembiasaan hidup rajin dan giat, dan lainnya, belum sepenuhnya
termotivasi dari dalam dirinya sendiri, melainkan masih menunggu perintah atau
anjuran dari luar dirinya yaitu para guru.
Ketiga; persepsi peserta
didik, masih ada sebagian peserta didik beranggapan bahwa pembelajaran SKI
seolah-olah hanyalah masalah hafalan belaka yang cenderung membuat peserta
didik merasa kurang tertarik, menjemukan atau membosankan.
Keadaan yang demikian tersebut
menjadi menarik untuk diteliti. Melalui judul “Pelaksanaan Pembelajaran SKI
pada Madrasah Tsanawiyah dan Problematikanya (Studi Kasus pada MTs Negeri
Kendal)”, akan diteliti bagaimana
sesungguhnya yang terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran SKI di MTs
Negeri Kendal tersebut.
B. Pendekatan dalam Pembelajaran
Pandangan mengenai konsep
pembelajaran terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan
kemajuan ilmu dan teknologi pendidikan. Tanda-tanda perkembangan tersebut dapat
diamati berdasarkan pengertian-pengertian yang disajikan pada uraian berikut
ini:
1.
Pembelajaran
sama artinya dengan kegiatan mengajar. Kegiatan mengajar dilakukan oleh guru
untuk menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. Dalam konsep ini, guru
bertindak dan berperan aktif, bahkan sangat menonjol dan bersifat menentukan
segalanya. Pembelajaran sama artinya dengan perbuatan mengajar.
2.
Pembelajaran
merupakan interaksi mengajar dan belajar. Pembelajaran berlangsung sebagai
suatu proses saling mempengaruhi dalam bentuk interaksi antara guru dan peserta
didik. Guru bertindak sebagai pengajar, sedangkan peserta didik berperan
sebagai yang melakukan perbuatan belajar. Guru dan peserta didik menunjukkan
keaktifan yang seimbang sekalipun peranannya berbeda namun terkait satu dengan
yang lainnya.
3.
Pembelajaran
sebagai suatu sistem. Pengertian pembelajaran pada hakikatnya lebih luas dan
bukan hanya sebagai suatu proses atau prosedur belaka. Pembelajaran adalah
suatu sistem yang luas, yang mengandung dan dilandasi oleh berbagai dimensi,
yakni; (1) Profesi guru, (2) Perkembangan dan pertumbuhan peserta didik, (3)
Tujuan pendidikan dan pembelajaran, (4) Program pendidikan dan kurikulum, (5)
Perencanaan pembelajaran, (6) Strategi belajar mengajar, (7) Media
pembelajaran, (8) Bimbingan belajar, (9) Hubungan antara sekolah dan
masyarakat, (10) Manajemen pendidikan/kelas.[6]
Pendekatan sistem yang diterapkan
dalam pembelajaran bukan saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga sesuai dengan perkembangan dalam psikologi belajar
sistemik, yang dilandasi oleh prinsip-prinsip psikologi behavioristik dan
humanistik, serta sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat sendiri.
Aspek-aspek pendekatan sistem
pembelajaran meliputi aspek filosofis dan aspek proses. Aspek filosofis
yaitu pandangan hidup yang melandasi
sikap si perancang sistem yang terarah pada kenyataan, sedangkan aspek proses
yaitu suatu proses dan suatu perangkat alat konseptual.
Inti dari suatu sistem filosofis
ialah suatu keseluruhan yang terdiri dari sejumlah komponen yang saling
berinteraksi dan saling bergantungan satu dengan yang lainnya.[7]
Sedangkan perangkat alat konseptual
atau teknik dalam pendekatan sistem ialah berupa kemampuan-kemampuan merumuskan
tujuan secara operasional, mengembangkan deskripsi tugas-tugas secara lengkap
dan akurat, dan melaksanakan analisis tugas-tugas.[8]
Pendekatan sistem pembelajaran
mempunyai dua ciri utama, yakni:
1. Pendekatan
sistem sebagai suatu pandangan tertentu mengenai proses pembelajaran di mana
berlangsung kegiatan belajar mengajar, terjadinya interaksi antara peserta
didik dan guru, dan memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk belajar
secara efektif;
2. Penggunaan metodologi untuk merancang sistem
pembelajaran, yang meliputi prosedur perencanaan, perancangan, pelaksanaan, dan
penilaian keseluruhan proses pembelajaran, yang tertuju pada pencapaian tujuan
pembelajaran tertentu (konsep, prinsip, ketrampilan, sikap dan nilai,
kreativitas, dan sebagainya). Dalam hal ini, pendekatan sistem merupakan suatu
acuan dalam rangka perencanaan dan penyelenggaraan pembelajaran.[9]
C. Model
Pembelajaran
Istilah
model dapat diartikan sebagai tampilan grafis, prosedur kerja yang teratur atau
sistematis, serta mengandung pemikiran bersifat uraian atau penjelasan berikut
saran. Uraian atau penjelasan menunjukkan bahwa suatu model disain pembelajaran
menyajikan bagaimana suatu pembelajaran dibangun atas dasar teori-teori seperti
belajar, pembelajaran, psikologi, komunikasi, sistem, dan sebagainya. Tentu
saja semua mengacu pada bagaimana penyelenggaraan proses belajar dengan baik.[10]
Berdasarkan teori-teori belajar
dapat ditentukan beberapa pendekatan pembelajaran, dan berdasarkan pendekatan
tadi selanjutnya dapat ditentukan beberapa model pembelajaran. Adapun teori,
pendekatan dan model-model pembelajaran itu digolongkan menjadi empat model
utama, yaitu:
1.
Model
Interaksi Sosial (Social Interaction Model)
Model ini berdasarkan teori belajar Gestalt
atau dikenal dengan Field Theory. Model ini menitikberatkan pada
hubungan antara individu dengan masyarakat atau dengan individu lainnya yang
tekanannya pada proses realita. Model ini berorientasi pada prioritas terhadap
perbaikan kemampuan (abilitas) individu untuk berhubungan dengan orang
lain, perbaikan proses-proses demokratis dan perbaikan masyarakat.[11]
Model ini mencakup beberapa jenis
strategi pembelajaran, yaitu:
1)
Kerja
kelompok; tujuannya untuk mengembangkan ketrampilan berperan serta dalam proses
bermasyarakat dengan cara mengembangkan hubungan interpersonal, dan ketrampilan
menemukan dalam bidang akademik;
2)
Pertemuan
kelas; tujuannya untuk mengembangkan pemahaman mengenai diri sendiri maupun
terhadap kelompok;
3)
Pemecahan
masalah sosial atau inquiry sosial; bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah-masalah sosial dengan cara berpikir logis dan
penemuan akademik;
4)
Model
laboratorium; bertujuan untuk mengembangkan kesadaran pribadi dan keluwesan
dalam kelompok;
5)
Model
pengajaran yurisprodensi; bertujuan untuk melatih kemampuan mengolah informasi
dan memecahkan masalah sosial dengan cara berpikir yurisprodensi;
6)
Bermain
peran; bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik menemukan
nilai-nilai sosial dan pribadi melalui situasi tiruan;
7)
Simulasi
sosial; bertujuan untuk membantu peserta didik mengalami berbagai kenyataan
sosial serta menguji reaksi mereka.[12]
Hal ini senada dengan pendapatnya
Freire, bahwa inti program pendidikan ialah “penyadaran diri peserta didik”
kepada dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat. Sedangkan Goleman menyatakan
pentingnya “kecerdasan emosional”, dan mungkin “kecerdasan spiritual” atau
“hati nurani” bagi Danah Zohar, sehingga Bobbi De Porter merancang sebuah model
pendidikan yang menyenangkan.
Relevan dengan gagasan Fazlur Rahman
mengenai pendidikan kreatif dan kritis sebagai konsekuensi dari basis etik
ajaran Islam di dalam al-Qur’an menjadi
penting. Dan lebih menarik jika hal ini bisa dikembangkan menjadi pemikiran
baru yang berkaitan dengan teori mengenai kecerdasan spiritual seperti
dikembangkan oleh Danah Zohar, seorang ahli filsafat dari Universitas Oxford.
Di sini pula arti pentingnya kegiatan pendidikan dikembangkan sebagai suatu
proyeksi humanisasi.[13]
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
model pembelajaran interaksi sosial ini senada dengan model pembelajaran yang
dikembangkan John P. Miller, yang terkenal dengan 17 model pembelajarannya,
khususnya yang 4 model pembelajaran kepekaan sosial, yaitu;
1. Model Kepekaan Berkomunikasi;
2. Model Memahami Orang Lain;
3. Model Transaksi Sosial;
4. Model Relasi Kemanusiaan.[14]
2.
Model
Proses Informasi (Information Processing Model).
Model ini berdasarkan teori belajar
kognitif, yang berorientasi pada kemampuan peserta didik memproses informasi
dan sistem-sistem yang dapat memperbaiki kemampuan tersebut. Pemprosesan
informasi menunjuk kepada cara-cara mengumpulkan/menerima stimuli dari
lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep-konsep,
dan pemecahan masalah, serta menggunakan simbol-simbol verbal dan non verbal.
Model ini berkenaan dengan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir
produktif, serta berkenaan dengan kemampuan intelektual umum (general
intellectual ability).[15]
Model proses informasi meliputi
beberapa strategi pembelajaran yaitu:
1)
Mengajar
induktif; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan membentuk teori;
2)
Latihan inquiry; bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dan membentuk teori, dengan menitikberatkan pada segi proses
mencari dan menemukan informasi yang diperlukan;
3)
Inquiry
keilmuan; bertujuan untuk mengajarkan sistem penelitian dalam disiplin ilmu,
dan diharapkan memperoleh pengalaman dalam domain-domain lainnya;
4)
Pembentukan
konsep; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir induktif,
mengembangkan konsep dan kemampuan analisis;
5)
Model
pengembangan; bertujuan untuk mengembangkan intelegensi umum, terutama berpikir
logis, di samping untuk mengembangkan aspek sosial dan moral;
6)
Advanced
organizer model; bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memproses informasi
yang efisien untuk menyerap dan menghubungkan satuan ilmu pengetahuan (bodies
of knowledge) secara bermakna.[16]
3.
Model
Personal (Personal Model)
Model ini bertitik tolak dari
pandangan dalam teori belajar humanistik, yang berorientasi pada individu dan
pengembangan diri (self). Titik beratnya pada pembentukan pribadi
individu dan mengorganisasi realitanya yang rumit. Perhatiannya terutama
tertuju pada kehidupan emosional perorangan, yang diharapkan membantu individu
untuk mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya, dan
menjadikannya sebagai pribadi yang mampu membentuk hubungan-hubungan dengan
pribadi lain dalam konteks yang lebih luas serta memproses informasi secara
efektif. Sasaran utama model pembelajaran ini adalah pengembangan pribadi atau
kemampuan pribadi.[17]
Model pembelajaran personal ini
terdiri dari empat jenis strategi pembelajaran, yaitu:
1)
Pengajaran
non direktif; bertujuan untuk membentuk kemampuan dan perkembangan pribadi
yakni kesadaran diri (self awareness), pemahaman (understanding),
otonomi, dan konsep diri (self concept);
2)
Latihan
kesadaran; bertujuan untuk meningkatkan kemampuan self exploration and self
awareness. Titik beratnya pada perkembangan interpersonal awareness and
understanding and body and sensory awareness.
3)
Sinektik;
bertujuan untuk mengembangkan kreativitas pribadi dan pemecahan masalah secara
kreatif;
4)
Sistem
konseptual; bertujuan untuk meningkatkan kompleksitas dasar pribadi yang luwes.[18]
Model pembelajaran personal ini
senada dengan model pembelajaran yang dikembangkan John P. Miller, terutama 4
model pembelajaran pengembangan diri, 5 model pembelajaran konsep diri, dan 4
model pembelajaran perluasan kesadaran; yang secara singkat dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Empat Model Pembelajaran Pengembangan Diri, meliputi:
1) Model Pengembangan Ego;
2)
Model
Pemecahan Masalah Remaja;
3)
Model
Membangun Jati Diri;
4)
Model
Pemecahan Hambatan Moral.[19]
2. Lima Model Pembelajaran Konsep Diri, meliputi:
1) Model Penjernihan Nilai (Aktif Menilai Diri)
2)
Model
Identitas Diri
3)
Model
Pengambilan Keputusan (Pertemuan Kelas)
4)
Model Pemecahan
Masalah (Permainan Peran)
5)
Model
Pengarahan Diri.[20]
3. Empat Model Pembelajaran Perluasan Kesadaran, meliputi:
1) Model Meditasi (Pemusatan Kesadaran)
2) Model
Membangun Kemampuan Cipta Dan Imajinasi
3) Model Integrasi Kesadaran
4) Model Pengobatan Diri (Psikosintesis).[21]
4.
Model
Modifikasi Tingkah Laku (Behavior Modification Model)
Model ini bertitik tolak dari teori
belajar behavioristik, yang bermaksud mengembangkan sistem-sistem yang efisien
untuk memperurutkan tugas-tugas belajar dan membentuk tingkah laku dengan cara
memanipulasi penguatan (reinforcement).
Para eksponen teori reinforcement
telah mengembangkan model-model dan operant conditioning sebagai
mekanisme sentral, yang seringkali menunjuk kepada teori modifikasi tingkah
laku yang menitikberatkan pada perubahan tingkah laku eksternal peserta didik
sebagai visible behavior lebih dari tingkah laku yang mendasarinya dan
yang tak dapat diamati.
Operant conditioning telah diterapkan dalam bidang pendidikan dan bidang-bidang lainnya,
misalnya bidang kemiliteran; disampaikan dalam berbagai model yang berbentuk media-oriented,
seperti; pengajaran berprogram, interactive teaching, dan micro
teaching.[22]
D. Strategi Pembelajaran
Strategi
pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh perancang (guru) dalam menentukan
teknik penyampaian pesan, penentuan metode dan media, alur isi pelajaran, serta
interaksi antara guru dan peserta didik. Dan strategi pembelajaran dapat
dikembangkan secara makro ataupun secara mikro. Secara makro adalah strategi
pembelajaran yang diterapkan untuk kurun waktu satu tahun atau satu semester.
Sedangkan secara mikro dikembangkan untuk satu kegiatan belajar mengajar (KBM).[23]
Para pakar teori belajar
masing-masing mengembangkan strategi pembelajaran berdasarkan pandangannya
sendiri-sendiri. Namun paling tidak ada empat strategi pembelajaran yang pantas
disajikan dan diketahui oleh para guru, yaitu:
1. Pembelajaran
Penerimaan (Reception Learning)
Pendukung utama strategi pembelajaran ini
adalah Ausabel, yang dapat disebut juga
dengan proses informasi. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1)
Penerimaan
terhadap prinsip-prinsip umum, aturan-aturan, serta ilustrasi khusus;
2)
Pemahaman
terhadap prinsip umum dengan pengujian dilakukan melalui tes yang menuntut
pernyataan ulang mengenai prinsip-prinsip dan contoh-contoh yang telah
diberikan;
3)
Partikularisasi,
penerapan prinsip umum ke dalam situasi/keadaan tertentu;
4)
Tindakan,
gerakan dari suasana kognitif dan proses simbol ke suasana perbuatan/tindakan.
Pendekatan pembelajaran ini
dikembangkan menjadi strategi ekspositif, dengan langkah-langkah pokok sebagai
berikut:
1)
Penyajian
informasi yang diberikan melalui penjelasan simbolik atau demonstrasi yang
praktis;
2)
Mengetes
penerimaan, ungkapan dan pemahaman siswa. Bila perlu ulangi pesan/informasi
tersebut;
3)
Menyediakan
kesempatan kepada siswa untuk menerapkan prinsip umum sebagai latihan, dengan
contoh tertentu. Menguji apakah penerapannya sudah benar atau belum. Bila perlu
berikan contoh untuk periksa, sehingga diperoleh perilaku yang benar;
4)
Menyediakan
berbagai kesempatan kepada siswa untuk menerapkan informasi yang telah
dipelajari ke dalam situasi senyatanya.[24]
Senada dengan pendapatnya Hamalik
ini adalah pendapatnya Sanjaya, bahwa strategi pembelajaran penerimaan ini sama
dengan Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE); yaitu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari guru kepada
peserta didik dengan maksud agar peserta didik dapat menguasai materi pelajaran
secara optimal.
Strategi pembelajaran ekspositori
ini sangat dipengaruhi oleh aliran psikologi belajar bahavioristik, yang lebih
menekankan kepada pemahaman bahwa perilaku manusia pada dasarnya keterkaitan
antara stimulus dan respon, oleh karenanya dalam implementasinya peran guru
sebagai pemberi stimulus merupakan faktor yang sangat penting. Dan dari asumsi
inilah muncul berbagai konsep bagaimana agar guru dapat memfasilitasi
pembelajaran sehingga hubungan antara stimulus dan respon itu bisa berlangsung
secara efektif.
Roy Killen (1998) menamakan strategi
ekspositori ini dengan istilah strategi pembelajaran langsung (direct
instruction); karena materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru, siswa
tidak dituntuk untuk menemukan materi itu. Materi pelajaran seakan-akan sudah
jadi. Oleh karena strategi ekspositori lebih menekankan kepada proses bertutur,
maka sering juga dinamakan istilah strategi “chalk and talk”.
Strategi Pembelajaran Ekspositori
(SPE) ini mempunyai beberapa karakteristik, antara lain;
Pertama, strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi
pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama
dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering diidentikkan dengan
ceramah;
Kedua, biasanya meteri pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran
yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus
dihafal sehingga tidak menuntut peserta didik untuk berpikir ulang;
Ketiga, tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu
sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir peserta didik diharapkan
dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi
yang telah diuraikan.[25]
2. Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Pendukung utama strategi
pembelajaran ini adalah Piaget dan Bruner, penganut psikologi kognitif
humanistik. Strategi pembelajaran penemuan ini juga disebut “proses
pengalaman”, yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Tindakan
dalam instansi tertentu; Peserta didik melakukan tindakan dan mengamati
pengaruh-pengaruhnya. Pengaruh-pengaruh tersebut mungkin sebagai ganjaran atau
hukuman (operant conditioning), atau mungkin memberikan keterangan
mengenai hubungan sebab akibat;
2)
Pemahaman
kasus tertentu; Apabila keadaan yang sama muncul kembali, maka dia dapat
mengantisipasi pengaruh yang bakal terjadi, dan konsekuensi-konsekuensi apa
yang akan terasakan;
3)
Generalisasi; Peserta didik membuat kesimpulan atas
prinsip-prinsip umum berdasarkan pemahaman terhadap instansi tersebut;
4)
Tindakan
dalam suasana baru; Peserta didik menerapkan prinsip dan mengantisipasi pengaruhnya.
Pendekatan pembelajaran penemuan
dikembangkan menjadi strategi inquiry-discovery, dengan langkah-langkah
pokok sebagai berikut:
1)
Menyajikan
kesempatan-kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan tindakan/perbuatan
dan mengamati konsekuensi dari tindakan tersebut;
2)
Menguji
pemahaman peserta didik mengenai hubungan sebab akibat dengan cara
mempertanyakan atau mengamati reaksi-reaksi siswa, selanjutnya menyajikan
kesempatan-kesempatan lainnya;
3)
Mempertanyakan
atau mengamati kegiatan selanjutnya, serta menguji susunan prinsip umum yang
mendasari masalah yang disajikan itu;
4)
Penyajian
berbagai kesempatan baru guna menerapkan hal yang baru saja dipelajari ke dalam
situasi atau masalah-masalah yang nyata.[26]
Senada dengan pendapatnya Hamalik
ini adalah pendapatnya Sanjaya, bahwa strategi pembelajaran penemuan ini sama
dengan Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI), yaitu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak
diberikan secara langsung. Peran peserta didik dalam strategi ini adalah
mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran; sedangkan guru berperan sebagai
fasilitator dan pembimbing peserta didik untuk belajar.
Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI)
ini banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar
pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan
segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar lebih dari
sekadar proses mengahafal dan menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana
pengetahuan yang diperolehnya bermakna untuk peserta didik melalui ketrampilan
berpikir.
Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI)
ini mempunyai beberapa karakteristik, antara lain;
Pertama, strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas peserta didik secara
maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan
peserta didik sebagai subyek belajar. Dalam pembelajaran ini peserta didik
tidak hanya sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal,
tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran
tersebut;
Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan peserta didik diarahkan untuk
mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan
demikian, strategi pembelajaran inkuiri
menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator
dan motivator belajar peserta didik;
Ketiga, tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah
mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan
demikian, dalam strategi ini peserta didik tidak hanya dituntut agar menguasai
materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang
dimilikinya.[27]
3. Pembelajaran Penguasaan (Mastery Learning)
Pendukung utama strategi ini adalah
Carrol, yang memadukan teori
behavioristik dan humanistik. Belajar tuntas adalah strategi
pembelajaran yang diindividualisasikan dengan menggunakan pendekatan kelompok (group-based
approach). Pembelajaran ini memungkinkan peserta didik belajar bersama-sama
dengan memperhatikan bakat dan ketekunan peserta didik, pemberian waktu yang
cukup, dan bantuan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan.
Langkah-langkah umum yang harus
ditempuh dalam strategi pembelajaran ini adalah:
1)
Mengajarkan
satuan pelajaran pertama dengan menggunakan metode kelompok;
2)
Memberikan
tes diagnostik untuk memeriksa kemajuan belajar peserta didik setelah
disampaikan satuan pelajaran tersebut. Hasil tes ini menunjukkan peserta didik
yang telah memenuhi kreteria dan yang belum;
3)
Peserta
didik yang telah memenuhi kreteria keberhasilan yang telah ditetapkan
diperkenankan menempuh pembelajaran berikutnya, sedangkan bagi yang belum
diberikan kegiatan korektif;
4)
Melakukan
pemeriksaan akhir untuk mengetahui hasil belajar yang telah dicapai oleh
peserta didik dalam jangka waktu tertentu.[28]
Senada dengan strategi pembelajaran
penguasaan ini adalah Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) sebagaimana
pendapatnya Sanjaya, bahwa startegi ini merupakan salah satu strategi dari
model pembelajaran kelompok, yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan
dianjurkan oleh para ahli pendidikan untuk digunakan.
Slavin (1995) dalam hal ini
mengemukakan dua alasan, yaitu;
Pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan strategi
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik
sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri;
Kedua, strategi pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan
peserta didik dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan
dengan ketrampilan.
Karakteristik strategi pembelajaran
kooperatif ini dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan
kepada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya
kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran saja, tetapi
juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi atau kompetensi yang
ditetapkan tersebut.
Slavin, Abrani, dan Chambers (1996)
dalam Sanjaya, berpendapat bahwa strategi pembelajaran kooperatif dapat
dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi, perspektif
sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif elaborasi kognitif.
Perspektif motivasi artinya bahwa
penghargaan yang diberikan kepada kelompok memungkinkan setiap anggota akan saling
membantu. Dengan demikian, keberhasilan setiap individu pada dasarnya adalah
keberhasilan kelompok. Hal ini akan mendorong setiap anggota kelompok untuk
memperjuangkan keberhasilan kelompoknya.
Perspektif sosial artinya bahwa
melalui kooperatif setiap peserta didik akan saling membantu dalam belajar
karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan.
Bekerja secara tim dengan mengevaluasi keberhasilan sendiri oleh kelompok
merupakan iklim yang baik, di mana setiap anggota kelompok menginginkan
semuanya memperoleh keberhasilan.
Perspektif perkembangan kognitif
artinya bahwa dengan adanya interaksi antara anggota kelompok dapat
mengembangkan prestasi peserta didik untuk berpikir mengolah berbagai
informasi.
Perspektif elaborasi kognitif
artinya bahwa setiap peserta didik akan berusaha untuk memahami dan menimba
informasi untuk menambah pengetahuan kognitifnya.[29]
5.
Pembelajaran
Terpadu (Unit Learning)
Strategi ini pada mulanya disebut metode
proyek yang dikembangkan oleh Dr. J. Dewey, dan orang pertama yang menggunakan
istilah unit adalah Morrison.
Strategi pembelajaran terpadu ini
berpangkal pada teori Gestalt, yaitu suatu sistem pembelajaran yang bertitik
tolak dari suatu masalah atau proyek, yang dipelajari/dipecahkan oleh peserta
didik baik secara individual maupun secara kelompok dengan metode yang
bervariasi dan dengan bimbingan guru, guna mengembangkan pribadi peserta didik
secara utuh dan terintegrasi.
Langkah-langkah umum pengembangan
pembelajaran terpadu (program unit) ini adalah:
1)
Menyusun
sumber unit yang luas bertitik tolak dari topik atau masalah tertentu;
2)
Menyusun
unit pembelajaran sebagai bagian dari sumber unit, yang dirancang dengan pola
tertentu;
3)
Menyusun
unit lesson dalam rangka melaksanakan unit pengajaran yang telah
dikembangkan itu;
4)
Menyusun
satuan pelajaran yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar harian.
Langkah-langkah dalam melaksanakan
strategi pembelajaran unit (program unit) ini adalah:
1)
Mengorientasikan
peserta didik kepada masalah/topik yang akan dipelajari dalam kelas secara
langsung atau melalui media pembelajaran yang relevan;
2)
Memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengumpulkan informasi
(kelompok atau mandiri) untuk memecahkan masalah;
3)
Memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan informasi tadi dalam praktik
penerapan di lapangan;
4)
Mengadakan
diskusi dan pembuatan laporan sebagai kegiatan kulminasi;
5)
Melakukan
evaluasi terhadap kemajuan belajar peserta didik, baik oleh guru, mandiri, atau
kelompok;
6)
Membicarakan
tindak lanjut untuk kegiatan unit selanjutnya.[30]
Strategi pembelajaran terpadu atau
strategi pembelajaran unit ini pada prinsipnya sama dengan Strategi
Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) sebagaimana dikemukakan oleh Sanjaya,
yaitu bahwa dalam penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) ini,
guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menetapkan topik masalah,
walaupun sebenarnya guru sudah mempersiapkan apa yang harus dibahas.
Strategi Pembelajaran Berbasis
Masalah (SPBM) ini dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran
yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Strategi ini mempunyai tiga ciri utama, yaitu:
Pertama, Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) merupakan rangkaian
aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan
yang harus dilakukan oleh peserta didik. Peserta didik tidak hanya sekadar
mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran saja, akan tetapi
melalui strategi ini peserta didik aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan
mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan;
Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah.
Masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran, artinya tanpa masalah atau
topik maka tidak mungkin ada proses pembelajaran;
Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir
secara ilmiah, yaitu proses berpikir deduktif dan induktif yang dilakukan
secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan
melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian
masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.[31]
Beberapa model dan strategi
pembelajaran yang telah diuraikan di atas, menurut Killen (1998) dalam Sanjaya,
dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan pembelajaran secara umum, yaitu; (1) Pendekatan pembelajaran yang berorientasi
kepada guru (teacher-centered-approaches), dan (2) Pendekatan
pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik (student-centered-approaches).[32]
Perkembangan berikutnya pendekatan
pembelajaran banyak bermunculan, antara lain; “CBSA” (Cara Belajar Siswa
Aktif), kemudian “PAKEM” (Pembelajaran Aktif Kreatif Menyenangkan), dan
terakhir yang paling populer adalah “CTL” (Contextual Teaching and Learning),
yang kesemuanya itu mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berorientasi
kepada peserta didik.
E. Pembelajaran SKI (Sejarah Kebudayaan Islam)
Pelaksanaan pembelajaran mata
pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (disingkat SKI) pada Madrasah
Tsanawiyah, model dan strategi pembelajaran yang cocok atau yang tepat secara
pasti tidaklah terpancang hanya pada satu model dan strategi pembelajaran saja,
melainkan dapat menggunakan berbagai macam model dan strategi pembelajaran yang
ada sebagaimana terjabarkan di atas secara campuran sesuai karakteristik dalam
tujuan pembelajaran SKI yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Hal terpenting dalam pemilihan atau
penggunaan model dan strategi pembelajaran untuk suatu mata pelajaran haruslah
mengetahui prinsip umum penggunaan model dan strategi pembelajaran adalah bahwa
tidak semua model dan strategi pembelajaran cocok digunakan untuk mencapai
semua kompetensi dan semua keadaan. Setiap model dan strategi pembelajaran
memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh
Killen (1998) dalam Sanjaya; “No teaching strategy is better than others in
all circumtances, so you have to be able to use a variety of teaching
strategies, and make rational decisions about when each of the teaching
strategies is likely to most effective”.[33]
Dengan demikian dalam pembelajaran
SKI paling tidak harus menggunakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi
kepada peserta didik (student-centered-approaches) dan harus mengetahui
prinsip umum penggunaan model dan strategi pembelajaran sebagaimana tersebut di
atas.
Sedangkan prinsip-prinsip khusus
dalam penggunaan model dan strategi pembelajaran yang harus dilaksanakan
menurut Sanjaya adalah:
1. Berorientasi pada
Tujuan
Keberhasilan suatu strategi pembelajaran dapat
ditentukan dari keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
2. Aktivitas
Belajar bukanlah hanya menghafal sejumlah
fakta atau informasi saja, melainkan belajar adalah berbuat; memperoleh
pengalaman tertentu sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. Oleh karena
itu, strategi pembelajaran harus dapat mendorong aktivitas peserta didik.
Aktivitas tidak dimaksudkan terbatas pada aktivitas fisik saja, akan tetapi
juga meliputi aktivitas yang bersifat psikis seperti aktivitas mental (dan
spiritual), lebih-lebih dalam pembelajaran SKI.
3. Individualitas
Pembelajaran adalah usaha mengembangkan
setiap individu peserta didik, walaupun guru mengajar pada sekelompok peserta
didik.
4. Integritas
Proses pembelajaran harus dipandang
sebagai usaha mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik.
Pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif saja, akan tetapi
juga meliputi pengembangan aspek afektif dan aspek psikomotorik. Oleh karena
itu strategi pembelajaran harus dapat mengembangkan seluruh aspek kepribadian
peserta didik secara terintegrasi. Penggunaan metode diskusi, misalnya, guru
harus mampu merancang pelaksanaan metode diskusi tidak hanya terbatas pada
pengembangan aspek intelektual saja, akan tetapi harus mendorong peserta didik
agar dapat menghargai pendapat orang lain, mendorong agar berani mengeluarkan
pendapat atau gagasan atau ide-ide yang orisinal, mendorong untuk bersikap
jujur, tenggang rasa, tanggung jawab dan lain-lain.[34]
Selanjutnya model dan strategi
pembelajaran SKI dan lainnya dapat dikembangkan secara makro dan mikro. Secara
makro yaitu strategi pembelajaran yang diterapkan untuk kurun waktu satu tahun
(dalam Program Tahunan atau Prota), atau satu semester (dalam Program Semester
atau Promes). Sedangkan secara mikro yaitu strategi pembelajaran yang
dikembangkan untuk satu kegiatan belajar mengajar (dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran atau disingkat RPP).[35]
Bermula dari Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) inilah akan dapat diketahui bagaimana pelaksanaan
pembelajaran SKI pada Madrasah Tsanawiyah
itu dilaksanakan, termasuk faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
pelaksanaan pembelajaran SKI tersebut.
F. Sistem Pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal
Sistem pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal
dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan saling bergantungan antara satu
komponen dengan komponen lain yang berkaitan serta tidak dapat dipisah-pisahkan
satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
kompetensi dasar yang telah dirumuskan.
Komponen dalam sistem pembelajaran SKI di MTs Negeri
Kendal mencakup komponen perencanaan pembelajaran dan komponen pelaksanaan
pembelajaran yang tampak dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (untuk
selanjutnya disingkat RPP) dan aplikasinya dalam praktek nyata di lapangan saat
proses belajar mengajar berlangsung.
Komponen perencanaan pembelajaran tampak pada Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru SKI di MTs Negeri Kendal
dengan memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan hakikat, fungsi, prinsip,
dan prosedur pengembangan, serta cara mengukur efektivitas pelaksanaannya dalam
pembelajaran.
Sedangkan komponen pelaksanaan pembelajaran tampak dalam
praktek nyata pembelajaran dengan memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan
prinsip pelaksanaan pembelajaran, prinsip penilaian pembelajaran, dan prinsip
tindak lanjut hasil penilaian pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal.
G. Faktor-Faktor Pendukung dalam
Pelaksanaan Pembelajaran SKI di MTs Negeri
Kendal
Peneliti menemukan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal, antara lain; faktor guru, peserta didik,
sarana prasarana, alat/media yang tersedia, dan lingkungan.
1. Faktor Guru
Guru merupakan komponen yang sangat penting dan
menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Tanpa guru,
bagaimanapun bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak mungkin
dapat diaplikasikan. Layaknya seorang prajurit di medan peperangan.
Keberhasilan penerapan strategi berperang untuk menghancurkan musuh akan sangat
bergantung kepada kualitas prajurit itu sendiri. Demikian juga dengan guru.
Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran akan tergantung pada
kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik dan taktik pembelajaran.
Guru SKI MTs Negeri Kendal yang merupakan bagian dari
rumpun Pendidikan Agama Islam (PAI) selain Qur’an Hadits, Aqidah Akhlaq, dan
Fiqih, cukup memenuhi kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Guru dan Dosen (UU RI No.14 Tahun 2005 bab IV
pasal 8,9, dan 10), yaitu untuk guru SKI kelas 7, 8 dan 9 ada 2 orang yang
berpendidikan S.1 IAIN Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI),
dan untuk guru PAI selain SKI ada 8 orang yang berpendidikan minimal S.1 (PAI),
dan di antara guru PAI selain SKI ada 2 orang yang telah lulus sertifikasi guru
pada tahun 2007.
Guru SKI MTs Negeri Kendal juga pernah mengikuti
penataran, pelatihan ataupun workshop, baik tingkat Karesidenan Semarang maupun
tingkat Provinsi Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah
Departemen Agama Jawa Tengah, dalam rangka pembuatan kisi-kisi dan soal ujian
semesteran maupun kisi-kisi dan soal ujian akhir madrasah.
Demikian juga guru SKI MTs Negeri Kendal pernah dan
aktif mengikuti kegiatan MGMP baik tingkat Madrasah yang diselenggarakan oleh
MTs Negeri Kendal, tingkat Kabupaten yang diselenggarakan oleh KKM (Kelompok
Kerja Madrasah) , tingkat Karesidenan Semarang yang diselenggarakan oleh K3M
(Kelompok Kerja Kepala Madrasah), maupun tingkat Provinsi Jawa Tengah yang
diselenggarakan oleh K4M (Kelompok Kerja Kepala-Kepala Madrasah) dalam rangka
pembuatan silabus, RPP, dan lainnya.
Ketiga kenyataan (faktor guru) yang ada di MTs Negeri
Kendal tersebut di atas, dapat menjadi faktor yang mendukung dalam upaya
meningkatkan kualitas pembelajaran SKI di MTs Negeri Kendal, asalkan ketiga hal
tersebut di atas benar-benar ditingkatkan kualitasnya.
2. Faktor Peserta Didik
Seperti halnya guru, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran dilihat dari aspek peserta didik meliputi aspek latar belakang
peserta didik yang menurut Dunkin disebut pupil formative experiences serta
faktor sifat yang dimiliki peserta didik (pupil properties).
Aspek latar belakang meliputi jenis kelamin peserta
didik, tempat kelahiran, tempat tinggal, tingkat sosial ekonomi keluarga, dan
lainnya. Sedangkan dilihat dari sifat yang dimiliki peserta didik meliputi
kemampuan dasar, pengetahuan, dan sikap.
Setiap peserta didik memiliki kemampuan yang
berbeda-beda yang dapat dikelompokkan pada peserta didik yang berkemampuan
tinggi, sedang, dan rendah. Peserta didik yang berkemampuan tinggi biasanya
ditunjukkan oleh motivasi belajar yang tinggi, penuh perhatian, dan keseriusan
dalam mengikuti pembelajaran, dan lainnya. Sebaliknya, peserta didik yang
tergolong pada kemampuan rendah ditandai dengan kurangnya motivasi belajar,
tidak adanya keseriusan dalam mengikuti pembelajaran, termasuk tidak adanya
keseriusan dalam menyelesaikan tugas, dan lainnya.
Perbedaan-perbedaan semacam itu menuntut perlakuan yang
berbeda pula baik dalam penempatan atau pengelompokan peserta didik maupun
dalam perlakuan guru dalam menyesuaikan gaya belajar. Demikian juga halnya
dengan tingkat pengetahuan peserta didik, misalnya peserta didik yang memiliki
pengetahuan yang memadai tentang penggunaan bahasa standar, akan mempengaruhi
proses pembelajaran mereka dibandingkan dengan peserta didik yang tidak
memiliki pengetahuan yang memadai tentang penggunaan bahasa standar, dan
perbedaan-perbedaan yang lainnya yang menuntut perlakuan yang berbeda-beda.
Peserta didik di MTs Negeri Kendal secara keseluruhan
berjumlah 817 anak. Dari segi jumlah
peserta didik ini dapat menjadi faktor yang mendukung pelaksanaan pembelajaran
SKI, karena jumlah peserta didik yang cukup besar tersebut dapat dikelola
dengan baik, sehingga pembelajaran SKI yang pada hakikatnya merupakan proses
humanisasi berlandaskan nilai-nilai kesejarahan yang bersumberkan ajaran Islam
sebagaimana dirisalahkan oleh Nabi Muhammad SAW., akan lebih cepat menyebar
luas pada peserta didik dan lingkungan masing-masing peserta didik di tempat
tinggal masing-masing;[36]
Jumlah kelompok belajar per-kelas di MTs Negeri Kendal
(40-44 anak) masih sesuai dengan ketentuan batas ideal yang disyaratkan, yaitu
idealnya per-kelas peserta didiknya rata-rata 40 anak, dan batas toleransi
maksimal per-kelas rata-rata 48 anak. Jadi dengan demikian diharapkan dengan
kondisi tersebut dapat mendukung proses pelaksanaan pembelajaran SKI dapat
berjalan dengan aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, sehingga tercapai
tujuan pembelajaran SKI sebagaimana telah dirumuskan dalam RPP;
Penyebaran peserta didik per-kelas telah dilakukan
dengan proporsional berdasarkan jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi
keluarga, dan kemampuan dasar baik kemampuan tinggi, sedang dan rendah
berdasarkan nilai ijazah SD/MI saat pertama masuk MTs Negeri Kendal. Sehingga
diharapkan dengan keragaman heteroginitas tersebut dapat menjadi faktor yang
mendukung pelaksanaan pembelajaran SKI yang menitikberatkan aspek humanisasi
yang tidak membedakan manusia dari perbedaan latar belakang sosial ekonomi
keluarga, etnis, kemampuan intelektual, dan lainnya. Karena pembelajaran SKI
memandang bahwa manusia di sisi Allah SWT adalah sama, yang membedakan adalah
tingkat iman dan ketaqwaannya yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari
yang mencerminkan akhlaq mulia (akhlaqul karimah).[37]
3. Faktor Prasarana
Prasarana yang dimiliki MTs Negeri Kendal dalam
menunjang pelaksanaan pembelajaran SKI dapat dikategorikan cukup memadai,
seperti kondisi ruang kelas dan penerangannya masih cukup baik, kamar kecil
untuk peserta didik cukup memadai dan kondisinya juga baik, serta jalan menuju
ke MTs Negeri Kendal juga cukup lancar dan baik, karena letak posisi MTs Negeri
Kendal dekat dengan jalan raya yang mudah dijangkau dari berbagai arah.[38]
4. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan baik yang berasal dari faktor
organisasi kelas maupun yang berasal dari iklim sosial-psikologis (internal
maupun eksternal) ternyata dapat menjadi pendukung dalam pembelajaran SKI di
MTs Negeri Kendal.
Dimensi lingkungan yang berasal dari faktor organisasi
kelas, maka dapat dikatakan bahwa organisasi kelas di MTs Negeri Kendal masih
dalam batas toleransi ideal, yaitu per-kelas rata-rata berjumlah 40 - 44
peserta didik;
Faktor lain dari dimensi lingkungan adalah iklim
sosial-psikologis internal dan eksternal. Secara internal yaitu hubungan antara
peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru/pegawai,
guru/pegawai dengan guru/pegawai, guru/pegawai dengan pimpinan madrasah. Dalam
hal ini hubungan secara internal tersebut berjalan baik, harmonis dan kondusif,
karena unsur-unsur pelaku pendidikan di MTs Negeri Kendal senantiasa menjunjung
tinggi visi, misi, dan prinsip MTs
Negeri Kendal yang telah dicanangkan.[39]
Sedangkan secara eksternal yaitu hubungan antara pihak
madrasah dengan dunia luar, misalnya dengan orang tua peserta didik atau dengan
lembaga-lembaga masyarakat sekitar lainnya, berjalan dengan baik, harmonis dan
kondusif dalam rangka mendukung peningkatan kualitas pembelajaran di MTs Negeri
Kendal. Salah satu contohnya adalah senantiasa menjalin kerjasama dengan orang
tua wali murid/wali peserta didik dalam wadah komite madrasah, untuk
bersama-sama merencanakan dan memecahkan berbagai permasalahan pendidikan,
serta berperan aktif mengawasi jalannya pendidikan di MTs Negeri Kendal.[40]
H. Faktor-Faktor Penghambat dalam
Pelaksanaan Pembelajaran SKI di MTs Negeri
Kendal
1. Kurikulum
Kurikulum sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I
Pasal 19, diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Kurikulum SKI (untuk selanjutnya disebut materi pokok
pembelajaran SKI), senantiasa mengalami perubahan-perubahan untuk penyempurnaan
dan perampingan materi pokok SKI, sehingga dapat mencapai target tujuan yang
telah ditetapkan. Namun kenyataannya masih dirasakan terlalu luas dan banyak
wilayah pembahasannya (terlalu banyak/luas materinya) atau dapat dikatakan
terlalu melebar wilayah pembahasannya dari kompetensi dasar dan indikator yang
telah dirumuskan. Sehingga dalam ujian semesteran maupun ujian akhir sering
keluar soal-soal yang di luar dari kompetensi dasar maupun indikator yang
dirumuskan sebelumnya dalam pembelajaran.[41]
Pernah juga terjadi
kekeliruan atau kesimpangsiuran dalam menggunakan materi pokok SKI yang
disebabkan kurang lancarnya informasi/sosialisasi perubahan kurikulum yang ada.
Sehingga hal ini berdampak kesenjangan antara materi pokok SKI yang diajarkan
di lapangan dengan yang dikeluarkan untuk ujian, baik ujian semesteran maupun
ujian akhir, yang pada akhirnya hasil belajar/prestasi hasil belajar peserta
didik jatuh atau rendah nilainya. [42]
2.
Sarana
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara
langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran,
alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah dan lainnya.
Faktor sarana menjadi penghambat pembelajaran SKI di MTs
Negeri Kendal karena sarana yang berupa alat dan sumber belajar yang dapat
digunakan secara langsung yang meliputi; buku paket/buku literatur, DVD/VCD
pembelajaran SKI, peta sejarah SKI dan alat peraga lain, belum memadai.[43]
Keadaan tersebut tampaknya berdampak pada pelaksanaan
pembelajaran SKI yang direncanakan dalam RPP sangat bagus/baik tetapi ternyata
dalam praktek di lapangan belum maksimal secara ideal, sehingga model dam
strategi pembelajaran serta metode yang sudah dirancang terkadang tidak dapat
terlaksana dengan baik. Apalagi tuntutan materi SKI yang masih dirasakan
terlalu banyak, menjadikan guru terkadang dan bahkan sering terjebak hanya
menggunakan metode ceramah saja yang diselingi dengan tanya jawab sedikit, baik
dengan gaya bercerita maupun dengan gaya
demonstratif lainnya.
Sehingga dengan demikian pembelajaran SKI di MTs Negeri
Kendal lebih dominan berpusat/berorientasi pada guru, dan peserta didik kurang
aktif, kurang kreatif, dan kurang bersemangat, serta terkadang terasa
membosankan/menjemukan, apalagi jika guru kurang mampu membangkitkan motivasi
pada peserta didik.[44]
3.
Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP)
MGMP di MTs Negeri Kendal yang ada, belum berjalan
secara optimal sesuai harapan yang semestinya, karena sumber pendanaan untuk
kegiatan MGMP tersebut masih relatif minim.[45] Sehingga
kegiatan MGMP mata pelajaran SKI di MTs Negeri Kendal yang menjadi bagian dari
rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), hanya sebatas kegiatan
rutin awal tahun pelajaran untuk penetapan Standar Kompetensi Belajar Minimal (SKBM)
tiap mata pelajaran, penjabaran/pengembangan silabus, pembuatan Program Tahunan
(Prota), Program Semester (Promes), dan pembuatan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) saja, serta pembuatan kisi-kisi dan soal ujian semesteran ataupun ujian akhir madrasah yang
diselenggarakan oleh Karesidenan Semarang (K3M) atau Provinsi Jawa Tengah
(K4M), sesuai jadwal pembagian tugas masing-masing MTs se-Jawa Tengah secara bergantian.
Kenyataan yang demikian menjadikan tujuan kegiatan dalam
MGMP yang juga tak kalah pentingnya, seperti koordinasi antar guru mata
pelajaran serumpun untuk membahas permasalahan-permasalan pembelajaran
sehari-hari baik mengenai model, strategi, metode, teknik, maupun taktik dalam
pembelajaran tidak terealisasikan dengan baik.
Kalaupun ada koordinasi antar guru tersebut, paling
hanya sebatas permasalahan yang sifatnya umum mengenai peserta didik yang
mengalami persoalan dalam pembelajaran, seperti; membuat onar, tidak
konsentrasi dalam belajar, kurang motivasi, pasif, malas, tidak disiplin,
jelek/rendah nilainya, dan sejenisnya, yang cenderung menyalahkan peserta didik
sehingga dianggap permasalahan tersebut cukup ditangani oleh guru BK, dan
cenderung tidak berusaha mencari pokok permasalahan yang menjadikan masalah
tersebut ada, misalnya; intropeksi diri bagi guru tersebut mengenai pembawan
diri dalam proses pembelajaran (menyenangkan atau tidak), intropeksi bagi guru
tentang metode yang digunakan (menarik atau tidak), dan lainnya.
Subtansi kegiatan MGMP yang pada hakikatnya untuk menyatukan
visi dan misi guru baik mata pelajaran serumpun maupun yang tidak serumpun,
meneliti permasalahan-permasalahan pembelajaran dan menemukan jalan keluarnya,
menemukan model dan strategi pembelajaran yang efektif, kreatif, dan
menyenangkan dalam pembelajaran untuk mencapai target kompetensi yang telah
ditetapkan tidak tercapai atau tidak dapat terealisasikan dengan baik dan
optimal.[46]
I. Kesimpulan
Temuan sebagaimana telah dipaparkan di atas dalam
penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pembelajaran SKI pada Madrasah Tsanawiyah
dan Problematikanya (Studi Kasus pada MTs Negeri Kendal)”, dapat disimpulkan:
1. Pelaksanaan
pembelajaran SKI telah berjalan sesuai dengan hakikat suatu pembelajaran yang
merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara perencanaan,
pelaksanaan dan penilaian program pembelajaran dengan memperhatikan; hakikat,
fungsi, prinsip dan cara pengembangan, pendekatan, model, strategi, metode,
teknik dan taktik dalam pembelajaran. Walaupun dalam praktek pelaksanaannya
terkadang masih terjebak dalam penggunaan metode yang monoton, kurang menarik
dan kurang variatif, bahkan peran guru cenderung lebih mendominasi dari pada
peran peserta didik.
2.
Faktor-faktor yang dapat mendukung pelaksanaan pembelajaran SKI tersebut,
yaitu; (1) Guru; kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru SKI cukup
memadai, (2) Peserta didik; dengan jumlah yang cukup besar menjadi potensi
dalam pembelajaran SKI untuk penyebarluasan semangat pembelajaran SKI, (3)
Prasaran; cukup dapat dimanfaatkan, dan (4) Lingkungan; sangat kondusif untuk
mendukung pembelajaran SKI.
3. Faktor-faktor yang menghambat
pelaksanaan pembelajaran SKI, yaitu; (1) Kurikulum; materi pokok masih terlalu
banyak/luas bahasannya, (2) Sarana; khusus sumber belajar baik buku maupun alat
peraga untuk SKI belum memadai, dan (3) MGMP; musyawarah guru mata pelajaran
yang ada belum secara maksimal berjalan sesuai dengan fungsi dan tujuan MGMP di
MTs Negeri Kendal.
[2] Badan Standar Nasional Pendidikan, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, Jakarta: PT. Binatama Raya, 2007, h. 328.
[3] Badan Standar Nasional Pendidikan, Kurikulum……,h. 329.
[4] Suharya, “Hubungan Pendidikan Agama Islam dengan Pemahaman
Nilai-Nilai Islam dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Deskriptif Kuantitatif di
Kalangan Siswa SMA PGII I Bandung)”,Tesis, Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung, 2006.
[5] MTs Negeri Kendal, Buku Daftar Nilai Ujian Akhir Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Negeri Kendal, Kendal: MTs Negeri Kendal, 2003-2007.
[6] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Edisi Ke-1, Cet.
Ke-5, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, h. 124-125.
[7] Untuk mengenal dan memahami suatu sistem perlu dikenali dan
dipahami semua komponen yang terkandung di dalamnya. Perubahan suatu sistem
harus dilihat dari perubahan komponen-komponen tersebut. Sistem filosofis
cenderung untuk mengkondisi pendekatan tertentu terhadap masalah dengan cara
membentuk sikap dan persepsi tertentu. Sikap dalam hal ini merupakan sensifitas
terhadap hakikat sistemik dan terhadap variabel-variabel sebabnya, si perancang
sistem harus bersikap pragmatis yang senantiasa tanggap terhadap kenyataan
sesungguhnya. Lihat Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 125-126.
[8] Analisis tugas dianggap lebih penting, karena bertalian dengan
keterlaksanaan prinsip-prinsip belajar dalam rangkaian kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan/hasil pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
Implikasi dari aspek ini, guru dituntut untuk menyediakan kondisi-kondisi
belajar bagi peserta didik, sehingga pembelajaran itu menjadi efektif. Lihat
Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 125-126.
[9] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 126-127.
[10] Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Disain Pembelajaran;
Instructional Design Principles, Edisi Ke-1, Cet.Ke-1, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007, h. 33.
[11] Oemar Hamalik, Kurikulum
……,h. 127-128.
[12] Oemar Hamalik, Kurikulum
……,h. 127-128.
[14] John P. Miller, Humanizing The Class Room; Models……, h. 179-214.
[15] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 128-129.
[16] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 128-129.
Belahan otak sebelah kiri, berfungsi mengontrol bahasa, kesadaran
rasional, dan pikiran analitis (logis). Sisi
pada belahan kanan otak, berfungsi mengontrol dan bertanggung jawab
terhadap intuisi, fantasi, dan bentuk-bentuk kesadaran non-rasional. Model kesadaran
terakhir ini relatif sedikit dikembangkan pada budaya Barat yang mungkin
menjadi ciri khas yang dapat dikembangkan di Indonesia dan bagi pendidikan
Islam. Strategi-strategi dalam model-model pembelajaran perluasan kesadaran
terfokus pada usaha untuk memudahkan perluasan kesadaran peserta didik atau di belahan kanan otaknya tersebut (John
P. Miller, 2002: 35).
[17] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 129-130.
[18] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 129-130.
[19] John P. Miller, Humanizing The Class Room; Models……, h.
73-109.
[20] John P. Miller, Humanizing The Class Room; Models……, h. 116-176.
[21] John P. Miller, Humanizing The Class Room; Models……, h.
217-265.
[22] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 130.
[23] Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip
Disain Pembelajaran……,, h. 37-38.
[24] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 131-132.
[25] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Edisi Pertama, Cet.Ke-2, Jakarta: Kencana, 2007, h. 175-177. Strategi
Pembelajaran Ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang
berorientasi kepada guru (teacher centered approach), karena guru
memegang peran yang sangat dominan; guru menyampaikan materi pembelajaran
secara terstruktur dengan harapan meteri pelajaran yang disampaikan itu dapat
dikuasai peserta didik dengan baik. Dan fokus utama strategi ini adalah
kemampuan akademik peserta didik (academic achievement).
[26] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 131-132.
[27] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran ……, h. 191-195. Strategi
Pembelajaran Inkuiri (SPI) merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang
berorientasi kepada peserta didik (student centered approach), karena
dalam strategi ini peserta didik memegang peran yang sangat dominan dalam
proses pembelajaran. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses
tanya jawab antara guru dan peserta didik. Oleh karena itu kemampuan guru dalam
menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
[28] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 132-133.
[29] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran ……, h. 240-242. Strategi
Pembelajaran Kooperatif (SPK) menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu
antara empat sampai enam peserta didik yang mempunyai latar belakang kemampuan
akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem
penilaian dilakukan terhadap kelompok, dan setiap kelompok akan memperoleh
penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang
dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai
ketergantungan positif, yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab
individu terhadap kelompok dan ketrampilan interpersonal dari setiap anggota
kelompok.
[30] Oemar Hamalik, Kurikulum ……,h. 133-134.
[31] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran ……, h. 211-213. Dilihat
dari aspek psikologi belajar, Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM)
berdasarkan kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi bahwa belajar
adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan
semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi
secara sadar antara individu dengan lingkungannya. Melalui proses ini sedikit
demi sedikit peserta didik akan berkembang secara utuh. Artinya, perkembangan
peserta didik tidak hanya terjadi pada aspek kognitif saja, tetapi juga aspek
afektif dan psikomotor melalui penghayatan secara internal akan problem yang
dihadapi.
[32] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran ……, h. 100. Untuk
mengetahui perbedaan antara pendekatan, model, strategi, metode, teknik dan
taktik dalam pembelajaran, maka dapat dijelaskan bahwa proses pembelajaran
dapat dimulai dari pemilihan pendekatan pembelajaran, kemudian dari pendekatan
pembelajaran itu dijabarkan pada model pembelajaran, strategi pembelajaran,
metode pembelajaran, teknik dan taktik yang dipakai. Atau dapat juga dikatakan
bahwa pendekatan pembelajaran sifatnya lebih umum sedangkan model dan strategi
pembelajaran merupakan penjabaran dari pendekatan pembelajaran yang digunakan,
dan metode, teknik serta taktik merupakan perangkat teknis selanjutnya dalam
melaksanakan strategi pembelajaran tersebut.
[33] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran ……, h. 102-103.
[34] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran ……, h. 102-104.
[35] Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Disain Pembelajaran……,, h.
37-38.
[36] Mohammad Natsir, Kebudayaan Islam Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta:
PT Giri Mukti Pasaka, 1988, h. 324-325.,
menyatakan bahwa untuk menegakkan dan menyuburkan nilai-nilai hidup yang
dinamakan orang “human values”, yang pada akhirnya menjadikan manusia
lebih tinggi martabatnya dari makhluk lain di atas bumi ini, maka diperlukan
suatu kebudayaan yang tidak lain adalah kebudayaan yang berlandaskan agama
Islam sebagaimana diemban Nabi Muhammad SAW.
[37] Hasjmy menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah menifestasi
keimanan dan kebaktian dari penganut Islam sejati (Hasjmy, 1979: 17). Dan
Gazalba menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah cara berfikir dan merasakan
Islam (taqwa), yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok
manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu
(Gazalba, 1978: 172).
[38] (Sumber: Hasil
observasi dan wawancara dengan Wakil Kepala Madrasah Urusan Sarana dan
Prasarana MTs Negeri Kendal; H. Masrur As’ari, BA., pada tanggal 26 pebruari
2008, di MTs Negeri Kendal).
[39] Visi dan Misi MTs Negeri Kendal:
Visi: Unggul dalam Prestasi berdasarkan Iptek dan Imtaq;
Misi:
1) Menyelenggarakan Pendidikan yang Berkualitas;
2) Mengembangkan Kecerdasan Intelektual, Sosial, dan Spiritual;
3) Membentuk Kepribadian Anak yang
Berakhlakul Karimah, Disiplin, dan
Mandiri.
Sedangkan lima prinsip yang
harus dijunjung tinggi meliputi; (1) Tertib dan Disiplin, (2) Akhlaqul Karimah,
(3) Ibadah, (4) Ukhuwah dan Kebersamaan, dan (5) Profesional (Sumber: Hasil
observasi dan wawancara dengan Kepala MTs Negeri Kendal; Drs.H.Moch Ali
Chasan, M. Si., pada tanggal 28 Maret
2008, di MTs Negeri Kendal).
Contoh kegiatan yang dapat meningkatkan hubungan baik/harmonis
secara internal adalah dengan senantiasa melibatkan seluruh unsur pendidikan di
MTs Negeri Kendal, baik peserta didik, guru/pegawai, dan pimpinan madrasah,
seperti; peringatan hari besar Islam (PHBI), peringatan hari besar nasional
(PHBN), kunjungan sosial bagi yang terkena musibah, hajatan perkawinan,
kelahiran anak, hajatan syukuran haji, dan lainnya termasuk kegiatan-kegiatan
OSIS dan kegiatan ekstrakurikuler (Sumber: hasil observasi dan wawancara dengan
Wakil Kepala Madrasah Urusan Kesiswaan MTs Negeri Kendal; Drs. Nur Yazid, pada
tanggal 24 Maret 2008, di MTs Negeri Kendal).
[40] Komite madrasah yang terdiri dari unsur perwakilan guru/pegawai,
tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, dan perwakilan orang tua wali murid/peserta
didik, senantiasa mengadakan koordinasi dengan pihak MTs Negeri Kendal dalam
rapat-rapat koordinasi, maupun rapat-rapat pleno wali murid untuk merencanakan
program-program kegiatan, pengawasan, dan evaluasi program kegiatan, dalam
rangka meningkatkan kualitas/mutu pembelajaran di MTs Negeri Kendal sesuai visi
dan misi yang telah dicanangkan bersama (Sumber: Hasil observasi dan wawancara
dengan Kepala MTs Negeri Kendal; Drs.H.Moch Ali Chasan, M. Si., dan dengan
Wakil Kepala Madrasah Urusan Humas MTs Negeri Kendal; H. Daryono Thohir HIB, S.
Ag., pada tanggal 28 Maret 2008, di MTs Negeri Kendal).
[41] Pada kurikulum 1994 materi pokok SKI untuk Madrasah Tsanawiyah
(MTs) meliputi; sejarah Arab pra Islam, sejarah Rasulullah Muhammad SAW, sejarah Khulafaur Rasyidin, sejarah Dinasti
Bani Umayah, Abbasiyah, Andalusia, serta sejarah perkembangan Islam di berbagai
negara belahan Afrika, India, Rusia dan lainnya, termasuk berkembangnya Islam di Indonesia. Kemudian
pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, materi pembahasan (tema) masih sama,
tetapi mengalami perampingan/pemangkasan
pembahasan materi pokok tersebut. Dan pada tahun 2003/2004 menjelang uji coba
diberlakukannya kurikulum KBK, maka
materi pokok SKI mengalami perampingan/pemangkasan besar-besaran yang
disesuaikan dan diintegralkan secara menyeluruh isi kurikulum mulai dari tingkat
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), maupun Madrasah Aliyah
(MA), yaitu:
1)
Tingkat
Madrasah Ibtidaiyah (MI), materi pokok meliputi sejarah Rasulullah Muhammad
SAW, dan sejarah Khulafaur Rasyidin;
2)
Tingkat
Madrasah Tsanawiyah (MTs), materi pokok meliputi sejarah Dinasti Bani Umayah,
dan sejarah Dinasti Bani Abbasiyah;
3)
Tingkat
Madrasah Aliyah (MA), materi pokok meliputi sejarah peradaban Islam di
Andalusia, gerakan pembaharuan dan sejarah peradaban Islam di Indonesia
(Departemen Agama RI, 2003: 3).
Akhirnya pada tahun 2006 mengalami peninjauan ulang dan
penyempurnaan kurikulum SKI untuk menyongsong kurikulum baru yaitu kurikulum
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan),
yang diberlakukan bertahap mulai tahun pelajaran 2006/2007. Isi
pokok/materi pokok kurikulum SKI berbasis KTSP adalah sebagai berikut:
1)
Tingkat
Madrasah Ibtidaiyah (MI), materi pokok meliputi sejarah Arab pra Islam, sejarah
Rasulullah Muhammad SAW, dan sejarah Khulafaur Rasyidin;
2)
Tingkat
Madrasah Tsanawiyah (MTs), materi pokok meliputi sejarah Dinasti Bani Umayah,
sejarah Dinasti Bani Abbasiyah, dan sejarah Dinasti Ayubiyah;
3)
Tingkat
Madrasah Aliyah (MA), materi pokok meliputi sejarah peradaban Islam di
Andalusia, gerakan pembaharuan di dunia Islam dan sejarah perkembangan Islam di
Indonesia (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2007: 330). (Sumber: Hasil
wawancara dengan guru SKI kelas 8/9 MTs Negeri Kendal, Moh Sahid, S. Ag.,pada tanggal 26 Pebruari
2008, di MTs Negeri Kendal).
[42] Pernah terjadi pada tahun 2000 s/d 2002 saat adanya kurikulum
“perantara”, yaitu kurikulum persiapan KBK mata pelajaran PAI (Qur’an Hadits,
Aqidah Akhlaq, Fiqih, dan SKI) yang
merupakan hasil penyempurnaan dari perkumpulan Madrasah Tsanawiyah Model
se-Jawa Tengah. Di mana saat itu terjadi ketidaklancaran informasi dan petunjuk
pelaksanaannya, sehingga yang terjadi kesimpangsiuran dalam penerapannya,
sehingga ada MTs yang sudah menggunakan dan ada MTs yang belum menggunakan
kurikulum “perantara” tersebut. Akhirnya
dalam ujian akhir madrasah, peserta didik tidak mampu menyelesaikan soal ujian
dengan maksimal, karena materi ujian hampir separuh tidak sesuai dengan yang
dipelajari. (Sumber: Hasil wawancara dengan guru SKI kelas 8/9 MTs Negeri
Kendal, Moh Sahid, S. Ag., pada tanggal 26 Pebruari 2008, di MTs Negeri
Kendal).
[43] Buku paket/buku literatur yang berhubungan dengan pembelajaran SKI
khususnya, dan mata pelajaran PAI pada umumnya, di perpustakaan MTs Negeri
Kendal hanya memiliki kurang lebih = 1.415 exemplar untuk mata pelajaran PAI
(Qur’an Hadits, Aqidah Akhlaq, Fiqih, dan SKI). Ini berarti jika dirata-rata
untuk SKI hanya memiliki sejumlah = 354 exemplar saja untuk kelas 7, 8, dan 9,
yang jumlah keseluruhan peserta didiknya = 817 anak. Hal ini jelas sangat
kurang sekali, lebih-lebih jumlah buku tersebut sudah termasuk buku-buku yang
kadaluwarsa (lama) yang sudah tidak sesuai dengan kurikulum sekarang. Sementara
itu untuk buku-buku non agama (buku-buku pelajaran umum) baik fiksi/non fiksi
jumlahnya cukup banyak, yaitu sekitar = 31.061 exemplar (jumlah seluruh buku =
32.479 exemplar) (Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala/Pengelola Perpustakaan
MTs Negeri Kendal; Nurul Fadjar, S. Pd., dan dengan Petugas Teknis Perpustakaan
MTs Negeri Kendal; Imma Saidatun Nihlah, A. Md., pada tanggal 05 April 2008, di
MTs Negeri Kendal).
Ruang multi media
pembelajaran beserta perlengkapannya seperti; monitor tv, sound system, player,
video shooting, dan lainnya sudah ada (dimiliki MTs Negeri Kendal), tetapi
DVD/VCD pembelajaran SKI belum memiliki sama sekali. Termasuk juga peta sejarah
yang khusus SKI belum memiliki, kecuali hanya peta nasional atau peta dunia
saja yang dimiliki dan digunakan sebagai alat peraga pembelajaran SKI tersebut
(Sumber: Hasil wawancara dengan guru SKI kelas 8, 9 dan kelas 7; Moh Sahid, S.
Ag., dan Nur Amaliyah, S. Ag., pada tanggal 26 Pebruari 2008, di MTs Negeri
Kendal).
[44]
(Sumber: Hasil observasi pada saat pembelajaran di kelas oleh guru SKI
MTs Negeri Kendal, pada tanggal 21 Januari s.d. 05 April 2008, di MTs Negeri
Kendal).
[45] Perlu diketahui bahwa
pendanaan penyelenggaraan pendidikan di MTs Negeri Kendal bersumber dari dana
bantuan operasional sekolah (BOS), dana DIPA, dan sumbangan partisipasi orang
tua wali murid, yang penggunaannya untuk beberapa tahun belakangan ini terkonsentrasi
untuk pengembangan fasilitas fisik gedung dan belanja rutin gaji guru dan
pegawai yang masih membutuhkan banyak dana (jumlah guru PNS = 33 orang, guru
swasta = 7 orang, Pegawai PNS = 2 orang, dan Pegawai swasta = 12 orang).
Sehingga untuk kegiatan yang sifatnya pengembangan sumber daya manusia untuk
guru dan pegawai (penataran, pelatihan, MGMP dan lain-lain) relatif masih kecil
(Sumber: Hasil wawancara dengan Ketua Team Work MTs Negeri Kendal; Casmito, S.
Pd., pada tanggal 28 Maret 2008, di MTs Negeri Kendal).
[46] MGMP rumpun mata pelajaran
umum (selain mata pelajaran PAI), dapat berjalan secara optimal, karena untuk
guru-guru rumpun mata pelajaran umum di samping ada MGMP intern di MTs Negeri
Kendal, juga ikut tergabung dalam MGMP yang diselenggarakan oleh SMP di bawah
naungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal, yang secara rutin terprogram dan
diselenggarakan dengan baik dan optimal, baik berupa kegiatan pelatihan
pembuatan dan pengembangan silabi, RPP, modul, kisi-kisi dan soal ujian,
seminar, loka karya, penelitian tindakan kelas, dan kegiatan lainnya untuk
meningkatkan profesionalitas guru (Sumber:
Hasil observasi dan wawancara dengan para guru PAI, guru BK dan dengan Wakil
Kepala Madrasah Urusan Kurikulum; Casmito, S. Pd., dan Pembantu Wakil Kepala
Madrasah Urusan Kurikulum; Dra. Siti Juwersih, pada tanggal 26 Pebruari 2008,
di MTs Negeri Kendal).
Daftar Pustaka
Achmadi, Silabi Strategi Pembelajaran PPS IAIN
Walisongo Semarang, Semarang: PPS IAIN Walisongo, 2007.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Ke-5, Yogyakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Al-Attas, Syed M. Naquib, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Diterjemahkan oleh Hamid Fahmy, M. Arifin Ismail dan Iskandar Amel, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan,
Cet.Ke-1, 2003.
Azra, Azumardi, Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta: Kalimah, 2001.
Badan Standar Nasional Pendidikan, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Khusus Untuk Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: PT.
Binatama Raya, 2006.
Bek, Muhammad al- Khudhari, Muhadharat al-Tarikh
al-Umam al-Islamiyah, Kairo: al-Maktabah al-Kubra, 1970.
Bloom, Benjamin S, Taxonomy of
Education Objectivies; The Classificstion of Education Goals; Hand Book
Cognitive Domain, New York: David Mc Kay Company, 1974.
Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti
Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Daradjat, Zakiah, dkk., Metodik
Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kerjasama Bumi Aksara dengan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Cet.Ke-3, 2004.
Darwis, Djamaluddin, Dinamika
Pendidikan Islam, Semarang: Rasail, Cet.Ke-1, 2006.
Denzim, Norman K., dan Lincoln, Y
Vonna S, Handbook of Qualitative Research, London: SAGE Publications, 1994.
Departemen Agama RI, Kurikulum
Berbasis Kompetensi; Kurikulum dan Hasil Belajar Sejarah Kebudayaan Islam
Madrasah Tsanawiyah, Edisi Juni 2003, Jakarta: Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada
Sekolah Umum, 2003.
Furchan, Arif, Transformasi
Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Gazalba, Sidi, Asas Kebudayaan
Islam; Pembahasan Ilmu dan Filsafat tentang Ijtihad, Fiqih, Akhlaq,
Bidang-Bidang Kebudayaan, Masyarakat, Negara, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Penerjemah,
Ali Audah, Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa, Cet.Ke-31, 2006.
Hamalik, Oemar, Kurikulum dan
Pembelajaran, Edisi Ke-1, Jakarta: Bumi Aksara, Cet.Ke-5, 2005.
Harjanto, Perencanaan Pengajaran,
Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Hasjmy, Ahmad, Sejarah Kebudayaan
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet.Ke-2, 1979.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.
_______ , Tarikh al-Islam, Jilid
IV, Kairo: Maktabah al-Nadhah al-Mishriyah, 1967.
________, Tarikh al-Islam
al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijma’i, Kairo: Maktabah al-Nadhah
al-Mishriyah, Tt.
Ismain, Kasimanuddin, “Penggunaan
Peta Sejarah untuk Meningkatkan Motivasi Siswa dalam Pembelajaran Sejarah”,
Tesis, Malang: Universitas Negeri Malang, 2001.
Koentjaraningrat, Metode-Metode
Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta: Grafindo Pustaka
Utama, 1997.
Legawa, “Contextual Teaching and Learning; Sebuah
Model Pembelajaran”, Tesis, Malang: Universitas Negeri Malang, 2001.
Majid, Abdul, Perencanaan
Pembelajaran; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, Cet.Ke-2, 2006.
Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, Cet.Ke-2, 2005.
Moeleong, Lexy J., Metodologi
Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
MTs Negeri Kendal, Buku Daftar
Nilai Ujian Akhir Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Kendal, Kendal: MTs
Negeri Kendal, 2003-2007.
________ , Buku Data Kepegawaian
MTs Negeri Kendal Tahun Pelajaran 2007/2008, Kendal: MTs Negeri Kendal,
2007/2008.
_________ , Buku Data Siswa MTs
Negeri Kendal Tahun Pelajaran 2007/2008, Kendal: MTs Negeri Kendal,
2007/2008.
_________, Buku Profil MTs Negeri Kendal, Kendal:
MTs Negeri Kendal, 2007.
_________, Buku Program Kerja MTs
Negeri Kendal Tahun Pelajaran 2007/2008, Kendal: MTs Negeri Kendal, 2007.
_________ , Buku Sekilas tentang
MTs Negeri Kendal, Kendal: MTs Negeri Kendal, 1994.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Muhaimin dkk., Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, Cet.Ke-2, 2002.
Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di
Era Globalisasi; Resistensi Tradisional
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.Ke-1, 2005.
Mulyasa , Enco, Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan , Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.Ke-2, 2007.
_______, Kurikulum Yang
Disempurnakan, Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, Cet.Ke-1, 2006.
Natsir, Mohammad, Kebudayaan
Islam Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: PT Giri Mukti Pasaka, 1988.
Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK, Malang:
Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press), 2003.
Patoni, Achmad, Materi Penyusunan
Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (MPDP-PAI), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet.Ke-1, 2007.
Prawiradilaga, Dewi Salma, Prinsip
Disain Pembelajaran; Instructional Design Principles, Edisi Ke-1, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, Cet.Ke-1, 2007.
P. Miller, John, Humanizing The
Class Room; Models Of Teaching in Affective Education, Disadur oleh Dr.
Abdul Munir Mulkhan, Cerdas di Kelas; Sekolah Kepribadian; Rangkuman Model
Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, Cet.Ke-1, 2003.
Rasyid, Harun, Metode Penelitian
Kualitatif Bidang Ilmu Sosial dan Agama, Pontianak: STAIN Pontianak, 2000.
Riyanto, Yatim, Metode Penelitian
Pendidikan, Surabaya: Penerbit SIC, 2001.
Sanjaya, Wina, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, Cet.Ke-2, 2007.
Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai, Teknologi
Pengajaran, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Cet.Ke-5, 2007.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung:
Alfabeta, Cet.Ke-5, 2005.
_______, Metode Penelitian
Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta,
Cet.Ke-3, 2007.
Suharya, “Hubungan Pendidikan
Agama Islam dengan Pemahaman Nilai-Nilai Islam dalam Pembelajaran Sejarah
(Studi Deskriptif Kuantitatif di Kalangan Siswa SMA PGII I Bandung)”,
Tesis, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 2006.
Sukamto, “Kontekstualitas
Pembelajaran Sejarah (Gagasan Bagaimana Meramu Materi di Era Otonomi Daerah)”, Malang:
Jurnal Universitas Negeri Malang / Jurnal / FS / Sej./ 2001, 2001.
Suparyogo, Imam, dan Tobroni, Metode
Penelitian Sosial Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Syalabi, Ahmad, Sejarah
Kebudayaan Islam 1, Alih Bahasa, Muhtar Yahya, Jakarta: PT. Pustaka Al
Husna Baru, Cet.Ke-6, 2003.
_______ , Sejarah Kebudayaan
Islam 2, Alih Bahasa, Muhtar Yahya dan M. Sanusi Latif, Jakarta: PT. Pustaka
Al Husna Baru, Cet.Ke-10, 2003.
_______ , Sejarah Kebudayaan Islam 3, Alih
Bahasa, Muhammad Labib Ahmad, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, Cet.Ke-2,
2003.
Tafsir, Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.Ke-5, 2001.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), Edisi Revisi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Undang-Undang Guru dan Dosen (UU RI
No.14 Tahun 2005), Jakarta: Sinar Grafika, Cet.Ke-1, 2006.
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU RI No.20 Tahun 2003), Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003.
Uzer Usman, Mohammad, Menjadi
Guru Profesional, Edisi Kedua, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.Ke-7, 1996.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban
Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda