Pengikut

Rabu, 13 April 2016

makalah studi alqur'an naskh wa mansukh



NASIKH DAN MANSUKH
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Yang diampu Oleh  : Dr. Syaifuddin, M.A

Disusun Oleh :
Kristanto
1400018025

PROGRAM PASCA SARJANA  
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Agama Islam merupakan agama yang menjadikan perubahan secara totalitas. Salah satu agama samawi memiliki pedoman hidup  dan berada pada jalan yang benar pedoman itu adalah  adanya Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan bagian terpenting bagi umat Islam. Karena dengan Al-Qur’an, dunia yang saat ini kita rasakan dipenuhi dengan cahaya Ilmu. Andaikan Al-Qur’an tidak diturunkan mungkin alam raya ini gelap dan kita seperti manusia sebelum datang Islam menyembah bukan kepada Allah. Akan tetapi Al-Qur’an telah merubah segalanya, dari berbagai aspek kehidupan aqidah, ibadah dan  tentu saja keutamaan akhlak yang  mulia yang menjadi prioritas utama adanya Al-Qur’an. Kitab Al-Qur’an adalah kitab yang sangat luar biasa  yang berada diluar kemampuan apapun.[1] Manusia seperti Muhammad saw adalah makhluk yang kuat dalam menerima Al-Qur’an tersebut,  hal ini kerena kehendak Allah.  Andaikan Al-Qur’an itu diturunkan kepada gunung, Maka kamu (Muhammad) akan melihatnya tunduk terpecah belah karena gentar kepada Allah.[2] Hal ini menjadi sebuah penjelasan bahwa kita harus menerima dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik. 
Sudah seyogyanya sebagi seorang muslim mengetahui dan memahami Islam secara totalitas. Kemudian berusaha mengamalkan dengan kesungguhan. Tidak hanya cukup membacanya saja.  Akan tetapi realitas yang ada ketika umat Islam mempelajari Al-Qur’an dan ingin memperdalam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Terkadang  menemukan ayat yang kontradiksi (tidak selaras), bahkan bertolak belakang antara ayat yang satu dengan ayat yang lain,  adanya ayat semacam  ini tentu saja harus dipahami, harus dikaji dengan intensif sehingga tidak membingungkan. Sebagai seorang muslim sendiri yang ingin ahli dalam bidang hukum, fikih, tafsir tentunya  jika mereka  tidak memahami nasikh dan mansukh juga akan memiliki pemahaman yang kacau dan kabur, bahkan sahabat Ali mengatakan kepada seorang hakim yang tidak memilki ilmu nasikh dan mansukh dengan ucapan  celaka dan mencelakakan orang lain.[3] Tentu hal ini sangat berbahaya sekali dalam dunia keilmuan.  
Ayat yang kontradiksi harus dicari titik temu. Problem semacam ini merupakan bagian terpenting di dalam ilmu Al-Qur’an yang harus dipahami secara totalitas. Ilmu Nasakh sendiri sebenarnya memiliki problematika yang sangat banyak, hal ini  disebabkan karena kerancauan dalam pemahaman makna nasakh. Selain itu juga disebabkan tercampurnya  nasakh dengan istilah ushul fikih antara lain Mansa’, takshih Al-‘Am, takshih Al-muthlaq, tabyin Al-Mubham, dan mujmal. [4]. Maka sebagai seorang muslim kita harus memahami nasikh dan mansukh dengan benar jangan sampai kita memahami makna dari  nasikh dan mansukh itu setengah-setengah dan rancu. Karena memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui nasikh dan mansukh ayat maka kurang dan tidak sempurna. [5]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar  belakang yang sudah penulis jabarkan  di atas maka penulis dapat memberikan rumusan maslah sebagai berikut :
1.      Apakah  yang dimaksud dengan nasikh dan  mansukh dan bagaimana keberadaannya dalam Al-Qur’an?
2.      Apa perbedaan antara nasikh da mansukh dengan takhsis  ?
3.      Bagaimana jika ayat Al-Qur’an berat untuk dilaksankan perlukah ayat  tersebut di Nasikh dan   Pada zaman seperti saat ini  masih dibutuhkan nasikh mansukh  atau tidak ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian nasikh dan mansukh dan keberadaannya dalam Al-Qur’an.
Nasakh secara bahasa merupakan bentuk ubahan dari kata naskh, yang merupakan mashdar dari kata kerja نسخ yang memiliki beberapa makna antara  lain mempunyai arti penghapusan (al-izalah) yang terdapat dalam QS. Al-hajj : 52 , memindahkan (an-naql), penggantian (at-tabdil) yang terdapat dalam Q.S.An-Nahl : 101.[6] Abu Hasan Ahmad bin Zakriya memberi tambahan makna dengan at-tahwil (pengalihan) pngertian ini dipapakai dalam ilmu faraidh (pembagian harta pusaka)[7]
 Syeikh Muhammad Abdul ‘Adhim Az-Zarqoni di dalam bukunya Manahilul ‘urfan Fi ‘Ulumi al-Qur’an menjelaskan bahwa naskh secara bahasa adalah إزلة الشيئ  وإعدامه (menghapus sesuatu dan hilangnya sesuatu), نقل الشيئ وتحويله مع بقائه فى نفسه  (memindah sesuatu dengan mengubahnya dengan ketetapan sesuatu yang sama.[8]
Nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata nasikh yang merupakan mashdar dari dari kata kerja (kalimah fi’il) nasakha. kata Nasikh sendiri memiliki banyak makna yang bisa berarti menghilangkan (al-‘izalah).[9]  Kata Nasakh menurut bahasa dipergunakan  untuk arti izalah (menghilangkan) Misalnya نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظَّلَّ artinya matahari menghilangkan bayang-bayang dan نَسَخَتِ الرِّيْحُ اَثَرَ لْمَشْيِ  artinya angin menghapuskan jejak perjalanan. Kata nasakh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya نَسَخْتُ الْكِتَابَ artinya saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku.[10]

Pengertian nasakh secara etimologi di atas sama dengan yang dijelaskan oleh Imam Jalaludin As-Suyuti dala kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an yang menjelaskan makana naskh antara lain :
a.        Al- Izalah atau Penghapusan.
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ Ÿwur @cÓÉ<tR HwÎ) #sŒÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$#
 þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3
 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÎËÈ    
Artinya : dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Hajj : 52).
b.      At-tabdil (Penggantian)
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s%
 !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ  
Artinya. dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui (Q.S. An-Nahl : 101).
c.       Pengalihan atau pemindahan,misalnya نسخت الكتب (aku menukil kitab itu) akan tetapi dalam makna ini ulama maaky berpendapat bahwa makna pemindahan tidak layak digunakan dalam Al-Qur’an.[11]
Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetian nasakh secara etimologi  memiliki makna yang beraneka ragam antara lain al-izalah (mengganti) , an-Naql (memindah) at-tabdil (mengganti) dalil syar’i dengan dali syar’i pula. Setelah kita memahami makna nasakh secara etimologi maka selanjutnya mari kita pahami mankna nasakh secra terminologi agar kita memahami makna  nasakh dengan benar.
Sedangkan Makna nasakh  menurut secara istilah juga memilki beberapa perbedaan dalam pandangan ulama menurut Syaikh Manna’ Al-Qathan beliau menjelaskan bahwa nasakh   adalah رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي yang artinya adaalh engangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”. [12] sedangkan menurut Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy dalam kitabnya manahilu urfan fi ulumil Qur’an beliau menjelaskan nasakh adalah  رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.[13]
Nasikh-mansukh diberlakukan manakala pertentangan antara diberlakukan apabila pertentangan antara teks-teks dalam Al-Qur’an tidak dapat dipertemukan lagi (al-jamu’), sehingga cara peneyelesainnya adalah menjadikan ayat yang diwahyukan terdahulu sebagai ayat yang mansukh (terhapus) oleh ayat yang diwahyukan belakangan.[14] Bisa kita pahami bahwa nasakh merupakan penghapusan hukum yang datang lebih awal dengan hukum yang datang lebih akhir. Jika makna Nasakh Menurut Istilah رفع الحكم  mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain maka yang menjadi pegangan adalah dalil yang mengankat atau menghapus harus lebih kuat dibandungkan dengan dalil yang dihapus. Kata Nasikh yang menghapus dapat diartikan dengan Allah seperti di dalam kalimat ننسخ من اية ما dengan ayat atau sesuatu yang yang dengannya nasakh diketahui seperti dikatakan هذه لاية ناسخة الاية كذا  (ayat ini mengahapus ayat anu) dan juga dengan hukum yang menghapuskan hukum yang lain.
Nasikh adalah ayat yang menghapus. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an sebaagai berikut :
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã
 Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ  
Artinya : ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah : 106)
Mansukh adalah hukum yang   diangkat atau dihapuskan. [15] Jadi jika  ayat yang pertama sudah  tidak dapat dijadikan satu kesatuaan yang saling mengisi maka ayat yang pertama secara langsung terhapus dengan ayat yang datang belakang atau diakhir yang membahas dalam masalah yang sama.  
Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa  nasikh dan mansukh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain. Nasikh adalah ayat yang menghapus hukum yang terdahulu sedangkan mansukh adalah hukum yang dihapus. Dalil yang datang lebih awal menghapus hukum dalil yang terdahulu. Dalam nasikh dan mansukh diperlukan syarat-syarat berikut :
1.      Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2.      Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang lain  mansukh.
3.      Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab  jika demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.[16]
B.     Pembagian nasikh dan mansukh
Naskh dibagi menjadi empat bagian yaitu :
1.      Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Naskh ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh
2.      Naskh Al-Qur’an dengan As-sunah.  Naskh ini dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Naskh Al-Qur’an dengan hadis ahad jumhur ulama berpendapat Al-Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadis ahad. Hal ini  Al-Qur’an adalah mutawatir kebenarannya adalah Qoth’iyatu sugut sedangkan hadis ahad kebenarannya adalah dzanni bersifat dugaan. Juga tidak boleh menghapus yang ma’lum (diketahui) dengan yang madzhnun( diduga)
b.      Naskh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir. Naskh ini dibolehkan Malik, Abu Handifah dan Ahmad dalam satu riwayat. Sebab masing-masing keduanya adalah wahyu Allah. Hal ini didasarkan pada Firman Allah berikut ini :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Artinya : Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S.An-Najm : 3-4)
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î)
öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
Artinya : keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. An-Nahl:  44)
3.      Naskh sunah dengan Al-Qur’an. Naskh ini dibolehkan oleh Jumhur. Sebagai contoh ialah qiblat yang diterangkan dalam hadis menghadap ke bait al-Maqdis) di naskh dengan Al-Qur’an yang memerintahkan untuk menghadap ke masjdi al-haram. Hal ini diterangkan dalam Q.S.Al-Baqarah : 144
ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4
       Atinya : Maka Palingkanlah mukamu ke arah masjid al-haram.

Asy-syafi’i mengatakan bahwa sekiranya Al-Qur’an di naskh dengan sunnah. Maka Al-Qur’an yang menguatkannya, dan sekiranya sunnah di naskh dengan Al-Qur’an maka bersamaan dengan itu ada hadis yang memperkuatnya. Dalam hal ini bisa kita pahami bahwa Al-Qur’an kebenarannya adalah  qot’i sedangkan hadis adalah dzoni. ada sebagian ulama yang berpendapat dan itu masuk akal yaitu Al-Qur’an hanya bisa di naskh dengan Al-Qur’an. .[17] Hal ini dengan alasan yang sebanding dengan Al-Qur’an hanyalah Al-Qur’an. Jadi nasikh dan mansukh  yang paling kuat adalah Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
 
C.    Macam-Macam Nasikh-mansukh
Naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi 3 yaitu :
1.      Naskh tilawah dan hukum. Naskh ini misalnya peristiwa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain. Dari Aisyah ia berkata :
عَنْ عَائِشَةٍ رَضِيَ الله عَنها قالت:كَانَ فِيْمَا اُنْزِلَ عشرُ رضاعاتٍ معلوماتٍ يُحَرِّمْنَ
 بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأنِ
Dari ‘Aisyah r.a berkata. Termasuk ayat Al-Qur’an yang dinuzulkan (yaitu ayat yang menerangkan ) sepuluh kali susuan yang diketahui itu menjadikan mahram (haram dikawini) lalu di nasakh dengan lima kali susuan yang nayata. Maka menjelang wafat Rasulullah saw ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca Al-Qur’an.
Menurut al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intishar menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak nasak tidak membenarkan naskh ini. Karena ditetapkan oleh hadis ahad.[18] Jika kita memahami teks diatas tentu saja kurang tepat jika Al-Qur’an dihapus dengan hadis ahad. Karena jika yang sebanding dengan Al-Qur’an adalah ayat Al-Qur’an.

2.      Naskh hukum tanpa menasakh bacaan.
Maksud dari nasakh ini adalah tulisan atau ayat tetap ada dan boleh dibaca akan tetapi isi dari hukum yang terkandung dalam bacaan tersebut misalnya. Ayat –ayat di bawah ini .
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{
$·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ
Îû $tB šÆù=yèsù þ ÆÎgÅ¡àÿRr&Îû  `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ  
Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Al-Baqarah : 240)
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r&
 #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr&
Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada Dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka. menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q.S. Al-Baqarah : 134).
Bacaan dari surat Al-Baqarah ayat 240 di atas yang menjelaskan masa ‘Idah selama satu tuhan. hukum yang ada di dalam ayat tersebut sudah dihapus oleh surat Al-Baqarah ayat 134 yang menjelaskan masa ‘idahnya hanya 4 bulan sepuluh hari. Dalam penghapusan tidak melihat urutan ayat. Akan tetapi dilihat dari waktu turunnya ayat. Ayat yang turun lebih awal akan dihapus hukumnya dengan ayat yang turun belakangan.
3.      Menaskh bacaan ayat tanpa menaskh hukumnya. Maksudnya tulisan ayatnya sudah dihapus, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Dalil yang menetapkan adanya naskh ini adalah hados ‘umar bin Khatab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata :
كان فيما أنزل من القرأن الشيخ ولشيخة إذا زينا فارجموهما البتة نكالا من الله
Artinya : Termasuk dari ayat Al-Qur’an yang diturunkan adalah ayat yang artinya orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina. Maka rajamlah sekaligus sebagai balasan dari Allah. [19]
            Sahabat umar di dalam hal ini menyampaikan andai kata sahabat umar tidak takut akan dikatakan bahwa umar menambahi kitab Allah maka sahabat umar akan menulis dengan tangannya sendiri. Dalam hal ini sahabat umar berkeyakinan bahwa ayat tersebut berasal dari hadis ahad yang tidak dapat digunakan untuk menetapkan Al-Qur’an maka hal itu tidak dapat diterima.[20] Sebenarnya jika kita pahami isi dari hadis dia atas isi yang terkandung di dalamnya seperti dalam surat An-Nur ayat 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi pezina laki-laki dan perempuan .Ayat tentang zina yang terdapat di dalam surat An-nur ayat 2 beriku t ini :
  èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's?
 $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur
$yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ    
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(Q.S. An-Nur : 2).
D.    Fungsi nasikh mansukh
Jika kita pahami dari pengertian nasikh dan mansuk di atas sebenarnya kita dapat mengetahui fungsi dari nasikh dan mansuk di dalam ulum al-Qur’an. Akan tetapi kita lebih baik mengetahui pemikiran orang lain terlebih dahulu sebelum kita menganalisis dengan pemikiran kita. sehingga dapat kita jadikan rujukan di dalam menganilisi.
 fungsi dari nasikh mansukh antara lain sebagai berikut menurut Nashr Hamid Abu zaid sebagai berikut :
1.      Memberikan hukum tasyri’ secara bertahapselangkah demi selangkah dengan memperhatikan hukum penahapan dalam proses perubahan.
2.      Memberikan kemudahan dan penahapan  dalam menerapkan syari’at Islam. Maka di dalam nasikh mansukh tetap ditampilkan teks-teks yang dinaskh dan yang me –naskh (Nasik dan masukh) karena hukum ayat yang dinaskh suatu saat dapat dimunculkan kembeli oleh realistas yang ada pasa kehidupan saat ini.[21]
Bagian yang paling terpenting dalam memahami nasikh dan mansukh adalah penggantian ayat-ayat dalam nasikh dan mansukh adalah penggantian hukum-hukum, bukan mengubah teks. Hal ini dilakukan dengan cara membatalkan  yang lama dengan  yang baru   baik secara tekstual maupun hukumnya.[22] Hal ini bisa kita lihat keberadaan hukum yang dihapus maupun yang menghapus sampai saat ini masih bisa kita pelajari. Maka nasikh dan mansukh pada intinya adalah penguatan hukum dengan cara menghapus hukum yang lama dengan hukum yang baru. Tentu saja hal ini demi kebaikan umat manusia . Karena Allah sebenarnya lebih mengetahui  apa yang terbaik untuk umat manusia.
Menurut Thaha Perkembangan syari’at Islam sebenarnya hanyalah perpindahan ayat ke ayat yang lain dari ayat yang sejalan dengan situsasi masa abad ke VII. Beralih ke ayat yang lebih tepat untuk kondisi waktu sekarang. Oleh karean itu, ketika ayat –ayat madaniyah menaskh ayat-ayat dasar makiyah dan telah menjalankan fungsinya dan habis masanya. Maka ayat tersebut tidak layak untuk situasi baru abad ke XX. Ayat-ayat yang layak untuk masa sekarang adalah ayat-ayat makiyah yang berisi pesan Islam paripurna. Ayat yang dahulunya sesuai dengan  situasi dan kondisi di Makkah dan mungkin belum bisa diterima masyarakat Makkah pada saat itu ketika di madinah bisa digunakan.  Hal ini menunjukan nasikh dan mansukh pada era sekarang ini sudah tidak ada lagi. umat Islam pada saat ini tinggal menikmati dan melaksanakan hukum dan syari’at Islam yang sudah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi di dalam hukum-hukum tertentu misal dalam hukum fikih bisa dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Islam yang intinya tidak boleh keluar dari area pondasi Al-Qur’an dan hadis. Artinya Al-Qur’an dan hadis berfungsi sebagai dasar  dalam melakukan pemikiran dan pengembangan hukum.
E.     Memahami Takhsisul ‘Am
Nasakh memilki problematika yang sangat rumit.. Hal ini disebabkan karena pencampuran antara makna nasakh dengan istilah-istilah ushul fikih sehingga menjadikan kerancauan dalam menangkap makna nasakh. antara lain Mansa’, takshih Al-‘Am, takshih Al-muthlaq, tabyin Al-Mubham, dan mujmal. Maka selayaknya bagi kita untuk memahami makna daan maksud dari istilah-istilah diatas sehinngga menjadi pencerah dalam memahami makna nasikh dan mansukh yang sebenarnya.[23] Akan tetapi penulis hanya akan memperdalam makna takhsis Al- Am dan mencari perbedaan antara nasakh dengan takhsis. Sehingga dengan pemahaman yang benar akan menjadi titik temu perbedaan antara takhsis dengan nasikh dan mansukh.
Takhsis kata Khass yang merupakan lawan kata dari ‘Aam. Takshis dalam pandangan Syaikh Muhammad Abdul ‘adzhim Az-Zarqony adalah قصر العام على بعض أفرده (mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz ‘Aam.[24] Pengertian diatas sama dengan yang dikemukakan oleh Mana’ Al-Qathan. Sedangkan mukhasis adalah ayat yang mengkhususkan. Ayat yang mukhasis adakalanya munfashil dan adakalanya muttasil. muttasil yaitu antara ‘aam dengan mukhasis tidak dipisahkan oleh suatu hal, sedangkan munfashil kebalikan dari muttasil. Mukhasis munfashil adalah mukhasis yang terdapat dalam tempat yang lain, baik ayat, hadis, ijma’ dataupun qiyas.[25]
 Sedangkan Nashr Hamid Abu Zaid menjelaskan bahwa takhsisuldibagi menjadi dua yaitu yang pertama kata yang ‘amm merupakan kalimat yang memiliki format kata umum, namun makna yang terkandung di dalam kalimat tersebut tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan kata tersebut. Maksudnya makna yang terkandung dalam kata tersebut dalah khusus. Sedangkan yang kedua adalah kata yang menurut bentuk dan maknaanya ‘amm, namun hukum (pesan) yang ada pada teks tersebut tidak tepat diterapkan pada acuan kata tersebut. [26] Menurut ulama fikih yang disebut dengan ‘Aam yang ditakhsis.
Jadi bisa kita pahami bahwa ayat-ayat yang bersifat umum bisa ditakshsis dengan alasan-atau argumen yang lain. Karena pengkhususan dalam makna tersebut. Karena kata yang bersifat umum (‘amm) pasti diangankan ada takhsisnya. Contoh ayat yang menjelaskan tentang manusia harus bertakwa dan takut kepada Allah  يا ايها الناس اتفوا ربكم ))  ayat itu menjelaskan tentang “wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanm” ayat tersebut ditakhsiskanoleh orang-orang muakalaf. Ada lagi ayat yang menjelaskan tentang larangan memakan bangkai (حرمت عليكم الميتة ) penjelasan tersebut ditakhsis dengan kondisi yang darurat, dan dengan kehalalan bangkai belalang dan ikan. Akan tetapi As-Suyuti menemukan bahwa ada aya-ayat yang tidak ada takhsisnya mislalnya ayat menjelaskan tentangnya diharamkannya seorang ibu ( حرمت عليكم امها تكم ). [27] Ayat ini menjelaskan bahwa larangan menikahi seorang ibu itu bersifat umum dan tidak bisa ditakhsis dalam kondisi apapun. 
Maka dari itu kita harus memahami makna takhsis ada ayat  yang ‘Amm akan tetapig maksdunya adalah k hass dan ‘amm yang ditakhsis (lafadz yang umum kemudian ditakhsis dengan lafadz yang lain dalam pembahasan materi yang berkaitan )  untuk lebih jelasnya dapat dibedakan maka alangkah lebih baik jika perbedaan tersebut dibuat dalam sebuah tabel yaitu sebagai berikut :   




TABEL PERBEDAAN ‘AMM BERSIFAT KHASS
DAN ‘AMM YANG DI TAKHSIS
 Letak perbedaan
‘Amm maksudnya khass
‘Aam yang ditakhsis
Makna Lafadz
Khusus
Umum
Sifat Makna
Metaforis
Hakiki
Perangkat Takhsis
Rasional bersambung
Verbal besambung atau terpisah
Hukum
Khusus
Khusus

F.     Perbedaan antara nasikh mansukh dengan Takhsis
Bisa kita ketahui bahwa perbedaan antara Naskh dengan takhsis  di dalam kitab manahillul ‘urfan karya Syaikh Muhammad Abdul ‘adzhim Az-Zarqani bahwa   Nasakh adalah رفع الحكم الشرعي با الدليل الشرعي    sedangkan takhsis adalah قصر العام على بعض أفرده .  akan tetapi dapat dibedakan sebagai berikut :
1.       Takhsis membatasi jumlah afradul amm sedangkan nasakh membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
2.      Takhsis hanya masuk pada hukum  dalil ‘amm, nasakh bisa masuk pada dalil amm dan dalil khash.
3.      Takhsis bisa  masuk pada hukum dan berita  , sedangkan  nasakh dapat masuk pada hukum saja.
4.      Takhsis tidak dibatasi dengan waktu sedangkan nasikh dibatasi dengan waktu. Karena ayat yang lama dinasakh dengan ayat yang baru.
5.       Takhsis  ayat yang bersifat ‘Amm yang ditakhsis itu merupakan sebuah hukum yang berlaku. Sedangkan Nasakh adalah ayat  yang diturunkan oleh Allah SWT itu turun dan diberlakukan, kemudian ayat itu dihapus dengan ayat yang baru.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari rumusan masalah yang penulis tulis pada Bab I dan  dan pembahasan di Bab II  penulis menganalisi dan menyimpulkan sebagai berikut :
1.      Keberdaan nasikh dan mansukh memang ada dalam ulum Al-Qur’an . akan tetapi penghapusan tidak pada tekstual ayat akan tetapi hanya hukum yang ada dalam ayat tersebut. Keberadaaannya juga  di akui oleh Jumhur Ulama.
2.      Nasikh mansukh adalah pengangkatan hukum syar’i dengan dali syar’i yang datang lebih akhir. Ayat Al-Qur’an yang berat untuk dilaksanakan tidak boleh dinaskh karena Allah lebih mengetahui apa yan terbaik untuk hambanya. Nasikh dan mansukh di era seperti saat ini juga tidak perlu nasikh dan mansukh. Ayat yang menjadi acuan dan pegangan adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Islam kembali ke Makkah dengan paripurna dan kesempurnaan.
3.      Nasikh dan mansukh dengan takhsis memiliki perbedaan yaitu jika nasikh dan mansukh adalah pengangkatan hukum syar’i dengan hukum syar’i
 takhsis adalah mengkhususkan lafadz yang bersifat umum atau mengkhususkan lafadz dalam kalimaat yang bersifat umum .
A.    Kritik dan Saran
Demikian makalah yang membahas tentang  nasikh dan mansukh” semoga kita bisa mengambil pelajaran bahwa ilmu Al-Qur’an itu sangat luas. Jika lautan dijadikan sebagai tinta bahkan  dilipatgandakan untuk menulis ilmu Allah maka itu belum cukup. Selayaknya bagi kita untuk terus menggali dan mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna dan banyak kalimat-kalimat yang salah atau tidak bisa dipahami. Untuk itu kritik dan saran selalu kami nantikan guna kesempurnaan tugas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

 Adnan Amal, Taufik. Rekonstruks Sejarah Al-Qur’an. Jakarta : PT Pustaka Alvabet. 2013
Az-Zarqoni, Muhammad ‘Abdul Adzhim. Manahilul ‘Urfan Fi Ulumil Qur’an Juz 2.. Darul Fikri 1362 H.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang, PT. Karya Toha Putra. 2002
Hermawan, Acep, M.Ag. ‘Ulumul Qur’an ilmu untuk memahami Wahyu. Bandung : PT Remaja  Rosdakarya. 2011
Imam Jalaludin As-Shuyuti.  Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an. Terje. Ulumul Qur’an II. Surakarta : Indiva Pustaka. 2009
Maktabah Syamilah. An-nasikh wa al-mansukh li ibn khazm di pembahasan surat Al-Baqarah
Maktabah Syamilah. Nasikh wa al-mansukh li Ibni As-salamah. Dalam muqodimah Mualif
Mudzakir AS. Drs., Studi ilmu-ilmu Qur’an terjemah kitab Mabahis fi ‘ulum Al-Qur’an  karya Manna’ Khalil Al-Qattan. Jakarta. : PT. Pustaka Litera Antarnusa. 2011.
Nasr Hamid Abu Zaid. Tekstualitas Al-Qur’an  kritik terhadap Ulumul Qur’an. . Yogyakarta  : Lkis Pelangi Aksara.  2005 .
Supiana, Drs.  M.Ag dan M. Karman, M.Ag. Ulumul Qur’an. Bandung  : Pustaka Islamika.. 2002.
Syaikh Manna’ AlQathan.  Mabahhots Fi Ulumil Qur’an. Kairo : Maktabah Wahbah, 2004. Terj. El-Mazni, Aunur Rafiq, H. Lc. M.A. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Al-Kautsar. 2007
Wijaya Aksin, , Dr.  SH. M.Ag. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena. Yogyakarta : Budaya.Pustaka Belajar.. 2009.



[1] Taufiq Adnan Amal. Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an.  PT Pustaka Alvabet. Jakarta. 2013. Hlm. xiii
[2] Q.S. Al-Hasyr : 21
[3] Drs. Mudzakir AS., Studi ilmu-ilmu Qur’an terjemah kitab Mabahis fi ‘ulum Al-Qur’an  karya Manna’ Khalil Al-Qattan. PT. Pustaka Litera Antarnusa. Jakarta. 2011. Hal. 329
Satu waktu Ali ibn Abu Talib masuk ke mesjid jamik Kaufah, ia menemukan seorang laki-laki yang bernama Abd al-Raman ibn Daabi ( teman dekat Abu Musa al-asy’ary) sedang melaksanakan halaqah dan memberikan penjelasaan atas pertanyaan peserta, Ali RA mendengar penjelasannya sudah mencampurbaurkan antara yang dilarang dengan yang diperintahkan dan antara halal dengan haram, Ali RA lalu bertanya kepada Abd ar-Rahman ibn Daabi “apakah kamu tahu nasikh dan mansyukh”, ia menjawab : “saya tidak tahu”. Kata Ali RA : “anda telah sesat dan rusak serta merusak orang lain”. Lebih lanjut lihat Qatadah Ibn Daamah al-Sadusiy, al-Nasikh wa al-Mansukh, ( Bairut : Muassasah al-Risalah, 1988), hlm .8-9. Penjelasan ayat ini juga bisa dilihat dalam  kitab Mana’ul Qathan.
[4] Acep Hermawan, M.Ag. ‘Ulumul Qur’an Ilmu untuk Memahami Wahyu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011. hlm. 149
[5] Maktabah Syamilah. Nasikh wa al-mansukh li Ibni As-salamah. Dalam muqodimah Mualif
[6] Drs, Nudzakir. Op.cit. hlm. 326
[7] Drs. Supiana M.Ag dan M. Karman, M.Ag. Ulumul Qur’an. Pustaka Islamika. Bandung. 2002. Hal. 149
[8] Muhammad Abdul ‘Adzhim Az-Zarqoni. Manahilul ‘Urfan Fi ‘Ulumil Qur’an. Darul Fikri. , Beirut - Lebanon 1362 H. hlm. 175
[9] Drs. Supiana M.Ag. log.cit.. Hal. 149
[10] Drs. Mudzakir AS.opcit. hlm.326
[11] Imam Jalaludin As-Shuyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Terj. Ulum Al-Qur’an. Indiva Pustaka. Surakarta, 2009. Hal. 173
[12] Syaikh Manna’ Al-Qathan. Mabahits Fi ‘ulum Al-Qur’an. Terjemah Pengantar studi Al-Qur’an, H. Ainur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2007, hlm. 284
[13] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany. Op.cit. 176
[14] Dr. Aksin Wijaya, SH. M.Ag. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya.Pustaka Belajar. Yogyakarta. 2009. hlm. 136
[15] Ibid. hlm. 286
[16] Drs. Mudzakir AS. Op.cit. hlm. 327
[17] Drs. Mudzakir AS. Op.cit. hlm. 337
[18] Drs. Supiana M.Ag dan M. Karman, M.Ag. opci.t. hlm. 152
[19] Ibid. hlm. 153
[20] Nashr Hamid Abu zaid. Tekstualitas Al-Qur’an  kritik terhadap Ulumul Qur’an. Lkis Pelangi Aksara. Yogyakarta.  2005.hal. 159
[21] Nashr Hamid Abu zaid.op.cit. hlm .146-147
[22] Ibid. hal. 150
[23] Acep Hermawan , M.Ag. log.cit. 149
[24] Syaikh Muhammad Abdul ‘adzhim Az-Zarqony. Op.cit. hlm. 184
[25] Drs. Mudzakir AS, op.cit. hlm. 320
[26] Nasr Hamid Abu Zaid. Op.cit. hlm. 258
[27] Ibid. Hlm. 29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda