KAJIAN CORAK TAFSIR ILMI
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Qur’an
Dosen
pengampu: Dr. Syaifuddin,
M. Ag
Disusun
Oleh:
Ilmi Hidayati
(1400018055)
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
KAJIAN CORAK TAFSIR ‘ILMI
A.
PENDAHULUAN
Mengingat
Al-Qur’an adalah otoritas utama sebagai pedoman umat Islam, dapatlah difahami
jika terdapat berbagai ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir
yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para
ulama selama ini untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan
menerjemahkan misi-misinya.[1]
Sebagai hasil karya
manusia, muncul keanekaragaman dalam corak penafsiran merupakan hal yang tak
terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman corak baik perbedaan
kecenderungan, interest dan motivasi mufasir, perbedaan misi yang
diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan
lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan
sebagainya. Semua itu menimbulkan corak yang kemudian berkembang menjadi aliran
besar dalam penafsiran Al-Qur’an.[2]
Penafsiran Al-Qur’an selalu diwarnai oleh pemikiran
mufassirnya, komentar dan ulasannya mengenai suatu ayat merupakan manivestasi
pikiran dan diwarnai oleh madzhab yang dianutnya. Seorang mufassir yang
bergelut dan menekuni sains eksata atau sangat tertarik dengan kajian-kajian
mengenai ilmu pengetahuan, maka penafsirannya selalu dikaitkan dengan teori
ilmu pengetahuan modern[3]
yang pada perkembangannya disebut dengan corak tafsir ‘Ilmi.
Ahmad
Asy-Syirbasyi dalam bukunya Sejarah Tafsir Qur’an memberikan ilustrasi
bahwa sejak zaman dahulu umat Islam telah berupaya menciptakan hubungan seerat
mungkin antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu
pengetahuan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian usaha tersebut ternyata semakin
berkembang dan banyak memberikan manfaat. Meskipun Al-Qur’an tidak menyebut
nama suatu ilmu, apalagi menguraikannya secara rinci, namun isyarat ke arah itu
banyak terdapat dalam ayat yang dapat dikemukakan sebagai landasan filosofinya.[4]
Melihat perkembangan penafsiran dengan corak ‘Ilmi
yang berkembang pesat di dunia keilmuan, tidak luput dari berbagai polemik yang
mewarnainya baik pro dan kontra didalamnya. Dan melihat perkembangan zaman yang
pesat khususnya di bidang keilmuan dan teknologi sains, maka bagaimana umat
Islam mampu mengkaji dan memberikan solusi jawaban tantangan zaman, sehingga
tafsir ‘ilmi tersebut berkembang dengan pesat dan tepat guna. Sehingga bertolak
dari berbagai pandangan di atas, maka makalah ini berusaha
mengkaji corak tafsir ‘Ilmi
yang meliputi; pengertian
tafsir ‘Ilmi, sejarah tafsir ‘Ilmi, kaidah penafsiran dengan tafsir ‘Ilmi, pandangan
ulama mengenai tafsir ‘Ilmi, tokoh tafsir ‘Ilmi beserta kitab tafsirnya, dan analisis
Paradigma Corak Tafsir ‘Ilmi.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Tafsir Ilmi
Secara
sederhana corak Al-Tafsir al-‘Ilmi[5] dapat
didefinisikan sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan
ilmiah. Ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah[6],
mendalami tentang teori-teori hukum alam yang ada dalam Al-Qur’an, teori-teori
pengetahuan umum dan sebagainya.[7]
Lebih lanjut Husain Adz-Dzahabi memberikan pengertian tafsir ‘Ilmi yaitu:
التّفسير الّذي يحكم الإصطلاحات العلميّة فى عبارات
القرأن ويجتهد فى استخرج مختلف العلوم والأراء الفلسفيّة منها
Artinya : “Tafsir yang
menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi
berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Quran dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi”.[8]
Sedangkan ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi
juga memberikan batasan sama terhadap tafsir ‘Ilmi, yaitu:
التّفسير الّذي يتوحّى أصحابه إخضاع عبارات القرأن
للنّظريات والإصطلاحات العلميّة وبذلا لآقضى الجهد فى استخراج مختلف مسا ئل العلوم
والأراء الفلْسفيّة منها
Artinya : “Tafsir yang
mufassirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam Al-Quran yaitu
mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala
kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan dan
pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.[9]
Dijelaskan pula mengenai tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran corak yang berusaha
untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an dengan bidang ilmu
pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat Al-Qur’an.[10]
Meskipun Al-Qur’an bukan kumpulan ilmu pengetahuan, namun di dalamnya banyak
terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, serta motivasi
manusia mendalaminya.
Jadi dapat disimpulkan pengertian tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran
Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu dari berbagai
dimensi ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.[11]
Atau
dapat kita pahami bahwa
mufassir menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an
dengan metode atau pendekatan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Tafsir ‘Ilmi berprinsip bahwa Al-Qur’an mendahului ilmu pengetahuan
modern, sehingga mustahil Al-Qur’an bertentangan dengan sains modern.[12]
Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para mufassir menulis
tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang
secara eksplisit maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu pengetahuan,
juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan Al-Qur’an dalam bidang ilmu
pengetahuan modern.[13]
2. Bagaimana
sejarah munculnya Tafsir ‘Ilmi
Lahirnya metode-metode penafsiran disebabkan oleh tuntutan perkembangan
masyarakat yang dinamis. Umat Islam yang semakin majemuk dengan
berbondong-bondongnya bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah tersebarnya
Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa
konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam, berbagai peradaban dan
kebudayaan non-Islam masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan
umat Islam menjadi terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian,
para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan
penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman
dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.[14]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa corak
tafsir ‘Ilmi muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk
memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.[15]
Al-Ghazali mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan tafsir ilmi
kepada umat Islam[16]
yang dianggap sebagai perintis tafsir ‘Ilmi. Sedang Fahrur
Ar-Razi[17]
merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis
dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat
dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir
Al-Kabir. Karya
monumental Tanthowi Jauhari[18]
(w. 1940), yaitu Tafsir al-Jawahir, cukup representatif untuk diajukan
sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat
dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya, diantaranya adalah Tafsir
Musthafa Zaid, Al-Qur’an Wa I’jazuhu al-Ilmi karya Isma’il Ibrahim, Al-Qur’an
wa ‘Ilm karya Ahmad Sulaiman, dan lain-lain.[19]
Dari berbagai proses kemunculan perkembangan tafsir ‘Ilmi, terdapat
beberapa isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an banyak sekali, diantaranya[20]
yaitu; Reproduksi manusia (surat al-Qiyamah ayat 37-39), kejadian alam semesta
(surat al-Anbiya ayat 30), awan (surat al-Nur ayat 43), kalender syamsiyah dan
qomariyah (surat al-Kahfi ayat 25), cahaya matahari bersumber dari dirinya dan
cahaya bulan merupakan pantulan (surat Yunus ayat 5 dan Nuh ayat 16), masa
penyusunan ideal dan masa kehamilan minimal (surat al-Baqarah ayat 233 dan
al-Ahqaf ayat 15), adanya apa yang dinamai nurani (superego) dan bawah
sadar manusia (surat al-Qiyamah ayat 14-15), asal kejadian cosmos (surat
Fushilat ayat 11), pembagian atom (surat Yunus ayat 61), perjodohan bagi semua
benda atau makhluk (surat al-Dzariyat ayat 49, surat Yasin ayat 36), selaput
rahim (surat Zumar ayat 6), penyerbukan dengan angin (surat al-Hijr ayat 22), sel-sel
(benih hidup) (surat al-‘Alaq ayat 1-2), penyelidikan dengan sidik jari manusia
(surat al-Qiyamah ayat 3-4).[21]
Dari berbagai kandungan di atas, maka corak penafsiran semacam ini
memberikan kesempatan yang sangat luas bagi para mufassir untuk mengembangkan
berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam Al-Qur’an.
3.
Kaidah penafsiran dengan corak Ilmi
a.
Kaidah Kebahasaan
Kaidah kebahasaan
merupakan syarat mutlak bagi
mereka yang ingin memahami Al-Qur’an. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu
yang terkait dengan bahasa seperti í’rab, nahwu, tashrif, dan berbagai
ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufassir.[22]
Kaidah kebahasaan
menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan legitimasi
dari ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah
kebahasaan ini.[23]
Oleh karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika seseorang
hendak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang digunakannya,
terlebih dalam paradigma ilmiah.
b.
Memperhatikan Korelasi Ayat
Seorang mufasir yang
menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan kaidah kebahasaan
seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi
ayat (munasabah al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini tidak
menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap Al-Qur’an.
Sebab penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an tidak didasarkan pada kronologi masa
turunnya, melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga
kandungan ayat-ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.[24]
Sehingga dengan mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas
suatu teks.
c.
Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia
tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat
relatif. Oleh karena itu, seorang mufassir hendaknya tidak memberikan pemaknaan
terhadap teks Al-Qur’an kecuali dengan hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan
ilmiah yang telah mapan dan sampai pada standar tidak ada penolakan atau
perubahan pada pernyataan ilmiah tersebut, serta berusaha menjauhkan dan tidak
memaksakan teori-teori ilmiah dalam menafsirkan Al-Qur’an.[25]
Fakta-fakta Al-Qur’an harus menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek
penelitian karena harus menjadi rujukan adalah fakta-fakta Al Qur’an, bukan
ilmu yang bersifat eksperimental.[26]
d.
Pendekatan Tematik
Corak tafsir ‘Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili
(analitik). Sehingga kajian tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial
dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu.
Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan mampu memberikan
pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru sebaliknya,
membingungkan bagi para pembacanya.[27]
Misalnya ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang konsep penciptaan
manusia, yang dalam terminologi Al-Qur’an diilustrasikan sebagai suatu proses
evolusi dengan menggunakan beberapa term yang berbeda-beda. Satu sisi manusia
diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia diciptakan dari dari air, atau air
mani yang hina. Jika ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki term yang sama ini tetap
dikaji secara parsial dan berdiri sendiri, tentu konsep yang dihasilkan pun
juga bersifat parsial dan tidak utuh. Akibatnya, pemaknaan atas persoalan
tersebut akan menjadi pertentangan dalam Al-Qur’an.[28]
Oleh karena itu pada perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah
menggunakan metode tafsir tematik yaitu penafsiran ayat-ayat dengan menentukan
terlebih dahulu suatu topik, lalu ayat-ayat tersebut dihimpun dalam satu
kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah teori.[29]
Dengan demikian, bagi seorang mufassir ‘Ilmi sebaiknya menghimpun seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan tema pembahasan, sehingga dapat
sampai kepada makna hakiki.
4. Pandangan Ulama
Tentang Tafsir Corak ‘Ilmi
Kemunculan tafsir ini disambut dengan perdebatan para mufassir, yaitu
antara mendukung dan menolak. Dalam tataran diskursus modern, tafsir ilmi
menjadi ajang polemik yang besar. Bagi para pendukungnya, kemunculan tafsir
ilmi merupakan fenomena wajar dan mesti terjadi. Ini mengingat, Al-Qur’an
sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak dilupakan didalamnya. Seperti
dalam firmanNya, “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab,
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ” (Q.S Al-An’am [6]: 38)[30]
Demikian halnya mengenai peranan perkembangan ilmu pengetahuan yang
mempengaruhi penafsiran. Penafsiran bukan menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an
mendukung suatu teori ilmiah, melainkan teori Al-Qur’an menyatakan adanya titik
persamaan dengan teori ilmiah. Hanya saja, perkembangan ilmu pengetahuan
seorang mufassir tidak mendukung isyarat Al-Qur’an sehingga terjadi kekeliruan,
yakni al-basth yang diartikan dengan terhampar bukan berbentuk bola
sebagaimana kenyataan yang ditemukan dalam teori ilmu pengetahuan. Jika
Al-Qur’an diharuskan mendukung teori ilmiah tidak ada keharusan bagi seorang
mufasir untuk mengomentari suatu teori, apalagi yang belum mapan, baik komentar
yang bersifat mendukung maupun yang bersifat menolaknya. Karena teori tersebut mungkin benar, mungkin keliru
secara keseluruhan atau sebagian. Hal tersebut akan dibuktikan oleh generasi
pencetusnya maupun generasi sesudahnya, sebagaimana juga pandangan mufasir itu
sendiri ketika ia menafsirkan Al-Qur’an.[31]
Oleh karena itu, para ulama berbeda pandangan baik pro maupun kontra dalam
menyikapi tafsir ini.
a. Ulama yang
Setuju dengan Tafsir Ilmi
Al-Ghazali seperti dikutip oleh Badri
Khaeruman, menyatakan bahwa seluruh bidang ilmu itu tercakup dalam af’al Allah
serta sifatnya. Al-Quran merupakan syarah Dzat-Nya, af’al-Nya,
dan sifat-Nya. Perkembangan ilmu tiada akhirnya. Lagi pula, di dalam Al-Quran terdapat isyarat keglobalan
ilmu pengetahuan, seperti
kedokteran, astronomi, ilmu pasti, hewani, dan sebagainya.[32]
Ahmad Syirbashi mengutip pernyataan
Ar-Rifa’i mengenai tafsir al-‘Ilmi bahwa sekalipun Al-Quran
hanya berupa isyarat ilmiah yang sepintas, namun kebenarannya selalu dapat
dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat Al-Quran senantiasa membuka diri bagi
akal pikiran dan memberikan pengertian yang benar mengenai apa saja. Kenyataan
membuktikan bahwa semakin maju akal pikiran manusia maka semakin banyak bidang
ilmu pengetahuan yang dikuasai serta tambahan pula dengan mendesaknya kebutuhan
untuk menemukan berbagai hal yang baru serta semakin sempurnanya peralatan yang
diperlukan untuk mengadakan penelitian; semua isyarat Al-Quran semakin muncul
kebenarannya.
Masih banyak rujukan naqilah
lainnya yang diklaim mereka sebagai isyarat pendukung jenis tafsir ini. Pokok
pemikiran itu dapat dilacak pada tokoh seperti Muhammad Abduh, Al-Maraghi,
Thantawi Jauhari, Sa’id Hawa, dan lain-lain.[33]
b. Ulama yang
Menolak Tafsir ‘Ilmi
Kemunculan corak
tafsir ‘ilmi belum
dapat diterima oleh sebagian ulama. Diantara ulama yang
menolak tafsir ilmi adalah Asy-Syatibi. Ia berpendapat bahwa penafsiran yang telah
dilakukan oleh ulama salaf
lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya.[34]
Dengan demikian, ulama yang menolak tafsir ilmi ini menyandarkan alasan bahwa
ulama terdahulu lebih mengetahui hakikat dan majaz Al-Qur’an. Sementara itu, pada
zaman sekarang, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apa pun yang dasarnya
dapat diterima, selama alasannya dapat dibenarkan dan tidak menyimpang dari
nilai utama Al-Qur’an sebagai hidayah dan rahmat bagi umat manusia dan alam
semesta.[35]
Bantahan
terhadap tafsir ‘Ilmi juga pernah ditulis oleh Rasyid Ridha dalam
pengantar Tafsir Al-Manar.[36]
Lebih lanjut dikemukakan oleh Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam karyanya Al-Ittijihat
al-munharifah fi at-Tafsir Al-Qur’an al-Karim dengan mencoba
melakukan penelitian terhadap berbagai penyimpangan dalam kitab-kitab tafsir.
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dari sejumlah tafsir yang ada,
sebagiannya telah melakukan penyimpangan. Kitab tafsir yang dimaksudkannya
adalah sebagian kitab menggunakan orientasi historis, teologis, sufistik,
linguistik, ilmiah, dan modern.[37]
Dijelaskan
lebih lanjut mengenai berbagai hal yang dianggap sebagai penyimpangan tafsir ‘Ilmi
yaitu para mufasir terlalu jauh dalam memberikan makna-makna yang tidak
dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada
teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh
tahun, oleh karena itu, teori-teori tersebut bersifat relatif. Mereka
berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan
menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an, oleh karena ia tidak tunduk kepada
teori-teori itu, tidak perlu pula mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Bahkan mereka keliru
ketika memperlakukan Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap
penemuan ilmu pengetahuan mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah
Al-Qur’an, kendatipun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan makna.[38]
c. Ulama yang
Bersikap Moderat
Selain
dua sikap yaitu pro dan kontra mengenai penafsiran dengan corak ‘Ilmi, ada
diantaranya yang bersikap moderat. Mereka mengatakan, “kita sangat perlu
mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita hikmah-hikmah dan
rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dan yang demikian itu
tidak ada salahnya, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti
pemahaman bahasa Arab, oleh karena Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia.
Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari Al-Qur’an sebatas kemampuan dan
kebutuhannya sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tujuan pokok Al-Qur’an
yaitu sebagai petunjuk. Banyak hikmah didalamnya yang jika digali oleh orang
ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahaya dan mampu menjelaskan
rahasia kemukjizatannya”.[39]
Jadi
dalam hal ini menurut penulis, pandangan yang menyatakan moderat yaitu menitik
beratkan pada pentingnya Al-Qur’an yang berisi ilmu pengetahuan di segala
bidang, yang memang harus banyak dikaji dan diambil hikmahnya bagi para
pembacanya. Tetapi perlu diingat juga bagaimana penafsiran ilmiah sesuai dengan
kaidah-kaidah yang telah ditatapkan.
5. Tokoh Tafsir ‘Ilmi
dan Kitab Tafsirnya
Adapun tokoh-tokoh
penafsir ‘Ilmi
beserta kitabnya yang
berusaha mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an antara lain
yaitu:
a.
Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
Pengarangnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali at tamimi,
Al Bakry, At Tabarastani, Ar Razi, dia punya nama panggilan Fahruddin, dan
dikenal juga dengan nama Ibn Khatib as Syafi’i. Lahir tahun 544 H. Dia
merupakan orang yang cerdas pada masanya dan banyak mengumpulkan ilmu-ilmu, dan
menjadi imam dalam ilmu tafsir dan kalam (tauhid), ilmu aqliyah, ilmu bahasa.
Dia sangat terkenal dan banyak ulama’ yang menimba ilmu darinya. Dia belajar
pertama kali dengan ayahnya Dziyauddin, yang terkenal dengan nama Khatib Al
Rayyi. Dia juga belajar dari Kamal Al Sam’ani, Majd Al Jili, dan ulama’
lainnya. Dia pintar
banyak bahasa baik Arab maupun bahasa selain Arab. Dia banyak memberikan
nasihat dan sering menangis ketika memberikan nasihat-nasihatnya. Kitab-kitab karangannya adalah Tafsir Kabir
yang terkenal dengan Mafatihul Ghaib, Tafsir Surat Fatihah.[40]
Ciri-ciri utama
tafsir Mafatih al-Ghaib yaitu antara lain:
1. Sangat
memperhatikan pengungkapan tentang munasabah ayat-ayat dan surat-surat dalam
Al-Qur’an, analisa susunan ayat.
2. Sering
memperdalam pembahasannya tentang ilmu-ilmu matematika, filsafat, ilmu alam,
serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggapnya baru dikalangan agamawan di masanya (ayat-ayat
kauniyah).
3. Melakukan
penolakan dan bantahan terhadap pandangan filosof yang bertentangan dengan
paham ahli sunah, juga menolak mu’tazilah.
4. Tekanan
pembahasan ar-Razi adalah masalah aqidah, risalah.[41]
b.
Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)
Thanthawi Jauhari adalah seorang seorang ulama modern
yang sangat fanatik terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya,
dijelaskan bahwa sejak dulu ia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan
merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi,
revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak,
kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban
lainnya. Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang
dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Karya monumental Tanthowi
Jauhari (w. 1940), yaitu Tafsir al-Jawahir, cukup representatif untuk diajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu
seperti dijelaskan Baljon, dapat dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu
lainnya. Di dalamnya terdapat pula kaedah-kaedah yang
menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang boleh kita
saksikan, fenomena-fenomena alam yang boleh kita lihat dari waktu ke waktu dan
hal-hal lain yang boleh diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga
itu semua sebagai suatu yang baru. Itu semua sebenarnya bukan suatu yang baru
menurut Al-Qur’an, sebab kesemuanya telah diungkap dan diisyaratkan oleh
ayat-ayat muhkamat dalam Al Quran.[42]
c.
Zaghlul al-Najjar
Pendukung tafsir ilmi
zaman modern, Zaghlul al-Najjar yang seorang pakar geologi asal Mesir, dan
sejak tahun 2001 menjadi Ketua Komisi Kemukjizatan Sains Al-Qur'an dan
Al-Sunnah di "Supreme Council of Islamic Affairs" Mesir. Zaghlul berkeyakinan
penuh bahwa Al-Qur'an adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya,
akidah-ibadah-akhlaq (tasyri'), informasi kesejarahannya, dan tak kalah
pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. Dimensi kemukjizatan yang
disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini yang memberikan
informasi yang menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam semesta dan
fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu kecuali setelah
berabad-abad turunnya Al-Qur'an.
Al-Qur'an menyuruh umat
manusia untuk merenungi proses penciptaan yang tak pernah disaksikan oleh
manusia, Zaghlul menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan
ayat-ayat Al-Qur’an, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang
memang terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Namun Allah swt
menyisakan beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat
membantu manusia untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi
yang bisa diraih ilmuan di bidang ini baru sebatas hipotesa dan teori belaka,
dan belum sampai pada tingkatan hakikat/fakta keilmuan. Zaghlul menilai bahwa
ilmu terapan di bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi belaka.
Varian teori penciptaan ini pun tergantung asumsi dan keyakinan para pencetusnya.
Kesimpulan ilmuan yang beriman akan berbeda dengan ilmuan atheis atau yang
netral agama.
Pada posisi inilah, bagi ilmuan muslim tersedia cahaya Allah swt yang terdapat dalam ayat Al-Qur'an atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan "gratis" oleh Allah dan Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuan muslim untuk mengangkat salah satu teori dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu dengan informasi Al-Qur'an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan Al-Qur'an dengan bantuan ilmu. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan teori i'jaz yang diajukan Zaghlul.
Pada posisi inilah, bagi ilmuan muslim tersedia cahaya Allah swt yang terdapat dalam ayat Al-Qur'an atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan "gratis" oleh Allah dan Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuan muslim untuk mengangkat salah satu teori dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu dengan informasi Al-Qur'an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan Al-Qur'an dengan bantuan ilmu. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan teori i'jaz yang diajukan Zaghlul.
Masih banyak tokoh dan karya tafsir ‘Ilmi, antara lain : Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat
al-Kauniyah fi al-Qur’an (Hanafi
Ahmad), Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah), Al-Isyarat
Al-‘Ilmiyah fi al-Quran al-Karim (Muhammad
Syawqi Al-Fajri), dan Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Ahmad Bayquni).
Contoh
ayat dengan penafsiran al-‘Ilmi yaitu salah satunya penafsiran pada,
yaitu : QS.
Al Baqarah
29, At Thalaq 12, Nuh 15-16, An Naba’ 12, Al A’raf 54
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya : Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui
segala sesuatu. (QS. Al Baqarah : 29)
!$# Ï%©!$# t,n=y{ yìö6y ;Nºuq»oÿx z`ÏBur ÇÚöF{$# £`ßgn=÷WÏB ãA¨t\tGt âöDF{$# £`åks]÷t/ (#þqçHs>÷ètFÏ9 ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ¨br&ur ©!$# ôs% xÞ%tnr& Èe@ä3Î/ >äóÓx« $RHø>Ïã ÇÊËÈ
Artinya : Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti
itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu. (At
Thalaq : 12)
óOs9r& (#÷rts? y#øx. t,n=y{ ª!$# yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ÇÊÎÈ @yèy_ur tyJs)ø9$# £`ÍkÏù #YqçR @yèy_ur }§ôJ¤±9$# %[`#uÅ ÇÊÏÈ
Artinya : Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan
sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? (Nuh 15-16)
$uZøt^t/ur öNä3s%öqsù $Yèö7y #Y#yÏ© ÇÊËÈ
Artinya : dan Kami bina di
atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, (An
Naba’ 12)
cÎ) ãNä3/u ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# ÓÅ´øóã @ø©9$# u$pk¨]9$# ¼çmç7è=ôÜt $ZWÏWym }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur tPqàfZ9$#ur ¤Nºt¤|¡ãB ÿ¾ÍnÍöDr'Î/ 3 wr& ã&s! ß,ù=sø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ
Artinya : Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (Al A’raf 54)
Penafsiran dari ayat-ayat di atas tersebut yaitu memang
ada beberapa skala benda langit, misalnya tata surya ada matahari, ada planet
beserta satelitnya. Milyaran tata surya membentuk galaksi. Milyaran galaksi
membentuk alam semesta. Dan seluruh alam ini berisi sejumlah alam semesta.
Dengan demikian alam punya 7 dimensi dan ini yang dimaksud dengan 7 langit
yaitu berupa dimensi lapisan-lapisan seperti kue lapis yang berurutan.
Di sisi lain, 7 langit
kemungkinan adalah 7 lapisan atmosfer yang dekat dengan bumi, yaitu trophosfer,
tropopause, stratosfer, stratopause, mesofer, mesopause,dan termosfer.
Pembagian ini berdasarkan temperatur suhu tiap-tiap lapis. Lapisan-lapisan
tersebut bersifat kokoh dalam pengertian menyelimuti dan melindungi bola bumi
secara kokoh karena da gravitasi bumi.[43] Tujuh langit juga bisa ditafsirkan
7 dimensi ruang dan waktu. Dalam ilmu fisika terdapat empat gaya fundamental di
jagad raya ini, yaitu gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, gaya nuklir
kuat, dan gaya gravitasi. Empat gaya tersebut terbentuk dari ledakan dahsyat
dari satu gaya tunggal yaiu Grand Unified Force. Ketersatuan gaya-gaya tersebut
disatukan dengan geometri ruang dan waktu yang sekarang ini kita berada di
dalamnya.[44]
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt menyempurnakan kejadian langit
dengan menjadikan tujuh lapis dalam dua masa. Masa yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah dua periode yang rentang
waktunya sangat panjang. Pada awalnya, Allah Swt menciptakan langit pertama,
dan kemudian disempurnakan menjadi tujuh langit yang berlapis-lapis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa setiap langit memiliki fungsi dan keadaan
yang berbeda. Masing-masing langit mempunyai kegunaan yang berbeda untuk
kepentingan makhluk yang ada dibawahnya, misalnya: langit yang memperkuat gaya
tarik planet-planet, sehingga benda-benda tetap bergerak pada orbitnya, tidak
oleng, atau menyimpang yang mungkin bisa menyebabkan tabrakan satu dengan
lainnya.
Semua
ini merupakan ciptaan Allah Yang Mahakuasa, dan tunduk pada ketetapanNya. Tidak
ada satu pun yang menyimpang dari ketentuan yang telah digariskan.[45]
6. Analisis Paradigma
Corak Tafsir ‘Ilmi
Melihat perkembangan keilmuan khususnya sains di zaman modern yang
begitu pesat dengan berbagai sebab dan akibat yang melatarbelakanginya,
keberadaan tafsir ‘Ilmi semakin menjadi salah satu tumpuan bagi ulama tafsir
untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan berbagai fenomena kealaman yang
terjadi. Akan tetapi, sangat perlu diperhatikan juga baik dalam menafsirkan
maupun bagi para pengguna tafsir dalam mempelajari tafsir ‘Ilmi tersebut. Telah
banyak disinggung di bagian depan, bahwa tujuan dari tafsir ilmi adalah sebagai
pisau menghubungkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, khususnya sains modern
di zaman sekarang.[46]
Diperlukan kehati-hatian dalam memberi penafsiran agar tidak terjadi kesalahan
pemahaman terhadap teori-teori modern yang memang telah disinggung atau hanya
dikait-kaitkan dengan Al-Qur’an.
Adapun yang harus diperhatikan ketika mempergunakan corak penafsiran ini
adalah berpegang kepada hakikat ilmiah yang dapat dijadikan rujukan dan
sandaran, tidak memaksakan diri dalam memahami nash, tidak membuat
rekayasa, dan tidak serampangan dalam menakwili nash dengan suatu makna
yang diinginkan kesimpulannya. Tapi hanya mengambil makna menurut pertolongan
bahasa dan yang terkandung dalam ungkapan tanpa pemaksaan dan sesuai dengan hubungan
kalimatnya.[47]
Ichwan dalam kesimpulannya mengenai tafsir ‘Ilmi yaitu ketika hendak
mencari hubungan antara Al-Qur’an dengan sains modern, maka yang perlu
dipertegas adalah membedakan antara fakta ilmiah dan teori ilmiah. Justifikasi
Al-Qur’an dengan teori ilmiah akan berdampak sangat serius terhadap
kelangsungan Al-Qur’an sebagai kitab suci. Jadi alternatif yang diambil
bukanlah menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau mencari
teori ilmiah dari Al-Qur’an, tetapi menemukan bagaimana perspektif Al-Qur’an
tentang ilmu pengetahuan.[48]
Mereka ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar bersifat universal
dan dapat menjawab tantangan zaman. Melalui corong tafsir ‘Ilmi, mereka
mengklaim bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah.[49]
Sehingga berkembangnya tafsir ‘Ilmi perlu didukung dalam hal memajukan ilmu
pengetahuan keislaman. Melihat perkembangan ilmu di wilayah Barat dengan
berbagai konteks perkembangan dan peradabannya, yang sejatinya sumbernya adalah
dari ajaran Islam, maka sangat perlu memperbaiki diri bagi kita umat Islam
dengan sungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di zaman modern
untuk menjawab tantangan dan demi kemaslahatan umat.
C. PENUTUP
Uraian singkat di atas,
sedikit menyimpulkan bahwa persoalan para mufassir diwarnai oleh usaha-usaha
membumikan Al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Tafsir
‘Ilmi merupakan suatu metode tafsir yang
berusaha menjalaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan
pendekatan ilmu pengetahuan dan dengan istilah-istilah ilmiah sehingga
menghasilkan berbagai macam teori ilmu dan dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan masa kini. Kemunculan
metode ini sempat menimbulkan pro dan kontra dari kalangan para ulama, sebagian
mereka ada yang menolak dan menerimanya dengan argumen
mereka masing-masing. Mereka
ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar bersifat universal dan dapat
menjawab tantangan zaman. Melalui corong tafsir ‘Ilmi, mereka mengklaim bahwa
Al-Qur’an tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah.
Pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan berbagai penemuan ilmiahnya
telah diisyaratkan oleh Al-Qur’an dengan ayat kauniyahNya, walaupun masih belum
diketahui pada saat wahyu turun. Ini menunjukkan keajaiban kitab yang
diwahyukan Allah Swt yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
berkembangnya keilmuan tersebut, sebagai generasi muslim tidak ada salahnya
jika selalu update dan selalu mencari isyarat-isyarat ilmiah yang sesuai
dengan perkembangan zaman, sehingga akan menambah keimanan dan memanfaatkan
akal yang diberikan untuk ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dunia Islam. Yang perlu diingat adalah bagaimana menggunakan dan
menafsirkan ayat dengan
kondisi (aturan) dan
pedoman sehingga interpretasi
dilakukan dengan benar dan tidak bertentangan dengan makna sebenarnya
dari yang dibutuhkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an.
DAFTAR
PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muh. Husein. At-Tafsir wa
al-Mufassirin. Kairo. 1976
Al-‘Aridl, Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta
: Raja Grafindo Persada. 1994
Amir,
Selamat BinMohd Murshidi
Mohd NoorAhmad Bazli
Ahmad Hilmi Scientific Assimilation In
The Interpretation Of The Qur’ān: An Approach To Zaghlūl El-Najjār’s Work Entit
Led “Tafsīr Al-Ayah Al-Kawnīyyah Fī Al-Qur’ān Al-Karīm”. Al-Bayan:
Journal of Qur’an and Hadith Studies,
Volume 10,
Issue 2. 2012
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung
: Pustaka Setia. 2009
Arya Wardhana, Wisnu. Al Qur’an dan Energi Nuklir. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. 2004
Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005
Gufron, Mohamad
& Rahmawati. Ulumul Qur’an : Praktis dan Mudah. Yogyakarta :
Teras. 2013
Hanafi, Ahmad. Tafsir al-Ilmi lil Ayaati al
Kauniyah fi Al-Qur’an. Mesir : Darul Ma’arif. 1119
Hasan Al-‘Aridl, Ali. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta
: Raja Grafindo Persada. 1994
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir
Al-Qur’an. Pustaka Setia : Bandung. 2004
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodolohi Tafsir Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2006
Ma’qif, Louis.
2007. Al-Munjid fi al-Lughah al-A’lam. Beirut: Dar
al-Masyriq
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta : LKiS Yogyakarta. 2010
Nor Ichwan, Mohammad. Tafsir Ilmy. Yogyakarta :
Menara Kudus Jogja. 2004
Pasya, Ahmad Fuad. Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali
Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an. Solo : Tiga Serangkai. 2004
Purwanto, Agus. Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi
Al-Qur’an Yang Terlupakan. Bandung : Media Mizan Utama. 2008
Saefuddin Buchori, Didin. Pedoman Memahami
Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005
Salim, Abd Mu’in. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta
: Teras. 2005
Syamimi Mohd, Nor, Haziyah Hussin & Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Article of Scientific Exegesis in Malay
Qur’anic Commentary. Malaysia : Canadian Center. 2014
U. Syafrudin. Paradigma Tafsir Tekstual &
Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009
Wardhana, Wisnu Arya. Al Qur’an dan Energi Nuklir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004
________, Al
Qur’an dan Tafsirnya. Kementerian
Agama RI : Sinergi Pustaka Indonesia. 2012
________, Tafsir Ilmi Penciptaan Jagad Raya Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Kementerian
Agama RI, Jakarta, 2012
[2] Badri
Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, Pustaka Setia :
Bandung 2004, hlm. 107-108
والسواد والحمرة البياض وغير ذلك (sifat
dari suatu bentuk
seperti putih, hitam, merah dan sebagainya. Maka, corak dalam konteks ini dapat
dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada diri seorang mufassir (Ma’qif,
2007).
kata tafsir berasal dari derivasi
(isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة
والكشف) “menerangkan dan
menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan
menyingkap sesuatu yang tertutup. (Adz-Dzahabi,.
‘Ilmu At-Tafsir:
5).
Kata ‘ilm (ilmu) dapat
diartikan sebagai ilmu empiris yang mempelajari berbagai gejala alam raya dan
di dalam diri manusia agar sampai pada hukum yang menafsirkan perilaku
gejala-gejala tersebut dan mengemukakan alasan terjadinya serta menyingkap
fakta dan kebenaran yang tercermin pada keimanan yang benar kepada Allah swt,
sesuai dengan firmanNya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar….” (QS.
Fushshilat: 53) (Pasya,
2004: 23).
[6] Kata kauniah berasal dari akar
kata al-kaun, yang berarti
yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut,
tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang
bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah
menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu
ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum,
data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara
ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu
pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana
paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an dan penggalian berbagai ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan
hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya Al-Qur’an, yaitu hukum-hukum
alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuan-penemuan lain yang dengannya
dapat dikembangkan ilmu kedokteran, astronomi, fisika, zoologi, botani,
geografi, dan lain-lain (Al-‘Aridl, 1994: 62).
[7] Mohamad
Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur’an : Praktis dan Mudah, Yogyakarta :
Teras, 2013, hlm. 195
[12] U.
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan
Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 34
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang
mengajak manusia untuk berfikir tentang alam semesta ciptaan Allah Swt,
termasuk apa-apa yang ada di dalam diri manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang diperoleh manusia dari hasil pengamatan mereka terhadap ayat Al-Qur’an,
agar mereka sadar akan Sang Pencipta. Melalui kemampuan manusia untuk
menggunakan akalnya, berpikir, menyelidiki, memperhatikan dan mengamati segala
ciptaan Tuhan yang ada di alam semesta ini, manusia mendapatkan berbagai macam
ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu dan usaha menciptakan sesuatu dari ilmu
pengetahuan yag diperolehnya akan melahirkan suatu teknologi yang bermanfaat
bagi kehidupan di dunia ini (Wisnu, 2004: 51).
Ilmu
pengetahuan dan teknologi begitu erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan
tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Tuhan sendiri mendudukkan ilmu
pengetahuan begitu pentingnya bagi manusia dan ini terbukti dari awal
penciptaan manusia yang telah diajarkan pada Nabi Adan a.s nama-nama benda yang
merupakan awal mula
perbendaharaan ilmu pengetahuan bagi manusia yang akan terus berkembang.
Manusia wajib untuk terus mencari dan mengembangkan segala macam bentuk ilmu
pengetahuan dan teknologi demi kepentingan manusia itu sendiri (Ichwan, 2004: 169).
[13] Jadi dalam hal ini penting menegaskan perbedaan antara tafsir ‘Ilmi dengan I’jaz ‘Ilmi. I’jaz
‘Ilmi yaitu bahwa
segala apa yang terkandung di dalam al-Qur’an mengenai sisi ilmiah dari
keajaiban atau rahasia alam telah mendahului temuan - temuan
ilmiah atau kenyataan ilmiah yang baru dapat diketahui oleh manusia pada zaman
sekarang. Yang mana kenyataan ilmiah tersebut, pada masa turunnya Al-qur’an
belum dapat dibuktikan oleh manusia (karena keterbatasan ilmu pengetahuan saat
itu) padahal Al-qur’an telah mengisyaratkannya. Sehingga pada zaman sekarang, Al-Qur’an
kembali menegaskan kepada para ilmuwan dunia bahwa Al-Qur’an lebih dulu
berbicara mengenainya dari pada mereka. Jika melihat kedua definisi di atas, maka antara tafsir ‘Ilmi dan i’jaz ‘Ilmi
terdapat perbedaan dalam fungsinya. I’jaz ‘Ilmi menitik beratkan pada kenyataan-
kenyataan empiris yang telah menjadi ilmu pasti yang kebenarannya telah
mencapai seratus persen untuk dijadikan sebagai penopang kebenaran al-qur’an
mengingat fungsinya sebagai i’jaz. Adapun tafsir ilmi masih sebatas ijtihad
seorang penafsir yang mencoba memahami dan menggali makna ayat dengan metode
ilmiah kontemporer, jika dia benar maka mendapat dua pahala dan jika salah,
maka hanya mendapat satu pahala. Tujuan dalam tafsir ‘Ilmi adalah untuk
menambah keimanan, namun i’jaz ‘Ilmi lebih mengedepankan tantangan kepada para
ilmuwan untuk membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah yang dikandungnya dan
ketika telah terbukti benar, maka para ilmuwan, bahkan jika mereka kafir sekalipun,
akan mengakui bahwa Al-Qur’an sejak turun 14 abad yang lalu telah membawa
berita-berita kebenaran apalagi ia diturunkan kepada seorang Nabi yang ummi
(buta huruf) sehingga sangat mustahil bagi seorang Nabi yang ummi untuk mencuri
informasi dengan keummiyannya itu.
[14] Nashiruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2005, hlm. 6
Penafsiran ilmiah (tafsir ‘ilmi) adalah bagian dari tafsir Al-Qur'an yang telah sekitar untuk
waktu yang lama dalam sejarah
pemikiran Islam. Hal ini telah
berkembang pesat pada akhir abad
kesembilan belas dan awal abad kedua puluh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di
negara-negara Barat serta posisi dan sikap umat
Islam dalam menghadapi perkembangan
saat ini. Mufasir dan intelektual di Timur Tengah,
Eropa dan Asia
Selatan sangat prihatin tentang penafsiran ilmiah dan mereka menerapkannya dalam tulisan mereka tentang penafsiran Al-Qur'an. Penafsiran ilmiah dalam lingkup penafsiran berdasarkan
pendapat (tafsir bi al-ra'yi). Sebagian
ahli tafsir menerima penafsiran yang didasarkan
pada pendapat dengan kondisi (aturan) dan
pedoman tertentu yang interpretasi
dilakukan dengan benar dan tidak bertentangan dengan makna sebenarnya
dari yang dibutuhkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan
kata lain, tafsir bi al-ra'yi dapat
digunakan asalkan dipandu oleh
prinsip-prinsip umum Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu,
dari sudut penulisan, karya-karya Timur Tengah
yang sangat menonjol dan pendekatan terkenal
dalam menerapkan penafsiran ilmiah dari Al-Qur'an dalam
tafsir komentar pada
akhir abad kesembilan belas dan
awal abad kedua puluh. Di antara karya-karya terkenal adalah Tafsir al-Manar,
al-Jawahir fi
Tafsir al-Qur'an
al-Karim dan
al-Tafsir al-Kawniyyah fi al-Qur'an al-Karim
(Syamimi Mohd, 2015: 1).
[16] Al-Ghazali diyakini sebagai
pelopor atau peletak dasar tafsir ilmiah secara teoritis.
Al-Ghazali
berpendapat bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna zhahir dan batin,
serta makna yang tersurat dan tersirat. Al Ghazali menulis sebuah kitab dengan
judul Jawahirul Qur’an, di dalamnya terdapat bab khusus yang menerangkan
bagaimana ilmu yang berasal dari A-Qur’an sudah bercabang-cabang, yaitu
ilmu-ilmu keagamaan, berbagai macam ilmu dunia, ilmu bahasa, ilmu-ilmu yang
telah ada dan yang masih terus dipelajari, ilmu yang sebenarnya sudah ada
tetapi belum dikenal manusia, dan ilmu-ilmu yang akan muncul kemudian hari. Menurut
Al Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang
telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Imam Ghazali menyatakan
bahwa seluruh ilmu tercakup dalam Af’al Allah, dan sifat-sifat Allah. Sedangkan
Al-Qur’an adalah penjelas (syarah) dzat, sifat, dan af’al Allah. Dengan
demikian, memahami Al-Qur’an melalui pendekatan sains secara tidak lagsung
mengungkap ke-Esaan Allah Swt.
[17] Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Umar Ibn al-Husain Ibn al-Hasan Ibn Ali al-Quraisy
at-Taimi al Bakri ath-Thabrastani ar-Razi. Gelarnya Fakhruddin dan dikenal
dengan Ibn Al-Khatib. Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari delapan
jilid yang tebal, dan mendapat perhatian yang besar dari para pelajar Al-Qur’an
karena mengandung pembahasan yang dalam mencakup masalah-masalah keilmuan yang
beraneka ragam. Menurut Mahmud dalam bukunya, tafsir ar-Razi secara global
lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam,
biologi, dan ilmu yang ada hubungannya baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk
memahaminya (Mahmud, 2006: 320-324).
[18] Thanthawi
Jauhari adalah seorang seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak
tafsir Ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawahir di Tafsir Al-Qur’an, ia
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan ilmu
pengetahuan yang “in” pada masanya.
Karya tafsirnya layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang sebagai
buku tafsir, sehingga ada ungkapan “di dalamnya terdapat sesuatu, kecuali
tafsir itu sendiri” (Anwar, 2009: 198).
[19] Ibid., hlm. 284
[21] Banyak
ayat Al-Qur'an yang berisikan isyarat ilmiah. Dengan penafsiran ayat-ayat
tersebut secara saintifik akan memudahkan penyebaran dakwah di abad modern.
Dengan tafsir ilmiah ini kita akan terjaga dari kesalahan penyebutan informasi
tentang beberapa fenomena alam dalam Al-Qur'an. Beberapa kitab tafsir bil
ma'tsur misalnya menyatakan bahwa 'Ra'd' adalah nama malaikat yang
menggiring awan, suara yang dikeluarkan ra'd adalah suara tasbihnya,
sementara 'Baraq' adalah dampak dari cemeti yang dipakai ra'd untuk menggiring
awan. Bumi adalah dataran yang berada di atas punggung 'Hut' (ikan paus). Dan
banyak contoh tafsir-tafsir yang usang dan ketinggalan zaman, karena semata
mengandalkan periwayatan dan tidak mengaitkannya dengan fakta ilmiah modern.
Tentu saja ketika seorang da'i di masyarakat negara maju ditanya tentang hal
semacam ini lalu memberikan jawaban sesuai penafsiran ulama klasik maka akan
menjadi bahan tertawaan dan cemoohan serta merugikan citra Islam yang berwatak
ilmiah dan progresif (Amir, 2012: 59).
Al
Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk
memahami kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa Arab yaitu juga
yang terkait dengan kaidah-kaidah bahasa Arab (Salim, 2005: 63).
Seorang
mufasir harus memiliki ilmu pengetahuan lainnya, seperti perubahan sosial dan
ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini didasarkan atas prinsip Al-Qur’an yang
diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian, maka Al Qur’an
akan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa
makan). Sebagai contoh Surat al ‘Alaq ayat 2:
t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
Ayat
tersebut mengungkap tentang penciptaan manusia. Para ulama berpendapat mengenai
kejadian manusia dari ‘alaqa yaitu darah beku atau segumpal darah yang
merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya. Pandangan lain
dikemukakan oleh Muraice Bucaille, yang menegaskan bahwa sesuai dengan penemuan
kedokteran kata ‘alaa seharusnya diterjemahkan dengan “sesuatu yang
tergantung”, bukan darah beku, karena darah beku tidak dalam proses kejadian
manusia dan yang dikenal adalah ovum yang dibuahi melekat pada dinding rahim
setelah beberapa hari. Dalam hal ini, Quraisy Shihab juga memberikan
perbandingan antara penegasan ayat Al-Qur’an dan memberikan penegasan dan
konsepsi embriologi tentang proses kejadian manusia. Dengan demikian, kaidah
ilmu pengetahuan sangat diperlukan juga dalam memahami Al-Qur’an (Salim, 2005:
70).
Metode
tematik mencoba memahami ayat Al-Qur’an sebagai satu-kesatuan sehingga
memungkinkan memperoleh pemahaman yang utuh mengenai konsep Al-Qur’an. Metode
tematik juga dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara proporsional sehingga
tidak ada pra-konsepsi pada ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an (Mustaqim, 2010:
69).
[29] Didin
Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana
Pustaka, 2005, hlm. 216
Tafsir
Maudhu’i bisa dijelaskan dengan cara menafsirkan Al-Qur’an secara integral dan
komprehensif mengenai tema tertentu dengan mengambil berbagai ayat yang terkait
dengan tema tersebut dan seluruh rangkaian ayat Al-Qur’an. Dan biasanya
mufassir memberikan keterangan dan mengambil kesimpulan.
Dipertegas
juga oleh Amin Al-Khuli dengan tulisan yang lebih sistematis. Ia mengajukan
berbagai argumentasi untuk menolak keberadaan tafsir ini. Pertama, argumentasi
leksikologi. Makna-makna Al-Qur’an, menurutnya tidak disediakan untuk lapangan
ilmu pengetahuan modern. Kedua, argumen filologi. Al-Qur’an menurutnya
dialamatkan kepada masyarakat Arab. Konsekuensinya, Al-Qur’an tidak menyodorkan
sesuatu di luar jangkauan pikiran mereka. Ketiga, argumentasi teologi.
Al-Qur’an berkaitan dengan pesan agama dan etika (sisi kehidupan manusia) dan
tidak berkaitan dengan sisi kosmologinya.
[38] Ali Hasan
Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1994, hlm. 65
Dan
dari ilmu kalam kitabnya meliputi Kitab Al Mathalibul Aliyah, Bayan wal Burhan
fi roddi ala zaighi wal Tughyan. Dia juga menulis kitab usul fiqh, yaitu al
mahsul, al hikmah, syarh al isyarat li Ibni Sina, Syarh Uyunil Hikmah. Dia juga
mengarang kitab Assirul Maknun, Syarh Mufashal fin Nahwi li Zamahsyari, Syarh
Wajiz fi Fiqh al Ghazali dll.
[42] Contohnya
adalah: Al-A’raf[7]: 58, Artinya: “Dan
tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah
yang tidak subur, tanaman-tanamanya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami
mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur. Adapun
ayat diatas menunjukan bahawa walaupun dengan kehendak dan keizinan-Nya supaya
segala tumbuhan menjadi dan subur, tetapi kesesuaian tanah dan kesuburan tanah
juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut, kerana tidak semua tanaman
dapat tumbuh pada tanah yang sama. Tafsiran ini menunjukkan bahawa Tanthawi
berusaha untuk memberikan pengertian atau situasi baru, bahwa Al Quran sudah
memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahan itu sesuai dan
berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.
Usaha
Tanthawi Jauhari dalam menafsirkan ayat al-Quran dengan pendekatan tafsir ilmi
ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan ulama tafsir ilmi,
sehingga sekarang banyak kemunculan kitab yang mengulas secara ilmiah, seperti
yang dilakukan oleh Hanafi Ahmad dengan kitabnya at-Tafsir al-Ilmi li al-Ayah
al-Kawniyah, dan juga kitab-kitab lain yang terus berkembang sehingga ke hari
ini.
[43] Lihat Ar Ra’d
: 2 dan An Naba’ :
12. Hanafi,
Ahmad. Tafsir al-Ilmi lil Ayaati al Kauniyah fi Al-Qur’an. Mesir : Darul
Ma’arif. 1119, hlm
131.
[45] Tafsir
Ilmi Penciptaan Jagad Raya Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Kementerian
Agama RI, Jakarta, 2012, hlm. 7
[46] Sains
dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyibak realitas. Terkait dengan
pengertian ini, maka sains juga menjadi tidak tunggal; atau dengan kata lain,
sains satu dengan yang lain dibedakan pada makna realitas dan cara apa yang
diterima untuk megetahui realitas tersebut. Tujuan sains Islam adalah
mengetahui watak sejati segala sesuatu yang diberikan Tuhan. Sains Islam juga
bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam, kesalinghubungan seluruh
bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip Ilahi. Mengenal alam
dan hukum setiap spesies tersebut pada Kehendak Ilahi karena menurut Al-Qur’an
seluruh makhluk selain manusia adalah muslim. Dengan pemahaman ini, sang
ilmuwan menjadi lebih dekat dan tunduk kepada Sang Pencipta (Purwanto, 2008:
190).
Bahkan,
Abduh secara vocal mengisyaratkan bahwa penemuan telegraf, telefon, kereta, dan
mikrofon telah tercantum dalam Al-Qur’an. Sebagaimana juga penafsiran
kontroversial lainnya yaitu Al-Maraghi yang menafikan malaikat, setan, dan Adam
sebagai bapak manusia berdasarkan teori ilmiah cukup membuktikan bahwa ia pun
tergolong mufassir yang mendukung tafsir ilmi. Muhammad Abduh, Al-Maraghi,
Thantawi Jauhari, Sa’id Hawa,
dan lain-lain (Anwar, 2009: 284).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda