Pengikut

Rabu, 13 April 2016

studi Islam pemikiran Iqbal & Muhamad Abduh



PEMIKIRAN ISLAM MENATAP MODERNITAS : PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD IQBAL

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Dan Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusuf Suyono, M.A
Disusun Oleh :
Lailatul Fadhilah
1400018056

PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.                   PENDAHULUAN
Masa klasik kebudayaan Islam (sejak masa Rasulullah SAW sampai dengan jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan tahun 1258 M), merupakan masa dimana umat Islam berada dipuncak pengendali budaya dunia. Keadaan tersebut segera berakhir dengan mulainya umat Islam sadar akan kemundurannya dari 1258 M sampai 1800 M.[1] Kekuasaan Barat mulai menduduki wilayah Islam, yaitu saat Napoleon berhasil menduduki Mesir pada 1798 M yang merupakan salah satu pusat peradaban dunia Islam. Napoleon yang dapat menduduki Mesir, menyadarkan pemuka-pemuka Islam bahwa umat Islam memang sudah terbelakang dan lemah.[2]
Kemunduran tersebut dilatarbelakangi karena Islam yang diamalkan dan dihayati oleh umat Islam bukan lagi ajaran Islam yang murni, tetapi ajaran yang sudah tercemar oleh masuknya unsur-unsur dari luar yang pada hakikatnya bertentangan secara  diametrikal dengan ajaran Islam, dengan tudingan khusus kepada sinkritisme Sufi sebagai yang bertanggungjawab atas masuknya unsur-unsur luar pada akidah dan ajaran Islam dan munculnya inovasi-inovasi yang sebenarnya tidak Islami (taqlid, bid’ah, khurafat). Dan untuk meraih kembali kejayaan “masa keemasan” umat Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni, seperti saat diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW.[3]
Umat Islam pada abad ke-19 M mulai sadar akan kemundurannya, pemimpin-pemimpin pembaruan menyadari bahwa salah satu penyebab dari kemunduran itu adalah anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Muncullah pemimpin-pemimpin dan ulama-ulama Islam dengan pernyataan bahwa pintu ijtihad tak pernah tertutup dan tak ada orang yang berhak menutupnya. [4]
Kesadaran ini menimbulkan keinginan dikalangan umat Islam untuk memperbaiki kedudukan mereka dengan menoleh dan belajar dari Barat. Pembaharu Islam ingin mempermodern pemikiran dunia Islam. Dengan demikian munculah periode modern dari tahun 1800 M hingga sekarang ini.[5]
Melalui tokoh-tokoh pembaharu tersebut kita dapat merefleksikan dan perlu memperbaharui pola pikir kita terhadap agama. Pembaharuan dalam pemikiran terhadap hal-hal yang menyangkut dengan masalah Islam itu sendiri, bukan dalam hal-hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental dari ajaran Islam itu, tetapi membaharui penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar Al–Qur’an dan hadis itulah yang perlu diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman. Dengan cara penambahan ilmu pengetahuan, memperluas pandangan terhadap keseluruhan soal kehidupan dapat melapangkan pemikiran dengan tetap memelihara kemurnian agama.[6]
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menguraikan pemikiran diantara tokoh pembaharu Islam tersebut, yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal yang sedikit banyak berpengaruh pada pemikiran-pemikirannya baik yang dipublikasikan dalam bentuk buku atau tulisan-tulisan lepas.
II.                RUMUSAN MASALAH
Dalam pembahasan makalah ini terdapat point rumusan masalah :
1.      Bagaimana riwayat hidup dan karya-karya Muhamad Abduh dan Muhamad Iqbal?
2.      Bagaimana pemikiran pembaharuan (Muhamad Abduh dan Muhamad Iqbal) dan dalam karyanya (Risalat al Tauhid dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam)?
3.      Bagaimanakah kritik pemikiran kita terhadap upaya pembaharuan Muhamad Abduh dan Muhamad Iqbal?
III.             PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Muhamad Abduh dan Karya-Karyanya (1849 M- 1905)
Muhamad Abduh dilahirkan pada 1849 M (1266 H) di desa Mahallat Nasr distrik propinsi al-Bahirah (Mesir hilir).[7] Pada usia 7 tahun, Abduh mulai menerima pengajaran membaca dan menghapal Al-Qur’an di Masjid al-Ahmadiy di Thantha.[8] Setelah belajar dari thanta, Abduh juga belajar di desa Kanisah Urin, tempat tinggal keluarga ayahnya. Didesa itulah ia bertemu dengan Syekh Darwisy.[9] Pada Februari tahun 1866 M, Abduh masuk di Universitas Al-Azhar,  Kairo. Ketika Sayyid Jamaludin al-Afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 M, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid setia al-Afghani. Ia belajar filsafat dibawah bimbingan al-Afghani dan dimasa inilah ia mulai membuat karangan untuk surat kabar harian Al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. [10]
Menurut Abbas Mahmud Aqqad sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono, Pada 1877 M, Abduh menerima ijazah diploma (Syahadat al-‘Alimiyah). Pada 1878 M, ditunjuk sebagai guru di Dar al-Ulum, Di tahun 1880 M, ditunjuk sebagai redaktur Al-Waqa’i Al-Misriyyah. Pada 1882 M, diusir dari Mesir karena keikutsertaannya dalam pemberontakan Urabi, pada 1884 M pergi dari Beirut ke Perancis mendirikan majalah Al-Urwat Al-Wusqa bersama Jamaludin Al-Afghani. Tahun 1885 M, Abduh kembali ke Beirut untuk  mengajar dan menerjemahkan Risalat Al Radd Al Aal Dahriyin dan Syarh Maqamat Al Badi’ dan Nahj Al Balaghah. Pada 1889 M kembali ke Mesir dan ditunjuk sebagai hakim di mahkamah swasta. Selanjutnya, pada 1891 M, ditunjuk sebagai hakim Mahkamah Al Istinaf. Pada 1895 M ditunjuk sebagai Dewan Administrasi Al Azhar. Di tahun 1897 M mengarang Risalat Al Tauhid dan Syarh Al Bashair Al Nashiriyah dan pada 1899 M ditunjuk sebagai Mufti Besar Mesir.[11] Di dua jabatan ini ia banyak melakukan perubahan dan pembaharuan. Untuk al Azhar ia memasukkan ilmu-ilmu modern pengetahuan umum dan filsafat, karena sebelumnya terdapat dualisme sistem pendidikan di Mesir. Pendidikan tradisionalisme madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan modern modern berbasis Barat yang tidak mengajarkan ilmu agama. Abduh berusaha menghapus dikotomi ini. Sementara jabatan mufti, Abduh mengusulkan berbagai perubahan sistem pengadilan agama di Mesir. [12]
Bulan Maret tahun 1905 Abduh meminta berhenti dari dewan administrasi Al Azhar. Pada tanggal 11 Juli 1905, pukul 17.00, Abduh wafat di Iskandariyah dalam usia 57 tahun.[13]
Adapun karya Abduh yang berbentuk buku maupun tulisan-tulisannya antara lain, Risalat al-Tauhid, Risalat al-Sair Samuel Beker fi al-Sudan wa Mishra wa al-Mahakim al-Ahliyah, al- Intiqad, La’ihat al-Ta’lim al-Utsmaniy, La’ihat al-Qutr al-Suriy, La’ihat Ishlah al-Tarbiyyat fi Mishra, Syarh Badi’al-Zaman al-Hamazaniy, Nahjul Balaghah, Syarh al Bashair al-Nashiriyhah karya Thusiy, Syarh Dalail al-I’jaz dan Syarh Asrar al-Balaghah karya al Jurjani, al-Radd ala Hanautau, al-Islam wa al Nashraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al Madaniyah, Taqrir Islah al-Mahakim al-Syar’iyah, bersama Qayim Amin menulis Tahrir al Mar’ah dan bersama Arif Afandiy Thurab menerjemahkan Risalat al-Radd ala al-Dahriyyin karya al-Afghani.[14]
a.      Perspektif Pemikiran Muhammad Abduh
Abduh merupakan salah satu tokoh modernis, pada pertengahan abad ke 19 di Mesir yang berusaha memperluas cakupan makna ijtihad dengan mengacu pada berbagai masalah yang di anggap vital bagi masyarakat muslim. Termasuk didalamnya membuka diri terhadap gagasan aktual yang dimungkinkan perkembangannya dimasa depan. Perhatiannya terfokus pada hubungan antara akal dan wahyu, pembaharuan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan, serta pembaharuan dalam bidang politik termasuk bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional.[15]
Secara garis besar upaya pemikiran pembaharuan Abduh yaitu, pemurnian Islam[16] dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khurafat); mereformasi susunan bahasa arab dalam redaksi[17], baik dalam pidato resmi diantara para juru tulis pemerintahan, atau tersebar dalam koran baik bahasa asli atau terjemahan dari bahasa lain dan surat menyurat.[18] Selanjutnya pembaharuan dalam pendidikan, serta menyeru kepada bangsa Mesir, khususnya, agar bisa memahami hak dan kewajiban bagi pemerintah dan rakyat.[19]
b.      Pemikiran dan Gagasan Muhammad Abduh
Latarbelakang kondisi sosio-kultural kehidupan dunia Islam, pada masa Abduh, sedang mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh negara-negara Barat. Mesir merupakan negara Abduh, yang juga mengalami penjajahan dari Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh juga merasa terpanggil untuk menentang kolonialisme Barat.
Abduh menentang adanya kolonialisme Barat di dunia islam, namun juga menyesalkan sikap penguasa-penguasa muslim dan ulama yang memberi kesempatan Barat untuk menguasai mereka.  Dalam lapangan sosial politik, bangsa Barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Dibidang pendidikan, lembaga pendidikan Barat memisahkan antara pendidikan agama dan umum menjadi fenomena. Di Mesir terdapat dualisme pendidikan antara pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern Barat. Banyak diantara  pemuda Mesir yang terpengaruh oleh model pendidikan Barat dan akhirnya tercabut dari nilai-nilai sosial-budaya mereka sendiri. Mereka lebih mengagungkan pola pemikiran Barat yang tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran islam. Demikian dalam bidang hukum, banyak hukum Barat yang diadopsi oleh dunia islam.[20]
Kepada penguasa muslim yang despotis[21], Abduh memandang mereka sebagai antek-antek imperialis Barat yang berkonspirasi menindas rakyat. Menurutnya pemimpin muslim menyandang gelar tinggi seperti sultan dan pangeran, hidup mewah, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintahan asing nonmuslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya. Pemimpin seperti ini penyebab bagi kehancuran akhlak didalam masyarakat dan otoriter.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya para ahli fiqh. Mereka tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa sehingga tidak mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Mereka menjadi alat justifikasi untuk mengeluarkan fatwa yang menguntungkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Menurut Abduh, kondisi demikian, karena umat islam sudah terasuki oleh paham-paham keagamaan yang jumud (beku, statis) sehingga tidak mau berpikir dinamis mencapai kemajuan. Umat islam harus kembali kepada ajaran-ajaran islam yang sesungguhnya dan membersihkan segala macam bid’ah dan khurafat. Umat islam harus berani membuka pintu ijtihad untuk menjawab tantangan zaman. Melakukan interpretasi ulang terhadap pendapat ulama masa lalu.[22]
Selain menggalakkan berpikir kritis dan pengembangan ijtihad, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada pemerintahan yang konstitusional. Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan dilakukan secara bertahap. Ia menginginkan cara-cara evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesir yang belum mendukung untuk itu, maka perlu dilakukan proses pencerdasan bagi masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban sebagai warga negara. Abduh meyakini bahwa melalui reformasi dalam bidang pendidikan, warga negara disatu sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berpikir, mengetahui hak-haknya dan meningkatkan kesadaran akan tanggungjawab dan kewajibannya. Setidaknya diperlukan waktu untuk melatih rakyat mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka secara bertanggungjawab.[23]
Pandangan Abduh, hukum yang dijalankan untuk masyarakat haruslah sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Ia menolak umat islam yang mencoba mencari sistem hukum yang tidak sejalan dengan tradisi dan masyarakatnya. Hukum Barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat Barat yang menjunjung semangat liberalisme. Kalau hal ini diterapkan masyarakat muslim, maka mereka akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang religius. 
Bagi Abduh, kepala negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide Barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh menggulingkan penguasa bila bertindak despotis dan tidak adil, serta kesejahteraaan rakyat menuntut hal ini. Pemimpin negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu, karenanya Abduh menolak paham penguasa (Sistem pemerintahan khalifah) sebagai zhill Allah fi al ardh (bayang-bayang Allah dimuka bumi) sebagaimana pandangan pemikir muslim abad klasik hingga pertengahan.[24]
Pandangan Abduh tentang hubungan agama dan politik tertuang dalam butir V dari program Partai Nasional Mesir yang dirumuskanya. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa partai nasional adalah partai politik bukan partai agama. Yang keanggotaanya terdiri atas orang-orang dari berbagai kepercayaan dan mahdzab, serta semua yang bercocok tanam di bumi Mesir dan berbahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu saudara satu sama lain, bahwa hak-hak mereka dalam politik dan hukum itu sama. [25]
Gagasan Abduh demikian dinilai sangat berani dan membuka jalan bagi pemikiran-pemikiran maju dalam konstelasi pemikiran dan perkembangan politik di Mesir. Abduh telah mengubah sesuatu yang telah dianggap sakral oleh sebagian masyarakat islam, terutama di Mesir. Dalam perkembangannya, pemikiran Abduh diikuti dan dielaborasi oleh murid-murid dan pengikutnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha,  Sa’ad Zaghul, Lutfi al Sayid dan Muhammad Husein Haykal.[26]
c.       Pemikiran Abduh dalam karya Risalat al Tauhid
Bahasan al Risalah maupun Nazariyat al nubuwwah (teori kenabian) ini pertama dilakukan oleh al-Farabi (870 M -950 M) yang perhatiannya saat itu untuk memadukan antara filsafat dan agama. Teori kenabian dari al-Farabi ini berpengaruh pada pemikir sesudahnya, termasuk Abduh yang berusaha menghidupkan studi filsafat-filsafat klasik.[27]
Mengenai bahasan al-Risalah oleh Abduh, dipahami dari segi sosiologi yang diringkaskan oleh Rihab Akawiy yaitu:
Menurut kelaziman cinta dan keadilan, maka adalah seharusnya ada norma-norma yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Hanya saja, norma-norma itu sering diabaikan sama sekali. Akibatnya, pasti akan merajalela berbagai egoisme dan kedzaliman ditengah masyarakat dan pada gilirannya menyebabkan persengketaan dan perpecahan diantara anak-anak negeri dan masyarakat. Untuk itulah Risalah para Rasul adalah suatu keniscayaan untuk mengajak anggota masyarakat itu mematuhi norma-norma tersebut serta menghilangkan segala kejahatan darinya. Sesungguhnya esensi diutusnya para Rasul itu adalah bertujuan sangat Ruhani, antara lain mendidik umat, yaitu menyempurnakan keberadaan serta martabat manusia, kedudukan para Rasul ditengah manusia itu seperti kedudukan akal pada individu.[28]
Al Risalah adalah pengutusan Rasul-Rasul untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah dan hukum Allah kepada manusia. Cakupannya dalam Risalat al Tauhid yaitu meliputi Hajat al-Basyar ila al-Risalah Imkan al-Wahy (kemungkinan terjadinya wahyu), Wuqu’ al-Wahy wa al-Risalah (terjadinya wahyu dan al-Risalah), Wadhifat al-Rusul (tugas para rasul), Risalat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (kerasulan Muhammad SAW), al Tasdiq bima ja’a bihi Muhammad (pembenaran terhadap kerasulan Muhammad) juga termasuk diskursus Al-Qur’an, agama Islam dan perkembangannya, sanggahan terhadap tuduhan Barat tentang kerasulan Muhammad.[29]
Pembahasan Al-Risalah, dipandang dari segi normatif, yaitu iman kepada Rasul adalah salah satu rukun iman. Dalam hal ini, setiap muslim harus percaya bahwa Allah mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dalam rangka menyampaikan syariat Allah kepada manusia. Sedangkan dari segi sosiologis-antropologis, kebutuhan manusia kepada Al-Risalah yaitu kekekalan jiwa manusia dan tabiat manusia sebagai makhluk sosial.
Secara garis besar, menurut Yusuf Suyono, Risalah Al Tauhid didalamnya terdapat cakupan tentang diskursus ketuhanan (Teologi), diskursus kemanusiaan (antropologi) dan diskurusus kealaman (kosmologi).[30]
a.       Diskursus ketuhanan yaitu meliputi bahasan mengenai bukti eksistensi Tuhan, sifat-sifatnya dan perbuatannya:
Bukti eksistensi Tuhan, Al-Wajib (Allah SWT) adalah sesuatu yang eksistensinya dari segi dzatnya harus dan pasti ada. Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh mebagi sifat-sifat-Nya menjadi dua, yaitu sifat-sifat Burhaniyyah (sifat-sifat yang bisa dicapai pemahamannya lewat penggunaan akal tanpa harus menunggu penjelasannya lewat wahyu) dan sifat-sifat Sam’iyah (sifat-sifat yang hanya bisa diketahui oleh akal karena diberitahu oleh wahyu)[31]. Dengan berpegang pada hadis, “Tafakkaru fi Khalqillah wa la Tafakkaru fi Dzatih”, Abduh berbeda dengan aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah, menyatakan bahwa yang terpenting Allah mempunyai sifat-sifat tersebut tanpa harus membuang-buang waktu dan energi mencari hakekat hubungan zat Allah dan sifat-sifat itu. Menurutnya, mencari hakekat (thalab al ikhtinah) adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai akal, disatu sisi, dan sia-sia serta berbahaya disisi lain.
Perbuatan Allah, dalam hal ini, Abduh menengahi pendapat mu’tazilah dan asy’ariyah yaitu dengan menyatakan bahwa semua perbuatan Allah adalah jauh dari kesia-siaan dalam arti pasti ada hikmah dibalik perbuatan-Nya. Menurutnya, hikmah (kebijakan) setiap perbuatan adalah yang bisa memelihara ketertiban dan menolak kerusakan yang bila dipahami bagi akal manusia, dia pasti akan mengatakan bahwa perbuatan itu tidak sia-sia dan tidak main-main.  Abduh berpendapat bahwa berfirqah-firqahnya mu’tazilah dan asy’ariyah hanyalah karena alasan semantik antara proposisi al-Wajib ‘Alallah dan al-Wajib Lillah yang seharusnya tidak menjadikan mereka bercerai berai.[32]
b.      Diskursus kemanusiaan
Diskursus kemanusian dalam Risalah Al Tauhid yaitu berkaitan dengan diskursus perbuatan manusia yang mencakup kebebasan manusia dalam berbuat serta baik buruknya perbuatan. Menurut Abduh, manusia adalah makhluk yang bebas merdeka tetapi terbatas. Bebas merdeka, karena dengan daya, akal dan kemampuannya, manusia bisa melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Sedangkan keterbatasannya terletak pada ketidakmampuannya mengatasi kekuatan yang berasal dari luar dirinya.[33]
c.       Diskursus kealaman
Alam menurut Abduh, diciptakan tidak dalam kesia-siaan. Allah yang memiliki sifat Azali. Sebelum permulaan itu tidak bisa dipastikan batasannya. Saat itu berarti tidak ada apa-apa kecuali sang pencipta. Kemudian dia berkehendak mengadakan alam ini dari ketiadaan murni. Hal ini berkaitan dengan skenario turunnya adam dari surga ke bumi untuk menjadi sebab terbangunnya bumi ini oleh anak cucunya, sehingga ada dua kunci dalam kisah adam, yaitu larangan mendekat dari pohon khuldi dan perintah memakan yang baik-baik, yang merupakan fenomena yang mesti dialami makhluk manusia dialam ini.[34]
B.     Riwayat Hidup Muhamad Iqbal dan Karya-Karyanya (1873 M- 1938 M)
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan, pada 22 Februari  1873.[35] Pendidikannya dari maktab (madrasah) untuk belajar Al-Qur’an selanjutnya ke Scottish Mission School di Sialkot. Di sini ia bertemu dengan Mir Hasan, seorang ulama sufi yang memberikan pengaruh dalam perkembangan pemikiran dan kepribadiannya. Tahun 1895, Iqbal melanjutkan pendidikan ke Government College di Lahore dan berguru pada Sir Thomas Arnold. Iqbal menyelesaikan B.A-nya dalam bidang bahasa Arab pada 1897 dan M.A. dibidang filsafat pada 1899. [36]
Sejak tahun 1901, Iqbal sudah aktif menyumbangkan tulisan-tulisannya pada jurnal Makhzan yang pertama kalinya diterbitkan oleh syekh Abdul Qadir (seorang tokoh gerakan kemerdekaan India). Pada 1905, atas saran Thomas Arnold, Iqbal meneruskan studi di Trinity College, Cambridge, Inggris danbelajar pada filsuf Mac Taggart dan James Ward. Disamping itu, ia juga mengikuti kursus tentang hukum (Jurespudensi). Dari Inggris, Iqbal melanjutkan studi ke Jerman untuk mengambil gelar Doktor (Ph. D). Pada tanggal 4 November 1907 Iqbal berhasil mempertahankan disertasi  doktornya berjudul The Development of Methaphysic in Persia.[37]
Menurut Wilfred Cantwell Smith, tiga hal yang memperngaruhi perkembangan pemikiran keislaman Iqbal ketika ada di Eropa, yaitu pertama, vitalitas dan dinamisnya aktivitas kehidupan orang Eropa yang luar biasa, kedua, berhubungan dengan hal tadi, Iqbal menangkap visi yang sangat mungkin dikembangkan dalam kehidupan bangsa-bangsa Timur yang berupa potensi diri yang telah begitu luas dikembangkan oleh orang Barat. Ketiga, adalah bagian tertentu kehidupan Barat yang melahirkan manusia yang terpecah kepribadiannya (split personality), yaitu peradaban Barat yang ditandai semangat kapitalisme dan liberalisme, dalam pandangan Iqbal, memberi andil yang besar bagi tumbuhnya keputusasaan individu, hal ini menjadi sasaran kritik Iqbal.[38]
Pada tahun 1908, Iqbal pulang ke India, dan memulai mempimpin Goverment College di Lahore dan memberi pelajaran filsafat dan sastra inggris. Tetapi karena mencurahkan perhatian pada masalah hukum, ia mengundurkan diri dari jabatan itu.[39]
Iqbal adalah seorang penyair yang memaparkan pikirannya tentang aktivisme yang dinamis, tentang hari depan yang cemerlang dan nila-nilai Islam yang mulia. Ia diakui sebagai pemikir dan sastrawan yang terkemuka. Adapun karya-karyanya yaitu : Asrar-I-khudi , berbahasa Persia (1915); Rumuz-I-bekhudi (berbahasa Persia (1918); Payam-I-Masyriq berbahasa Persia (1923); Zabur-I-Ajam berbahasa Persia (1929); Javid Nama berbahasa Persia (1932); Musafir berbahasa Persia berbahasa Persia(1934); Bal-I-Jira’il berbahasa Urdu (1935); Pas Chai Bayad kard, berbahasa Persia (1936); Dar-I-kalim berbahasa urdu (1937); Armughan-I-hijaz berbahasa Persia dan urdu (terbit sesudah Iqbal wafat) (1915). Sedangkan yang berbentuk prosa, antara lain : ‘ilmul iqtisad, berbahasa urdu (1901), The Developmento of Metaphysics in Persia berbahasa Inggris (1908), The Reconstruction of Religious Thought in Islam, berbahasa Inggris (1934), Letters of Iqbal to Jinnah,(1944), speeches and statements of Iqbal (1944).[40]
Pada tahun 1922, Iqbal diberi gelar kebangsawanan (Sir) dari kerajaan Inggris. Tahun 1926, ia mengadakan perjalanan ke India Selatan. Dalam perjalanan ia memberikan serangkaian ceramah yang kemudian diterbitkan buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam oleh Universitas Oxford.[41]
Kemudian, Iqbal aktif mengambil bagian dalam kehidupan politik. Tahun 1927, Ia terpilih menjadi anggota majlis legislatif di Punjab. Tahun 1930, ia terpilih sebagai presiden sidang tahunan dari Liga Muslim. Mengenai berdirinya negara Pakistan, Iqbal memberikan argumentasi yang pada akhirnya diterima. Saat sebagai presiden konferensi tahunan liga muslim di Allahabad, untuk pertama kalinya Iqbal menyampaikan seruan untuk pembagian india menjadi dua bangsa. Baginya, umat Islam hanya dapat tetap hidup dan bertahan di India dengan memiliki pemerintahan sendiri yang terlepas dari dominasi umat Hindu.
Dasar konsepsi demokrasi spiritual Islam menurut  Iqbal, yaitu, tauhid sebagai asas sehingga kekuasaan kepala negara hanyalah melaksanakan kehendak Tuhan. Kepatuhan terhadap hukum, toleransi antara satu dengan yang lain, demokrasi islam tidak dibatasi oleh wilayah geografis, ras atau warna kulit atau bahasa, dan  penafsiran hukum Tuhan harus dikembangkan melalui ijtihad. Dari pemikiran tersebut, ide liga bangsa-bangsa muslim, menurutnya merupakan bentuk khilafah ideal untuk masa modern. Masing-masing negara muslim dapat mengatur dan mengurus negaranya dan diantara negara-negara tersebut harus saling membantu, melakukan kerjasama untuk mentransformasikan nilai-nilai tauhid dan spiritualitas.[42] Dalam suratnya kepada Muhammad Ali Jinnah, Iqbal menyatakan bahwa jalan terbaik yang bisa mengantarkan perdamaian di india adalah pemisahan negeri tersebut berdasarkan prinsip-prinsip ras, keagamaan, dan bahasa.[43]
Sejak 1935, kondisi kesehatan Iqbal semakin menurun karena penyakit kencing manis yang dideritanya. Pada 21 April 1938, Iqbal wafat. Meskipun tidak sempat menyaksikan wujud impiannya berdirinya satu negara muslim di anak benua India, cita-cita ini dilanjutkan oleh Muhammad Ali Jinnah. Pada tanggal 15 Agustus 1947, lahir negara merdeka yang terlepas dari hegemoni Hindu yang bernama Pakistan.[44]
a.      Perspektif Pemikiran Muhammad Iqbal
Mengenai pandangan Iqbal tentang Al-Qur’an, sebagai muslim yang hidup dalam tradisi sufistik, Iqbal meyakini sepenuhnya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan berfungsi sebgai petunjuk bagi kehidupan manusia demi kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam. Namun demikian bukan berarti bahwa Al-Qur’an adalah kitab undang-undang yang memuat berbagai peraturan secara detail. Menurut Iqbal, tujuan Al-Qur’an adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungannya dengan Tuhan  dan semesta alam.[45] Al-Qur’an belum memuat permasalahan secara tuntas dan detail. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk mampu menerjemahkan dan menjabarkan semangat nash Al-Qur’an dengan menggunakan nalar dan pemikiran manusia dalam membumikan Al-Qur’an sesuai dengan semangat dan dinamika masyarakat. Dengan demikian Al-Qur’an senantiasa relevan dengan gerak dinamika masyarakat tersebut.[46]
Iqbal melihat, umat Islam belum mampu memahami secara utuh dan integral maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an.[47] Sepanjang sejarah kemunduran hukum Islam, umat Islam telah menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi peraturan perundang-undangan. Pandangan ini, cenderung memisahkan secara mekanis antara ayat-ayat yang bersifat hukum dan non-hukum. Sehingga melahirkan penafsiran scara harfiah dan parsial terhadap Al-Quran. Bahkan ada sebagian ulama yang memahaminya secara literal dan tekstual, tanpa melihat ruh atau maqashid al-syari’ah dari ayat-ayat tersebut, akibatnya umat Islam tidak mampu menjabarkan dengan baik pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an memandang kehidupan adalah proses cipta yang kreatif dan progresif. Maka, umat Islam harus berani mencari rumusan baru secara inovatif untuk menyelesaikan berbagai polemik permasalahan kehidupan. Namun ketika umat Islam telah menganggap sakral pendapat ulama masa lalu, maka hukum Islam hanya berjalan ditempat tanpa mengiringi pergerakan kemajuan masyarakat di zaman sekarang.[48]
Dari gagasannya tentang semangat Al-Qur’an yang sangat menghargai gerak dan dinamika, Iqbal terobsesi untuk menyadarkan umat Islam agar bergerak mengubah statis dan stagnan mereka menjadi dinamis dan progresif dalam menjalankan kehidupannya. Karena itu menurut Iqbal, Al-Qur’an memandang perlu menyatukan agama dan negara, etika dan politik, dengan sama-sama menyeimbangkan kehidupan dunia dan agama, pribadi dan masyarakat serta aspek ritual dan moral. Bagi Iqbal, antara politik pemerintahan dan agama tidak terdapat pemisahan, perlu penyatuan antara agama dan negara. Khilafah (pemerintahan)[49]  dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian. Gunanya adalah demi memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.
Iqbal ingin menggerakkan mereka agar besikap dinamis dan progresif dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Begitu pentingnya dinamisasi kehidupan ini, sehingga Iqbal menyatakan bahwa kafir yang dinamis lebih baik daripada muslim yang statis. Islam, dengan sumber utamanya Al-Qur’an, sebenarnya telah memberikan nilai-nilai yang dinamis bagi umat Islam. Nilai-nilai ajaran tersebut harus mampu digali dan dikembangkan secara serius oleh umat Islam. Kuncinya dengan mengadakan pendekatan rasional terhadap Al-Qur’an dan mendalami semngat yang dikandungnya bukan menjadikannya sebagai buku peraturan  perundang-undangan yang bersifat kaku dan statis.[50]
b.      Filsafat khudi
Individu, ego, pribadi atau khudi adalah bagian terpenting dalam filsafat Iqbal. Filsafat khudi –nya merupakan dasar yang menopang gagasan-gagasan tentang politik kenegaraan dan menjadi landasan bagi seluruh konstruksi pemikirannya.[51] 
Menurut Iqbal, khudi adalah unsur terpenting dalam konstruksi masyarakat Islam, kerena khudi merupakan pusat kehidupan dunia. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan pandangan mereka tentang khudi ini. Oleh sebab itu manusia harus mampu mengembangkan khudi-nya melalui tenaga dan usaha yang berkesinambungan, disiplin yang kuat, dan penegasan karakter.
Sebagai individu, manusia adalah suatu kegiatan penciptaan yang terus menerus dari satu semangat meningkat bergerak ke depan dan naik dari satu keadaan kepada keadaan yang lain yang lebih baik. Manusia harus senantiasa mengambil inisiatif unutk mengembangkan potensi kekayaan batinnya. Sebab, bila manusia sudah merasa puas dengan keadaannya dan berhenti merasakan desakan internal khudi-nya untuk bergerak maju, maka semangat akan membatu dan ia pun terjatuh ke derajat benda mati.
Pengembangan khudi, menurut Iqbal, harus diarahkan untuk mendekati sedakat mungkin kepada ego mutlak atau individu yang Hakiki, Allah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan martabat spiritual khudi tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, individu harus berusaha melawan segala bentuk kekuatan kebendaan yang dapat menghambat perkembangan khudinya. Jika ia berhasil, maka ia akan semakin mendekati Tuhan dan menjelma menjadi manusia sempurna (insan kamil). Manusia sempurna inilah yang dapat menguasai lingkungannya dan menyerap Tuhan ke dalam khudinya. Inilah realisasi Hadits nabi, “Takhallaqu bi akhlaq Allah (ciptakanlah dalam dirimu akhlak (sifat-sifat) Tuhan.[52]
Untuk memperoleh tingkat insan kamil, menurut Iqbal, manusia harus melalui tiga tahap pendidikan, yaitu ketaatan kepada hukum, pengendalian diri dan kekhalifahan ilahiyah. Ketaaatan kepada hukum merupakan awal dari perjalanan khudi untuk mencapai kesempurnaan. Ketaatan ini bukan sanksi yang menyertai ketentuan hukum, melainkan lahir dari kesadarannya sendiri. Pada gilirannya ketaatan ini melahirkan kemampuan individu untuk menguasai dan mengendalikan dirinya. Bila dua hal ini sudah terwujud, maka khudi tersebut pantas menjadi wakil Tuhan di dunia (khalifatullah fi al-ardh)
Namun demikian, manusia sempurna tidak akan berarti kalau ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia harus bekerja sama dengan individu lain dalam sebuah masyarakat. Manusia sempurna justru dapat mewujudkan potensi khudinya secara baik dan maksimal dengan bermasyarakat.[53]
Iqbal memandang bahwa individu tidak hanya berdimensi personal, tetapi juga sosial. Individu dan masyarakat adalah dua sisi yang terhubung dan saling membutuhkan; martabat individu diangkat melalui masyarakat dan masyarakat diorganisir dan diatur oleh individu-individu. Individu yang terasing dari masyarakatnya, berarti ia buta terhadap cita-cita dan kemampuannya. Masyarakat mengilhami individu dengan pengetahuan mengenai fungsi kehidupan dan memaksanya untuk merdeka.
Dalam mencapai masyarakat sempurna ini, menurut Iqbal, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu harus memiliki basis spiritual dari prinsip tauhid, pimpinan harus dipusatkan pada diri seorang nabi, karena kekuatan suatu masyarakat tergantung pada ketaatan kepada Nabi (dalam hal ini Nabi Muhammad SAW.) harus ada undang-undang yang mengatur perilaku masyarakat dan pusat seluruh kegiatan mereka (dalam hal ini Al Quran dan ka’bah) setiap anggota masyarakat harus menundukan dan menguasai kekuatan-kekuatan dengan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan ego komunal harus dikembangkan dengan jalan memelihara tradisi masyarakat tersebut.[54]
Dari uraian tersebut, maka hubungan antara individu dan masyarakat dalam gagasan politik Iqbal tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Masyarakat membantu individu untuk meningkatkan kualitas, martabat dan kesempurnaan individu tidak dapat diperoleh kecuali jika perkembangannya mengambil basis spiritual dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inilah yang dinamakan millat menurut Iqbal. Tali pengikat masing-masing individu bukanlah hubungan darah atau geografis, melainkan prinsip tauhid dan persamaan mutlak antara sesama manusia. [55]
c.       Pemikiran Iqbal tentang Seni
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal disebut sebagai estetika vitalisme, yaitu bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut dibalik kehidupan sehingga juga memberikan kehidupan baru dan semangat hidup bagi lingkungannya atau memberikan hal baru bagi kehidupan.  Mengenai hakikat pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi penyempurnaan kualitasnya dihadapan Tuhan, Iqbal mempunyai syair:
Tuhan menciptakan dunia dan manusia membuatnya lebih indah
Apakah manusia ditaqdirkan untuk menjadi saingan Tuhan?
Kau ciptakan malam, aku ciptakan lentera
Kau ciptkan lempung, aku ciptakan cawan
Kau ciptakan padang pasir, gunung, dan rimba
Aku ciptakan kebun, taman, dan hutan buatan,
Akulah yang membuat batu menjadi cermin
Akulah yang merubah racun menjadi obat
Kebesaran manusia terletak pada daya ciptanya
Bulan dan bintang hanya mengulang
Kewajiban yang ditetapkan atasnya

Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karyanya harus menciptakan “apa yang seharusnya” dan “apa yang belum ada”, bukan sekedar menggambarkan “apa yang ada”.[56]
d.      Pemikiran Iqbal dalam karya The Reconstruction Of Religious Thought In Islam
Menurut Yusuf Suyono, Iqbal dalam karyanya ini, membagi dalam kategori yaitu diskursus ketuhanan (teologi), diskursus kemanusiaan (antropologi) dan diskurusus kealaman (kosmologis).[57]
Diskursus ketuhanan. Iqbal membicarakan tentang bukti eksistensi Tuhan, melalui eksistensi kosmologis. Bukti ini dinyatakan pertama kalinya oleh Plato dalam Timaeus bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti ada yang menjadikannya. Didunia ini setiap kejadian pasti didahului oleh sebab-sebab. Argumen Iqbal, mengenai kosmologis, menganggap dunia merupakan akibat yang terbatas dari mata rantai sebab-sebab dan akibat-akibat sebelumnya yang  berakhir pada sebab pertama yang tidak diakibatkan oleh adanya sesuatu yang lain sebelumnya. Sifat Tuhan pada gilirannya akan mengakui adanya khaliq (pencipta atau creator) lain selain Allah sebagai Khaliq (Pencipta atau Creator) yang sebenarnya. Iqbal merujuk pada surat Al mukminun ayat 14 yang berbunyi; “Maha Suci Allah, Yang Terbaik diantara para pencipta”, Tuhan sebagai pencipta berperan sebagai Co-Worker (Pencipta yang Terbaik) bagi manusia- (yang sebagai pencipta-pencipta). [58]
Diskursus kemanusiaan. Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk yang unik dan memilki individualitas. Manusia dijadikan Tuhan sebagai makhluk pilihan karena dia memiliki ego (ego insani). Pandangan Iqbal, manusia adalah makhluk dua dimensi yang disatu pihak-dengan seluruh kreatifitas yang ada pada dirinya, hendak membangun kerajaan Tuhan dibumi sebaik mungkin dan dipihak lain, unsur ruhaninya, di mana egonya ikut menghayati kehidupan dan kemerdekaan Ego Terakhir sehingga mendapat bimbingan-Nya dan pada akhirnya menjadi hamba yang saleh.
Keabadian jiwa, keabadian pribadi itu tidak secara otomatis menjadi milik setiap manusia. Hal itu harus dicapai melalui usaha pribadi berupa amal (action). Mengenai sifat kebangkitan, apakah bersifat jasmaniah atau ruhaniah, Iqbal lebih cenderung ke paham para filsof Islam daripada paham mutakallimun (seperti al-Ghazali), Iqbal mengatakan bahwa setelah disintegrasi jasmani dan ruh, maka individualitas ego dalam keadaan dan cara lain, analogi-analogi Al-Qur’an tentang kebangkitan yang bernuansa jasmaniah, hanyalah menekankannya sebagai fakta bukan menjelaskan hakekat dan karakternya.[59]
Diskursus kealaman. Menurut Iqbal, alam bukan merupakan hasil dari suatu kebetulan tanpa adanya rencana dan lebih besar dari sekedar merupakan ciptaan yang teratur. Di dalamnya kehendak Sang Pencipta senantiasa terwujud dan pola-pola-Nya akan terpenuhi dengan adanya hukum alam. Manusia didalamnya memiiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan kehendak Tuhan.[60]
Mengenai proses penciptaan (khalaqa), terdapat dua kelompok. Pertama, kelompok mutakallimun berpendapat bahwa alam dicipta dari tiada (creatio ex nihillo), sedangkan kelompok kedua (filsof muslim) berpendapat, bahwa tidak masuk akal alam semesta dicipta dari tiada dan Yang Satu keluar yang banyak. Untuk itu, filsof muslim mengajukan teori emanasi dengan maksud agar proposisi wahyu tidak bertentangan dengan akal. Dari perbedaan pendapat tersebut, Iqbal memiliki pandangan bahwa alam semesta berasal dari realitas Mutlak Yang merupakan Ego tak terbatas. Ia memiliki tenaga kreatif di mana laku dan pikiran adalah identik serta berfungsi sebagai kesatuan-kesatuan ego. Dunia seisinya sejak dari gerakan mekanik dari apa yang dinamakan atom materi sampai gerakan pikiran bebas dalam ego manusia, adalah perwujudan diri dari “Aku Yang Akbar”.[61]
C.    Critical Thought (Kritik Pemikiran) tentang Abduh dan Iqbal
Penulis menyadari keterbatasannya dalam menguraikan pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal, sehingga dalam kritik pemikirannya belum memiliki pendapatnya sendiri, dengan kata lain, masih menyadur dari pendapat referensi buku. Menurut Yusuf Suyono, Abduh, dalam Risalat al-Tauhid-nya masih terkurung dalam definisi Ilmu Tauhid klasik yang membicarakan tentang eksistensi Tuhan, sifat-sifat wajib dan mustahil bagi-Nya; juga tentang rasul-rasul-Nya serta sifat wajib, jaiz maupun mustahil bagi mereka. Sedangkan Iqbal, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menggunakan cara membangun kembali filsafat agama islam dengan memperhatikan tradisi filsafat islam dan mendialogkannya dengan perkembangan dari berbagai bidang pengetahuan manusia.[62]
Abduh dan Iqbal, keduanya tetap mengapresiasi warisan masa lalu sebagai sesuatu hal yang tidak bisa diabaikan. Namun secara substansi warisan masa lalu yang diusung agak berbeda. Abduh menjelaskan tentang warisan klasik para mutakallimun (teolog muslim), sedangkan Iqbal, mengusung warisan klasik dari para sufi (mystics), meskipun yang diambil segi teologinya bukan etikanya yang Iqbal sendiri banyak mengkritiknya. Kritikan Iqbal tentang tasawuf, terutama sepulang dia dari studi di Barat. Perubahan sikap tersebut dikarenakan penelitiannya tentang sejarah tasawuf yang berakhir pada kesimpulan tasawuf tidak memiliki dasar historis yang solid.[63]
Sedangkan pemikiran tentang konsepsi negara, Abduh, berpendapat bahwa nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya kontrol terhadap kekuasaan. Pemimpin negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu, karenanya Abduh menolak paham penguasa (Sistem pemerintahan khalifah klasik). Sedangkan Iqbal, ide liga bangsa-bangsa muslim, menurutnya merupakan bentuk khilafah ideal untuk masa modern. Masing-masing negara muslim dapat mengatur dan mengurus negaranya dan diantara negara-negara tersebut harus saling membantu, melakukan kerjasama untuk mentransformasikan nilai-nilai tauhid dan spiritualitas.
IV.             PENUTUP
Demikianlah makalah sederhana yang dapat penulis susun terkait. Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.













DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiah III: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 1998.
Claude Maitre, Miss Luce. Pengantar ke Pemikiran Iqbal. terj. Djohan Effendi. Bandung: Mizan. 1989
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction Of Religius Thought In Islam. Lahore: Ashraf Press. 1971.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.
Nasution, Harun. Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan Dan Pemikiran. Bandung : Mizan. 1998.
Nasution, Harun & Azra, Azyumardi. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1985.
Sibawaihi. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. ed. MH. Abid. Yogyakarta: Jalasutra. 2007.
Sjadzali, Munawir.  Islam dan  Tatanegara: Ajaran. Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. cet. I. 1990
Soleh. A.Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2013.
Suyono, Yusuf. Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal. Semarang: RaSAIL Media Group. 2008



[1]Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 1
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm.56
[3] Munawir Sjadzali,  Islam dan  Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:UI Press, 1990) cet. I, hlm. 111-112
[4] Harun Nasution ,Islam rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung :  Mizan, 1998) hlm 198-199
[5] Harun Nasution, Islam rasional: Gagasan dan Pemikiran, hlm. 183
[6] Ibid., hlm. 199
[7]Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 26
[8] Ibid, hlm. 27
[9] Syekh Darwisy adalah seorang penganur tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam. Ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan yang muncul, menelaah suatu kitab, lalu menguraikan maksudnya. Dengan cara ini, membuat Abduh lebih terbuka dalam pemikirannyadan  memperoleh jawaban yang diharapkannya.(Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) , hlm. 69)
[10] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 60-61
[11] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm.25-26
[12]Yusran Asmuni, Dirasah Islamiah III: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1998) hlm. 80-81
[13] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm.35-36
[14] Ibid., hlm 32; 36
[15]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman,(Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 23
[16]Pemurnian Islam yaitu dengan  membebaskan pikiran dari belenggu taqlid, dan pemahaman agama seharusnya mengacu pada metode kaum Salaf (etos intelektual pada masa klasik sejarah kebudayaan Islam) sebelum terjadinya pertentangan-pertentangan dan dalam memperoleh pengetahuannya harus merujuk pada sumber-sumber yang pertama(Al-Qur’an dan Hadis) dan agama harus dianggap sesuai dengan kriteria-kriteria akal manusia yang diciptakan Allah untuk menyingkirkan hal-hal yang jauh dari kebenaran, dalam hal ini, agama adalah sebagai mitra ilmu dan mendorong penyelidikan terhadap rahasia alam semesta serta menyeru penghormatan kepada kebenaran-kebenaran yang tetap.(Y usuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm 42)
[17] Menurut Abduh, bahasa Arab perlu diperbaiki metode pendidikannya. Sistem menghafal diluar kepala perlu diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.
[18] Pembaharuan bahasa Arab, sebagai contoh, ide yang terkandung dalam kata republik masih sulit dipahami di Mesir. Mencari padanan bahasa Arab tidak mudah, sehingga dalam maklumat Napoleon, Republik Perancis diterjemahkan menjadi al-Jumhur al-Faransawiy. Jumhur berarti orang banyak. Jadi yang dipahami dari kata Republik ialah publik-orang banyak, hal ini diperbaharui oleh Abduh dengan kata al-Jumhuriyyah.
[19] Ibid, hlm. 42.
[20] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010) , hlm. 72
[21]Despotis bermakna pemerintahan yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut (memerintah berdasarkan keinginnanya sendiri).
[22]Harun Nasution & Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985), hlm. 45
[23] Munawir Sjadzali,  Islam dan  Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:UI Press, 1990) cet. I, hlm. 129-130
[24] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, hlm. 76
[25] Munawir Sjadzali,  Islam dan  Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:UI Press, 1990) cet. I, hlm.132-133
[26] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm 77
[27] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 51
[28] Rihab Akawiy, Al-Imam al-Syeikh Muhammad Abduh fi Akhbarihi wa Asarihi, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001) hlm. 149, Sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono dalam Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm 50
[29] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 47
[30]Ibid, hlm. 43
[31] Yang termasuk sifat Burhaniyyah yaitu ada 9, meliputi sifat keniscayaan rasional (Qidam, Baqa, Nafy al Tarkib, sedang yang meliputi sifat-sifat kesempurnaan bagi sifat keniscayaan rasional tersebut yaitu al hayah, al ilm, al iradah, al qudrat, al ikhtiyar, al wahdah. Kemudian yang termasuk sifat sam’iyah adalah al kalam, al bashar, dan al sama’.
[32] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.., hlm. 46-47
[33] Hal ini sejalan dengan firman Allah surah al- Ra’d ayat 11 :
3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ   
Artinya :...... Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan,  yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[34] Hal ini berkaitan dengan fase-fase kehidupan manusia, pertama, fase anak-anak yaitu masa senang, masa permainan, tidak ada duka. Perintah Allah kepada adam dan hawa untuk memakan sesuka hati menggambarkan tentang bolehnya memakan yang baik, hal ini membekali manusia instink untuk mengetahui yang baik. Sedangkan larangan Allah untuk mendekati pohon khuldi menggambarkan dibekalinya manusia, instink untuk mengetahui yang buruk. Fase kedua adalah masa tamyiz, dalam masa ini terjadi tarik menarik antara kedua instink tersebut. Dan fase ketiga adalah masa dewasa. Kehidupan manusia seolah dimulai dari kesederhaan dan keluguan dalam memenuhi kebuTuhannya, selanjutnya tahap kedua dimana daya tarik syahwat menariknya untuk memiliki hal-hal yang bukan miliknya, sehingga timbullah pertentangan. Kemudian fase ketiga yaitu masa menggunakan akal dan perenungan sehingga menuju pada masa taubah dan hidayah.
[35]Miss Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi, (Bandung: Mizan, 1989)  hlm. 88
[36]Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 71
[37] Ibid. hlm. 72
[38]Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm 89-90l
[39] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal,hlm.  73
[40] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.. 74
[41] Ibid. hlm. 74
[42] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010)  hlm 105-107
[43]Ibid. hlm .90
[44] Ibid. hlm .91
[45] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore:Ashraf Press, 1971) hlm.4
[46] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 92
[47]Iqbal melihat realitas umat Islam, khusunya di india, Iqbal menemukan umat yang terpaku pada pemahaman ulama masa lalu. Mereka tidak berani mengadakan telaah ulang apalagi mempertanyakan otoritas pendapat ulama sebelumnya/klasik. Iqbal berpendapat, mereka bagaikan hidup dalam dua masa. Secara fisik mereka hidup pada abad modern, namun pemikiran mereka berada pada masa lampau. Padahal, menurut Iqbal tidak satupun ulama-ulama pendiri mahdzab yang menuntut finalitas terhadap pemikiran hukum Islam mereka.
[48] Ibid, hlm. 93
[49] Ide bentuk pemerintahan khilafah ideal untuk masa modern menurut Iqbal, yaitu dengan ide liga bangsa-bangsa muslim. Masing-masing negara muslim dapat mengatur dan mengurus negarana sendiri, dan diantara sesama negara muslim saling membantu. Dalam liga bangsa-bangsa muslim melakukan kerjsama untuk mentransformasikan nilai-nilai tauhid dan spiritualitas.
[50] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 95
[51] Ibid., hlm 96
[52] Ibid., hlm 97
[53] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 96
[54] Ibid.hlm.98
[55] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore:Ashraf Press, 1971) hlm.147
[56] A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2013), hlm. 354
[57] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.. 86
[58] Disisi lain, Iqbal bermaksud membangun landasan epistemologi antara, realisme dan idealisme. Realisme menekankan peran indera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh pengetahuan, sehingga kebenaran hanya berdasar pada fakta-fakta sebenarnya di alam nyata dan sedangkan idealisme berpandangan peran akal, ide sebagai sumber pengetahuan. Idealisme menganggap kebenaran merupakan sesuatu yang subjektif, dunia realitas yang ada hakekatnya merupakan proyeksi yang ada dalam pikiran manusia. Sehingga, untuk membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal mengajukan mengenai pengalaman agama.
[59]Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm.. 120
[60] Ibid. hlm.132
[61] Ibid., hlm. 125
[62] Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hlm..155
[63] Ibid. hlm.. 150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda