MERAWAT KEMAJEMUKAN (17)
Assalamu'alaikum wrwb.
Saudaraku yang dirahmati Allah. Mari kita bersyukur, Allah telah memberi
semua yang kita butuhkan, meskipun kita sering tidak menyadari. Allah menjamin
tambahan kenikmatan-Nya, jika kita mau bersyukur.
Shalawat dan salam kita wiridkan untuk manusia teladan, Rasulullah saw.
Syafaat beliau kita nantikan di akhirat nanti. Mari kita siapkan bekal kita,
iman dan taqwa yang berkualitas dan jaga hingga akhir hayat husnul khatimah.
Saudaraku, Allah melimpahkan karunia yang sangat besar pada kita, negeri
kita Indonesia, negara kepulauan, yang kaya raya dengan sumberdaya alam, emas,
nikel, tembaga, gas, baulsit, timah, minyak, dan lain-lain. Tidak kurang dari
17.503 pulau besar dan kecil, 5.707 telah memiliki nama, 719 bahasa daerah,
1.340 suku, tahun 2016 penduduk 258 juta lebih, diperkirakan 305 juta pada
tahun 2035.
Karena kekayaan alam yang luar biasa itu, negara-negara asing berebut
menjajah. Belanda 350 tahun, mengeruk kekayaan alam, remaph, dll. Jepang
menjajah 3,5 tahun. Negara yang subur makmur dilintasi Garis Katulistiwa ini
dengan kemajemukan yang seharusnya adil makmur bahagia sejahtera, dalam
kenyataannya, sekarang ini, masih memprihatinkan.
Indeks kualitas hidup di angka 71 dari 111 negara, indeks persepsi
korupsi 143 dari 179 negara, indeks pembangunan manusia 108 dari 177 negara
(wikipedia.org). Sekitar 85,2% memeluk Islam, 8,9% Protestan, 3% Katolik, 1,8%
Hindu, 0,8% Budha, dan 0,3% lain-lain. Pemerintah juga mengakui Konghucu
sebagai agama resmi.
Kemajemukan atau pluralitas yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan yang
luar biasa. Jika ini bisa dirawat baik-baik serasa harmoni sebuah orkestra yang
indah, yang menjadi modal utama untuk menggapai asa dan harapan terwujudnya
baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (QS. Saba:15). "Jikalau sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi meteka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (QS. Al-A'raf:
96).
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, telah menggariskan hukum kehidupan atau
sunnatuLlah ini secara pasti. Seharusnya kita hidup lebih makmur karena
kekayaan alam ini berlimpah. Tetapi masih banyak warga negara kita yang harus
mencari rizqi di negeri orang. Bagaimana mereka akan mendapat kebahagiaan
sejati, jika tempat mata pencahariannya di negeri orang. "Hujan emas di
negeri orang, masih lebih enak hujan batu di negeri sendiri". Tentu lebih
enak lagi "hujan emas di negeri sendiri". Jangankan hujan emas, emas
sudah habis dibawa ke luar negeri, seperti di Papua, dan banyak tempat lainnya.
Tambang minyak harus diekspor mentah, dan ngimpor lagi yang siap pakai. Tenaga
kerja kita banyak yang pengangguran, ironisnya, banyak tenaga kasar didatangkan
dari luar. Bahkan dengan kebijakan bebas visa, sudah banyak yang harus
dideportasi karena menjadi tenaga kerja illegal.
Narkoba telah memporakporandakan negeri ke darurat. 57 orang/perhari mati
sia-sia karenanya. Angka kriminalitas meningkat. Dalam 1 menit 32 detik terjadi
satu tindak kriminal. Indonesia di peringkat 68 dari 147 negara. Apakah itu
semua bisa diatasi? Bagaimana caranya?
Kata kuncinya, mari kita cermati secara seksama. Rasulullah saw pesan
"dua kelompok manusia apabila baik maka rakyatnya akan baik, dan apabila
dua kelompok itu rusak, maka ruaak juga manusia lainnya, yaitu ulama dan
umara'" (Abu Na'im dari Ibnu Abbas).
Ulama idealnya jadi panutan umat (قدوة الامة).
Tidak malahan jadi provokator, yang dengan keangkuhannya menghasut dan
menciptakan kebencian terhadap sesama umat seagama. Provokator tidak hanya
harus bersuara teriak-teriak di atas mobil menggunakan speaker, tetapi melalui
tulisan atau media sosial, juga berdampak lebih tajam dari pisau. Yang paling
tajam di dunia ini adalah lisan (Al-Ghazaly). Seorang ulama dari kata alim,
mestinya adalah seorang pemimpin atau imam. Ia mengayomi, membimbing,
menyayangi, menasehati, dan melindungi. Apalagi jika sampai ulama yang
mencemooh ulama lain, umat akan rusak, karena pasti memicu benih konflik antar
pengikutnya.
Umara yang adil dan amanah adalah kunci sukses bagi terwujudnya
kemakmuran. Dalam ungkapan bijak dinyatakan "pemimpin suatu bangsa adalah
pelayan mereka" (امير القوم هو خادمهم). Anehnya, pemimpin di negeri
ini, berubah menjadi penguasa. Akhirnya obsesi, niat, dan praktik
kepemimpinannya, lebih didominasi sebagai penguasa. Ketika modal untuk
mendapatkan "kursi" kekuasaannya menghabiskan biasa besar, maka hukum
ekonomi yang berlaku. Minimal balik modal dan harus untung. Akhirnya mutasi
jabatan di bawahnya jadi "komoditas". Jual beli jabatan menjadi modus
dan trend.
Rakyat ini terutama yang mayoritas masih hidup dalam kekurangan,
membutuhkan jaminan dan kepastian bisa hidup layak saja. Kekayaan negeri ini
perlu dijaga, tidak semua harus dilepas kepada asing. Nanti bisa warga negara
sendiri jadi asing di negeri sendiri. Apalagi sampai mati kelaparan di lumbung
padi. Na'udzu biLlah.
Saudaraku, jika Anda adalah pejabat atau umara', berbahagialah, karena
jabatan adalah kehormatan tetapi sekaligus ujian. Tetapi jika Anda mampu
menjadi umara' yang adil, maka Allah Tuhan Yang Maha Esa, akan membantu Anda
dalam upaya memakmurkan hamba-hamba-Nya. Allah akan memberkahi Anda, untuk
meraih dan mewujudkan negeri ini gemah ripah loh jinawi nir ing sambikolo,
baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.
Jika Anda adalah rakyat biasa seperti saya, marilah ibarat shalat
berjamaah, jadi makmum yang baik. Kalau jamaah belum selesai janganlah buat
jamaah sendiri. Tidak elok dan tidak indah. Ibarat musik, kok bunyi sendiri.
Meski Anda musisi terkenal. Sumbang jadinya. Kalau ada imam yang keliru,
ingatkan dia secara baik-baik. Jangan permalukan dia di depan banyak orang. Dan
itu sesungguhnya, Anda secara tidak sadar membuka aib sendiri. Katamu,
"sesama orang yang seagama, cintanya, kasih sayangnya, adalah ibarat satu
tubuh, jika anggota tubuh ada yang sakit, yang lain merasakan sakit juga"
(al-Bukhari dan Muslim). Jika ada pemimpin negara atau pemerintahan yang salah,
sama-sama kita bacakan "tasbih" untuk mengingatkannya secara
baik-baik.
Saudaraku, mari kita rawat dengan baik kemajemukan kita dengan baik, kita
siram dengan air kasih sayang, kita pupuk dengan persaudaraan, kita bangun
pagar dengan saling menghormati perbedaan, jangan dirusak dengan memaksa
persamaan, insya Allah kita akan menempati rumah besar Indonesia ini dalam
keadilan, kemakmuran, dan kebahagiaan. Allah a'lam bi al-shawab.
Wassalamu'alaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 26/1/2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda