NASIKH DAN MANSUKH
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Yang diampu Oleh : Dr.
Syaifuddin, M.A
Disusun Oleh :
Kristanto
1400018025
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Agama Islam merupakan
agama yang menjadikan perubahan secara totalitas. Salah satu agama samawi
memiliki pedoman hidup dan berada pada
jalan yang benar pedoman itu adalah adanya Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan bagian
terpenting bagi umat Islam. Karena dengan Al-Qur’an, dunia yang saat ini kita
rasakan dipenuhi dengan cahaya Ilmu. Andaikan Al-Qur’an tidak diturunkan
mungkin alam raya ini gelap dan kita seperti manusia sebelum datang Islam
menyembah bukan kepada Allah. Akan tetapi Al-Qur’an telah merubah segalanya,
dari berbagai aspek kehidupan aqidah, ibadah dan tentu saja keutamaan akhlak yang mulia yang menjadi prioritas utama adanya
Al-Qur’an. Kitab
Al-Qur’an adalah kitab yang sangat luar biasa
yang berada diluar kemampuan apapun.[1]
Manusia seperti Muhammad saw adalah makhluk yang kuat dalam menerima Al-Qur’an
tersebut, hal ini kerena kehendak
Allah. Andaikan Al-Qur’an itu diturunkan
kepada gunung, Maka kamu (Muhammad) akan melihatnya tunduk terpecah belah
karena gentar kepada Allah.[2]
Hal ini menjadi sebuah penjelasan bahwa kita harus menerima dan mempelajari
Al-Qur’an dengan baik.
Sudah seyogyanya
sebagi seorang muslim mengetahui dan memahami Islam secara totalitas. Kemudian berusaha
mengamalkan dengan kesungguhan. Tidak hanya cukup membacanya saja. Akan tetapi realitas yang ada ketika umat
Islam mempelajari Al-Qur’an dan ingin memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terkadang menemukan ayat yang kontradiksi (tidak selaras),
bahkan bertolak belakang antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, adanya ayat semacam ini tentu saja harus dipahami, harus dikaji dengan
intensif sehingga tidak membingungkan. Sebagai seorang muslim sendiri yang
ingin ahli dalam bidang hukum, fikih, tafsir tentunya jika mereka
tidak memahami nasikh dan mansukh juga akan memiliki
pemahaman yang kacau dan kabur, bahkan sahabat Ali mengatakan kepada seorang
hakim yang tidak memilki ilmu nasikh dan mansukh dengan ucapan celaka dan mencelakakan orang lain.[3] Tentu
hal ini sangat berbahaya sekali dalam dunia keilmuan.
Ayat yang
kontradiksi harus dicari titik temu. Problem
semacam ini merupakan bagian terpenting di dalam ilmu Al-Qur’an yang harus dipahami secara totalitas. Ilmu Nasakh sendiri sebenarnya memiliki
problematika yang sangat banyak, hal ini
disebabkan karena kerancauan dalam pemahaman makna nasakh. Selain itu
juga disebabkan tercampurnya nasakh
dengan istilah ushul fikih antara lain Mansa’, takshih Al-‘Am,
takshih Al-muthlaq, tabyin Al-Mubham, dan mujmal. [4].
Maka sebagai seorang muslim kita harus memahami nasikh dan mansukh dengan benar
jangan sampai kita memahami makna dari
nasikh dan mansukh itu setengah-setengah dan rancu. Karena memahami
Al-Qur’an tanpa mengetahui nasikh dan mansukh ayat maka kurang
dan tidak sempurna. [5]
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang sudah penulis
jabarkan di atas maka penulis dapat
memberikan rumusan maslah sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan
nasikh dan mansukh dan bagaimana keberadaannya dalam Al-Qur’an?
2.
Apa perbedaan antara nasikh da mansukh
dengan takhsis ?
3.
Bagaimana jika ayat Al-Qur’an berat untuk dilaksankan perlukah
ayat tersebut di Nasikh dan Pada zaman seperti saat ini masih dibutuhkan nasikh mansukh atau tidak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian nasikh dan mansukh dan
keberadaannya dalam Al-Qur’an.
Nasakh secara bahasa merupakan bentuk ubahan dari kata naskh, yang merupakan mashdar dari kata
kerja نسخ
yang memiliki beberapa makna antara lain
mempunyai arti penghapusan (al-izalah) yang terdapat dalam QS. Al-hajj : 52 ,
memindahkan (an-naql), penggantian (at-tabdil) yang terdapat
dalam Q.S.An-Nahl : 101.[6] Abu Hasan Ahmad bin Zakriya memberi tambahan
makna dengan at-tahwil (pengalihan) pngertian ini dipapakai dalam ilmu faraidh
(pembagian harta pusaka)[7]
Syeikh Muhammad Abdul ‘Adhim Az-Zarqoni di
dalam bukunya Manahilul ‘urfan Fi ‘Ulumi al-Qur’an menjelaskan bahwa naskh
secara bahasa adalah إزلة الشيئ وإعدامه (menghapus sesuatu dan hilangnya sesuatu), نقل الشيئ وتحويله مع بقائه فى نفسه (memindah sesuatu dengan
mengubahnya dengan ketetapan sesuatu yang sama.[8]
Nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata nasikh
yang merupakan mashdar dari dari kata kerja (kalimah fi’il) nasakha.
kata Nasikh sendiri memiliki banyak makna yang bisa berarti
menghilangkan (al-‘izalah).[9] Kata Nasakh menurut bahasa
dipergunakan untuk arti izalah
(menghilangkan) Misalnya نَسَخَتِ الشَّمْسُ
الظَّلَّ artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan نَسَخَتِ الرِّيْحُ اَثَرَ لْمَشْيِ artinya angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata nasakh
juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat
lain. Misalnya نَسَخْتُ الْكِتَابَ artinya saya memindahkan (menyalin) apa yang
ada dalam buku.[10]
Pengertian nasakh secara etimologi di atas
sama dengan yang dijelaskan oleh Imam Jalaludin As-Suyuti dala kitabnya
Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an yang menjelaskan makana naskh antara lain :
a. Al-
Izalah atau Penghapusan.
!$tBur
$uZù=yör&
`ÏB
y7Î=ö6s%
`ÏB
5Aqߧ
wur
@cÓÉ<tR
HwÎ)
#sÎ)
#Ó©_yJs?
s+ø9r&
ß`»sÜø¤±9$#
þÎû
¾ÏmÏG¨ÏZøBé&
ã|¡Yusù
ª!$#
$tB
Å+ù=ã
ß`»sÜø¤±9$#
¢OèO
ãNÅ6øtä
ª!$#
¾ÏmÏG»t#uä
3
ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÅ3ym
ÇÎËÈ
Artinya : dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak
(pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan
apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Hajj : 52).
b. At-tabdil (Penggantian)
#sÎ)ur
!$oYø9£t/
Zpt#uä
c%x6¨B
7pt#uä
ª!$#ur
ÞOn=ôãr&
$yJÎ/
ãAÍit\ã
(#þqä9$s%
!$yJ¯RÎ)
|MRr&
¤tIøÿãB
4
ö@t/
óOèdçsYø.r&
w
tbqßJn=ôèt
ÇÊÉÊÈ
Artinya. dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui (Q.S. An-Nahl : 101).
c. Pengalihan atau pemindahan,misalnya نسخت الكتب
(aku menukil kitab itu) akan tetapi dalam makna ini ulama maaky berpendapat
bahwa makna pemindahan tidak layak digunakan dalam Al-Qur’an.[11]
Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
pengetian nasakh secara etimologi
memiliki makna yang beraneka ragam antara lain al-izalah
(mengganti) , an-Naql (memindah) at-tabdil (mengganti) dalil
syar’i dengan dali syar’i pula. Setelah kita memahami makna nasakh secara
etimologi maka selanjutnya mari kita pahami mankna nasakh secra terminologi
agar kita memahami makna nasakh dengan
benar.
Sedangkan Makna nasakh menurut secara istilah juga memilki beberapa
perbedaan dalam pandangan ulama menurut Syaikh Manna’ Al-Qathan beliau menjelaskan
bahwa nasakh adalah رفع الحكم
الشرعي بخطاب شرعي
yang artinya adaalh engangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab
(dalil) syara’ yang lain”. [12]
sedangkan menurut Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy dalam kitabnya
manahilu urfan fi ulumil Qur’an beliau menjelaskan nasakh adalah رفع الحكم
الشرعي بدليل شرعي متأخر mengangkat / menghapus hukum
syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.[13]
Nasikh-mansukh diberlakukan manakala pertentangan antara
diberlakukan apabila pertentangan antara teks-teks dalam Al-Qur’an tidak dapat
dipertemukan lagi (al-jamu’), sehingga cara peneyelesainnya adalah
menjadikan ayat yang diwahyukan terdahulu sebagai ayat yang mansukh
(terhapus) oleh ayat yang diwahyukan belakangan.[14] Bisa kita pahami bahwa nasakh merupakan
penghapusan hukum yang datang lebih awal dengan hukum yang datang lebih akhir. Jika
makna Nasakh Menurut Istilah رفع الحكم mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan
dalil hukum (khitab) syara’ yang lain maka yang menjadi pegangan adalah dalil
yang mengankat atau menghapus harus lebih kuat dibandungkan dengan dalil yang
dihapus. Kata Nasikh yang menghapus dapat diartikan dengan Allah seperti di
dalam kalimat ننسخ من اية ما dengan ayat atau sesuatu
yang yang dengannya nasakh diketahui seperti dikatakan هذه لاية ناسخة الاية كذا (ayat ini mengahapus ayat anu) dan juga dengan
hukum yang menghapuskan hukum yang lain.
Nasikh adalah
ayat yang menghapus. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an sebaagai
berikut :
$tB
ô|¡YtR
ô`ÏB
>pt#uä
÷rr&
$ygÅ¡YçR
ÏNù'tR
9ös¿2
!$pk÷]ÏiB
÷rr&
!$ygÎ=÷WÏB
3
öNs9r&
öNn=÷ès?
¨br&
©!$#
4n?tã
Èe@ä.
&äóÓx«
íÏs%
ÇÊÉÏÈ
Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan,
atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah : 106)
Mansukh adalah hukum yang diangkat
atau dihapuskan. [15]
Jadi jika ayat yang pertama sudah tidak dapat dijadikan satu kesatuaan yang
saling mengisi maka ayat yang pertama secara langsung terhapus dengan ayat yang
datang belakang atau diakhir yang membahas dalam masalah yang sama.
Dari urain di
atas dapat disimpulkan bahwa nasikh dan
mansukh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang
lain. Nasikh adalah ayat yang menghapus hukum yang terdahulu sedangkan mansukh
adalah hukum yang dihapus. Dalil yang datang lebih awal menghapus hukum dalil
yang terdahulu. Dalam nasikh dan mansukh diperlukan syarat-syarat berikut :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab
syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang lain mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat
atau dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab
jika demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.[16]
B.
Pembagian nasikh dan mansukh
Naskh dibagi menjadi empat bagian yaitu :
1.
Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Naskh ini disepakati kebolehannya
dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh
2.
Naskh Al-Qur’an dengan As-sunah.
Naskh ini dibagi menjadi dua yaitu :
a.
Naskh Al-Qur’an dengan hadis ahad jumhur ulama berpendapat Al-Qur’an
tidak boleh dinaskh oleh hadis ahad. Hal ini
Al-Qur’an adalah mutawatir kebenarannya adalah Qoth’iyatu sugut
sedangkan hadis ahad kebenarannya adalah dzanni bersifat dugaan. Juga tidak
boleh menghapus yang ma’lum (diketahui) dengan yang madzhnun( diduga)
b.
Naskh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir. Naskh ini dibolehkan Malik,
Abu Handifah dan Ahmad dalam satu riwayat. Sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu Allah. Hal ini didasarkan pada Firman Allah berikut ini
:
$tBur
ß,ÏÜZt
Ç`tã
#uqolù;$#
ÇÌÈ ÷bÎ)
uqèd
wÎ)
ÖÓórur
4Óyrqã
ÇÍÈ
Artinya
: Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(Q.S.An-Najm : 3-4)
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
Ìç/9$#ur
3
!$uZø9tRr&ur
y7øs9Î)
tò2Ïe%!$#
tûÎiüt7çFÏ9
Ĩ$¨Z=Ï9
$tB
tAÌhçR
öNÍkös9Î)
öNßg¯=yès9ur
crã©3xÿtGt
ÇÍÍÈ
Artinya
: keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu
Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. An-Nahl: 44)
3.
Naskh sunah dengan Al-Qur’an. Naskh ini dibolehkan oleh Jumhur.
Sebagai contoh ialah qiblat yang diterangkan dalam hadis menghadap ke bait
al-Maqdis) di naskh dengan Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menghadap ke
masjdi al-haram. Hal ini diterangkan dalam Q.S.Al-Baqarah : 144
ÉeAuqsù
y7ygô_ur
tôÜx©
ÏÉfó¡yJø9$#
ÏQ#tysø9$#
4
Atinya : Maka Palingkanlah mukamu ke
arah masjid al-haram.
Asy-syafi’i
mengatakan bahwa sekiranya Al-Qur’an di naskh dengan sunnah. Maka Al-Qur’an
yang menguatkannya, dan sekiranya sunnah di naskh dengan Al-Qur’an maka
bersamaan dengan itu ada hadis yang memperkuatnya. Dalam hal ini bisa kita
pahami bahwa Al-Qur’an kebenarannya adalah
qot’i sedangkan hadis adalah dzoni. ada sebagian ulama yang berpendapat
dan itu masuk akal yaitu Al-Qur’an hanya bisa di naskh dengan Al-Qur’an. .[17]
Hal ini dengan alasan yang sebanding dengan Al-Qur’an hanyalah Al-Qur’an. Jadi
nasikh dan mansukh yang paling kuat
adalah Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
C.
Macam-Macam Nasikh-mansukh
Naskh
dalam Al-Qur’an dibagi menjadi 3 yaitu :
1.
Naskh tilawah dan hukum. Naskh ini misalnya peristiwa yang
diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain. Dari Aisyah ia berkata :
عَنْ
عَائِشَةٍ رَضِيَ الله عَنها قالت:كَانَ فِيْمَا اُنْزِلَ عشرُ رضاعاتٍ معلوماتٍ
يُحَرِّمْنَ
بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأنِ
Dari ‘Aisyah r.a berkata. Termasuk ayat Al-Qur’an yang
dinuzulkan (yaitu ayat yang menerangkan ) sepuluh kali susuan yang diketahui
itu menjadikan mahram (haram dikawini) lalu di nasakh dengan lima kali
susuan yang nayata. Maka menjelang wafat Rasulullah saw ayat-ayat itu masih
termasuk yang dibaca Al-Qur’an.
Menurut al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya
al-Intishar menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak nasak tidak membenarkan
naskh ini. Karena ditetapkan oleh hadis ahad.[18]
Jika kita memahami teks diatas tentu saja kurang tepat jika Al-Qur’an dihapus
dengan hadis ahad. Karena jika yang sebanding dengan Al-Qur’an adalah ayat
Al-Qur’an.
2. Naskh hukum tanpa menasakh bacaan.
Maksud dari nasakh ini adalah tulisan atau ayat tetap ada dan boleh dibaca
akan tetapi isi dari hukum yang terkandung dalam bacaan tersebut misalnya. Ayat
–ayat di bawah ini .
tûïÏ%©!$#ur
cöq©ùuqtGã
öNà6YÏB
tbrâxtur
%[`ºurør&
Zp§Ï¹ur
OÎgÅ_ºurøX{
$·è»tG¨B
n<Î)
ÉAöqyÛø9$#
uöxî
8l#t÷zÎ)
4
÷bÎ*sù
z`ô_tyz
xsù
yy$oYã_
öNà6øn=tæ
Îû
$tB
Æù=yèsù
þ ÆÎgÅ¡àÿRr&Îû `ÏB
7$rã÷è¨B
3
ª!$#ur
îÍtã
×LìÅ6ym
ÇËÍÉÈ
Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi
jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari
yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah : 240)
tûïÏ%©!$#ur
tböq©ùuqtFã
öNä3ZÏB
tbrâxtur
%[`ºurør&
z`óÁ/utIt
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/
spyèt/ör&
9åkôr&
#Zô³tãur
(
#sÎ*sù
z`øón=t/
£`ßgn=y_r&
xsù
yy$oYã_
ö/ä3øn=tæ
$yJÏù
z`ù=yèsù
þÎû
£`ÎgÅ¡àÿRr&
Å$râ÷êyJø9$$Î/
3
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
×Î6yz
ÇËÌÍÈ
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada
Dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka. menurut
yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 134).
Bacaan dari surat Al-Baqarah ayat 240 di atas yang menjelaskan masa ‘Idah
selama satu tuhan. hukum yang ada di dalam ayat tersebut sudah dihapus oleh
surat Al-Baqarah ayat 134 yang menjelaskan masa ‘idahnya hanya 4 bulan sepuluh
hari. Dalam penghapusan tidak melihat urutan ayat. Akan tetapi dilihat dari
waktu turunnya ayat. Ayat yang turun lebih awal akan dihapus hukumnya dengan
ayat yang turun belakangan.
3.
Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Maksudnya tulisan
ayatnya sudah dihapus, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Dalil yang
menetapkan adanya naskh ini adalah hados ‘umar bin Khatab dan Ubay bin Ka’ab
yang berkata :
كان
فيما أنزل من القرأن الشيخ ولشيخة إذا زينا فارجموهما البتة نكالا من الله
Artinya : Termasuk dari ayat Al-Qur’an yang diturunkan
adalah ayat yang artinya orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau
keduanya berzina. Maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah. [19]
Sahabat umar di dalam hal
ini menyampaikan andai kata sahabat umar tidak takut akan dikatakan bahwa umar
menambahi kitab Allah maka sahabat umar akan menulis dengan tangannya sendiri. Dalam hal ini sahabat umar berkeyakinan bahwa ayat tersebut berasal
dari hadis ahad yang tidak dapat digunakan untuk menetapkan Al-Qur’an maka hal
itu tidak dapat diterima.[20]
Sebenarnya jika kita pahami isi dari hadis dia atas isi yang terkandung di
dalamnya seperti dalam surat An-Nur ayat 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi
pezina laki-laki dan perempuan .Ayat tentang zina yang terdapat di dalam surat
An-nur ayat 2 beriku t ini :
èpuÏR#¨9$#
ÎT#¨9$#ur
(#rà$Î#ô_$$sù
¨@ä.
7Ïnºur
$yJåk÷]ÏiB
sps($ÏB
;ot$ù#y_
(
wur
/ä.õè{ù's?
$yJÍkÍ5
×psùù&u
Îû
ÈûïÏ
«!$#
bÎ)
÷LäêZä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
(
ôpkô¶uø9ur
$yJåku5#xtã
×pxÿͬ!$sÛ
z`ÏiB
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
ÇËÈ
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(Q.S. An-Nur
: 2).
D.
Fungsi nasikh mansukh
Jika kita
pahami dari pengertian nasikh dan mansuk di atas sebenarnya kita dapat
mengetahui fungsi dari nasikh dan mansuk di dalam ulum al-Qur’an. Akan tetapi
kita lebih baik mengetahui pemikiran orang lain terlebih dahulu sebelum kita
menganalisis dengan pemikiran kita. sehingga dapat kita jadikan rujukan di
dalam menganilisi.
fungsi dari nasikh mansukh antara lain sebagai
berikut menurut Nashr Hamid Abu zaid sebagai berikut :
1. Memberikan
hukum tasyri’ secara bertahapselangkah demi selangkah dengan memperhatikan
hukum penahapan dalam proses perubahan.
2. Memberikan
kemudahan dan penahapan dalam menerapkan
syari’at Islam. Maka di dalam nasikh mansukh tetap ditampilkan teks-teks yang
dinaskh dan yang me –naskh (Nasik dan masukh) karena hukum ayat yang dinaskh
suatu saat dapat dimunculkan kembeli oleh realistas yang ada pasa kehidupan
saat ini.[21]
Bagian yang
paling terpenting dalam memahami nasikh dan mansukh adalah penggantian
ayat-ayat dalam nasikh dan mansukh adalah penggantian hukum-hukum, bukan
mengubah teks. Hal ini dilakukan dengan cara membatalkan yang lama dengan yang baru baik
secara tekstual maupun hukumnya.[22]
Hal ini bisa kita lihat keberadaan hukum yang dihapus maupun yang menghapus
sampai saat ini masih bisa kita pelajari. Maka nasikh dan mansukh pada intinya
adalah penguatan hukum dengan cara menghapus hukum yang lama dengan hukum yang
baru. Tentu saja hal ini demi kebaikan umat manusia . Karena Allah sebenarnya
lebih mengetahui apa yang terbaik untuk
umat manusia.
Menurut Thaha
Perkembangan syari’at Islam sebenarnya hanyalah perpindahan ayat ke ayat yang
lain dari ayat yang sejalan dengan situsasi masa abad ke VII. Beralih ke ayat
yang lebih tepat untuk kondisi waktu sekarang. Oleh karean itu, ketika ayat
–ayat madaniyah menaskh ayat-ayat dasar makiyah dan telah menjalankan fungsinya
dan habis masanya. Maka ayat tersebut tidak layak untuk situasi baru abad ke
XX. Ayat-ayat yang layak untuk masa sekarang adalah ayat-ayat makiyah yang
berisi pesan Islam paripurna. Ayat yang dahulunya sesuai dengan situasi dan kondisi di Makkah dan mungkin belum bisa diterima masyarakat Makkah pada saat itu ketika di madinah bisa digunakan. Hal ini menunjukan nasikh
dan mansukh pada era sekarang ini sudah tidak ada lagi. umat Islam pada saat
ini tinggal menikmati dan melaksanakan hukum dan syari’at Islam yang sudah
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi di dalam hukum-hukum tertentu misal
dalam hukum fikih bisa dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Islam yang
intinya tidak boleh keluar dari area pondasi Al-Qur’an dan hadis. Artinya
Al-Qur’an dan hadis berfungsi sebagai dasar
dalam melakukan pemikiran dan pengembangan hukum.
E.
Memahami Takhsisul ‘Am
Nasakh memilki
problematika yang sangat rumit.. Hal ini disebabkan karena pencampuran antara
makna nasakh dengan istilah-istilah ushul fikih sehingga menjadikan kerancauan
dalam menangkap makna nasakh. antara lain Mansa’, takshih Al-‘Am,
takshih Al-muthlaq, tabyin Al-Mubham, dan mujmal. Maka selayaknya
bagi kita untuk memahami makna daan maksud dari istilah-istilah diatas
sehinngga menjadi pencerah dalam memahami makna nasikh dan mansukh yang
sebenarnya.[23]
Akan tetapi penulis hanya akan memperdalam makna takhsis Al- Am dan mencari
perbedaan antara nasakh dengan takhsis. Sehingga dengan pemahaman yang benar
akan menjadi titik temu perbedaan antara takhsis dengan nasikh dan mansukh.
Takhsis kata
Khass yang merupakan lawan kata dari ‘Aam. Takshis dalam pandangan Syaikh
Muhammad Abdul ‘adzhim Az-Zarqony adalah قصر العام على
بعض أفرده (mengeluarkan
sebagian apa yang dicakup lafadz ‘Aam.[24] Pengertian
diatas sama dengan yang dikemukakan oleh Mana’ Al-Qathan. Sedangkan mukhasis
adalah ayat yang mengkhususkan. Ayat yang mukhasis adakalanya munfashil dan
adakalanya muttasil. muttasil yaitu antara ‘aam dengan mukhasis
tidak dipisahkan oleh suatu hal, sedangkan munfashil kebalikan dari muttasil.
Mukhasis munfashil adalah mukhasis yang terdapat dalam tempat yang lain, baik
ayat, hadis, ijma’ dataupun qiyas.[25]
Sedangkan Nashr Hamid Abu Zaid menjelaskan
bahwa takhsisuldibagi menjadi dua yaitu yang pertama kata yang ‘amm merupakan
kalimat yang memiliki format kata umum, namun makna yang terkandung di dalam
kalimat tersebut tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut.
Maksudnya makna yang terkandung dalam kata tersebut dalah khusus. Sedangkan
yang kedua adalah kata yang menurut bentuk dan maknaanya ‘amm, namun hukum
(pesan) yang ada pada teks tersebut tidak tepat diterapkan pada acuan kata
tersebut. [26]
Menurut
ulama fikih yang disebut dengan ‘Aam yang ditakhsis.
Jadi bisa kita
pahami bahwa ayat-ayat yang bersifat umum bisa ditakshsis dengan alasan-atau
argumen yang lain. Karena pengkhususan dalam makna tersebut. Karena kata yang
bersifat umum (‘amm) pasti diangankan ada takhsisnya. Contoh ayat yang
menjelaskan tentang manusia harus bertakwa dan takut kepada Allah يا ايها الناس اتفوا ربكم ))
ayat itu menjelaskan tentang “wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanm”
ayat tersebut ditakhsiskanoleh orang-orang muakalaf. Ada lagi ayat yang
menjelaskan tentang larangan memakan bangkai (حرمت
عليكم الميتة ) penjelasan
tersebut ditakhsis dengan kondisi yang darurat, dan dengan kehalalan bangkai
belalang dan ikan. Akan tetapi As-Suyuti menemukan bahwa ada aya-ayat yang tidak
ada takhsisnya mislalnya ayat menjelaskan tentangnya diharamkannya seorang ibu
( حرمت عليكم
امها تكم ). [27] Ayat
ini menjelaskan bahwa larangan menikahi seorang ibu itu bersifat umum dan tidak
bisa ditakhsis dalam kondisi apapun.
Maka dari itu
kita harus memahami makna takhsis ada ayat yang ‘Amm akan tetapig maksdunya adalah k hass
dan ‘amm yang ditakhsis (lafadz yang umum kemudian ditakhsis dengan lafadz yang
lain dalam pembahasan materi yang berkaitan ) untuk lebih jelasnya dapat dibedakan maka
alangkah lebih baik jika perbedaan tersebut dibuat dalam sebuah tabel yaitu sebagai
berikut :
TABEL PERBEDAAN ‘AMM BERSIFAT KHASS
DAN ‘AMM YANG DI TAKHSIS
Letak
perbedaan
|
‘Amm maksudnya khass
|
‘Aam yang ditakhsis
|
Makna Lafadz
|
Khusus
|
Umum
|
Sifat Makna
|
Metaforis
|
Hakiki
|
Perangkat Takhsis
|
Rasional bersambung
|
Verbal besambung atau terpisah
|
Hukum
|
Khusus
|
Khusus
|
F. Perbedaan
antara nasikh mansukh dengan Takhsis
Bisa kita ketahui
bahwa perbedaan antara Naskh dengan takhsis di dalam kitab manahillul ‘urfan karya Syaikh
Muhammad Abdul ‘adzhim Az-Zarqani bahwa Nasakh adalah رفع
الحكم الشرعي با الدليل الشرعي sedangkan takhsis adalah قصر العام على بعض أفرده
. akan tetapi dapat dibedakan sebagai
berikut :
1. Takhsis membatasi jumlah afradul ‘amm sedangkan nasakh membatalkan hukum
yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
2. Takhsis hanya masuk pada hukum dalil
‘amm, nasakh bisa masuk pada dalil amm dan dalil khash.
3. Takhsis bisa masuk pada hukum dan
berita , sedangkan nasakh dapat masuk pada hukum saja.
4. Takhsis tidak dibatasi dengan waktu sedangkan
nasikh dibatasi dengan waktu. Karena ayat yang lama dinasakh dengan ayat yang
baru.
5. Takhsis
ayat yang bersifat ‘Amm yang ditakhsis itu merupakan sebuah hukum yang
berlaku. Sedangkan Nasakh adalah ayat yang diturunkan oleh Allah SWT itu turun dan
diberlakukan, kemudian ayat itu dihapus dengan ayat yang baru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari rumusan
masalah yang penulis tulis pada Bab I dan
dan pembahasan di Bab II penulis
menganalisi dan menyimpulkan sebagai berikut :
1.
Keberdaan nasikh dan mansukh memang ada dalam ulum Al-Qur’an . akan tetapi penghapusan tidak pada tekstual
ayat akan tetapi hanya hukum yang ada dalam ayat tersebut. Keberadaaannya juga di akui
oleh Jumhur Ulama.
2.
Nasikh mansukh adalah pengangkatan hukum syar’i dengan
dali syar’i yang datang lebih akhir. Ayat Al-Qur’an yang berat untuk
dilaksanakan tidak boleh dinaskh karena Allah lebih mengetahui apa yan terbaik
untuk hambanya. Nasikh dan
mansukh di era seperti saat ini juga tidak perlu nasikh dan mansukh. Ayat yang
menjadi acuan dan pegangan adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Islam
kembali ke Makkah dengan paripurna dan kesempurnaan.
3.
Nasikh dan mansukh dengan takhsis memiliki perbedaan
yaitu jika nasikh dan mansukh adalah pengangkatan hukum syar’i dengan hukum
syar’i
takhsis
adalah mengkhususkan lafadz yang bersifat umum atau mengkhususkan lafadz dalam
kalimaat yang bersifat umum .
A. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang membahas tentang “nasikh
dan mansukh” semoga kita bisa mengambil pelajaran bahwa ilmu Al-Qur’an itu
sangat luas. Jika lautan dijadikan sebagai tinta bahkan dilipatgandakan untuk menulis ilmu Allah maka
itu belum cukup. Selayaknya bagi kita untuk terus menggali dan mempelajari
ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
jauh dari sempurna dan banyak kalimat-kalimat yang salah atau tidak bisa
dipahami. Untuk itu kritik dan saran selalu kami nantikan guna kesempurnaan
tugas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Amal,
Taufik. Rekonstruks Sejarah Al-Qur’an. Jakarta : PT Pustaka Alvabet.
2013
Az-Zarqoni, Muhammad ‘Abdul Adzhim. Manahilul ‘Urfan
Fi Ulumil Qur’an Juz 2.. Darul Fikri 1362 H.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Semarang, PT. Karya Toha Putra. 2002
Hermawan, Acep, M.Ag. ‘Ulumul Qur’an ilmu untuk
memahami Wahyu. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya. 2011
Imam Jalaludin As-Shuyuti. Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an. Terje. Ulumul
Qur’an II. Surakarta : Indiva Pustaka. 2009
Maktabah
Syamilah. An-nasikh wa al-mansukh li ibn khazm di pembahasan surat
Al-Baqarah
Maktabah Syamilah. Nasikh wa al-mansukh li Ibni
As-salamah. Dalam muqodimah Mualif
Mudzakir AS. Drs., Studi ilmu-ilmu Qur’an terjemah
kitab Mabahis fi ‘ulum Al-Qur’an karya Manna’
Khalil Al-Qattan. Jakarta. : PT.
Pustaka Litera Antarnusa. 2011.
Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’an kritik terhadap Ulumul Qur’an. .
Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara. 2005 .
Supiana, Drs. M.Ag
dan M. Karman, M.Ag. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Islamika..
2002.
Syaikh Manna’ AlQathan. Mabahhots Fi Ulumil Qur’an. Kairo :
Maktabah Wahbah, 2004. Terj. El-Mazni, Aunur Rafiq, H. Lc. M.A. Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Al-Kautsar. 2007
Wijaya Aksin, , Dr.
SH. M.Ag. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik
Fenomena. Yogyakarta : Budaya.Pustaka Belajar.. 2009.
[3] Drs. Mudzakir AS., Studi ilmu-ilmu Qur’an terjemah kitab Mabahis fi
‘ulum Al-Qur’an karya Manna’ Khalil
Al-Qattan. PT. Pustaka Litera Antarnusa. Jakarta. 2011. Hal. 329
Satu waktu Ali ibn Abu Talib masuk ke mesjid jamik
Kaufah, ia menemukan seorang laki-laki yang bernama Abd al-Raman ibn Daabi (
teman dekat Abu Musa al-asy’ary) sedang melaksanakan halaqah dan
memberikan penjelasaan atas pertanyaan peserta, Ali RA mendengar penjelasannya
sudah mencampurbaurkan antara yang dilarang dengan yang diperintahkan dan
antara halal dengan haram, Ali RA lalu bertanya kepada Abd ar-Rahman ibn Daabi
“apakah kamu tahu nasikh dan mansyukh”, ia menjawab : “saya tidak tahu”. Kata
Ali RA : “anda telah sesat dan rusak serta merusak orang lain”. Lebih lanjut
lihat Qatadah Ibn Daamah al-Sadusiy, al-Nasikh wa al-Mansukh, ( Bairut :
Muassasah al-Risalah, 1988), hlm .8-9. Penjelasan ayat ini juga bisa dilihat
dalam kitab Mana’ul Qathan.
[4] Acep Hermawan, M.Ag. ‘Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011. hlm. 149
[8] Muhammad Abdul ‘Adzhim Az-Zarqoni. Manahilul ‘Urfan Fi ‘Ulumil Qur’an.
Darul Fikri. , Beirut - Lebanon 1362 H. hlm. 175
[11] Imam Jalaludin As-Shuyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Terj. Ulum
Al-Qur’an. Indiva Pustaka. Surakarta, 2009. Hal. 173
[12] Syaikh Manna’ Al-Qathan. Mabahits Fi ‘ulum Al-Qur’an. Terjemah Pengantar
studi Al-Qur’an, H. Ainur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.
2007, hlm. 284
[14] Dr. Aksin Wijaya, SH. M.Ag. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an Memburu
Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya.Pustaka Belajar. Yogyakarta. 2009.
hlm. 136
[20]
Nashr Hamid Abu zaid. Tekstualitas Al-Qur’an kritik terhadap Ulumul Qur’an. Lkis Pelangi Aksara. Yogyakarta.
2005.hal. 159
[22] Ibid.
hal. 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda