Pengikut

Kamis, 26 Maret 2015

KAJIAN CORAK TAFSIR ILMI


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Qur’an
Dosen pengampu: Dr. Syaifuddin, M. Ag



Disusun Oleh:
Ilmi Hidayati
(1400018055)



PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2014
KAJIAN CORAK TAFSIR ‘ILMI
A.    PENDAHULUAN
Mengingat Al-Qur’an adalah otoritas utama sebagai pedoman umat Islam, dapatlah difahami jika terdapat berbagai ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama selama ini untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan menerjemahkan misi-misinya.[1] Sebagai hasil karya manusia, muncul keanekaragaman dalam corak penafsiran merupakan hal yang tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman corak baik perbedaan kecenderungan, interest dan motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan sebagainya. Semua itu menimbulkan corak yang kemudian berkembang menjadi aliran besar dalam penafsiran Al-Qur’an.[2]
 Penafsiran Al-Qur’an selalu diwarnai oleh pemikiran mufassirnya, komentar dan ulasannya mengenai suatu ayat merupakan manivestasi pikiran dan diwarnai oleh madzhab yang dianutnya. Seorang mufassir yang bergelut dan menekuni sains eksata atau sangat tertarik dengan kajian-kajian mengenai ilmu pengetahuan, maka penafsirannya selalu dikaitkan dengan teori ilmu pengetahuan modern[3] yang pada perkembangannya disebut dengan corak tafsir ‘Ilmi.
Ahmad Asy-Syirbasyi dalam bukunya Sejarah Tafsir Qur’an memberikan ilustrasi bahwa sejak zaman dahulu umat Islam telah berupaya menciptakan hubungan seerat mungkin antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudian usaha tersebut ternyata semakin berkembang dan banyak memberikan manfaat. Meskipun Al-Qur’an tidak menyebut nama suatu ilmu, apalagi menguraikannya secara rinci, namun isyarat ke arah itu banyak terdapat dalam ayat yang dapat dikemukakan sebagai landasan filosofinya.[4]
Melihat perkembangan penafsiran dengan corak ‘Ilmi yang berkembang pesat di dunia keilmuan, tidak luput dari berbagai polemik yang mewarnainya baik pro dan kontra didalamnya. Dan melihat perkembangan zaman yang pesat khususnya di bidang keilmuan dan teknologi sains, maka bagaimana umat Islam mampu mengkaji dan memberikan solusi jawaban tantangan zaman, sehingga tafsir ‘ilmi tersebut berkembang dengan pesat dan tepat guna. Sehingga bertolak dari berbagai pandangan di atas, maka makalah ini berusaha mengkaji corak tafsir ‘Ilmi yang meliputi; pengertian tafsir ‘Ilmi, sejarah tafsir ‘Ilmi, kaidah penafsiran dengan tafsir ‘Ilmi, pandangan ulama mengenai tafsir ‘Ilmi, tokoh tafsir ‘Ilmi beserta kitab tafsirnya, dan analisis Paradigma Corak Tafsir ‘Ilmi.


















B.     PEMBAHASAN
1.    Pengertian Tafsir Ilmi
Secara sederhana corak Al-Tafsir al-‘Ilmi[5] dapat didefinisikan sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah. Ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat kauniyah[6], mendalami tentang teori-teori hukum alam yang ada dalam Al-Qur’an, teori-teori pengetahuan umum dan sebagainya.[7] Lebih lanjut Husain Adz-Dzahabi memberikan pengertian tafsir ‘Ilmi yaitu:
التّفسير الّذي يحكم الإصطلاحات العلميّة فى عبارات القرأن ويجتهد فى استخرج مختلف العلوم والأراء الفلسفيّة منها
Artinya : “Tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Quran dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi”.[8]
Sedangkan ‘Abd Al-Majid ‘Abd As-Salam Al-Mahrasi juga memberikan batasan  sama terhadap tafsir ‘Ilmi, yaitu:
التّفسير الّذي يتوحّى أصحابه إخضاع عبارات القرأن للنّظريات والإصطلاحات العلميّة وبذلا لآقضى الجهد فى استخراج مختلف مسا ئل العلوم والأراء الفلْسفيّة منها
Artinya : “Tafsir yang mufassirnya mencoba menyingkap ibarat-ibarat dalam Al-Quran yaitu mengenai beberapa pandangan ilmiah dan istilahnya serta mengerahkan segala kemampuan dalam menggali berbagai problem ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan yang bersifat falsafi”.[9]

Dijelaskan pula mengenai tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran corak yang berusaha untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an dengan bidang ilmu pengetahuan untuk menunjukkan kebenaran mukjizat Al-Qur’an.[10] Meskipun Al-Qur’an bukan kumpulan ilmu pengetahuan, namun di dalamnya banyak terdapat isyarat yang berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan, serta motivasi manusia mendalaminya.
Jadi dapat disimpulkan pengertian tafsir ‘Ilmi yaitu penafsiran Al-Qur’an melalui pendekatan ilmu pengetahuan sebagai salah satu dari berbagai dimensi ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.[11] Atau dapat kita pahami bahwa mufassir menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an dengan metode atau pendekatan ilmiah atau ilmu pengetahuan.
Tafsir ‘Ilmi berprinsip bahwa Al-Qur’an mendahului ilmu pengetahuan modern, sehingga mustahil Al-Qur’an bertentangan dengan sains modern.[12] Dari pandangan tersebut, maka alasan yang mendorong para mufassir menulis tafsirnya dengan corak ini adalah disamping banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit maupun implisit memerintah untuk menggali ilmu pengetahuan, juga ingin mengetahui dimensi kemukjizatan Al-Qur’an dalam bidang ilmu pengetahuan modern.[13]
2.    Bagaimana sejarah munculnya Tafsir ‘Ilmi
Lahirnya metode-metode penafsiran disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang dinamis. Umat Islam yang semakin majemuk dengan berbondong-bondongnya bangsa non-Arab masuk Islam, terutama setelah tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam, berbagai peradaban dan kebudayaan non-Islam masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya, kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.[14] Sehingga dapat disimpulkan bahwa  corak tafsir ‘Ilmi muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.[15]
Al-Ghazali mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan tafsir ilmi kepada umat Islam[16] yang dianggap sebagai perintis tafsir ‘Ilmi. Sedang Fahrur Ar-Razi[17] merupakan orang pertama yang menerapkan ilmu pengetahuan yang bercorak saintis dan pemikiran untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Hal tersebut dapat dilihat dalam kitabnya Mafatih Al-Ghaib atau yang juga populer dengan Tafsir Al-Kabir. Karya monumental Tanthowi Jauhari[18] (w. 1940), yaitu Tafsir al-Jawahir, cukup representatif untuk diajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya, diantaranya adalah Tafsir Musthafa Zaid, Al-Qur’an Wa I’jazuhu al-Ilmi karya Isma’il Ibrahim, Al-Qur’an wa ‘Ilm karya Ahmad Sulaiman, dan lain-lain.[19]
Dari berbagai proses kemunculan perkembangan tafsir ‘Ilmi, terdapat beberapa isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an banyak sekali, diantaranya[20] yaitu; Reproduksi manusia (surat al-Qiyamah ayat 37-39), kejadian alam semesta (surat al-Anbiya ayat 30), awan (surat al-Nur ayat 43), kalender syamsiyah dan qomariyah (surat al-Kahfi ayat 25), cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan (surat Yunus ayat 5 dan Nuh ayat 16), masa penyusunan ideal dan masa kehamilan minimal (surat al-Baqarah ayat 233 dan al-Ahqaf ayat 15), adanya apa yang dinamai nurani (superego) dan bawah sadar manusia (surat al-Qiyamah ayat 14-15), asal kejadian cosmos (surat Fushilat ayat 11), pembagian atom (surat Yunus ayat 61), perjodohan bagi semua benda atau makhluk (surat al-Dzariyat ayat 49, surat Yasin ayat 36), selaput rahim (surat Zumar ayat 6), penyerbukan dengan angin (surat al-Hijr ayat 22), sel-sel (benih hidup) (surat al-‘Alaq ayat 1-2), penyelidikan dengan sidik jari manusia (surat al-Qiyamah ayat 3-4).[21]
Dari berbagai kandungan di atas, maka corak penafsiran semacam ini memberikan kesempatan yang sangat luas bagi para mufassir untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan yang telah dan akan dibentuk dalam Al-Qur’an.
3.    Kaidah penafsiran dengan corak Ilmi
a.    Kaidah Kebahasaan
Kaidah kebahasaan merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami Al-Qur’an. Baik dari segi bahasa Arabnya, dan ilmu yang terkait dengan bahasa seperti í’rab, nahwu, tashrif, dan berbagai ilmu pendukung lainnya yang harus diperhatikan oleh para mufassir.[22]
Kaidah kebahasaan menjadi penting karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan legitimasi dari ayat-ayat Al-Qur’an terhadap penemuan ilmiah dengan mengabaikan kaidah kebahasaan ini.[23] Oleh karena itu, kaidah kebahasaan ini menjadi prioritas utama ketika seseorang hendak menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apapun yang digunakannya, terlebih dalam paradigma ilmiah.
b.    Memperhatikan Korelasi Ayat
Seorang mufasir yang menonjolkan nuansa ilmiah disamping harus memperhatikan kaidah kebahasaan seperti yang telah disebutkan, ia juga dituntut untuk memperhatikan korelasi ayat (munasabah al-ayat) baik sebelum maupun sesudahnya. Mufasir yang tidak mengindahkan aspek ini tidak menutup kemungkinan akan tersesat dalam memberikan pemaknaan terhadap Al-Qur’an. Sebab penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an tidak didasarkan pada kronologi masa turunnya, melainkan didasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat-ayat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat kemudian.[24] Sehingga dengan mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman atas suatu teks.
c.    Berdasarkan Fakta Ilmiah yang Telah Mapan
Sebagai kitab suci yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, maka ia tidak dapat disejajarkan dengan teori-teori ilmu pengetahuan yang bersifat relatif. Oleh karena itu, seorang mufassir hendaknya tidak memberikan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an kecuali dengan hakikat-hakikat atau kenyataan-kenyataan ilmiah yang telah mapan dan sampai pada standar tidak ada penolakan atau perubahan pada pernyataan ilmiah tersebut, serta berusaha menjauhkan dan tidak memaksakan teori-teori ilmiah dalam menafsirkan Al-Qur’an.[25] Fakta-fakta Al-Qur’an harus menjadi dasar dan landasan, bukan menjadi objek penelitian karena harus menjadi rujukan adalah fakta-fakta Al Qur’an, bukan ilmu yang bersifat eksperimental.[26]
d.      Pendekatan Tematik
Corak tafsir ‘Ilmi pada awalnya adalah bagian dari metode tafsir tahlili (analitik). Sehingga kajian tafsir ‘Ilmi pembahasannya lebih bersifat parsial dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu. Akibatnya pemaknaan suatu teks yang semula diharapkan mampu memberikan pemahaman yang konseptual tentang suatu persoalan, tetapi justru sebaliknya, membingungkan bagi para pembacanya.[27]
Misalnya ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang konsep penciptaan manusia, yang dalam terminologi Al-Qur’an diilustrasikan sebagai suatu proses evolusi dengan menggunakan beberapa term yang berbeda-beda. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, namun di sisi lain ia diciptakan dari dari air, atau air mani yang hina. Jika ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki term yang sama ini tetap dikaji secara parsial dan berdiri sendiri, tentu konsep yang dihasilkan pun juga bersifat parsial dan tidak utuh. Akibatnya, pemaknaan atas persoalan tersebut akan menjadi pertentangan dalam Al-Qur’an.[28]
Oleh karena itu pada perkembangannya, paradigma tafsir ilmiah menggunakan metode tafsir tematik yaitu penafsiran ayat-ayat dengan menentukan terlebih dahulu suatu topik, lalu ayat-ayat tersebut dihimpun dalam satu kesatuan yang kemudian melahirkan sebuah teori.[29] Dengan demikian, bagi seorang mufassir ‘Ilmi sebaiknya menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai kesamaan tema pembahasan, sehingga dapat sampai kepada makna hakiki.
4.    Pandangan Ulama Tentang Tafsir Corak ‘Ilmi
Kemunculan tafsir ini disambut dengan perdebatan para mufassir, yaitu antara mendukung dan menolak. Dalam tataran diskursus modern, tafsir ilmi menjadi ajang polemik yang besar. Bagi para pendukungnya, kemunculan tafsir ilmi merupakan fenomena wajar dan mesti terjadi. Ini mengingat, Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak dilupakan didalamnya. Seperti dalam firmanNya, “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ” (Q.S Al-An’am [6]: 38)[30]
Demikian halnya mengenai peranan perkembangan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi penafsiran. Penafsiran bukan menyatakan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an mendukung suatu teori ilmiah, melainkan teori Al-Qur’an menyatakan adanya titik persamaan dengan teori ilmiah. Hanya saja, perkembangan ilmu pengetahuan seorang mufassir tidak mendukung isyarat Al-Qur’an sehingga terjadi kekeliruan, yakni al-basth yang diartikan dengan terhampar bukan berbentuk bola sebagaimana kenyataan yang ditemukan dalam teori ilmu pengetahuan. Jika Al-Qur’an diharuskan mendukung teori ilmiah tidak ada keharusan bagi seorang mufasir untuk mengomentari suatu teori, apalagi yang belum mapan, baik komentar yang bersifat mendukung maupun yang bersifat menolaknya. Karena  teori tersebut mungkin benar, mungkin keliru secara keseluruhan atau sebagian. Hal tersebut akan dibuktikan oleh generasi pencetusnya maupun generasi sesudahnya, sebagaimana juga pandangan mufasir itu sendiri ketika ia menafsirkan Al-Qur’an.[31] Oleh karena itu, para ulama berbeda pandangan baik pro maupun kontra dalam menyikapi tafsir ini.
a.    Ulama yang Setuju dengan Tafsir Ilmi
Al-Ghazali seperti dikutip oleh Badri Khaeruman, menyatakan bahwa seluruh bidang ilmu itu tercakup dalam af’al Allah serta sifatnya. Al-Quran merupakan syarah Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-Nya. Perkembangan ilmu tiada akhirnya. Lagi pula, di dalam Al-Quran terdapat isyarat keglobalan ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, ilmu pasti, hewani, dan sebagainya.[32]
Ahmad Syirbashi mengutip pernyataan Ar-Rifa’i mengenai tafsir al-‘Ilmi bahwa sekalipun Al-Quran hanya berupa isyarat ilmiah yang sepintas, namun kebenarannya selalu dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Ayat-ayat Al-Quran senantiasa membuka diri bagi akal pikiran dan memberikan pengertian yang benar mengenai apa saja. Kenyataan membuktikan bahwa semakin maju akal pikiran manusia maka semakin banyak bidang ilmu pengetahuan yang dikuasai serta tambahan pula dengan mendesaknya kebutuhan untuk menemukan berbagai hal yang baru serta semakin sempurnanya peralatan yang diperlukan untuk mengadakan penelitian; semua isyarat Al-Quran semakin muncul kebenarannya.
Masih banyak rujukan naqilah lainnya yang diklaim mereka sebagai isyarat pendukung jenis tafsir ini. Pokok pemikiran itu dapat dilacak pada tokoh seperti Muhammad Abduh, Al-Maraghi, Thantawi Jauhari, Sa’id Hawa, dan lain-lain.[33]
b.    Ulama yang Menolak Tafsir ‘Ilmi
Kemunculan corak tafsir ilmi belum dapat diterima oleh sebagian ulama. Diantara ulama yang menolak tafsir ilmi adalah Asy-Syatibi. Ia berpendapat bahwa penafsiran yang telah dilakukan oleh ulama salaf lebih dapat diakui kredibilitas dan kebenarannya.[34] Dengan demikian, ulama yang menolak tafsir ilmi ini menyandarkan alasan bahwa ulama terdahulu lebih mengetahui hakikat dan majaz Al-Qur’an. Sementara itu, pada zaman sekarang, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan apa pun yang dasarnya dapat diterima, selama alasannya dapat dibenarkan dan tidak menyimpang dari nilai utama Al-Qur’an sebagai hidayah dan rahmat bagi umat manusia dan alam semesta.[35]
Bantahan terhadap tafsir ‘Ilmi juga pernah ditulis oleh Rasyid Ridha dalam pengantar Tafsir Al-Manar.[36] Lebih lanjut dikemukakan oleh Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam karyanya Al-Ittijihat al-munharifah fi at-Tafsir Al-Qur’an al-Karim dengan mencoba melakukan penelitian terhadap berbagai penyimpangan dalam kitab-kitab tafsir. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dari sejumlah tafsir yang ada, sebagiannya telah melakukan penyimpangan. Kitab tafsir yang dimaksudkannya adalah sebagian kitab menggunakan orientasi historis, teologis, sufistik, linguistik, ilmiah, dan modern.[37]
Dijelaskan lebih lanjut mengenai berbagai hal yang dianggap sebagai penyimpangan tafsir ‘Ilmi yaitu para mufasir terlalu jauh dalam memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Qur’an kepada teori-teori ilmiah yang jelas-jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena itu, teori-teori tersebut bersifat relatif. Mereka berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an, oleh karena ia tidak tunduk kepada teori-teori itu, tidak perlu pula mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran ilmiah dan teori-teori ilmu alam. Bahkan mereka keliru ketika memperlakukan Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap penemuan ilmu pengetahuan mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah Al-Qur’an, kendatipun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan makna.[38]
c.    Ulama yang Bersikap Moderat
Selain dua sikap yaitu pro dan kontra mengenai penafsiran dengan corak ‘Ilmi, ada diantaranya yang bersikap moderat. Mereka mengatakan, “kita sangat perlu mengetahui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kauniyah dan yang demikian itu tidak ada salahnya, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti pemahaman bahasa Arab, oleh karena Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari Al-Qur’an sebatas kemampuan dan kebutuhannya sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tujuan pokok Al-Qur’an yaitu sebagai petunjuk. Banyak hikmah didalamnya yang jika digali oleh orang ahli akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahaya dan mampu menjelaskan rahasia kemukjizatannya”.[39]
Jadi dalam hal ini menurut penulis, pandangan yang menyatakan moderat yaitu menitik beratkan pada pentingnya Al-Qur’an yang berisi ilmu pengetahuan di segala bidang, yang memang harus banyak dikaji dan diambil hikmahnya bagi para pembacanya. Tetapi perlu diingat juga bagaimana penafsiran ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditatapkan.
5.    Tokoh Tafsir ‘Ilmi dan Kitab Tafsirnya
Adapun tokoh-tokoh penafsir ‘Ilmi beserta kitabnya yang berusaha mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an antara lain yaitu:
a.    Tafsir al-Kabir / Mafatih Al-Ghaib (Fakhruddin Al-Razi)
Pengarangnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali at tamimi, Al Bakry, At Tabarastani, Ar Razi, dia punya nama panggilan Fahruddin, dan dikenal juga dengan nama Ibn Khatib as Syafi’i. Lahir tahun 544 H. Dia merupakan orang yang cerdas pada masanya dan banyak mengumpulkan ilmu-ilmu, dan menjadi imam dalam ilmu tafsir dan kalam (tauhid), ilmu aqliyah, ilmu bahasa. Dia sangat terkenal dan banyak ulama’ yang menimba ilmu darinya. Dia belajar pertama kali dengan ayahnya Dziyauddin, yang terkenal dengan nama Khatib Al Rayyi. Dia juga belajar dari Kamal Al Sam’ani, Majd Al Jili, dan ulama’ lainnya. Dia pintar banyak bahasa baik Arab maupun bahasa selain Arab. Dia banyak memberikan nasihat dan sering menangis ketika memberikan nasihat-nasihatnya. Kitab-kitab karangannya adalah Tafsir Kabir yang terkenal dengan Mafatihul Ghaib, Tafsir Surat Fatihah.[40]


Ciri-ciri utama tafsir Mafatih al-Ghaib yaitu antara lain:
1.      Sangat memperhatikan pengungkapan tentang munasabah ayat-ayat dan surat-surat dalam Al-Qur’an, analisa susunan ayat.
2.      Sering memperdalam pembahasannya tentang ilmu-ilmu matematika, filsafat, ilmu alam, serta ilmu-ilmu lainnya yang dianggapnya baru dikalangan agamawan di masanya (ayat-ayat kauniyah).
3.      Melakukan penolakan dan bantahan terhadap pandangan filosof yang bertentangan dengan paham ahli sunah, juga menolak mu’tazilah.
4.      Tekanan pembahasan ar-Razi adalah masalah aqidah, risalah.[41]
b.    Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim (Thanthawi Al-Jauhari)
Thanthawi Jauhari adalah seorang seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu ia sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya. Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Karya monumental Tanthowi Jauhari (w. 1940), yaitu Tafsir al-Jawahir, cukup representatif untuk diajukan sebagai produk tafsir ilmi. Kitab itu seperti dijelaskan Baljon, dapat dikualifikasikan sebagai pegangan ilmu lainnya. Di dalamnya terdapat pula kaedah-kaedah yang menyeluruh dan prinsip-prinsip umum tentang hukum alam yang boleh kita saksikan, fenomena-fenomena alam yang boleh kita lihat dari waktu ke waktu dan hal-hal lain yang boleh diungkap oleh ilmu pengetahuan modern dan kita menduga itu semua sebagai suatu yang baru. Itu semua sebenarnya bukan suatu yang baru menurut Al-Qur’an, sebab kesemuanya telah diungkap dan diisyaratkan oleh ayat-ayat muhkamat dalam Al Quran.[42]
c.    Zaghlul al-Najjar
Pendukung tafsir ilmi zaman modern, Zaghlul al-Najjar yang seorang pakar geologi asal Mesir, dan sejak tahun 2001 menjadi Ketua Komisi Kemukjizatan Sains Al-Qur'an dan Al-Sunnah di "Supreme Council of Islamic Affairs" Mesir. Zaghlul berkeyakinan penuh bahwa Al-Qur'an adalah kitab mukjizat dari aspek bahasa dan sastranya, akidah-ibadah-akhlaq (tasyri'), informasi kesejarahannya, dan tak kalah pentingnya adalah dari sudut aspek isyarat ilmiahnya. Dimensi kemukjizatan yang disebut terakhir ini maksudnya adalah keunggulan kitab ini yang memberikan informasi yang menakjubkan dan akurat tentang hakikat alam semesta dan fenomenanya yang mana ilmu terapan belum sampai ke hakikat itu kecuali setelah berabad-abad turunnya Al-Qur'an.
Al-Qur'an menyuruh umat manusia untuk merenungi proses penciptaan yang tak pernah disaksikan oleh manusia, Zaghlul menilai dalam rangka mengkompromikan konteks dan tujuan ayat-ayat Al-Qur’an, penciptaan langit dan bumi, kehidupan, juga manusia yang memang terjadi di luar kesadaran manusia yang mutlak. Namun Allah swt menyisakan beberapa bukti di lempengan bumi dan lapisan langit yang dapat membantu manusia untuk menyatakan asumsi proses penciptaan. Akan tetapi asumsi yang bisa diraih ilmuan di bidang ini baru sebatas hipotesa dan teori belaka, dan belum sampai pada tingkatan hakikat/fakta keilmuan. Zaghlul menilai bahwa ilmu terapan di bidang hakikat penciptaan tak dapat melampaui teorisasi belaka. Varian teori penciptaan ini pun tergantung asumsi dan keyakinan para pencetusnya. Kesimpulan ilmuan yang beriman akan berbeda dengan ilmuan atheis atau yang netral agama.
Pada posisi inilah, bagi ilmuan muslim tersedia cahaya Allah swt yang terdapat dalam ayat Al-Qur'an atau hadis Nabi. Cahaya yang diberikan "gratis" oleh Allah dan Rasul-Nya itu dapat membantu ilmuan muslim untuk mengangkat salah satu teori dan asumsi sains ke tingkat hakikat ilmiah, bukan karena ilmu terapan itu yang menetapkannya, akan tetapi lebih karena terdapat isyarat hakikat ilmiah itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Artinya kita telah memenangkan ilmu dengan informasi Al-Qur'an atau Sunnah dan bukan sebaliknya, memenangkan Al-Qur'an dengan bantuan ilmu. Di sinilah letak keunikan dan keistimewaan teori i'jaz yang diajukan Zaghlul.
Masih banyak tokoh dan karya tafsir ‘Ilmi, antara lain : Al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an (Hanafi Ahmad), Tafsir al-Ayat al-Kauniyah (Abdullah Syahatah), Al-Isyarat Al-‘Ilmiyah fi al-Quran al-Karim (Muhammad Syawqi Al-Fajri), dan Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Ahmad Bayquni).
Contoh ayat dengan penafsiran al-‘Ilmi yaitu salah satunya penafsiran pada, yaitu : QS. Al Baqarah 29, At Thalaq 12, Nuh 15-16, An Naba’ 12, Al A’raf 54
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
Artinya : Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah : 29)
!$# Ï%©!$# t,n=y{ yìö6y ;Nºuq»oÿxœ z`ÏBur ÇÚöF{$# £`ßgn=÷WÏB ãA¨t\tGtƒ âöDF{$# £`åks]÷t/ (#þqçHs>÷ètFÏ9 ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ¨br&ur ©!$# ôs% xÞ%tnr& Èe@ä3Î/ >äóÓx« $RHø>Ïã ÇÊËÈ  
Artinya : Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (At Thalaq : 12)
óOs9r& (#÷rts? y#øx. t,n=y{ ª!$# yìö7y ;Nºuq»yJy $]%$t7ÏÛ ÇÊÎÈ   Ÿ@yèy_ur tyJs)ø9$# £`ÍkŽÏù #YqçR Ÿ@yèy_ur }§ôJ¤±9$# %[`#uŽÅ  ÇÊÏÈ  
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? (Nuh 15-16)
$uZøŠt^t/ur öNä3s%öqsù $Yèö7y #YŠ#yÏ© ÇÊËÈ  
Artinya : dan Kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, (An Naba’ 12)
žcÎ) ãNä3­/u ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# ÓÅ´øóムŸ@ø©9$# u$pk¨]9$# ¼çmç7è=ôÜtƒ $ZWÏWym }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur tPqàfZ9$#ur ¤Nºt¤|¡ãB ÿ¾Ín͐öDr'Î/ 3 Ÿwr& ã&s! ß,ù=sƒø:$# âöDF{$#ur 3 x8u$t6s? ª!$# >u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÎÍÈ  
Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (Al A’raf 54)

Penafsiran dari ayat-ayat di atas tersebut yaitu memang ada beberapa skala benda langit, misalnya tata surya ada matahari, ada planet beserta satelitnya. Milyaran tata surya membentuk galaksi. Milyaran galaksi membentuk alam semesta. Dan seluruh alam ini berisi sejumlah alam semesta. Dengan demikian alam punya 7 dimensi dan ini yang dimaksud dengan 7 langit yaitu berupa dimensi lapisan-lapisan seperti kue lapis yang berurutan.
Di sisi lain, 7 langit kemungkinan adalah 7 lapisan atmosfer yang dekat dengan bumi, yaitu trophosfer, tropopause, stratosfer, stratopause, mesofer, mesopause,dan termosfer. Pembagian ini berdasarkan temperatur suhu tiap-tiap lapis. Lapisan-lapisan tersebut bersifat kokoh dalam pengertian menyelimuti dan melindungi bola bumi secara kokoh karena da gravitasi bumi.[43] Tujuh langit juga bisa ditafsirkan 7 dimensi ruang dan waktu. Dalam ilmu fisika terdapat empat gaya fundamental di jagad raya ini, yaitu gaya elektromagnetik, gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi. Empat gaya tersebut terbentuk dari ledakan dahsyat dari satu gaya tunggal yaiu Grand Unified Force. Ketersatuan gaya-gaya tersebut disatukan dengan geometri ruang dan waktu yang sekarang ini kita berada di dalamnya.[44]
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Swt menyempurnakan kejadian langit dengan menjadikan tujuh lapis dalam dua masa. Masa yang dimaksud, sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah dua periode yang rentang waktunya sangat panjang. Pada awalnya, Allah Swt menciptakan langit pertama, dan kemudian disempurnakan menjadi tujuh langit yang berlapis-lapis.
Selanjutnya dijelaskan bahwa setiap langit memiliki fungsi dan keadaan yang berbeda. Masing-masing langit mempunyai kegunaan yang berbeda untuk kepentingan makhluk yang ada dibawahnya, misalnya: langit yang memperkuat gaya tarik planet-planet, sehingga benda-benda tetap bergerak pada orbitnya, tidak oleng, atau menyimpang yang mungkin bisa menyebabkan tabrakan satu dengan lainnya.
Semua ini merupakan ciptaan Allah Yang Mahakuasa, dan tunduk pada ketetapanNya. Tidak ada satu pun yang menyimpang dari ketentuan yang telah digariskan.[45]
6.    Analisis Paradigma Corak Tafsir ‘Ilmi
Melihat perkembangan keilmuan khususnya sains di zaman modern yang begitu pesat dengan berbagai sebab dan akibat yang melatarbelakanginya, keberadaan tafsir ‘Ilmi semakin menjadi salah satu tumpuan bagi ulama tafsir untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan berbagai fenomena kealaman yang terjadi. Akan tetapi, sangat perlu diperhatikan juga baik dalam menafsirkan maupun bagi para pengguna tafsir dalam mempelajari tafsir ‘Ilmi tersebut. Telah banyak disinggung di bagian depan, bahwa tujuan dari tafsir ilmi adalah sebagai pisau menghubungkan Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan, khususnya sains modern di zaman sekarang.[46] Diperlukan kehati-hatian dalam memberi penafsiran agar tidak terjadi kesalahan pemahaman terhadap teori-teori modern yang memang telah disinggung atau hanya dikait-kaitkan dengan Al-Qur’an.
Adapun yang harus diperhatikan ketika mempergunakan corak penafsiran ini adalah berpegang kepada hakikat ilmiah yang dapat dijadikan rujukan dan sandaran, tidak memaksakan diri dalam memahami nash, tidak membuat rekayasa, dan tidak serampangan dalam menakwili nash dengan suatu makna yang diinginkan kesimpulannya. Tapi hanya mengambil makna menurut pertolongan bahasa dan yang terkandung dalam ungkapan tanpa pemaksaan dan sesuai dengan hubungan kalimatnya.[47]
Ichwan dalam kesimpulannya mengenai tafsir ‘Ilmi yaitu ketika hendak mencari hubungan antara Al-Qur’an dengan sains modern, maka yang perlu dipertegas adalah membedakan antara fakta ilmiah dan teori ilmiah. Justifikasi Al-Qur’an dengan teori ilmiah akan berdampak sangat serius terhadap kelangsungan Al-Qur’an sebagai kitab suci. Jadi alternatif yang diambil bukanlah menyesuaikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan atau mencari teori ilmiah dari Al-Qur’an, tetapi menemukan bagaimana perspektif Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan.[48]
Mereka ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar bersifat universal dan dapat menjawab tantangan zaman. Melalui corong tafsir ‘Ilmi, mereka mengklaim bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah.[49] Sehingga berkembangnya tafsir ‘Ilmi perlu didukung dalam hal memajukan ilmu pengetahuan keislaman. Melihat perkembangan ilmu di wilayah Barat dengan berbagai konteks perkembangan dan peradabannya, yang sejatinya sumbernya adalah dari ajaran Islam, maka sangat perlu memperbaiki diri bagi kita umat Islam dengan sungguh-sungguh mempelajari ilmu-ilmu yang berkembang di zaman modern untuk menjawab tantangan dan demi kemaslahatan umat.











C.    PENUTUP
Uraian singkat di atas, sedikit menyimpulkan bahwa persoalan para mufassir diwarnai oleh usaha-usaha membumikan Al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Tafsir ‘Ilmi merupakan suatu metode tafsir yang berusaha menjalaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan dengan istilah-istilah ilmiah sehingga menghasilkan berbagai macam teori ilmu dan dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan masa kini. Kemunculan metode ini sempat menimbulkan pro dan kontra dari kalangan para ulama, sebagian mereka ada yang menolak dan menerimanya dengan argumen mereka masing-masing. Mereka ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an benar-benar bersifat universal dan dapat menjawab tantangan zaman. Melalui corong tafsir ‘Ilmi, mereka mengklaim bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan berbagai penemuan ilmiahnya telah diisyaratkan oleh Al-Qur’an dengan ayat kauniyahNya, walaupun masih belum diketahui pada saat wahyu turun. Ini menunjukkan keajaiban kitab yang diwahyukan Allah Swt yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan berkembangnya keilmuan tersebut, sebagai generasi muslim tidak ada salahnya jika selalu update dan selalu mencari isyarat-isyarat ilmiah yang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga akan menambah keimanan dan memanfaatkan akal yang diberikan untuk ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia Islam. Yang perlu diingat adalah bagaimana menggunakan dan menafsirkan ayat dengan kondisi (aturan) dan pedoman sehingga interpretasi dilakukan dengan benar dan tidak bertentangan dengan makna sebenarnya dari yang dibutuhkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an.




DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi, Muh. Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirin. Kairo. 1976
Al-‘Aridl, Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1994
Amir, Selamat Bin; Mohd Murshidi Mohd Noor and Ahmad Bazli Ahmad Hilmi.  Scientific Assimilation In The Interpretation Of The Qur’ān: An Approach To Zaghlūl El-Najjār’s Work Entit Led “Tafsīr Al-Ayah Al-Kawnīyyah Fī Al-Qur’ān Al-Karīm”. Al-Bayan: Journal of Qur’an and Hadith Studies, Volume 10, Issue 2. 2012
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2009
Arya Wardhana, Wisnu. Al Qur’an dan Energi Nuklir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004
Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005
Gufron, Mohamad  & Rahmawati. Ulumul Qur’an : Praktis dan Mudah. Yogyakarta : Teras. 2013
Hanafi, Ahmad. Tafsir al-Ilmi lil Ayaati al Kauniyah fi Al-Qur’an. Mesir : Darul Ma’arif. 1119
Hasan Al-‘Aridl, Ali.  Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1994
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Pustaka Setia : Bandung. 2004
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodolohi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2006
Ma’qif, Louis. 2007. Al-Munjid fi al-Lughah al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta. 2010
Nor Ichwan, Mohammad. Tafsir Ilmy. Yogyakarta : Menara Kudus Jogja. 2004
Pasya, Ahmad Fuad. Dimensi Sains Al-Qur’an Menggali Ilmu Pengetahuan dari Al-Qur’an. Solo : Tiga Serangkai. 2004
Purwanto, Agus. Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Al-Qur’an Yang Terlupakan. Bandung : Media Mizan Utama. 2008
Saefuddin Buchori, Didin. Pedoman Memahami Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005
Salim, Abd Mu’in. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras. 2005
Syamimi Mohd, Nor, Haziyah Hussin & Wan Nasyrudin Wan Abdullah. Article of  Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary. Malaysia : Canadian Center. 2014
U. Syafrudin. Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009

Wardhana, Wisnu Arya. Al Qur’an dan Energi Nuklir. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004
­­­________,  Al Qur’an dan Tafsirnya. Kementerian Agama RI : Sinergi Pustaka Indonesia. 2012
________, Tafsir Ilmi Penciptaan Jagad Raya Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012



[1] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2009, hlm.
[2] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, Pustaka Setia : Bandung 2004, hlm. 107-108
[3] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, Jakarta : Amzah, 2009, hlm. 157
[4] Ibid.,
[5] Corak dalam bahasa arab disebut اللون  yang berarti  صفة الشيءويءته من
  والسواد والحمرة  البياض وغير ذلك (sifat dari suatu bentuk seperti putih, hitam, merah dan sebagainya. Maka, corak dalam konteks ini dapat dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada diri seorang mufassir (Ma’qif, 2007).
kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup. (Adz-Dzahabi,. ‘Ilmu At-Tafsir: 5).
Kata ‘ilm (ilmu) dapat diartikan sebagai ilmu empiris yang mempelajari berbagai gejala alam raya dan di dalam diri manusia agar sampai pada hukum yang menafsirkan perilaku gejala-gejala tersebut dan mengemukakan alasan terjadinya serta menyingkap fakta dan kebenaran yang tercermin pada keimanan yang benar kepada Allah swt, sesuai dengan firmanNya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami pada segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar….” (QS. Fushshilat: 53) (Pasya, 2004: 23).
[6] Kata kauniah berasal dari akar kata al-kaun, yang berarti yang dijadikan, makhluk, dan alam semesta. Berdasarkan makna bahasa tersebut, tafsir kauniah dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberi penafsiran yang bersifat ilmu pengetahuan kepada ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir kauniah menggunakan temuan-temuan ilmiah untuk menafsirkan makna dan maksud dari suatu ayat al-Qur’an Ayat-ayat kauniah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, data, atau setidaknya mengandung isyarat ilmiah. Para ulama telah memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang, sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan penggalian berbagai ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya Al-Qur’an, yaitu hukum-hukum alam, astronomi, teori-teori kimia dan penemuan-penemuan lain yang dengannya dapat dikembangkan ilmu kedokteran, astronomi, fisika, zoologi, botani, geografi, dan lain-lain (Al-‘Aridl, 1994: 62).
[7] Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur’an : Praktis dan Mudah, Yogyakarta : Teras, 2013, hlm. 195
[8] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an, Op. Cit., hlm. 109
[9] Ibid.,
[10] Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur’an : Praktis…,Op. Cit, hlm. 195
[11] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’a, Op. Cit., hlm. 108
[12] U. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual Usaha Memaknai Pesan Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 34
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk berfikir tentang alam semesta ciptaan Allah Swt, termasuk apa-apa yang ada di dalam diri manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh manusia dari hasil pengamatan mereka terhadap ayat Al-Qur’an, agar mereka sadar akan Sang Pencipta. Melalui kemampuan manusia untuk menggunakan akalnya, berpikir, menyelidiki, memperhatikan dan mengamati segala ciptaan Tuhan yang ada di alam semesta ini, manusia mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu dan usaha menciptakan sesuatu dari ilmu pengetahuan yag diperolehnya akan melahirkan suatu teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan di dunia ini (Wisnu, 2004: 51).
Ilmu pengetahuan dan teknologi begitu erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Tuhan sendiri mendudukkan ilmu pengetahuan begitu pentingnya bagi manusia dan ini terbukti dari awal penciptaan manusia yang telah diajarkan pada Nabi Adan a.s nama-nama benda yang merupakan awal mula perbendaharaan ilmu pengetahuan bagi manusia yang akan terus berkembang. Manusia wajib untuk terus mencari dan mengembangkan segala macam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi demi kepentingan manusia itu sendiri (Ichwan, 2004: 169).
[13] Jadi dalam hal ini penting menegaskan perbedaan antara tafsir ‘Ilmi dengan I’jaz ‘Ilmi. I’jaz ‘Ilmi yaitu bahwa segala apa yang terkandung di dalam al-Qur’an mengenai sisi ilmiah dari keajaiban atau rahasia alam telah mendahului temuan - temuan ilmiah atau kenyataan ilmiah yang baru dapat diketahui oleh manusia pada zaman sekarang. Yang mana kenyataan ilmiah tersebut, pada masa turunnya Al-qur’an belum dapat dibuktikan oleh manusia (karena keterbatasan ilmu pengetahuan saat itu) padahal Al-qur’an telah mengisyaratkannya. Sehingga pada zaman sekarang, Al-Qur’an kembali menegaskan kepada para ilmuwan dunia bahwa Al-Qur’an lebih dulu berbicara mengenainya dari pada mereka. Jika melihat kedua definisi di atas, maka antara tafsir ‘Ilmi dan i’jaz ‘Ilmi terdapat perbedaan dalam fungsinya. I’jaz ‘Ilmi menitik beratkan pada kenyataan- kenyataan empiris yang telah menjadi ilmu pasti yang kebenarannya telah mencapai seratus persen untuk dijadikan sebagai penopang kebenaran al-qur’an mengingat fungsinya sebagai i’jaz. Adapun tafsir ilmi masih sebatas ijtihad seorang penafsir yang mencoba memahami dan menggali makna ayat dengan metode ilmiah kontemporer, jika dia benar maka mendapat dua pahala dan jika salah, maka hanya mendapat satu pahala. Tujuan dalam tafsir ‘Ilmi adalah untuk menambah keimanan, namun i’jaz ‘Ilmi lebih mengedepankan tantangan kepada para ilmuwan untuk membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah yang dikandungnya dan ketika telah terbukti benar, maka para ilmuwan, bahkan jika mereka kafir sekalipun, akan mengakui bahwa Al-Qur’an sejak turun 14 abad yang lalu telah membawa berita-berita kebenaran apalagi ia diturunkan kepada seorang Nabi yang ummi (buta huruf) sehingga sangat mustahil bagi seorang Nabi yang ummi untuk mencuri informasi dengan keummiyannya itu.
[14] Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 6
[15] Al Qur’an dan Tafsirnya, Kementerian Agama RI : Sinergi Pustaka Indonesia, 2012, hlm. 76
Penafsiran ilmiah (tafsir ilmi) adalah bagian dari tafsir Al-Qur'an yang telah sekitar untuk waktu yang lama dalam sejarah pemikiran Islam. Hal ini telah berkembang pesat pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di negara-negara Barat serta posisi dan sikap umat Islam dalam menghadapi perkembangan saat ini. Mufasir dan intelektual di Timur Tengah, Eropa dan Asia Selatan sangat prihatin tentang penafsiran ilmiah dan mereka menerapkannya dalam tulisan mereka tentang penafsiran Al-Qur'an. Penafsiran ilmiah dalam lingkup penafsiran berdasarkan pendapat (tafsir bi al-ra'yi). Sebagian ahli tafsir menerima penafsiran yang didasarkan pada pendapat dengan kondisi (aturan) dan pedoman tertentu yang interpretasi dilakukan dengan benar dan tidak bertentangan dengan makna sebenarnya dari yang dibutuhkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan kata lain, tafsir bi al-ra'yi dapat digunakan asalkan dipandu oleh prinsip-prinsip umum Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu, dari sudut penulisan, karya-karya Timur Tengah yang sangat menonjol dan pendekatan terkenal dalam menerapkan penafsiran ilmiah dari Al-Qur'an dalam tafsir komentar pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Di antara karya-karya terkenal adalah Tafsir al-Manar, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim dan al-Tafsir al-Kawniyyah fi al-Qur'an al-Karim (Syamimi Mohd, 2015: 1).
[16] Al-Ghazali diyakini sebagai pelopor atau peletak dasar tafsir ilmiah secara teoritis. Al-Ghazali berpendapat bahwa setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna zhahir dan batin, serta makna yang tersurat dan tersirat. Al Ghazali menulis sebuah kitab dengan judul Jawahirul Qur’an, di dalamnya terdapat bab khusus yang menerangkan bagaimana ilmu yang berasal dari A-Qur’an sudah bercabang-cabang, yaitu ilmu-ilmu keagamaan, berbagai macam ilmu dunia, ilmu bahasa, ilmu-ilmu yang telah ada dan yang masih terus dipelajari, ilmu yang sebenarnya sudah ada tetapi belum dikenal manusia, dan ilmu-ilmu yang akan muncul kemudian hari. Menurut Al Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Imam Ghazali menyatakan bahwa seluruh ilmu tercakup dalam Af’al Allah, dan sifat-sifat Allah. Sedangkan Al-Qur’an adalah penjelas (syarah) dzat, sifat, dan afal Allah. Dengan demikian, memahami Al-Qur’an melalui pendekatan sains secara tidak lagsung mengungkap ke-Esaan Allah Swt.
[17] Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Umar Ibn al-Husain Ibn al-Hasan Ibn Ali al-Quraisy at-Taimi al Bakri ath-Thabrastani ar-Razi. Gelarnya Fakhruddin dan dikenal dengan Ibn Al-Khatib. Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari delapan jilid yang tebal, dan mendapat perhatian yang besar dari para pelajar Al-Qur’an karena mengandung pembahasan yang dalam mencakup masalah-masalah keilmuan yang beraneka ragam. Menurut Mahmud dalam bukunya, tafsir ar-Razi secara global lebih pantas untuk dikatakan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu yang ada hubungannya baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahaminya (Mahmud, 2006: 320-324).
[18] Thanthawi Jauhari adalah seorang seorang ulama modern yang sangat fanatik terhadap corak tafsir Ilmi. Dalam karyanya, Tafsir Al-Jawahir di Tafsir Al-Qur’an, ia menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diduganya berkaitan dengan ilmu pengetahuan  yang “in” pada masanya. Karya tafsirnya layak dikatakan sebagai buku ilmu pengetahuan ketimbang sebagai buku tafsir, sehingga ada ungkapan “di dalamnya terdapat sesuatu, kecuali tafsir itu sendiri” (Anwar, 2009: 198).
[19] Ibid., hlm. 284
[20] Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur’an : Praktis…,Op. Cit,  hlm. 196
[21] Banyak ayat Al-Qur'an yang berisikan isyarat ilmiah. Dengan penafsiran ayat-ayat tersebut secara saintifik akan memudahkan penyebaran dakwah di abad modern. Dengan tafsir ilmiah ini kita akan terjaga dari kesalahan penyebutan informasi tentang beberapa fenomena alam dalam Al-Qur'an. Beberapa kitab tafsir bil ma'tsur misalnya menyatakan bahwa 'Ra'd' adalah nama malaikat yang menggiring awan, suara yang dikeluarkan ra'd adalah suara tasbihnya, sementara 'Baraq' adalah dampak dari cemeti yang dipakai ra'd untuk menggiring awan. Bumi adalah dataran yang berada di atas punggung 'Hut' (ikan paus). Dan banyak contoh tafsir-tafsir yang usang dan ketinggalan zaman, karena semata mengandalkan periwayatan dan tidak mengaitkannya dengan fakta ilmiah modern. Tentu saja ketika seorang da'i di masyarakat negara maju ditanya tentang hal semacam ini lalu memberikan jawaban sesuai penafsiran ulama klasik maka akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan serta merugikan citra Islam yang berwatak ilmiah dan progresif (Amir, 2012: 59).
[22] M. Nor Ichwan, Tafsir Ilmy, Op. Cit., hlm. 161
Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahami kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa Arab yaitu juga yang terkait dengan kaidah-kaidah bahasa Arab (Salim, 2005: 63).
[23] Ibid., hlm. 162
[24] Ibid., hlm. 163
[25]Ibid., hlm. 169
Seorang mufasir harus memiliki ilmu pengetahuan lainnya, seperti perubahan sosial dan ilmu pengetahuan lainnya. Hal ini didasarkan atas prinsip Al-Qur’an yang diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian, maka Al Qur’an akan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). Sebagai contoh Surat al ‘Alaq ayat 2:
t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã
Ayat tersebut mengungkap tentang penciptaan manusia. Para ulama berpendapat mengenai kejadian manusia dari ‘alaqa yaitu darah beku atau segumpal darah yang merupakan keadaan janin pada hari pertama kejadiannya. Pandangan lain dikemukakan oleh Muraice Bucaille, yang menegaskan bahwa sesuai dengan penemuan kedokteran kata ‘alaa seharusnya diterjemahkan dengan “sesuatu yang tergantung”, bukan darah beku, karena darah beku tidak dalam proses kejadian manusia dan yang dikenal adalah ovum yang dibuahi melekat pada dinding rahim setelah beberapa hari. Dalam hal ini, Quraisy Shihab juga memberikan perbandingan antara penegasan ayat Al-Qur’an dan memberikan penegasan dan konsepsi embriologi tentang proses kejadian manusia. Dengan demikian, kaidah ilmu pengetahuan sangat diperlukan juga dalam memahami Al-Qur’an (Salim, 2005: 70).
[26] Fuad, hlm. 47
[27] M. Nor. Ichwan, Tafsir Ilmy, Op. Cit., hlm. 171
[28] Ibid., hlm. 171
Metode tematik mencoba memahami ayat Al-Qur’an sebagai satu-kesatuan sehingga memungkinkan memperoleh pemahaman yang utuh mengenai konsep Al-Qur’an. Metode tematik juga dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara proporsional sehingga tidak ada pra-konsepsi pada ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an (Mustaqim, 2010: 69).
[29] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Al-Qur’an, Bogor : Granada Sarana Pustaka, 2005, hlm. 216
Tafsir Maudhu’i bisa dijelaskan dengan cara menafsirkan Al-Qur’an secara integral dan komprehensif mengenai tema tertentu dengan mengambil berbagai ayat yang terkait dengan tema tersebut dan seluruh rangkaian ayat Al-Qur’an. Dan biasanya mufassir memberikan keterangan dan mengambil kesimpulan.
[30] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Op. Cit, hlm. 284
[31] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir …, Op. Cit., hlm. 110-111
[32] Ibid., hlm. 111
[33] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Op. Cit, hlm. 284
[34] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir..., Op. Cit, hlm. 113
[35] Ibid., hlm. 114
[36] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Op. Cit, hlm. 285
Dipertegas juga oleh Amin Al-Khuli dengan tulisan yang lebih sistematis. Ia mengajukan berbagai argumentasi untuk menolak keberadaan tafsir ini. Pertama, argumentasi leksikologi. Makna-makna Al-Qur’an, menurutnya tidak disediakan untuk lapangan ilmu pengetahuan modern. Kedua, argumen filologi. Al-Qur’an menurutnya dialamatkan kepada masyarakat Arab. Konsekuensinya, Al-Qur’an tidak menyodorkan sesuatu di luar jangkauan pikiran mereka. Ketiga, argumentasi teologi. Al-Qur’an berkaitan dengan pesan agama dan etika (sisi kehidupan manusia) dan tidak berkaitan dengan sisi kosmologinya.
[37]Ibid.,  hlm. 195
[38] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 65
[39] Ibid., hlm. 66
[40] Azd-Dzahabi, Muh. Husein. At-Tafsir wa al-Mufassirin, Mesir, 1976, hlm. 290
Dan dari ilmu kalam kitabnya meliputi Kitab Al Mathalibul Aliyah, Bayan wal Burhan fi roddi ala zaighi wal Tughyan. Dia juga menulis kitab usul fiqh, yaitu al mahsul, al hikmah, syarh al isyarat li Ibni Sina, Syarh Uyunil Hikmah. Dia juga mengarang kitab Assirul Maknun, Syarh Mufashal fin Nahwi li Zamahsyari, Syarh Wajiz fi Fiqh al Ghazali dll.
[41] Didin Saefudin Bukhori, hlm. 216-217
[42] Contohnya adalah: Al-A’raf[7]: 58, Artinya: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamanya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur. Adapun ayat diatas menunjukan bahawa walaupun dengan kehendak dan keizinan-Nya supaya segala tumbuhan menjadi dan subur, tetapi kesesuaian tanah dan kesuburan tanah juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut, kerana tidak semua tanaman dapat tumbuh pada tanah yang sama. Tafsiran ini menunjukkan bahawa Tanthawi berusaha untuk memberikan pengertian atau situasi baru, bahwa Al Quran sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahan itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.
Usaha Tanthawi Jauhari dalam menafsirkan ayat al-Quran dengan pendekatan tafsir ilmi ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan ulama tafsir ilmi, sehingga sekarang banyak kemunculan kitab yang mengulas secara ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Hanafi Ahmad dengan kitabnya at-Tafsir al-Ilmi li al-Ayah al-Kawniyah, dan juga kitab-kitab lain yang terus berkembang sehingga ke hari ini.
[43] Lihat Ar Ra’d : 2 dan An Naba’ : 12. Hanafi, Ahmad. Tafsir al-Ilmi lil Ayaati al Kauniyah fi Al-Qur’an. Mesir : Darul Ma’arif. 1119, hlm 131.
[44] Kemenag RI, Al Quran dan Tafsirnya, 2012, Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia
[45] Tafsir Ilmi Penciptaan Jagad Raya Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, hlm. 7
[46] Sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyibak realitas. Terkait dengan pengertian ini, maka sains juga menjadi tidak tunggal; atau dengan kata lain, sains satu dengan yang lain dibedakan pada makna realitas dan cara apa yang diterima untuk megetahui realitas tersebut. Tujuan sains Islam adalah mengetahui watak sejati segala sesuatu yang diberikan Tuhan. Sains Islam juga bertujuan untuk memperlihatkan kesatuan hukum alam, kesalinghubungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip Ilahi. Mengenal alam dan hukum setiap spesies tersebut pada Kehendak Ilahi karena menurut Al-Qur’an seluruh makhluk selain manusia adalah muslim. Dengan pemahaman ini, sang ilmuwan menjadi lebih dekat dan tunduk kepada Sang Pencipta (Purwanto, 2008: 190).
Bahkan, Abduh secara vocal mengisyaratkan bahwa penemuan telegraf, telefon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam Al-Qur’an. Sebagaimana juga penafsiran kontroversial lainnya yaitu Al-Maraghi yang menafikan malaikat, setan, dan Adam sebagai bapak manusia berdasarkan teori ilmiah cukup membuktikan bahwa ia pun tergolong mufassir yang mendukung tafsir ilmi. Muhammad Abduh, Al-Maraghi, Thantawi Jauhari, Sa’id Hawa, dan lain-lain (Anwar, 2009: 284).
[47] Mohamad Gufron & Rahmawati, Ulumul Qur’an : Praktis...,Op. Cit., hlm. 196
[48] M. Nor. Ichwan, Tafsir Ilmy, Op. Cit., hlm. 171
[49] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Op. Cit., hlm. 286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda