BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Quran
merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu membimbing umat
Islam dimanapun dan kapanpun.[1]
Namun kenyataannya, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat Al-Qur’an bukan
pekerjaan mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi
penafsiran yang cocok. Dengan metodologi yang sesuai Al-Qur’an baru dapat
diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di manapun.
Metodologi[2]
adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langah-langkah yang
ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Prinsip
metodologi dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-langkah metodis,
melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.[3]
Dalam pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami mengenai konteks
metodologi tafsir (metode penafsiran Al-Qur’an).[4]
Pada dasarnya
metodologi penafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf sebagai upaya
mereka mendialogkan Al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metodologi itu
dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan Al-Qur’an
sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi untuk menjadikan Al-Qur’an terus
berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan
zaman sehingga Al-Qur’an menjadi elastis dan fleksibel.[5]
Munculnya
tafsir kontemporer dengan epistem yang berbeda dari tafsir-tafsir sebelumnya,
merupakan keniscayaan sejarah. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan problem sosial keagamaan masyarakat kontemporer yang semakin
kompleks dan juga perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Ia muncul
untuk memberikan solusi alternatif bagi problem sosial keagamaan yang dihadapi
masyarakat kontemporer.[6]
Fazlur Rahman merupakan seorang intelektual muslim, ia menawarkan
sebuah metodologi hermeneutika double movement, yakni upaya “membaca”
al-quran sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-historis
untuk mencari nilai-nilai ideal moral, dan kemudian kembali ke masa sekarang
untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an
yang hendak diaplikasikan di era kekinian.[7]
Dengan metodologi tersebut Al-Qur’an yang rasional, sistematis dan komprehensif
sehingga bisa terwujud Al-Qur’anshalih li kulli zaman wa makan.
Metodologi tersebut bisa dikatakan sebagai upaya menjadikan Al-Qur’an untuk
mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian dan mampu mengakomodasi perubahan
dan perkembangan zaman.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
metodologi yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman?
2.
Apakah
metodologi tersebut original dari pemikiran Fazlur Rahman?
3.
Bagaimana
tahapan perkembangan pemikiran dan hasil karya Fazlur Rahman?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum melangkah pada ide-ide Rahman tentang metodologi penafsiran
dalam model hermeneutika, pengertian tentang hermeneutika secara sederhana
dirasa penting untuk dijelaskan. Bagi sebagian besar masyarakat Muslim,
khususnya di Indonesia, istilah hermeneutika mungkin masih asing. Hal itu disebabkan
hermeneutika merupakan barang impor yang bukan milik asli keilmuan Islam.
A.
PENGERTIAN DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
Kata
hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein,
yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan.[8]Integrasi
hermeneutika (hermeneutic) yang dalam arti luas mencakup hermeneuse
(praktik penafsiran), hermeneutics (hermeneutika dalam arti sempit,
yakni ilmu tentang metode-metode penafsiran).[9]Pada
awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika
dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja
menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika
menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci iru, mereka
berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika.
Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal pertumbuhan hermeneutika menjadi
sebuah gerakan interpretasi atau eksegesis di awal perkembangannya.
Memasuki abad
ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. Sebagai metode interpretasi,
hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua
kalangan. Selanjutnya hingga abad ke-20, paling tidak hermeneutika dapat
dipilah dalam tiga kategori: sebagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai
teori.[10]
B.
HERMENEUTIKA, ILMU TAFSIR DAN AL-QUR’AN
Hermeneutika
tidak hanya berkembang di dunia Barat, ia meluas dan menembus sekat-sekat agama
dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran tersendiri, yang
disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika.[11]
Beberapa pakar Muslim modern melihat signifikansi hermeneutika, khususnya untuk
memahami Al-Qur’an. Mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan
acuan dalam memahami Al-Qur’an ternyata memiliki berbagai keterbatasan.[12]
Akibat dari keterbatasan itu, implikasinya, teks akan diperlakukan hanya
sebagai teks pasif yang semata-mata digunakan sebagai postulat bagi pembenaran
ide-ide penafsir tanpa memperhatikan konteks. Aspek keutuhan dan integralitas
pesan yang disampaikan menjadi sulit untuk dilihat, bahkan sering melahirkan
distorsi. Ini terlihat jelas terutama dalam metode tafsir ijmali
(global), tahlili (analitis), dan muqarin (komparatif), bahkan
dalam metode mutakhirnya maudhu’i (tematis).[13]
Para pemikir
kontemporer kemudian melihat bahwa jika keterbatasan-keterbatasan ini dibiarkan
terus-menerus, selamanya umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang
dibentangkan di balik ayat-ayat Al-Qur’an.[14]
Umat Islam akan selamanya terjebak dalam pagar intelektualitas tafsir dengan
batas-batasnya yang sempit. Karena itu, harus diusahakan sebuah rekonstruksi
atas metodologi penafsiran. Tidak heran, hermeneutika kemudian menjadi
alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir itu.
Dengan asumsi bahwa teks apapun dapat ditafsirkan dalam hermeneutika,
Al-Qur’an diperlakukan sebagai sebuah teks yang bisa dipahami pesan-pesannya
dengan cara menelusuri tidak hanya teks itu sendiri, tetapi menjelaskan secara
rinci tentang proses penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke
tingkat dunia.[15]
Hermeneutika merupakan suatu perangkat disiplin yang netral, elastis dan
berkembang, dimana pemahaman orang terhadapnya tidak harus mengikuti alur yang
dimiliki orang lain, tak heran jika semua disiplin ilmu merasa memerlukannya.
Tak terkecuali keilmuan Islam. Kesadaran hermeneutis ini telah mengakar di
benak pemikir-pemikir kontemporer, khususnya Fazlur Rahman dari Pakistan yang
menerapkan hermeneutika dalam kerangka interpretasi sistematis dan
sintetis-logis. Teori hermeneutika Al-Qur’an inilah yang ingin diuraikan dalam
pembahasan selanjutnya.
C.
BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman
lahir di Hazara -kini menjadi bagian dari Pakistan- pada 21 September 1919.
Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya di
kemudian hari. Perdebatan publik[16]
di antara berbagai golongan Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai
kehidupan sosial negerinya. Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan
dinyatakan berpisah dari India dan menjadi sebuah negara yang berdaulat dan
merdeka pada tanggal 14 Agustus 1947.[17]
Di tengah perdebatan inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mendalami
seluk-beluk keilmuan Islam dan menguasai berbagai arus metodologi pemikiran.
Rahman lahir
dan dibesarkan dari keluarga yang mementingkan pendidikan. Ayahnya, Maulana
Syahab al-Din adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab Hanafi.[18]
Meskipun ayahnya seorang tradisionalis, namun ia tak seperti kebanyakan ulama
di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni
keimanan dan moral. Menurutnya, Islam harus menghadapi realitas kehidupan
modern, tidak hanya sebagai sebuah tantangan (challenge) tetapi juga
merupakan kesempatan (opportunity).[19]
Keyakinan sang ayah inilah yang kelak dipatrikan pada Fazlur Rahman.
Sekolah modern
dimasukinya di Lahore tahun 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Punjab
University jurusan Bahasa Arab, dan selesai dengan gelar BA tahun 1940. Gelar
Master untuk jurusan ketimuran juga diraihnya di universitas yang sama tahun
1942.[20]
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India saat itu masih rendah, Rahman
memutuskan untuk memperdalam ilmunya di Inggris.[21]
Pada tahun 1946, ia masuk Oxford University dan kemudian menyandang gelar
doktor di bidang sastra pada tahun 1950.
Setamat dari
Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan, selama beberapa
tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Hingga tiga tahun kemudian, semangat
patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya. Hal itu karena, setelah
pemerintahan Pakistan bergulir di tangan Ayyub Khan yang berpikiran modern,
Rahman terpanggil untuk membenahi negeri asalnya dan rela meninggalkan karier
akademiknya demi sebuah tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu
ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode
(1961-1968).[22]
Di masa ini, ia tercatat memprakarsai terbitnya Journal of Islamic Studies,
tempat ia menampungkan gagasan-gagasannya.
Rahman bekerja
sangat serius, langkah yang diambilnya adalah strategi ganda, yakni mengangkat
orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa inggris dan memberikan
pelatihan teknik-teknik riset modern juga mengirim beberapa orang ke luar
negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam. Akan
tetapi, usaha ini tidak berlangsung lama. Penunjukan dirinya sebagai direktur
sebenarnya tidak direstui oleh kalangan ulama tradisionalis.[23]Karenanya,
wajar bila selama kepemimpinannya lembaga riset kerap menuai kecaman dan
serangan dari kaum tradisionalis dan fundamentalis. Puncaknya meletus ketika
dua bab pertama dari bukunya, Islam, dipublikasikan Fikr-u-Nazr.
Masalah sentralnya adalah seputar hakikat wahyu Al-Qur’an. Rahman menulis bahwa
“Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah Kalam Allah, dan dalam pengertian
biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.[24]
Fenomena tersebut memaksa Rahman untuk kembali meninggalkan tanah
kelahirannya. Ia melihat negaranya belum siap menyediakan lingkungan akademik
yang bebas dan bertanggung jawab. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago,
dan langsung dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas
Chicago. Universitas tersebut merupakan tempatnya menelurkan banyak karyanya.
Tempat ini pula yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya
pada 26 Juli 1988. Selama 8 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas
Chicago, ia kerap diminta memberikan kuliah di universitas lain. Rahman menjadi
Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida, yang
melambangkan puncak prestasidalam bidang studi peradaban Islam dari UCLA.[25]
D.
RESPON RAHMAN TERHADAP GERAKAN PEMBAHARUAN
Kepindahan
Rahman ke Chicago adalah akibat dari fakta bahwa negaranya belum siap menampung
ide-ide pembaharuannya. Sekalipun di India atau Pakistan telah terjadi
pembaharuan, namun sifatnya masih dalam lingkup yang sangat terbatas. Seperti
pembaharuan yang berkembang pada abad pertengahan, mereka mendesakkan
pembebasan ijtihad (kebebasan berpikir) dan menyingkirkan segala bentuk taqlid
kepada ulama-ulama abad pertengahan dengan mengambil posisi dari yang keras
sejauh mereka menerima Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber materi agama. Bahkan
menolak qiyas, metode alasan analogis, untuk menafsirkan Al-Qur’an dan
sunnah. Implikasinya mereka terjebak dalam penafsiran menurut yang tertulis
dalam Al-Qur’an dan sunnah.[26]Rahman
belum melihat perkembangan signifikan yang benar-benar selaras dengan
harapannya. Fenomena tersebut sebagai salah satu alasan yang membuat
kegelisahan Rahman untuk mendefinisikan kembali Islam dalam konteks modernitas
dalam gerakan neo-modernis.[27]Pembaharuan
ini memiliki tingkatan dan perkembangan. Rahman membagi sifat pembaharuan ini
secara umum menjadi empat kelompok gerakan, yaitu: pertama, revivalisme
pramodernis; kedua, modernisme klasik; ketiga, neo-revivalisme;
dan keempat, neo-modernisme.[28]
Kelompok neo-modernisme. Pada posisi inilah Rahman berdiri, bahkan
mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya.[29]
Karenanya, dalam konteks ini, Rahman mencanangkan suatu penyusunan metodologi
yang tepat dan logis untuk mengkaji Al-Qur’an, yaitu -hermeneutika Al-Qur’an-
sebuah metode yang mengkaji Al-Qur’an secara komprehensif dan mampu menjawab
persoalan-persoalan umat di zaman sekarang.[30]
Metodologi ini diharapkan dapat melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam
namun tetap berpegang pada akar-akar spiritualnya.
E.
AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF RAHMAN
Sebelum membicarakan
tentang hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, menarik untuk dieksplorasi konsep
Rahman tentang Al-Qur’an. Konsep Rahman tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang
dapat disimpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an
secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian biasa,
juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni
kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan
personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata
(kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah
rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi.[31]
Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau
model pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The
Text), Allah adalah pengarang (The Author) dan Muhammad (The
Reader and the author). Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus
pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi Muhammad berpartisipasi baik
mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu.[32]
Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni
perjuangan Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[33]
F.
GAGASAN HERMENEUTIKA DALAM MENGINTERPRETASIKAN AL-QUR’AN
Gagasan untuk
menjadikan Al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, Al-Qur’an tidak bisa
dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang terjalin
sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti.[34]
Pemahaman seperti ini yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik,
mereka terlalu asyik bermain dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak
dalam penafsiran literal-tekstual. Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan
ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan
metode penafsiran.
Untuk
mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang logis,
kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika double movement (gerak
ganda interpretasi).[35]
Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis, sehingga
menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis,
melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Persoalan
mengapa harus mengetahui masa Al-Qur’an diturunkan, sedangkan masa dahulu
dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan, Rahman mengatakan: Al-Qur’an
adalah respon Ilahi melalui pikiran dan ingatan Nabi, kepada situasi
moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi.[36]
Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Arab pada masa Al-Qur’an
diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara Al-Qur’an dengan
realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim
(melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekonstruksi
tradisi).[37]
Adapun
mekanisme hermeneutika double movement yang ditawarkan Fazlur Rahman
dalam menginterpretasi Al-Qur’an adalah:
1.
Gerak Pertama
Gerakan
pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari
dua langkah:
Langkah Pertama, merupakan
tahap pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan
jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran
situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam
batasan-batasan masyarakat agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga bahkan
mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat turunnya Islam dan
khususnya di Makkah akan dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang
pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping
dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap
situasi-situasi khusus.[38]
Langkah Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum
yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latarbelakang
sosio-historis dan ratio-legis (illat hokum) yang sering dinyatakan.
Sesungguhnya langkah pertama itu -pemahaman teks spesifik- sendiri
mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu.[39]
2.
Gerak Kedua
Gerakan kedua
merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus yang
harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus diwujudkan
dalam konteks sosio-historis konkret sekarang. Dengan demikian, metodologi yang
diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif,
mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik.[40]
Jika dicermati
teori double movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba mendialektikakan text,
author, dan reader.[41]
Sebagai author, Rahman tidak memaksa teks berbicara sesuai dengan
keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk
mengajak teks berbicara, Rahman menelaah historisitas teks. Historis yang
dimaksudkan disini bukanlah semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang
dipahami oleh ulama konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan Al-Qur’an
diturunkan,[42]
melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana Al-Qur’an
diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah.
Di samping itu,
menurut Birt sebagaimana yang dikutip Abd A’la, historisisme Rahman terdiri
dari tiga tahap yang saling berhubungan. Pertama, pemahaman terhadap
proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentuknya. Kedua,
analisis terhadap proses tersebut untuk membedakan prinsip-prinsipnya yang
esensial dari formasi-formasi umat Islam yang bersifat partikular sebagai hasil
kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga, pertimbangan terhadap
cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial tersebut.[43]
Berkaitan dengan ketiga tahapan historisisme Rahman, penulis berasumsi bahwa
itulah yang disebut dengan origin, change, dan development.
Selain teori double
movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam
menginterpretasikan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut
adalah metode sintetis-logis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rahman
sendiri:
Kecuali dalam
penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam komunitas agama,
kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan
evolusi melalui Al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam mensintetis-kan
tema-tema, lebih bersifat logis ketimbang kronologis.[44]
G.
MELACAK AKAR TEORI DOUBLE MOVEMENT
Sebagai sebuah
teori dan sistem interpretasi, hermeneutika jelas sangat diperlukan dalam
memahami Al-Qur’an, yakni dalam rangka memberi makna dan memproduksi makna
sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apa pun. Terkait dengan hermeneutika
ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran objektivis dan aliran
subjektivis. Dalam hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran
objektivis. Ia tampaknya terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang
masih mengakui original meaning (makna otentik), ketimbang hermeneutika
Hans-Georg Gadamer (penganut aliran subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi
pada original meaning.[45]
Meskipun Fazlur
Rahman sealiran dengan Betti yang masih percaya pada makna objektif dan juga
masih mengakui adanya original meaning, namun ada perbedaan mengenai konsep the
original meaning antara Betti dan Rahman. Jika Betti berkeyakinan bahwa makna
asli suatu teks terletak pada akal pengarang, di mana dalam proses
interpretasinya, teks harus dibawa kepada pikiran pengarang,[46]
maka tidak demikian halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat
dipahami melalui konteks sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan.[47]
Menurut Rahman,
Al-Qur’an adalah respon Tuhan terhadap realitas yang muncul sehingga setiap
ayat yang turun bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan ia terkait
dengan konteks sosio-historis, budaya, dan problem yang dihadapi saat itu.
Dengan kata lain, Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran
sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis.[48]
Langkah pertama
dari gerakan ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami konteks mikro dan
makro di saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, mufassir mencoba menangkap
makna asli (original meaning) dari ayat Al-Qur’an dalam konteks
sosio-historis era kenabian. Dari situ maka akan ditemukan ajaran universal Al-Qur’an
yang melandasi berbagai perintah normatif Al-Qur’an. Kedua, melakukan
generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial yang disaring dari
ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio legis
yang sering dinyatakan.[49]
Struktur
hermeneutika double movement secara skematis dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
Gambar 1. Struktur hermeneutika Double
Movement
H.
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN PERSOALAN KONTEMPORER
Gagasan
hermeneutika Al-Qur’an Rahman merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita
mencoba mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan kontemporer. Sebagai
contohnya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.
QS. An-Nisa’
(4): 3
Ayat tersebut
turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim, baik
laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.[50]
Kemudian Al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan
harta itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang
diantara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung
oleh QS. An-Nisa’ (4): 127.[51]
Pernyataan
diatas dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah ini
muncul dalam konteks perempuan –perempuan yatim. Tapi kemudian Al-Qur’an
memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan
mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku
adil kepada perempuan-perempuan tersebut. (QS. An-Nisa’ (4): 129).
Pandangan-pandangan
Al-Qur’an diatas, menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi (antara aspek legal
dan ajaran moral Al-Qur’an), yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan
keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini,
Rahman kemudian berkesimpulan bahwa:
Yang
benar nampaknya bahwa diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara
sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita
moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin
untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[52]
Dari alasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir
sebagai jawaban bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik
laki-laki maupun perempuan. Dan Al-Qur’an membolehkan mereka (para wali)
mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan Al-Qur’an
disini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti
orang-orang miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang yang
terjerat hutang)[53]
sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan legaliter. Karena
sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan
berpoligami dengan syarat berleku adil tidak mungkin (mustahil), maka proses
poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi
Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami
lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[54]
I.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN HASIL KARYA FAZLUR RAHMAN
Perkembangan
pemikiran dan karya-karya Fazlur Rahman dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan periode
kematangan.
Periode pertama
disebut periode pembentukan karena pada periode ini Fazlur Rahman mulai
meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai
sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang pulang ke negerinya, Pakistan.Pada
periode ini, Fazlur Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu:
(1) Avecinna’s Psychology, berisikan kajian dari pemikiran Ibn Sina yang
terdapat dalam kitab Kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the
Psychologycal Part of Kitab al-Shifa’ merupakan suntingan dari kitab al-Nafs
yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’ ; (3) Prophecy in Islam: Philosophi
and Orthodoxy, merupakan karya orisinal Fazlur Rahman yang paling penting pada
periode ini. Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa
sarjana-sarjana Muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian terhadap
dokrin-dokrin kenabian.
Periode kedua
disebut periode perkembangan karena pada periode ini Fazlur Rahman mengalami
proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju kematangan.
Periode ini dimulai sejak kepulangan Fazlur Rahman dari Inggris ke Pakistan
sampai menjelang keberangkatannya ke Amerika.
Periode ini ditandai dengan suatu perubahan yang radikal. Fazlur Rahman
secara intens terlibat dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali Islam dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat muslim kontemporer, bagi Pakistan khususnya. Keterlibatan Fazlur Rahman
dalam arus pemikiran Islam menghasilkan karya berupa artikel-artikel dia yang
diterbitkan dalam bentuk buku, yang berjudul Islamic Methodology in History.
Karya ini membahas konsep sunnah, ijtihad, dan ijma’. Inti sari dari buku tersebut adalah
pemikiran bahwa dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas
sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadis.
Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan
implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut,
sedangkan hadis merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari
sunnah tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma”.
Buku kedua yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah
berjudul “Islam”. Buku ini merupakan upaya Fazlur Rahman dalam
menyajikan sejarah perkembangan Islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat
belas abad keberadaan Islam. Dalam buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan
mengemukakan kritik historis, disamping sedikit memberikan harapan dan
saran-saran.
Secara
epistemologis Fazlur Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan
normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami Al-Qur’an,
yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a
double movement).
Periode ketiga
disebut dengan periode Kematangan, karya-karya intelektual Fazlur Rahman sejak
kepindahannya ke Chicago (1970) mencakup hampir seluruh kajian Islam normatif
maupun historis. Dalam periode ini ia berhasil menyelesaikan beberapa buku;
pertama, Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Buku ini merupakan kajian historis
Fazlur Rahman terhadap pemikiran Shadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra). Didalamnya
mengungkapkan tentang sanggahan bahwa tradisi filsafat Islam telah mati setelah
diserang bertubi-tubi oleh al-Ghazali, untuk membantah pandangan sarjana barat
modern yang keliru tentang hal tersebut. Disamping itu, didalamnya punmembahas
tentang hasil penelusuran terhadap pemikiran Shadra. Fazlur Rahman sampaipada
kesimpulan bahwa sistem filsafat Shadra sangat kompleks dan orisinal.
Buku kedua
adalah “Mayor Themes of Qur’an”. Buku ini berisi delapan tema pokok al-Qur’an,
yaitu; Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia sebagai anggota Masyarakat,
alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, serta
lahirnya masyarakat muslim. Melalui karya ini Fazlur Rahman berhasil membangun
suatu landasan filosofis yang tegar untuk perenungan kembali makna dan pesan
al-Qur’an bagi kaum muslimin komtemporer.
Buku ketiga
yang dihasilkan Fazlur Rahman adalah “Islam and Modernity: Transformation of an
Intelektual Tradition”. Dalam buku ini Fazlur Rahman berbicara tentang pendidikan
Islam dalam perspektif sejarah dengan Al-Qur’an sebagai kriterium penilai.
Menurut perspektif Fazlur Rahman bahwa yang dimaksud pendidikan bukanlah suatu
perlengkapan, peralatan-peralatan fisik ataupun struktur eksternal pendidikan,
melainkan intelektualisme Islam, sebab itu merupakan esensi dari pendidikan
tinggi Islam. Ia adalah suatu pertumbuhan pemikiran Islam yang asli dan memadai,
yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu
sistem pendidikan Islam.
Buku terakhir
yang dihasilkan oleh Fazlur Rahman adalah “Health and Medicine in Islamic
Tradition”. Buku ini berusaha memotret kaitan antar organis antara Islam sebagai
sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia. Dengan
menjelajahi teks-teks al-Qur’an dan Hadis Nabi serta sejarah kaum muslim,
Fazlur Rahman memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu pengobatan dalam tradisi Islam
digerakkan oleh motivasi etika agama dan keyakinan bahwa mengobati orang sakit
adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Disamping itu, Fazlur Rahman juga
menunjukan bahwa tergesernya ilmu pengobatan Islam oleh ilmu pengobatan Barat
telah memunculkan problem etis, yaitu hilangnya dimensi religius-spiritual
dalam pengobatan manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Teori double
movement Fazlur Rahman merupakan teori yang terdiri dari dua gerakan.
Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya,
sebelum seorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui
terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan
meneliti alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan
secara eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik
yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan
saat Al-Qur’an diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang
mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin
disampaikan oleh Al-Qur’an.
Adapun mengenai ayat-ayat telogis-metafisis, Rahman menawarkan
pendekatan sintetis logis, yaitu pendekatan dengan cara mengevaluasi ayat-ayat
yang berhubungan dengan tema yang akan dibahas dan yang berhubungan tidak harus
berbicara tentang tema yang sama.
B.
SARAN
Demikian yang
disampaikan oleh penulis, kritik saran dan masukan sangat diharapkan untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
[1]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
[2] Metodologi
berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa indonesia, method,
dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yan bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan. Dalam bahasa Arab istilah metode dikenal sebagai manhaj.
Sedangkan logos diartikan sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih
Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005) hlm.
37
[3]Muhammad
Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar
Hermeneutika Al-Quran Kontemporer. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin
dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008) hlm. xvii
[4] Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hlm. 379
[5] Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
[6] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010) hlm.
ix
[8]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 6
[9]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. i
[10]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 7
[12]Keterbatasan yang
dimaksud bahwa penafsiran selama ini hanya menekankan pada pemahaman teks
semata tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu
dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya.
[13]Abd al-Hayyi
al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah
Maudhu’iyyah: Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997), hlm 21
[14]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 13
[16]Ada tiga kubu
yang berseteru: kaum modernis, kaum tradisionalis, dan kaum funamentalis. Kaum
modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern,
kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori
politik tradisionalis Islam: khalifah dan imamah, sedangkan kaum fundamentais
mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”.
[17]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 17
[18]Sebuah mazhab
Sunni yang lebih rasionalis dibanding mazhab lain (Syafi’i, Maliki, dan
Hanbali).
[19]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 61
[20]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 18
[21]Keputusan yang dinilai
berani, sebab terdapat anggapan bahwa sangat aneh jika seorang Muslim belajar
Islam di Eropa. Kalaupun berhasil, orang tersebut sangat sulit diterima kembali
oleh masyarakatnya, tak jarang juga mereka mengalami penindasan.
[22]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 19
[25]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 64
[26]Fazlur Rahman, Islam,
terj. Sinoaji Saleh (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 315
[27]Neomodernis
adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan
dengan “paham modernisme baru”, Neomodernisme digunakan untuk memberi identitas
pada kecenderungan pemikir Islam yang muncul dalam dekade terakhir yang berusaha
menjembatani bahkan mengatasi pemikiran tradisionalisme dan modernisme.
Artinya, jika modernisme sangat perhatian terhadap rasionalisme, modernisme
mencoba mengambil apa yang ditinggal oleh gerakan modernisme. di samping
kemunculan Neomodernis karena tuntutan zaman yang kurang mendapat antisipasi
oleh pemikiran keislaman yang sudah mapan secara historis. Lihat Ahmad Amir
Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1999)
hlm. 15-16
[28]Sibawaihi, Hermeneutika
Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 25
[30]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 68
[31]Fazlur Rahman, Islam.
hlm. 32-35
[33]Fazlur Rahman, Interpreting
the al-Qur’an, Inquiri, May (1998), hlm. 46
[34]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 70
[35]Adapun yang
dimaksud gerakan ganda adalah: dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an
diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Lihat Fazlur Rahman, Islam and
Modernitas; Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and
London: University Press, 1982), hlm. 6
[37]Ali Shodiqin, Antropologi
al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas (Yogyakarta: ar-Ruzz Media,
2008), hlm. 116-117
[38]Fazlur Rahman, Islam
and Modernitas, hlm. 7
[40]Kurdi, dkk. Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 72
[41]Ibid
[42]Muhammad Abdul
‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003), hlm. 63
[43]Abd A’la, Dari
Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 71
[44]Fazlur Rahman, Major
Themes of The al-Qur’an (Chicago: Minneapolis-Bibliotheca Islamica, 1980),
hlm. xi
[45]Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 175
[46] Hans-Georg
Gadamer, Truth and Method, hlm. 465
[47] Fazlur Rahman,
Islam and Modernity, hlm. 8-9
[48]Abdul Mustaqim,
Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 179
[50] Abdul Fatah
Abdul Ghani al-Qadhi, Asbab al-Nuzul ‘an al Shahabah wa al-Mufassirin
(Mesir: Dar al-Salam, 2005), hlm. 64
[51] Dan mereka
minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang
anak-anak yang masih dipandah lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu
mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan. Maka sesungguhnya Allah maha Mengetahuinya. (Lihat Tafsir Kementerian
Agama QS. An-Nisa’ (4): 129)
[52] Fazlur Rahman,
Major Themes of The Qur’an, hlm. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda