PEMIKIRAN ISLAM MENATAP MODERNITAS :
PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD IQBAL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Dan
Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Yusuf
Suyono, M.A
Disusun Oleh :
Lailatul Fadhilah
1400018056
PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Masa klasik kebudayaan Islam (sejak masa
Rasulullah SAW sampai dengan jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan tahun 1258
M), merupakan masa dimana umat Islam berada dipuncak pengendali budaya dunia.
Keadaan tersebut segera berakhir dengan mulainya umat Islam sadar akan
kemundurannya dari 1258 M sampai 1800 M.[1] Kekuasaan Barat mulai menduduki wilayah Islam,
yaitu saat Napoleon berhasil menduduki Mesir pada 1798 M yang merupakan salah
satu pusat peradaban dunia Islam. Napoleon yang dapat menduduki Mesir,
menyadarkan pemuka-pemuka Islam bahwa umat Islam memang sudah terbelakang dan
lemah.[2]
Kemunduran tersebut dilatarbelakangi karena Islam yang diamalkan dan dihayati
oleh umat Islam bukan lagi ajaran Islam yang murni, tetapi ajaran yang sudah
tercemar oleh masuknya unsur-unsur dari luar yang pada hakikatnya bertentangan
secara diametrikal dengan ajaran Islam, dengan tudingan
khusus kepada sinkritisme Sufi sebagai yang bertanggungjawab atas masuknya
unsur-unsur luar pada akidah dan ajaran Islam dan munculnya inovasi-inovasi
yang sebenarnya tidak Islami (taqlid,
bid’ah, khurafat). Dan untuk meraih kembali kejayaan “masa keemasan”
umat Islam dengan kembali kepada ajaran Islam yang murni, seperti saat
diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW.[3]
Umat Islam pada abad ke-19 M mulai sadar akan kemundurannya,
pemimpin-pemimpin pembaruan menyadari bahwa salah satu penyebab dari kemunduran
itu adalah anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Muncullah
pemimpin-pemimpin dan ulama-ulama Islam dengan pernyataan bahwa pintu ijtihad
tak pernah tertutup dan tak ada orang yang berhak menutupnya. [4]
Kesadaran ini menimbulkan keinginan
dikalangan umat Islam untuk memperbaiki kedudukan mereka dengan menoleh dan
belajar dari Barat. Pembaharu Islam ingin mempermodern pemikiran dunia Islam. Dengan demikian munculah periode modern
dari tahun 1800 M hingga sekarang ini.[5]
Melalui tokoh-tokoh pembaharu tersebut kita
dapat merefleksikan dan perlu memperbaharui pola pikir kita terhadap agama.
Pembaharuan dalam pemikiran terhadap hal-hal yang menyangkut dengan masalah Islam
itu sendiri, bukan dalam hal-hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental
dari ajaran Islam itu, tetapi membaharui penafsiran-penafsiran atau
interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar Al–Qur’an dan hadis itulah yang perlu
diperbaharui, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman. Dengan cara
penambahan ilmu pengetahuan, memperluas pandangan terhadap keseluruhan soal
kehidupan dapat melapangkan pemikiran dengan tetap memelihara kemurnian agama.[6]
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan
menguraikan pemikiran diantara tokoh pembaharu Islam
tersebut,
yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal
yang sedikit banyak berpengaruh pada pemikiran-pemikirannya baik yang
dipublikasikan dalam bentuk buku atau tulisan-tulisan lepas.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dalam pembahasan makalah ini terdapat point
rumusan masalah :
1. Bagaimana riwayat hidup
dan karya-karya Muhamad Abduh dan Muhamad Iqbal?
2. Bagaimana pemikiran pembaharuan (Muhamad Abduh dan Muhamad Iqbal) dan dalam karyanya (Risalat al Tauhid dan The
Reconstruction of Religious Thought in Islam)?
3. Bagaimanakah kritik pemikiran kita terhadap upaya pembaharuan Muhamad Abduh dan Muhamad Iqbal?
III.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Muhamad Abduh dan Karya-Karyanya (1849 M- 1905)
Muhamad Abduh dilahirkan pada 1849 M (1266
H) di desa Mahallat Nasr distrik propinsi al-Bahirah (Mesir hilir).[7]
Pada usia 7 tahun, Abduh mulai menerima pengajaran membaca dan menghapal
Al-Qur’an di Masjid al-Ahmadiy di Thantha.[8]
Setelah belajar dari thanta, Abduh juga belajar di desa Kanisah Urin, tempat
tinggal keluarga ayahnya. Didesa itulah ia bertemu dengan Syekh Darwisy.[9] Pada Februari tahun 1866 M, Abduh masuk di Universitas Al-Azhar, Kairo. Ketika Sayyid Jamaludin al-Afghani
datang ke Mesir pada tahun 1871 M, Abduh tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk
menjadi murid setia al-Afghani. Ia belajar filsafat dibawah bimbingan al-Afghani dan dimasa inilah ia mulai membuat karangan untuk surat kabar harian Al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan.
[10]
Menurut Abbas Mahmud Aqqad sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono,
Pada 1877 M, Abduh menerima ijazah diploma (Syahadat al-‘Alimiyah). Pada
1878 M, ditunjuk sebagai guru di Dar al-Ulum, Di tahun 1880 M, ditunjuk
sebagai redaktur Al-Waqa’i Al-Misriyyah. Pada 1882 M, diusir dari Mesir
karena keikutsertaannya dalam pemberontakan Urabi, pada 1884 M pergi dari
Beirut ke Perancis mendirikan majalah Al-Urwat Al-Wusqa bersama Jamaludin
Al-Afghani. Tahun 1885 M, Abduh kembali ke Beirut untuk mengajar dan menerjemahkan Risalat Al Radd
Al Aal Dahriyin dan Syarh Maqamat Al Badi’ dan Nahj Al Balaghah.
Pada 1889 M kembali ke Mesir dan ditunjuk sebagai hakim di mahkamah swasta. Selanjutnya,
pada 1891 M, ditunjuk sebagai hakim Mahkamah Al Istinaf. Pada 1895 M
ditunjuk sebagai Dewan Administrasi Al Azhar. Di tahun 1897 M mengarang
Risalat Al Tauhid dan Syarh Al Bashair Al Nashiriyah dan pada 1899 M
ditunjuk sebagai Mufti Besar Mesir.[11] Di dua jabatan ini ia banyak melakukan perubahan dan pembaharuan. Untuk
al Azhar ia memasukkan ilmu-ilmu modern pengetahuan umum dan filsafat,
karena sebelumnya terdapat dualisme sistem pendidikan di Mesir. Pendidikan
tradisionalisme madrasah yang menolak pelajaran-pelajaran umum dan pendidikan
modern modern berbasis Barat yang tidak mengajarkan ilmu agama. Abduh berusaha
menghapus dikotomi ini. Sementara jabatan mufti, Abduh mengusulkan berbagai
perubahan sistem pengadilan agama di Mesir. [12]
Bulan Maret tahun 1905 Abduh meminta
berhenti dari dewan administrasi Al Azhar. Pada tanggal 11 Juli 1905, pukul
17.00, Abduh wafat di Iskandariyah dalam usia 57 tahun.[13]
Adapun karya Abduh yang berbentuk buku maupun tulisan-tulisannya antara
lain, Risalat al-Tauhid, Risalat al-Sair Samuel Beker fi al-Sudan wa Mishra
wa al-Mahakim al-Ahliyah, al- Intiqad, La’ihat al-Ta’lim al-Utsmaniy, La’ihat
al-Qutr al-Suriy, La’ihat Ishlah al-Tarbiyyat fi Mishra, Syarh Badi’al-Zaman
al-Hamazaniy, Nahjul Balaghah, Syarh al Bashair al-Nashiriyhah karya Thusiy,
Syarh Dalail al-I’jaz dan Syarh Asrar al-Balaghah karya al Jurjani,
al-Radd ala Hanautau, al-Islam wa al Nashraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al Madaniyah,
Taqrir Islah al-Mahakim al-Syar’iyah, bersama Qayim Amin menulis
Tahrir al Mar’ah dan bersama Arif Afandiy Thurab menerjemahkan Risalat
al-Radd ala al-Dahriyyin karya al-Afghani.[14]
a.
Perspektif Pemikiran Muhammad Abduh
Abduh merupakan salah satu tokoh modernis, pada pertengahan abad ke
19 di Mesir yang berusaha memperluas cakupan makna ijtihad dengan mengacu pada
berbagai masalah yang di anggap vital bagi masyarakat muslim. Termasuk didalamnya
membuka diri terhadap gagasan aktual yang dimungkinkan perkembangannya dimasa
depan. Perhatiannya terfokus pada hubungan antara akal dan wahyu, pembaharuan
sosial, khususnya dalam bidang pendidikan, serta pembaharuan dalam bidang
politik termasuk bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif dan
konstitusional.[15]
Secara garis besar upaya pemikiran pembaharuan Abduh yaitu, pemurnian
Islam[16] dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah
dan khurafat); mereformasi susunan bahasa arab dalam redaksi[17], baik dalam pidato resmi diantara para juru tulis pemerintahan,
atau tersebar dalam koran baik bahasa asli atau terjemahan dari bahasa lain dan
surat menyurat.[18] Selanjutnya pembaharuan dalam pendidikan, serta menyeru kepada
bangsa Mesir, khususnya, agar bisa memahami hak dan kewajiban bagi pemerintah dan
rakyat.[19]
b.
Pemikiran dan Gagasan Muhammad Abduh
Latarbelakang kondisi sosio-kultural kehidupan dunia Islam, pada
masa Abduh, sedang mengalami penjajahan dan kolonialisasi oleh negara-negara
Barat. Mesir merupakan negara Abduh, yang juga mengalami penjajahan dari
Perancis dan Inggris. Karena itu, Abduh juga merasa terpanggil untuk menentang
kolonialisme Barat.
Abduh menentang adanya kolonialisme Barat di dunia islam, namun juga
menyesalkan sikap penguasa-penguasa muslim dan ulama yang memberi kesempatan Barat
untuk menguasai mereka. Dalam lapangan
sosial politik, bangsa Barat berusaha memaksakan kehendak mereka. Dibidang
pendidikan, lembaga pendidikan Barat memisahkan antara pendidikan agama dan umum
menjadi fenomena. Di Mesir terdapat dualisme pendidikan antara
pendidikan tradisionalis agama dan pendidikan modern Barat. Banyak
diantara pemuda Mesir yang terpengaruh
oleh model pendidikan Barat dan akhirnya tercabut dari nilai-nilai
sosial-budaya mereka sendiri. Mereka lebih mengagungkan pola pemikiran Barat yang tidak sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran islam. Demikian dalam bidang hukum, banyak hukum Barat yang diadopsi
oleh dunia islam.[20]
Kepada penguasa muslim yang despotis[21], Abduh memandang mereka sebagai antek-antek imperialis Barat yang berkonspirasi menindas rakyat. Menurutnya
pemimpin muslim menyandang gelar tinggi seperti sultan dan pangeran, hidup
mewah, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintahan asing nonmuslim
untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya. Pemimpin seperti ini penyebab bagi kehancuran akhlak didalam masyarakat dan otoriter.
Kondisi ini diperparah oleh lemahnya para
ahli fiqh. Mereka tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa
sehingga tidak mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Mereka menjadi alat
justifikasi untuk mengeluarkan fatwa yang menguntungkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Menurut Abduh, kondisi demikian, karena umat islam sudah terasuki oleh paham-paham keagamaan yang jumud (beku, statis) sehingga tidak mau berpikir dinamis mencapai kemajuan. Umat islam harus kembali kepada ajaran-ajaran islam yang sesungguhnya
dan membersihkan segala macam bid’ah dan khurafat. Umat islam harus
berani membuka pintu ijtihad untuk menjawab tantangan zaman. Melakukan
interpretasi ulang terhadap pendapat ulama masa lalu.[22]
Selain menggalakkan berpikir kritis dan
pengembangan ijtihad, Abduh memandang perlunya perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan kepada
pemerintahan yang konstitusional. Abduh menekankan perlunya lembaga perwakilan
untuk mengontrol kekuasaan. Proses realisasi gagasan pembentukan dewan perwakilan dilakukan secara bertahap. Ia menginginkan cara-cara
evolusioner untuk mewujudkannya, karena situasi dan kondisi masyarakat Mesir yang
belum mendukung untuk itu, maka perlu dilakukan proses pencerdasan bagi
masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan kewajiban sebagai warga negara. Abduh
meyakini bahwa melalui reformasi dalam bidang pendidikan, warga negara disatu
sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berpikir, mengetahui hak-haknya
dan meningkatkan kesadaran akan tanggungjawab dan kewajibannya. Setidaknya diperlukan waktu untuk melatih
rakyat mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka secara bertanggungjawab.[23]
Pandangan Abduh, hukum yang dijalankan untuk
masyarakat haruslah sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Ia
menolak umat islam yang mencoba mencari sistem hukum yang tidak sejalan dengan
tradisi dan masyarakatnya. Hukum Barat hanya sesuai dengan
kepribadian dan identitas masyarakat Barat yang menjunjung semangat
liberalisme. Kalau hal ini diterapkan masyarakat muslim, maka mereka akan
kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang religius.
Bagi Abduh, kepala negara adalah penguasa
sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, bukan
oleh Tuhan. Abduh menerima ide-ide Barat tentang demokrasi yang menyatakan bahwa
kekuasaan pada dasarnya adalah milik rakyat dan penguasa hanya menjalankan
amanah yang diberikan rakyat kepadanya. Abduh menegaskan bahwa rakyat boleh
menggulingkan penguasa bila bertindak despotis dan tidak adil, serta kesejahteraaan rakyat
menuntut hal ini. Pemimpin negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan
diberhentikan oleh masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu, karenanya Abduh
menolak paham penguasa (Sistem
pemerintahan khalifah) sebagai zhill Allah fi al ardh (bayang-bayang Allah dimuka bumi) sebagaimana
pandangan pemikir muslim abad klasik hingga pertengahan.[24]
Pandangan Abduh tentang hubungan agama dan politik tertuang dalam butir V dari program Partai Nasional Mesir yang dirumuskanya. Dalam rumusan tersebut dinyatakan bahwa partai nasional adalah partai
politik bukan partai agama. Yang keanggotaanya terdiri atas orang-orang dari
berbagai kepercayaan dan mahdzab, serta semua yang bercocok tanam di bumi Mesir dan berbahasa Mesir, karena partai ini tidak melihat perbedaan
keyakinan. Partai didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir itu saudara satu sama lain, bahwa hak-hak mereka dalam politik
dan hukum itu sama. [25]
Gagasan Abduh demikian dinilai sangat berani dan membuka jalan
bagi pemikiran-pemikiran maju dalam konstelasi pemikiran dan perkembangan politik di Mesir. Abduh telah mengubah sesuatu yang telah dianggap
sakral oleh sebagian masyarakat islam, terutama di Mesir.
Dalam perkembangannya, pemikiran Abduh diikuti dan dielaborasi oleh murid-murid
dan pengikutnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha,
Sa’ad Zaghul, Lutfi al Sayid dan
Muhammad
Husein Haykal.[26]
c.
Pemikiran Abduh dalam karya Risalat al Tauhid
Bahasan al Risalah maupun Nazariyat al nubuwwah (teori
kenabian) ini pertama dilakukan oleh al-Farabi (870 M -950 M) yang perhatiannya
saat itu untuk memadukan antara filsafat dan agama. Teori kenabian dari al-Farabi
ini berpengaruh pada pemikir sesudahnya, termasuk Abduh yang berusaha
menghidupkan studi filsafat-filsafat klasik.[27]
Mengenai bahasan al-Risalah oleh Abduh, dipahami dari segi
sosiologi yang diringkaskan oleh Rihab Akawiy yaitu:
Menurut
kelaziman cinta dan keadilan, maka adalah seharusnya ada norma-norma yang
mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat. Hanya saja, norma-norma itu
sering diabaikan sama sekali. Akibatnya, pasti akan merajalela berbagai egoisme
dan kedzaliman ditengah masyarakat dan pada gilirannya menyebabkan
persengketaan dan perpecahan diantara anak-anak negeri dan masyarakat. Untuk
itulah Risalah para Rasul adalah suatu keniscayaan untuk mengajak anggota
masyarakat itu mematuhi norma-norma tersebut serta menghilangkan segala
kejahatan darinya. Sesungguhnya esensi diutusnya para Rasul itu adalah
bertujuan sangat Ruhani, antara lain mendidik umat, yaitu menyempurnakan
keberadaan serta martabat manusia, kedudukan para Rasul ditengah manusia itu
seperti kedudukan akal pada individu.[28]
Al Risalah adalah
pengutusan Rasul-Rasul untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan
aqidah dan hukum Allah kepada manusia. Cakupannya dalam Risalat al Tauhid yaitu
meliputi Hajat al-Basyar ila al-Risalah Imkan al-Wahy (kemungkinan
terjadinya wahyu), Wuqu’ al-Wahy wa al-Risalah (terjadinya wahyu dan al-Risalah),
Wadhifat al-Rusul (tugas para rasul), Risalat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (kerasulan Muhammad SAW), al Tasdiq bima ja’a bihi
Muhammad (pembenaran terhadap kerasulan Muhammad) juga termasuk diskursus Al-Qur’an,
agama Islam dan perkembangannya, sanggahan terhadap tuduhan Barat tentang
kerasulan Muhammad.[29]
Pembahasan Al-Risalah, dipandang dari segi normatif, yaitu
iman kepada Rasul adalah salah satu rukun iman. Dalam hal ini, setiap muslim
harus percaya bahwa Allah mengutus para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan
pemberi peringatan dalam rangka menyampaikan syariat Allah kepada
manusia. Sedangkan dari segi sosiologis-antropologis, kebutuhan manusia kepada
Al-Risalah yaitu kekekalan jiwa manusia dan tabiat manusia sebagai makhluk
sosial.
Secara garis besar, menurut Yusuf Suyono, Risalah Al Tauhid didalamnya
terdapat cakupan tentang diskursus ketuhanan (Teologi), diskursus kemanusiaan
(antropologi) dan diskurusus kealaman (kosmologi).[30]
a.
Diskursus
ketuhanan yaitu meliputi bahasan mengenai bukti eksistensi Tuhan, sifat-sifatnya
dan perbuatannya:
Bukti
eksistensi Tuhan, Al-Wajib (Allah SWT) adalah sesuatu yang eksistensinya
dari segi dzatnya harus dan pasti ada. Mengenai sifat-sifat Tuhan, Abduh mebagi
sifat-sifat-Nya menjadi dua, yaitu sifat-sifat Burhaniyyah (sifat-sifat
yang bisa dicapai pemahamannya lewat penggunaan akal tanpa harus menunggu
penjelasannya lewat wahyu) dan sifat-sifat Sam’iyah (sifat-sifat yang
hanya bisa diketahui oleh akal karena diberitahu oleh wahyu)[31].
Dengan berpegang pada hadis, “Tafakkaru fi Khalqillah wa la Tafakkaru fi
Dzatih”, Abduh berbeda dengan aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah, menyatakan
bahwa yang terpenting Allah mempunyai sifat-sifat tersebut tanpa harus
membuang-buang waktu dan energi mencari hakekat hubungan zat Allah dan
sifat-sifat itu. Menurutnya, mencari hakekat (thalab al ikhtinah) adalah
sesuatu yang tidak bisa dicapai akal, disatu sisi, dan sia-sia serta berbahaya
disisi lain.
Perbuatan
Allah, dalam hal ini, Abduh menengahi pendapat mu’tazilah dan asy’ariyah yaitu
dengan menyatakan bahwa semua perbuatan Allah adalah jauh dari kesia-siaan
dalam arti pasti ada hikmah dibalik perbuatan-Nya. Menurutnya, hikmah
(kebijakan) setiap perbuatan adalah yang bisa memelihara ketertiban dan menolak
kerusakan yang bila dipahami bagi akal manusia, dia pasti akan mengatakan bahwa
perbuatan itu tidak sia-sia dan tidak main-main. Abduh berpendapat bahwa berfirqah-firqahnya
mu’tazilah dan asy’ariyah hanyalah karena alasan semantik antara proposisi
al-Wajib ‘Alallah dan al-Wajib Lillah yang seharusnya tidak
menjadikan mereka bercerai berai.[32]
b.
Diskursus
kemanusiaan
Diskursus kemanusian dalam Risalah Al Tauhid yaitu berkaitan
dengan diskursus perbuatan manusia yang mencakup kebebasan manusia dalam
berbuat serta baik buruknya perbuatan. Menurut Abduh, manusia adalah makhluk
yang bebas merdeka tetapi terbatas. Bebas merdeka, karena dengan daya, akal dan
kemampuannya, manusia bisa melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Sedangkan
keterbatasannya terletak pada ketidakmampuannya mengatasi kekuatan yang berasal
dari luar dirinya.[33]
c.
Diskursus
kealaman
Alam menurut Abduh, diciptakan tidak dalam kesia-siaan. Allah yang memiliki
sifat Azali. Sebelum permulaan itu tidak bisa dipastikan batasannya.
Saat itu berarti tidak ada apa-apa kecuali sang pencipta. Kemudian dia
berkehendak mengadakan alam ini dari ketiadaan murni. Hal ini berkaitan dengan
skenario turunnya adam dari surga ke bumi untuk menjadi sebab terbangunnya bumi
ini oleh anak cucunya, sehingga ada dua kunci dalam kisah adam, yaitu larangan
mendekat dari pohon khuldi dan perintah memakan yang baik-baik, yang merupakan
fenomena yang mesti dialami makhluk manusia dialam ini.[34]
B. Riwayat Hidup Muhamad Iqbal dan Karya-Karyanya (1873 M- 1938 M)
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan,
pada 22 Februari 1873.[35] Pendidikannya dari maktab (madrasah)
untuk belajar Al-Qur’an selanjutnya ke Scottish Mission School di Sialkot. Di
sini ia bertemu dengan Mir Hasan, seorang ulama sufi yang memberikan pengaruh
dalam perkembangan pemikiran dan kepribadiannya. Tahun 1895, Iqbal melanjutkan
pendidikan ke Government College di Lahore dan berguru pada Sir Thomas
Arnold. Iqbal menyelesaikan B.A-nya dalam bidang bahasa Arab pada 1897 dan M.A.
dibidang filsafat pada 1899. [36]
Sejak tahun 1901, Iqbal sudah aktif
menyumbangkan tulisan-tulisannya pada jurnal Makhzan yang pertama
kalinya diterbitkan oleh syekh Abdul Qadir (seorang tokoh gerakan kemerdekaan
India). Pada 1905, atas saran Thomas Arnold, Iqbal meneruskan studi di Trinity
College, Cambridge, Inggris danbelajar pada filsuf Mac Taggart dan James
Ward. Disamping itu, ia juga mengikuti kursus tentang hukum (Jurespudensi).
Dari Inggris, Iqbal melanjutkan studi ke Jerman untuk mengambil gelar Doktor
(Ph. D). Pada tanggal 4 November 1907 Iqbal berhasil mempertahankan
disertasi doktornya berjudul The
Development of Methaphysic in Persia.[37]
Menurut Wilfred Cantwell Smith, tiga
hal yang memperngaruhi perkembangan pemikiran keislaman Iqbal ketika ada di
Eropa, yaitu pertama, vitalitas dan dinamisnya aktivitas kehidupan orang
Eropa yang luar biasa, kedua, berhubungan dengan hal tadi, Iqbal
menangkap visi yang sangat mungkin dikembangkan dalam kehidupan bangsa-bangsa
Timur yang berupa potensi diri yang telah begitu luas dikembangkan oleh orang Barat.
Ketiga, adalah bagian tertentu kehidupan Barat yang melahirkan manusia yang
terpecah kepribadiannya (split personality), yaitu peradaban Barat yang
ditandai semangat kapitalisme dan liberalisme, dalam pandangan Iqbal, memberi
andil yang besar bagi tumbuhnya keputusasaan individu, hal ini menjadi sasaran
kritik Iqbal.[38]
Pada tahun 1908, Iqbal pulang ke
India, dan memulai mempimpin Goverment College di Lahore dan memberi pelajaran
filsafat dan sastra inggris. Tetapi karena mencurahkan perhatian pada masalah
hukum, ia mengundurkan diri dari jabatan itu.[39]
Iqbal adalah seorang penyair yang
memaparkan pikirannya tentang aktivisme yang dinamis, tentang hari depan yang
cemerlang dan nila-nilai Islam yang mulia. Ia diakui sebagai pemikir dan
sastrawan yang terkemuka. Adapun karya-karyanya yaitu : Asrar-I-khudi ,
berbahasa Persia (1915); Rumuz-I-bekhudi (berbahasa Persia (1918); Payam-I-Masyriq
berbahasa Persia (1923); Zabur-I-Ajam berbahasa Persia (1929); Javid
Nama berbahasa Persia (1932); Musafir berbahasa Persia berbahasa Persia(1934);
Bal-I-Jira’il berbahasa Urdu (1935); Pas Chai Bayad kard,
berbahasa Persia (1936); Dar-I-kalim berbahasa urdu (1937); Armughan-I-hijaz
berbahasa Persia dan urdu (terbit sesudah Iqbal wafat) (1915). Sedangkan
yang berbentuk prosa, antara lain : ‘ilmul iqtisad, berbahasa urdu
(1901), The Developmento of Metaphysics in Persia berbahasa Inggris
(1908), The Reconstruction of Religious Thought in Islam, berbahasa
Inggris (1934), Letters of Iqbal to Jinnah,(1944), speeches and
statements of Iqbal (1944).[40]
Pada tahun 1922, Iqbal diberi gelar
kebangsawanan (Sir) dari kerajaan Inggris. Tahun 1926, ia mengadakan
perjalanan ke India Selatan. Dalam perjalanan ia memberikan serangkaian ceramah
yang kemudian diterbitkan buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam
oleh Universitas Oxford.[41]
Kemudian, Iqbal aktif mengambil bagian dalam kehidupan politik.
Tahun 1927, Ia terpilih menjadi anggota majlis legislatif di Punjab. Tahun
1930, ia terpilih sebagai presiden sidang tahunan dari Liga Muslim. Mengenai
berdirinya negara Pakistan, Iqbal memberikan argumentasi yang pada akhirnya
diterima. Saat sebagai presiden konferensi tahunan liga muslim di Allahabad,
untuk pertama kalinya Iqbal menyampaikan seruan untuk pembagian india menjadi
dua bangsa. Baginya, umat Islam hanya dapat tetap hidup dan bertahan di India
dengan memiliki pemerintahan sendiri yang terlepas dari dominasi umat Hindu.
Dasar konsepsi demokrasi spiritual Islam menurut Iqbal, yaitu, tauhid sebagai asas sehingga
kekuasaan kepala negara hanyalah melaksanakan kehendak Tuhan. Kepatuhan
terhadap hukum, toleransi antara satu dengan yang lain, demokrasi islam tidak
dibatasi oleh wilayah geografis, ras atau warna kulit atau bahasa, dan penafsiran hukum Tuhan harus dikembangkan
melalui ijtihad. Dari pemikiran tersebut, ide liga bangsa-bangsa muslim,
menurutnya merupakan bentuk khilafah ideal untuk masa modern. Masing-masing
negara muslim dapat mengatur dan mengurus negaranya dan diantara negara-negara
tersebut harus saling membantu, melakukan kerjasama untuk mentransformasikan
nilai-nilai tauhid dan spiritualitas.[42] Dalam suratnya kepada Muhammad Ali Jinnah, Iqbal menyatakan bahwa
jalan terbaik yang bisa mengantarkan perdamaian di india adalah pemisahan
negeri tersebut berdasarkan prinsip-prinsip ras, keagamaan, dan bahasa.[43]
Sejak 1935, kondisi kesehatan Iqbal semakin menurun karena penyakit
kencing manis yang dideritanya. Pada 21 April 1938, Iqbal wafat. Meskipun tidak
sempat menyaksikan wujud impiannya berdirinya satu negara muslim di anak benua
India, cita-cita ini dilanjutkan oleh Muhammad Ali Jinnah. Pada tanggal 15
Agustus 1947, lahir negara merdeka yang terlepas dari hegemoni Hindu yang
bernama Pakistan.[44]
a.
Perspektif Pemikiran Muhammad Iqbal
Mengenai pandangan Iqbal tentang
Al-Qur’an, sebagai muslim yang hidup dalam tradisi sufistik, Iqbal meyakini
sepenuhnya bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw. dan berfungsi sebgai petunjuk bagi kehidupan manusia demi
kebahagiaan di dunia dan diakhirat. Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum Islam.
Namun demikian bukan berarti bahwa Al-Qur’an adalah kitab undang-undang yang
memuat berbagai peraturan secara detail. Menurut Iqbal, tujuan Al-Qur’an adalah
untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi tentang hubungannya dengan Tuhan dan semesta alam.[45] Al-Qur’an belum memuat permasalahan secara tuntas dan detail. Oleh
karena itu, manusia dituntut untuk mampu menerjemahkan dan menjabarkan semangat
nash Al-Qur’an dengan menggunakan nalar dan pemikiran manusia dalam
membumikan Al-Qur’an sesuai dengan semangat dan dinamika masyarakat. Dengan demikian Al-Qur’an senantiasa relevan dengan gerak dinamika masyarakat
tersebut.[46]
Iqbal melihat, umat Islam belum mampu memahami secara utuh dan integral maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an.[47] Sepanjang sejarah kemunduran hukum Islam,
umat Islam telah menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi
peraturan perundang-undangan. Pandangan ini, cenderung memisahkan secara
mekanis antara ayat-ayat yang bersifat hukum dan non-hukum. Sehingga melahirkan penafsiran scara harfiah dan parsial terhadap
Al-Quran. Bahkan ada sebagian ulama yang memahaminya secara literal dan
tekstual, tanpa melihat ruh atau maqashid al-syari’ah dari ayat-ayat tersebut, akibatnya umat Islam tidak
mampu menjabarkan dengan baik pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an memandang kehidupan adalah proses cipta yang kreatif
dan progresif. Maka, umat Islam harus berani mencari rumusan baru secara
inovatif untuk menyelesaikan berbagai polemik permasalahan kehidupan. Namun
ketika umat Islam telah menganggap sakral pendapat ulama masa lalu, maka hukum Islam
hanya berjalan ditempat tanpa mengiringi pergerakan kemajuan masyarakat di
zaman sekarang.[48]
Dari gagasannya tentang semangat Al-Qur’an yang sangat menghargai gerak dan dinamika, Iqbal
terobsesi untuk menyadarkan umat Islam agar bergerak mengubah statis dan
stagnan mereka menjadi dinamis dan progresif dalam menjalankan kehidupannya.
Karena itu menurut Iqbal, Al-Qur’an memandang perlu menyatukan agama dan negara, etika
dan politik, dengan sama-sama menyeimbangkan kehidupan dunia dan agama, pribadi
dan masyarakat serta aspek ritual dan moral. Bagi Iqbal, antara politik
pemerintahan dan agama tidak terdapat pemisahan, perlu penyatuan antara agama
dan negara. Khilafah (pemerintahan)[49]
dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian. Gunanya adalah demi
memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia.
Iqbal ingin menggerakkan mereka agar
besikap dinamis dan progresif dalam menghadapi hidup dan menciptakan
perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran-ajaran Al-Qur’an. Begitu pentingnya dinamisasi kehidupan
ini, sehingga Iqbal menyatakan bahwa “kafir yang dinamis lebih baik daripada
muslim yang statis”. Islam, dengan sumber utamanya Al-Qur’an, sebenarnya telah memberikan nilai-nilai yang dinamis bagi umat Islam. Nilai-nilai
ajaran tersebut harus mampu digali dan dikembangkan secara serius oleh umat Islam. Kuncinya dengan mengadakan pendekatan rasional terhadap Al-Qur’an dan mendalami semngat yang dikandungnya
bukan menjadikannya sebagai buku peraturan
perundang-undangan yang bersifat kaku dan statis.[50]
b. Filsafat khudi
Individu, ego, pribadi atau khudi adalah
bagian terpenting dalam filsafat Iqbal. Filsafat khudi –nya merupakan dasar
yang menopang gagasan-gagasan tentang politik kenegaraan dan menjadi landasan
bagi seluruh konstruksi pemikirannya.[51]
Menurut Iqbal, khudi adalah unsur
terpenting dalam konstruksi masyarakat Islam, kerena khudi merupakan pusat
kehidupan dunia. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan pandangan mereka
tentang khudi ini. Oleh sebab itu manusia harus mampu mengembangkan khudi-nya
melalui tenaga dan usaha yang berkesinambungan, disiplin yang kuat, dan
penegasan karakter.
Sebagai individu, manusia adalah suatu kegiatan penciptaan yang terus
menerus dari satu semangat meningkat bergerak ke depan dan naik dari satu
keadaan kepada keadaan yang lain yang lebih baik. Manusia harus senantiasa
mengambil inisiatif unutk mengembangkan potensi kekayaan batinnya. Sebab, bila
manusia sudah merasa puas dengan keadaannya dan berhenti merasakan desakan internal khudi-nya untuk bergerak maju,
maka semangat akan membatu dan ia pun terjatuh ke derajat benda mati.
Pengembangan khudi, menurut Iqbal, harus
diarahkan untuk mendekati sedakat mungkin kepada ego mutlak atau individu yang
Hakiki, Allah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan martabat spiritual khudi
tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, individu harus berusaha melawan
segala bentuk kekuatan kebendaan yang dapat menghambat perkembangan khudinya.
Jika ia berhasil, maka ia akan semakin mendekati Tuhan dan menjelma menjadi
manusia sempurna (insan kamil). Manusia sempurna inilah yang dapat menguasai
lingkungannya dan menyerap Tuhan ke dalam khudinya. Inilah realisasi Hadits
nabi, “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (ciptakanlah dalam dirimu akhlak (sifat-sifat) Tuhan.[52]
Untuk memperoleh tingkat insan kamil,
menurut Iqbal, manusia harus melalui tiga tahap pendidikan, yaitu ketaatan
kepada hukum, pengendalian diri dan kekhalifahan ilahiyah. Ketaaatan kepada
hukum merupakan awal dari perjalanan khudi untuk mencapai kesempurnaan. Ketaatan ini
bukan sanksi yang menyertai ketentuan hukum, melainkan lahir dari kesadarannya
sendiri. Pada gilirannya ketaatan ini melahirkan kemampuan individu untuk
menguasai dan mengendalikan dirinya. Bila dua hal ini sudah terwujud, maka
khudi tersebut pantas menjadi wakil Tuhan di dunia (khalifatullah fi al-ardh)
Namun demikian, manusia sempurna tidak akan
berarti kalau ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia harus bekerja sama dengan individu lain dalam sebuah masyarakat. Manusia sempurna justru
dapat mewujudkan potensi khudinya secara baik dan maksimal dengan
bermasyarakat.[53]
Iqbal memandang bahwa individu tidak hanya
berdimensi personal, tetapi juga sosial. Individu dan masyarakat adalah dua
sisi yang terhubung dan saling membutuhkan; martabat individu diangkat melalui
masyarakat dan masyarakat diorganisir dan diatur oleh individu-individu.
Individu yang terasing dari masyarakatnya, berarti ia buta terhadap cita-cita
dan kemampuannya. Masyarakat mengilhami individu dengan
pengetahuan mengenai fungsi kehidupan dan memaksanya untuk merdeka.
Dalam
mencapai masyarakat sempurna ini, menurut Iqbal, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, yaitu harus memiliki basis spiritual dari prinsip tauhid, pimpinan
harus dipusatkan pada diri seorang nabi, karena kekuatan suatu masyarakat
tergantung pada ketaatan kepada Nabi (dalam hal ini Nabi Muhammad SAW.) harus
ada undang-undang yang mengatur perilaku masyarakat dan pusat seluruh kegiatan
mereka (dalam hal ini Al Quran dan ka’bah) setiap anggota masyarakat harus
menundukan dan menguasai kekuatan-kekuatan dengan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dan ego komunal harus dikembangkan dengan jalan memelihara tradisi
masyarakat tersebut.[54]
Dari uraian tersebut, maka hubungan antara individu dan masyarakat dalam
gagasan politik Iqbal tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Masyarakat membantu
individu untuk meningkatkan kualitas, martabat dan
kesempurnaan individu tidak dapat diperoleh kecuali jika perkembangannya
mengambil basis spiritual dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Inilah yang
dinamakan millat menurut Iqbal. Tali pengikat masing-masing individu bukanlah
hubungan darah atau geografis, melainkan prinsip tauhid dan persamaan mutlak
antara sesama manusia. [55]
c.
Pemikiran Iqbal tentang Seni
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal disebut sebagai
estetika vitalisme, yaitu bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam
kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut
dibalik kehidupan sehingga juga memberikan kehidupan baru dan semangat hidup
bagi lingkungannya atau memberikan hal baru bagi kehidupan. Mengenai hakikat pribadi yang hidup dalam
diri manusia dan menjadi penyempurnaan kualitasnya dihadapan Tuhan, Iqbal
mempunyai syair:
Tuhan
menciptakan dunia dan manusia membuatnya lebih indah
Apakah
manusia ditaqdirkan untuk menjadi saingan Tuhan?
Kau
ciptakan malam, aku ciptakan lentera
Kau
ciptkan lempung, aku ciptakan cawan
Kau
ciptakan padang pasir, gunung, dan rimba
Aku
ciptakan kebun, taman, dan hutan buatan,
Akulah
yang membuat batu menjadi cermin
Akulah
yang merubah racun menjadi obat
Kebesaran
manusia terletak pada daya ciptanya
Bulan
dan bintang hanya mengulang
Kewajiban
yang ditetapkan atasnya
Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, pemburu bukan
mangsa, sehingga hasil karyanya harus menciptakan “apa yang seharusnya”
dan “apa yang belum ada”, bukan sekedar menggambarkan “apa yang ada”.[56]
d.
Pemikiran Iqbal dalam karya The Reconstruction Of Religious
Thought In Islam
Menurut Yusuf Suyono, Iqbal dalam karyanya ini, membagi dalam kategori
yaitu diskursus ketuhanan (teologi), diskursus kemanusiaan (antropologi) dan
diskurusus kealaman (kosmologis).[57]
Diskursus ketuhanan. Iqbal membicarakan tentang bukti eksistensi Tuhan,
melalui eksistensi kosmologis. Bukti ini dinyatakan pertama kalinya oleh Plato dalam
Timaeus bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti ada yang menjadikannya.
Didunia ini setiap kejadian pasti didahului oleh sebab-sebab. Argumen Iqbal,
mengenai kosmologis, menganggap dunia merupakan akibat yang terbatas dari mata
rantai sebab-sebab dan akibat-akibat sebelumnya yang berakhir pada sebab pertama yang tidak
diakibatkan oleh adanya sesuatu yang lain sebelumnya. Sifat Tuhan pada
gilirannya akan mengakui adanya khaliq (pencipta atau creator) lain
selain Allah sebagai Khaliq (Pencipta atau Creator) yang sebenarnya. Iqbal
merujuk pada surat Al mukminun ayat 14 yang berbunyi; “Maha Suci Allah, Yang
Terbaik diantara para pencipta”, Tuhan sebagai pencipta berperan sebagai Co-Worker
(Pencipta yang Terbaik) bagi manusia- (yang sebagai pencipta-pencipta). [58]
Diskursus kemanusiaan. Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk
yang unik dan memilki individualitas. Manusia dijadikan Tuhan sebagai makhluk pilihan
karena dia memiliki ego (ego insani). Pandangan Iqbal, manusia adalah makhluk
dua dimensi yang disatu pihak-dengan seluruh kreatifitas yang ada pada dirinya,
hendak membangun kerajaan Tuhan dibumi sebaik mungkin dan dipihak lain, unsur
ruhaninya, di mana egonya ikut menghayati kehidupan dan kemerdekaan Ego
Terakhir sehingga mendapat bimbingan-Nya dan pada akhirnya menjadi hamba yang
saleh.
Keabadian jiwa, keabadian pribadi itu tidak secara otomatis menjadi
milik setiap manusia. Hal itu harus dicapai melalui usaha pribadi berupa amal (action).
Mengenai sifat kebangkitan, apakah bersifat jasmaniah atau ruhaniah, Iqbal
lebih cenderung ke paham para filsof Islam daripada paham mutakallimun (seperti
al-Ghazali), Iqbal mengatakan bahwa setelah disintegrasi jasmani dan ruh, maka
individualitas ego dalam keadaan dan cara lain, analogi-analogi Al-Qur’an
tentang kebangkitan yang bernuansa jasmaniah, hanyalah menekankannya sebagai
fakta bukan menjelaskan hakekat dan karakternya.[59]
Diskursus kealaman. Menurut Iqbal, alam bukan merupakan hasil dari
suatu kebetulan tanpa adanya rencana dan lebih besar dari sekedar merupakan
ciptaan yang teratur. Di dalamnya kehendak Sang Pencipta senantiasa terwujud
dan pola-pola-Nya akan terpenuhi dengan adanya hukum alam. Manusia didalamnya
memiiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan kehendak Tuhan.[60]
Mengenai proses penciptaan (khalaqa), terdapat dua kelompok.
Pertama, kelompok mutakallimun berpendapat bahwa alam dicipta dari tiada
(creatio ex nihillo), sedangkan kelompok kedua (filsof muslim)
berpendapat, bahwa tidak masuk akal alam semesta dicipta dari tiada dan Yang
Satu keluar yang banyak. Untuk itu, filsof muslim mengajukan teori emanasi
dengan maksud agar proposisi wahyu tidak bertentangan dengan akal. Dari
perbedaan pendapat tersebut, Iqbal memiliki pandangan bahwa alam semesta
berasal dari realitas Mutlak Yang merupakan Ego tak terbatas. Ia memiliki
tenaga kreatif di mana laku dan pikiran adalah identik serta berfungsi sebagai
kesatuan-kesatuan ego. Dunia seisinya sejak dari gerakan mekanik dari apa yang
dinamakan atom materi sampai gerakan pikiran bebas dalam ego manusia, adalah
perwujudan diri dari “Aku Yang Akbar”.[61]
C.
Critical Thought (Kritik Pemikiran) tentang Abduh dan Iqbal
Penulis menyadari keterbatasannya dalam menguraikan pemikiran Muhammad
Abduh dan Muhammad Iqbal, sehingga dalam kritik pemikirannya belum memiliki
pendapatnya sendiri, dengan kata lain, masih menyadur dari pendapat referensi
buku. Menurut Yusuf Suyono, Abduh, dalam Risalat al-Tauhid-nya masih
terkurung dalam definisi Ilmu Tauhid klasik yang membicarakan tentang
eksistensi Tuhan, sifat-sifat wajib dan mustahil bagi-Nya; juga tentang
rasul-rasul-Nya serta sifat wajib, jaiz maupun mustahil bagi mereka.
Sedangkan Iqbal, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menggunakan
cara membangun kembali filsafat agama islam dengan memperhatikan tradisi
filsafat islam dan mendialogkannya dengan perkembangan dari berbagai bidang
pengetahuan manusia.[62]
Abduh dan Iqbal, keduanya tetap mengapresiasi warisan masa lalu
sebagai sesuatu hal yang tidak bisa diabaikan. Namun secara substansi warisan
masa lalu yang diusung agak berbeda. Abduh menjelaskan tentang warisan klasik
para mutakallimun (teolog muslim), sedangkan Iqbal, mengusung warisan
klasik dari para sufi (mystics), meskipun yang diambil segi teologinya
bukan etikanya yang Iqbal sendiri banyak mengkritiknya. Kritikan Iqbal tentang
tasawuf, terutama sepulang dia dari studi di Barat. Perubahan sikap tersebut
dikarenakan penelitiannya tentang sejarah tasawuf yang berakhir pada kesimpulan
tasawuf tidak memiliki dasar historis yang solid.[63]
Sedangkan pemikiran tentang konsepsi negara, Abduh, berpendapat
bahwa nilai-nilai demokrasi yang menghendaki adanya kontrol terhadap kekuasaan.
Pemimpin negara adalah penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh
masyarakatnya sendiri melalui mekanisme tertentu, karenanya Abduh menolak paham
penguasa (Sistem pemerintahan khalifah klasik). Sedangkan Iqbal, ide liga
bangsa-bangsa muslim, menurutnya merupakan bentuk khilafah ideal untuk masa
modern. Masing-masing negara muslim dapat mengatur dan mengurus negaranya dan
diantara negara-negara tersebut harus saling membantu, melakukan kerjasama
untuk mentransformasikan nilai-nilai tauhid dan spiritualitas.
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah sederhana yang dapat penulis susun terkait.
Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, Yusran.
Dirasah Islamiah III: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Dunia Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 1998.
Claude Maitre, Miss
Luce. Pengantar ke Pemikiran Iqbal. terj. Djohan Effendi. Bandung:
Mizan. 1989
Iqbal, Muhammad.
The Reconstruction Of Religius Thought In Islam. Lahore: Ashraf Press.
1971.
Iqbal, Muhammad
dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.
Nasution, Harun. Pembaruan dalam
Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975
Nasution,
Harun. Islam Rasional: Gagasan Dan Pemikiran. Bandung : Mizan. 1998.
Nasution, Harun
& Azra, Azyumardi. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. 1985.
Sibawaihi. Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. ed. MH. Abid. Yogyakarta: Jalasutra. 2007.
Sjadzali, Munawir. Islam dan
Tatanegara: Ajaran. Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. cet. I.
1990
Soleh.
A.Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media. 2013.
Suyono, Yusuf.
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal. Semarang:
RaSAIL Media Group. 2008
[1]Yusuf Suyono, Reformasi
Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang: RaSAIL Media
Group, 2008), hlm. 1
[2] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI
Press, 1985), hlm.56
[3] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta:UI Press, 1990) cet. I, hlm. 111-112
[4] Harun Nasution
,Islam rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan, 1998) hlm 198-199
[5] Harun
Nasution, Islam rasional: Gagasan dan Pemikiran, hlm. 183
[6] Ibid., hlm.
199
[7]Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 26
[8] Ibid,
hlm. 27
[9] Syekh
Darwisy adalah seorang penganur tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan
pengetahuan yang dalam. Ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap
permasalahan yang muncul, menelaah suatu kitab, lalu menguraikan maksudnya.
Dengan cara ini, membuat Abduh lebih terbuka dalam pemikirannyadan memperoleh jawaban yang
diharapkannya.(Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik
Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010) , hlm. 69)
[10] Harun Nasution,
Pembaruan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 60-61
[11] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm.25-26
[12]Yusran Asmuni, Dirasah
Islamiah III: Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia
Islam,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1998) hlm. 80-81
[13] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm.35-36
[14] Ibid.,
hlm 32; 36
[15]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman,(Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 23
[16]Pemurnian Islam
yaitu dengan membebaskan pikiran dari
belenggu taqlid, dan pemahaman agama seharusnya mengacu pada metode kaum
Salaf (etos intelektual pada masa klasik sejarah kebudayaan Islam) sebelum
terjadinya pertentangan-pertentangan dan dalam memperoleh pengetahuannya harus
merujuk pada sumber-sumber yang pertama(Al-Qur’an dan Hadis) dan agama harus
dianggap sesuai dengan kriteria-kriteria akal manusia yang diciptakan Allah
untuk menyingkirkan hal-hal yang jauh dari kebenaran, dalam hal ini, agama
adalah sebagai mitra ilmu dan mendorong penyelidikan terhadap rahasia alam
semesta serta menyeru penghormatan kepada kebenaran-kebenaran yang tetap.(Y
usuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm
42)
[17] Menurut Abduh,
bahasa Arab perlu diperbaiki metode pendidikannya. Sistem menghafal diluar
kepala perlu diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang
dipelajari.
[18] Pembaharuan
bahasa Arab, sebagai contoh, ide yang terkandung dalam kata republik masih
sulit dipahami di Mesir. Mencari padanan bahasa Arab tidak mudah, sehingga
dalam maklumat Napoleon, Republik Perancis diterjemahkan menjadi al-Jumhur
al-Faransawiy. Jumhur berarti orang banyak. Jadi yang dipahami dari kata
Republik ialah publik-orang banyak, hal ini diperbaharui oleh Abduh dengan kata
al-Jumhuriyyah.
[20] Muhammad Iqbal
& Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
, hlm. 72
[21]Despotis
bermakna pemerintahan yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut (memerintah
berdasarkan keinginnanya sendiri).
[22]Harun Nasution
& Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam.(Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia,1985), hlm. 45
[23] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta:UI Press, 1990) cet. I, hlm. 129-130
[24] Muhammad Iqbal
& Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, hlm. 76
[25] Munawir
Sjadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta:UI Press, 1990) cet. I, hlm.132-133
[26] Muhammad Iqbal
& Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm 77
[27] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 51
[28] Rihab Akawiy,
Al-Imam al-Syeikh Muhammad Abduh fi Akhbarihi wa Asarihi, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2001) hlm. 149, Sebagaimana dikutip oleh Yusuf Suyono dalam Reformasi
Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, hlm 50
[29] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 47
[31]
Yang termasuk sifat Burhaniyyah yaitu ada 9, meliputi sifat keniscayaan
rasional (Qidam, Baqa, Nafy al Tarkib, sedang yang meliputi sifat-sifat
kesempurnaan bagi sifat keniscayaan rasional tersebut yaitu al hayah, al
ilm, al iradah, al qudrat, al ikhtiyar, al wahdah. Kemudian yang termasuk
sifat sam’iyah adalah al kalam, al bashar, dan al sama’.
[32]
Yusuf Suyono, Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm.., hlm. 46-47
3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya :...... Sesungguhnya Allah
tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[34] Hal ini
berkaitan dengan fase-fase kehidupan manusia, pertama, fase anak-anak yaitu
masa senang, masa permainan, tidak ada duka. Perintah Allah kepada adam dan
hawa untuk memakan sesuka hati menggambarkan tentang bolehnya memakan yang
baik, hal ini membekali manusia instink untuk mengetahui yang baik. Sedangkan
larangan Allah untuk mendekati pohon khuldi menggambarkan dibekalinya manusia,
instink untuk mengetahui yang buruk. Fase kedua adalah masa tamyiz, dalam masa
ini terjadi tarik menarik antara kedua instink tersebut. Dan fase ketiga adalah
masa dewasa. Kehidupan manusia seolah dimulai dari kesederhaan dan keluguan
dalam memenuhi kebuTuhannya, selanjutnya tahap kedua dimana daya tarik syahwat
menariknya untuk memiliki hal-hal yang bukan miliknya, sehingga timbullah
pertentangan. Kemudian fase ketiga yaitu masa menggunakan akal dan perenungan
sehingga menuju pada masa taubah dan hidayah.
[35]Miss Luce
Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi, (Bandung:
Mizan, 1989) hlm. 88
[36]Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm. 71
[37] Ibid. hlm.
72
[38]Muhammad Iqbal
& Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm
89-90l
[39] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal,hlm. 73
[40] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm.. 74
[42]
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
2010) hlm 105-107
[44] Ibid.
hlm .91
[45]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore:Ashraf
Press, 1971) hlm.4
[46]
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
2010) hlm. 92
[47]Iqbal
melihat realitas umat Islam,
khusunya di india, Iqbal menemukan umat yang
terpaku pada pemahaman ulama masa lalu. Mereka tidak berani mengadakan telaah
ulang apalagi mempertanyakan otoritas pendapat ulama sebelumnya/klasik. Iqbal
berpendapat, mereka bagaikan hidup dalam dua masa. Secara fisik mereka hidup
pada abad modern, namun pemikiran mereka berada pada masa lampau. Padahal,
menurut Iqbal tidak satupun ulama-ulama pendiri mahdzab yang menuntut finalitas
terhadap pemikiran hukum Islam mereka.
[48] Ibid,
hlm. 93
[49] Ide bentuk
pemerintahan khilafah ideal untuk masa modern menurut Iqbal, yaitu dengan ide
liga bangsa-bangsa muslim. Masing-masing negara muslim dapat mengatur dan
mengurus negarana sendiri, dan diantara sesama negara muslim saling membantu.
Dalam liga bangsa-bangsa muslim melakukan kerjsama untuk mentransformasikan
nilai-nilai tauhid dan spiritualitas.
[50] Muhammad Iqbal
& Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 95
[51] Ibid.,
hlm 96
[52] Ibid.,
hlm 97
[53] Muhammad Iqbal
& Amin Husein Nasution; Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2010) hlm. 96
[55] Muhammad
Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore:Ashraf
Press, 1971) hlm.147
[56] A. Khudori
Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta:
Ar-ruz Media, 2013), hlm. 354
[57] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm.. 86
[58] Disisi lain,
Iqbal bermaksud membangun landasan epistemologi antara, realisme dan idealisme.
Realisme menekankan peran indera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga kebenaran hanya berdasar pada fakta-fakta sebenarnya di
alam nyata dan sedangkan idealisme berpandangan peran akal, ide sebagai sumber
pengetahuan. Idealisme menganggap kebenaran merupakan sesuatu yang subjektif,
dunia realitas yang ada hakekatnya merupakan proyeksi yang ada dalam pikiran
manusia. Sehingga, untuk membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal mengajukan
mengenai pengalaman agama.
[59]Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm.. 120
[60] Ibid.
hlm.132
[61] Ibid.,
hlm. 125
[62] Yusuf Suyono,
Reformasi Teologi: Muhammad Abduh Vis a Vis Muhammad Iqbal, (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2008), hlm..155
[63] Ibid. hlm..
150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda