Pengikut

Rabu, 13 April 2016

makalah hermeneutika al qur'an



BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Al-Quran merupakan petunjuk dan rahmat bagi sekalian alam, serta mampu membimbing umat Islam dimanapun dan kapanpun.[1] Namun kenyataannya, untuk mendapatkan petunjuk dan rahmat Al-Qur’an bukan pekerjaan mudah dan membutuhkan segala upaya intelektual dan metodologi penafsiran yang cocok. Dengan metodologi yang sesuai Al-Qur’an baru dapat diajak berdialog dalam suasana bagaimanapun dan di manapun.
Metodologi[2] adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Prinsip metodologi dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.[3] Dalam pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami mengenai konteks metodologi tafsir (metode penafsiran Al-Qur’an).[4]
Pada dasarnya metodologi penafsiran telah dibentuk oleh ulama-ulama salaf sebagai upaya mereka mendialogkan Al-Qur’an dengan konteks mereka. Ketika metodologi itu dibawa ke konteks yang berbeda, maka tidak mampu lagi mendialogkan Al-Qur’an sebagaimana kebutuhan konteks yang baru. Jadi untuk menjadikan Al-Qur’an terus berbicara maka membutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi perkembangan zaman sehingga Al-Qur’an menjadi elastis dan fleksibel.[5]
Munculnya tafsir kontemporer dengan epistem yang berbeda dari tafsir-tafsir sebelumnya, merupakan keniscayaan sejarah. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan problem sosial keagamaan masyarakat kontemporer yang semakin kompleks dan juga perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. Ia muncul untuk memberikan solusi alternatif bagi problem sosial keagamaan yang dihadapi masyarakat kontemporer.[6]
Fazlur Rahman merupakan seorang intelektual muslim, ia menawarkan sebuah metodologi hermeneutika double movement, yakni upaya “membaca” al-quran sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosio-historis untuk mencari nilai-nilai ideal moral, dan kemudian kembali ke masa sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di era kekinian.[7] Dengan metodologi tersebut Al-Qur’an yang rasional, sistematis dan komprehensif sehingga bisa terwujud Al-Qur’anshalih li kulli zaman wa makan. Metodologi tersebut bisa dikatakan sebagai upaya menjadikan Al-Qur’an untuk mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian dan mampu mengakomodasi perubahan dan perkembangan zaman.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana metodologi yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman?
2.      Apakah metodologi tersebut original dari pemikiran Fazlur Rahman?
3.      Bagaimana tahapan perkembangan pemikiran dan hasil karya Fazlur Rahman?



BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum melangkah pada ide-ide Rahman tentang metodologi penafsiran dalam model hermeneutika, pengertian tentang hermeneutika secara sederhana dirasa penting untuk dijelaskan. Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, istilah hermeneutika mungkin masih asing. Hal itu disebabkan hermeneutika merupakan barang impor yang bukan milik asli keilmuan Islam.
A.      PENGERTIAN DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan.[8]Integrasi hermeneutika (hermeneutic) yang dalam arti luas mencakup hermeneuse (praktik penafsiran), hermeneutics (hermeneutika dalam arti sempit, yakni ilmu tentang metode-metode penafsiran).[9]Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka pada abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci iru, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan terbantu pemecahannya oleh hermeneutika. Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal pertumbuhan hermeneutika menjadi sebuah gerakan interpretasi atau eksegesis di awal perkembangannya.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. Sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Selanjutnya hingga abad ke-20, paling tidak hermeneutika dapat dipilah dalam tiga kategori: sebagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori.[10]
B.       HERMENEUTIKA, ILMU TAFSIR DAN AL-QUR’AN
Hermeneutika tidak hanya berkembang di dunia Barat, ia meluas dan menembus sekat-sekat agama dan budaya. Islam yang selama ini memiliki cara penafsiran tersendiri, yang disebut ilmu tafsir, juga ditembus hermeneutika.[11] Beberapa pakar Muslim modern melihat signifikansi hermeneutika, khususnya untuk memahami Al-Qur’an. Mereka menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami Al-Qur’an ternyata memiliki berbagai keterbatasan.[12] Akibat dari keterbatasan itu, implikasinya, teks akan diperlakukan hanya sebagai teks pasif yang semata-mata digunakan sebagai postulat bagi pembenaran ide-ide penafsir tanpa memperhatikan konteks. Aspek keutuhan dan integralitas pesan yang disampaikan menjadi sulit untuk dilihat, bahkan sering melahirkan distorsi. Ini terlihat jelas terutama dalam metode tafsir ijmali (global), tahlili (analitis), dan muqarin (komparatif), bahkan dalam metode mutakhirnya maudhu’i (tematis).[13]
Para pemikir kontemporer kemudian melihat bahwa jika keterbatasan-keterbatasan ini dibiarkan terus-menerus, selamanya umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang dibentangkan di balik ayat-ayat Al-Qur’an.[14] Umat Islam akan selamanya terjebak dalam pagar intelektualitas tafsir dengan batas-batasnya yang sempit. Karena itu, harus diusahakan sebuah rekonstruksi atas metodologi penafsiran. Tidak heran, hermeneutika kemudian menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir itu.
Dengan asumsi bahwa teks apapun dapat ditafsirkan dalam hermeneutika, Al-Qur’an diperlakukan sebagai sebuah teks yang bisa dipahami pesan-pesannya dengan cara menelusuri tidak hanya teks itu sendiri, tetapi menjelaskan secara rinci tentang proses penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.[15] Hermeneutika merupakan suatu perangkat disiplin yang netral, elastis dan berkembang, dimana pemahaman orang terhadapnya tidak harus mengikuti alur yang dimiliki orang lain, tak heran jika semua disiplin ilmu merasa memerlukannya. Tak terkecuali keilmuan Islam. Kesadaran hermeneutis ini telah mengakar di benak pemikir-pemikir kontemporer, khususnya Fazlur Rahman dari Pakistan yang menerapkan hermeneutika dalam kerangka interpretasi sistematis dan sintetis-logis. Teori hermeneutika Al-Qur’an inilah yang ingin diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
C.      BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN
Fazlur Rahman lahir di Hazara -kini menjadi bagian dari Pakistan- pada 21 September 1919. Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya di kemudian hari. Perdebatan publik[16] di antara berbagai golongan Muslim yang terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya. Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari India dan menjadi sebuah negara yang berdaulat dan merdeka pada tanggal 14 Agustus 1947.[17] Di tengah perdebatan inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mendalami seluk-beluk keilmuan Islam dan menguasai berbagai arus metodologi pemikiran.
Rahman lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mementingkan pendidikan. Ayahnya, Maulana Syahab al-Din adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab Hanafi.[18] Meskipun ayahnya seorang tradisionalis, namun ia tak seperti kebanyakan ulama di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni keimanan dan moral. Menurutnya, Islam harus menghadapi realitas kehidupan modern, tidak hanya sebagai sebuah tantangan (challenge) tetapi juga merupakan kesempatan (opportunity).[19] Keyakinan sang ayah inilah yang kelak dipatrikan pada Fazlur Rahman.
Sekolah modern dimasukinya di Lahore tahun 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Punjab University jurusan Bahasa Arab, dan selesai dengan gelar BA tahun 1940. Gelar Master untuk jurusan ketimuran juga diraihnya di universitas yang sama tahun 1942.[20] Menyadari bahwa mutu pendidikan di India saat itu masih rendah, Rahman memutuskan untuk memperdalam ilmunya di Inggris.[21] Pada tahun 1946, ia masuk Oxford University dan kemudian menyandang gelar doktor di bidang sastra pada tahun 1950.
Setamat dari Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan, selama beberapa tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Hingga tiga tahun kemudian, semangat patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya. Hal itu karena, setelah pemerintahan Pakistan bergulir di tangan Ayyub Khan yang berpikiran modern, Rahman terpanggil untuk membenahi negeri asalnya dan rela meninggalkan karier akademiknya demi sebuah tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode (1961-1968).[22] Di masa ini, ia tercatat memprakarsai terbitnya Journal of Islamic Studies, tempat ia menampungkan gagasan-gagasannya.
Rahman bekerja sangat serius, langkah yang diambilnya adalah strategi ganda, yakni mengangkat orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa inggris dan memberikan pelatihan teknik-teknik riset modern juga mengirim beberapa orang ke luar negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam. Akan tetapi, usaha ini tidak berlangsung lama. Penunjukan dirinya sebagai direktur sebenarnya tidak direstui oleh kalangan ulama tradisionalis.[23]Karenanya, wajar bila selama kepemimpinannya lembaga riset kerap menuai kecaman dan serangan dari kaum tradisionalis dan fundamentalis. Puncaknya meletus ketika dua bab pertama dari bukunya, Islam, dipublikasikan Fikr-u-Nazr. Masalah sentralnya adalah seputar hakikat wahyu Al-Qur’an. Rahman menulis bahwa “Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah Kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.[24]
Fenomena tersebut memaksa Rahman untuk kembali meninggalkan tanah kelahirannya. Ia melihat negaranya belum siap menyediakan lingkungan akademik yang bebas dan bertanggung jawab. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago, dan langsung dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago. Universitas tersebut merupakan tempatnya menelurkan banyak karyanya. Tempat ini pula yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 Juli 1988. Selama 8 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia kerap diminta memberikan kuliah di universitas lain. Rahman menjadi Muslim pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan puncak prestasidalam bidang studi peradaban Islam dari UCLA.[25]
D.      RESPON RAHMAN TERHADAP GERAKAN PEMBAHARUAN
Kepindahan Rahman ke Chicago adalah akibat dari fakta bahwa negaranya belum siap menampung ide-ide pembaharuannya. Sekalipun di India atau Pakistan telah terjadi pembaharuan, namun sifatnya masih dalam lingkup yang sangat terbatas. Seperti pembaharuan yang berkembang pada abad pertengahan, mereka mendesakkan pembebasan ijtihad (kebebasan berpikir) dan menyingkirkan segala bentuk taqlid kepada ulama-ulama abad pertengahan dengan mengambil posisi dari yang keras sejauh mereka menerima Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber materi agama. Bahkan menolak qiyas, metode alasan analogis, untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Implikasinya mereka terjebak dalam penafsiran menurut yang tertulis dalam Al-Qur’an dan sunnah.[26]Rahman belum melihat perkembangan signifikan yang benar-benar selaras dengan harapannya. Fenomena tersebut sebagai salah satu alasan yang membuat kegelisahan Rahman untuk mendefinisikan kembali Islam dalam konteks modernitas dalam gerakan neo-modernis.[27]Pembaharuan ini memiliki tingkatan dan perkembangan. Rahman membagi sifat pembaharuan ini secara umum menjadi empat kelompok gerakan, yaitu: pertama, revivalisme pramodernis; kedua, modernisme klasik; ketiga, neo-revivalisme; dan keempat, neo-modernisme.[28]
Kelompok neo-modernisme. Pada posisi inilah Rahman berdiri, bahkan mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya.[29] Karenanya, dalam konteks ini, Rahman mencanangkan suatu penyusunan metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji Al-Qur’an, yaitu -hermeneutika Al-Qur’an- sebuah metode yang mengkaji Al-Qur’an secara komprehensif dan mampu menjawab persoalan-persoalan umat di zaman sekarang.[30] Metodologi ini diharapkan dapat melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam namun tetap berpegang pada akar-akar spiritualnya.
E.       AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF RAHMAN
Sebelum membicarakan tentang hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, menarik untuk dieksplorasi konsep Rahman tentang Al-Qur’an. Konsep Rahman tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang dapat disimpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam) Allah, dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati Nabi.[31]
Definisi Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang dibangun antara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text), Allah adalah pengarang (The Author) dan Muhammad (The Reader and the author). Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa secara psikologi Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual dalam penerimaan wahyu itu.[32] Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks yang tepat yakni perjuangan Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[33]
F.       GAGASAN HERMENEUTIKA DALAM MENGINTERPRETASIKAN AL-QUR’AN
Gagasan untuk menjadikan Al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang terjalin sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti.[34] Pemahaman seperti ini yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik, mereka terlalu asyik bermain dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam penafsiran literal-tekstual. Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan metode penafsiran.
Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang logis, kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika double movement (gerak ganda interpretasi).[35] Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis, sehingga menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis, melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Persoalan mengapa harus mengetahui masa Al-Qur’an diturunkan, sedangkan masa dahulu dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan, Rahman mengatakan: Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui pikiran dan ingatan Nabi, kepada situasi moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi.[36] Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Arab pada masa Al-Qur’an diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara Al-Qur’an dengan realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim (melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekonstruksi tradisi).[37]
Adapun mekanisme hermeneutika double movement yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam menginterpretasi Al-Qur’an adalah:
1.    Gerak Pertama
Gerakan pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari dua langkah:
Langkah Pertama, merupakan tahap pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat turunnya Islam dan khususnya di Makkah akan dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus.[38]
Langkah Kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latarbelakang sosio-historis dan ratio-legis (illat hokum) yang sering dinyatakan. Sesungguhnya langkah pertama itu -pemahaman teks spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah kedua dan akan mengantar ke arah itu.[39]
2.    Gerak Kedua
Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus diwujudkan dalam konteks sosio-historis konkret sekarang. Dengan demikian, metodologi yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal balik.[40]
Jika dicermati teori double movement Fazlur Rahman, tampaknya mencoba mendialektikakan text, author, dan reader.[41] Sebagai author, Rahman tidak memaksa teks berbicara sesuai dengan keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk mengajak teks berbicara, Rahman menelaah historisitas teks. Historis yang dimaksudkan disini bukanlah semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang dipahami oleh ulama konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan Al-Qur’an diturunkan,[42] melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana Al-Qur’an diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah.
Di samping itu, menurut Birt sebagaimana yang dikutip Abd A’la, historisisme Rahman terdiri dari tiga tahap yang saling berhubungan. Pertama, pemahaman terhadap proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentuknya. Kedua, analisis terhadap proses tersebut untuk membedakan prinsip-prinsipnya yang esensial dari formasi-formasi umat Islam yang bersifat partikular sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga, pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial tersebut.[43] Berkaitan dengan ketiga tahapan historisisme Rahman, penulis berasumsi bahwa itulah yang disebut dengan origin, change, dan development.
Selain teori double movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam menginterpretasikan Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut adalah metode sintetis-logis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rahman sendiri:
Kecuali dalam penggarapan beberapa tema penting semisal aneka ragam komunitas agama, kemungkinan dan aktualitas mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan evolusi melalui Al-Qur’an, prosedur yang digunakan dalam mensintetis-kan tema-tema, lebih bersifat logis ketimbang kronologis.[44]
G.      MELACAK AKAR TEORI DOUBLE MOVEMENT
Sebagai sebuah teori dan sistem interpretasi, hermeneutika jelas sangat diperlukan dalam memahami Al-Qur’an, yakni dalam rangka memberi makna dan memproduksi makna sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apa pun. Terkait dengan hermeneutika ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran objektivis dan aliran subjektivis. Dalam hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran objektivis. Ia tampaknya terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang masih mengakui original meaning (makna otentik), ketimbang hermeneutika Hans-Georg Gadamer (penganut aliran subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi pada original meaning.[45]
Meskipun Fazlur Rahman sealiran dengan Betti yang masih percaya pada makna objektif dan juga masih mengakui adanya original meaning, namun ada perbedaan mengenai konsep the original meaning antara Betti dan Rahman. Jika Betti berkeyakinan bahwa makna asli suatu teks terletak pada akal pengarang, di mana dalam proses interpretasinya, teks harus dibawa kepada pikiran pengarang,[46] maka tidak demikian halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat dipahami melalui konteks sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan.[47]
Menurut Rahman, Al-Qur’an adalah respon Tuhan terhadap realitas yang muncul sehingga setiap ayat yang turun bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan ia terkait dengan konteks sosio-historis, budaya, dan problem yang dihadapi saat itu. Dengan kata lain, Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis.[48]
Langkah pertama dari gerakan ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami konteks mikro dan makro di saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, mufassir mencoba menangkap makna asli (original meaning) dari ayat Al-Qur’an dalam konteks sosio-historis era kenabian. Dari situ maka akan ditemukan ajaran universal Al-Qur’an yang melandasi berbagai perintah normatif Al-Qur’an. Kedua, melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio legis yang sering dinyatakan.[49]
Struktur hermeneutika double movement secara skematis dapat diilustrasikan sebagai berikut:



 














Gambar 1. Struktur hermeneutika Double Movement
H.      HERMENEUTIKA AL-QUR’AN DAN PERSOALAN KONTEMPORER
Gagasan hermeneutika Al-Qur’an Rahman merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan mengaitkannya dengan persoalan kontemporer. Sebagai contohnya adalah ayat yang membicarakan tentang poligami.
QS. An-Nisa’ (4): 3




Ayat tersebut turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.[50] Kemudian Al-Qur’an menyerukan agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta itu, dan mereka boleh mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang diantara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung oleh QS. An-Nisa’ (4): 127.[51]
Pernyataan diatas dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah ini muncul dalam konteks perempuan –perempuan yatim. Tapi kemudian Al-Qur’an memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut. (QS. An-Nisa’ (4): 129).
Pandangan-pandangan Al-Qur’an diatas, menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi (antara aspek legal dan ajaran moral Al-Qur’an), yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian berkesimpulan bahwa:
Yang benar nampaknya bahwa diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[52]
Dari alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan. Dan Al-Qur’an membolehkan mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas empat orang. Tujuan Al-Qur’an disini adalah untuk menguatkan bagian-bagian masyarakat yang lemah (seperti orang-orang miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak, dan orang yang terjerat hutang)[53] sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan legaliter. Karena sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan berpoligami dengan syarat berleku adil tidak mungkin (mustahil), maka proses poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapan perubahan legislasi Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[54]
I.         PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN HASIL KARYA FAZLUR RAHMAN
Perkembangan pemikiran dan karya-karya Fazlur Rahman dapat diklasifikasikan ke dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan periode kematangan.
Periode pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Fazlur Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang pulang ke negerinya, Pakistan.Pada periode ini, Fazlur Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu: (1) Avecinna’s Psychology, berisikan kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat dalam kitab Kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the Psychologycal Part of Kitab al-Shifa’ merupakan suntingan dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari Kitab al-Shifa’ ; (3) Prophecy in Islam: Philosophi and Orthodoxy, merupakan karya orisinal Fazlur Rahman yang paling penting pada periode ini. Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa sarjana-sarjana Muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian terhadap dokrin-dokrin kenabian.
Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Fazlur Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju kematangan. Periode ini dimulai sejak kepulangan Fazlur Rahman dari Inggris ke Pakistan sampai menjelang keberangkatannya ke Amerika.
Periode ini ditandai dengan suatu perubahan yang radikal. Fazlur Rahman secara intens terlibat dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali Islam dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim kontemporer, bagi Pakistan khususnya. Keterlibatan Fazlur Rahman dalam arus pemikiran Islam menghasilkan karya berupa artikel-artikel dia yang diterbitkan dalam bentuk buku, yang berjudul Islamic Methodology in History. Karya ini membahas konsep sunnah, ijtihad, dan ijma’. Inti sari dari buku tersebut adalah pemikiran bahwa dalam perjalanan sejarah telah terjadi pergeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadis. Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut, sedangkan hadis merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. Dari sunnah tersebut, ia ingin membangun kembali mekanisme “Sunnah-Ijtihad-Ijma”.
Buku kedua yang dihasilkan Fazlur Rahman dalam periode ini adalah berjudul Islam. Buku ini merupakan upaya Fazlur Rahman dalam menyajikan sejarah perkembangan Islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan Islam. Dalam buku ini, Fazlur Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis, disamping sedikit memberikan harapan dan saran-saran.
Secara epistemologis Fazlur Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami Al-Qur’an, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double movement).
Periode ketiga disebut dengan periode Kematangan, karya-karya intelektual Fazlur Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (1970) mencakup hampir seluruh kajian Islam normatif maupun historis. Dalam periode ini ia berhasil menyelesaikan beberapa buku; pertama, Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Buku ini merupakan kajian historis Fazlur Rahman terhadap pemikiran Shadr al-Din al-Shirazi (Mulla Sadra). Didalamnya mengungkapkan tentang sanggahan bahwa tradisi filsafat Islam telah mati setelah diserang bertubi-tubi oleh al-Ghazali, untuk membantah pandangan sarjana barat modern yang keliru tentang hal tersebut. Disamping itu, didalamnya punmembahas tentang hasil penelusuran terhadap pemikiran Shadra. Fazlur Rahman sampaipada kesimpulan bahwa sistem filsafat Shadra sangat kompleks dan orisinal.
Buku kedua adalah “Mayor Themes of Qur’an”. Buku ini berisi delapan tema pokok al-Qur’an, yaitu; Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia sebagai anggota Masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim. Melalui karya ini Fazlur Rahman berhasil membangun suatu landasan filosofis yang tegar untuk perenungan kembali makna dan pesan al-Qur’an bagi kaum muslimin komtemporer.
Buku ketiga yang dihasilkan Fazlur Rahman adalah “Islam and Modernity: Transformation of an Intelektual Tradition”. Dalam buku ini Fazlur Rahman berbicara tentang pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dengan Al-Qur’an sebagai kriterium penilai. Menurut perspektif Fazlur Rahman bahwa yang dimaksud pendidikan bukanlah suatu perlengkapan, peralatan-peralatan fisik ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan intelektualisme Islam, sebab itu merupakan esensi dari pendidikan tinggi Islam. Ia adalah suatu pertumbuhan pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu sistem pendidikan Islam.
Buku terakhir yang dihasilkan oleh Fazlur Rahman adalah “Health and Medicine in Islamic Tradition”. Buku ini berusaha memotret kaitan antar organis antara Islam sebagai sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia. Dengan menjelajahi teks-teks al-Qur’an dan Hadis Nabi serta sejarah kaum muslim, Fazlur Rahman memperlihatkan bahwa perkembangan ilmu pengobatan dalam tradisi Islam digerakkan oleh motivasi etika agama dan keyakinan bahwa mengobati orang sakit adalah bentuk pengabdian kepada Allah. Disamping itu, Fazlur Rahman juga menunjukan bahwa tergesernya ilmu pengobatan Islam oleh ilmu pengobatan Barat telah memunculkan problem etis, yaitu hilangnya dimensi religius-spiritual dalam pengobatan manusia.

BAB III
PENUTUP

A.      SIMPULAN
Teori double movement Fazlur Rahman merupakan teori yang terdiri dari dua gerakan. Pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general). Artinya, sebelum seorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat), baik yang disebutkan secara eksplisit maupun implisit. Gambaran setting sosial masyarakat Arab baik yang berkenaan dengan adat kebiasaan, pranata sosial, maupun kehidupan keagamaan saat Al-Qur’an diturunkan, juga harus diperhatikan secara serius oleh seorang mufassir. Baru setelah itu, dilakukan generalisasi terhadap pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an.
Adapun mengenai ayat-ayat telogis-metafisis, Rahman menawarkan pendekatan sintetis logis, yaitu pendekatan dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang akan dibahas dan yang berhubungan tidak harus berbicara tentang tema yang sama.
B.       SARAN
Demikian yang disampaikan oleh penulis, kritik saran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.


[1]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
[2] Metodologi berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa indonesia, method, dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yan bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam bahasa Arab istilah metode dikenal sebagai manhaj. Sedangkan logos diartikan sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005) hlm. 37
[3]Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran Kontemporer. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008) hlm. xvii
[4] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013) hlm. 379
[5] Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 59
[6] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010) hlm. ix
[7]Ibid, hlm. xi
[8]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 6
[9]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. i
[10]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 7
[11]Ibid, hlm 11
[12]Keterbatasan yang dimaksud bahwa penafsiran selama ini hanya menekankan pada pemahaman teks semata tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya.
[13]Abd al-Hayyi al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah: Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997), hlm 21
[14]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 13
[15]Ibid, hlm. 14
[16]Ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis, kaum tradisionalis, dan kaum funamentalis. Kaum modernis merumuskan konsep kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern, kaum tradisionalis menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori politik tradisionalis Islam: khalifah dan imamah, sedangkan kaum fundamentais mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”.
[17]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 17
[18]Sebuah mazhab Sunni yang lebih rasionalis dibanding mazhab lain (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali).
[19]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 61
[20]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 18
[21]Keputusan yang dinilai berani, sebab terdapat anggapan bahwa sangat aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa. Kalaupun berhasil, orang tersebut sangat sulit diterima kembali oleh masyarakatnya, tak jarang juga mereka mengalami penindasan.
[22]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 19
[23]Ibid, hlm. 20
[24]Ibid, hlm. 20
[25]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 64
[26]Fazlur Rahman, Islam, terj. Sinoaji Saleh (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 315
[27]Neomodernis adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini secara sederhana dapat diartikan dengan “paham modernisme baru”, Neomodernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikir Islam yang muncul dalam dekade terakhir yang berusaha menjembatani bahkan mengatasi pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Artinya, jika modernisme sangat perhatian terhadap rasionalisme, modernisme mencoba mengambil apa yang ditinggal oleh gerakan modernisme. di samping kemunculan Neomodernis karena tuntutan zaman yang kurang mendapat antisipasi oleh pemikiran keislaman yang sudah mapan secara historis. Lihat Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1999) hlm. 15-16
[28]Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hlm. 25
[29]Ibid, hlm. 25
[30]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 68
[31]Fazlur Rahman, Islam. hlm. 32-35
[32]Ibid, hlm. 32-33
[33]Fazlur Rahman, Interpreting the al-Qur’an, Inquiri, May (1998), hlm. 46
[34]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 70
[35]Adapun yang dimaksud gerakan ganda adalah: dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernitas; Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: University Press, 1982), hlm. 6
[36]Ibid, hlm. 6
[37]Ali Shodiqin, Antropologi al-Qur’an; Model Dialektika Wahyu dan Realitas (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 116-117
[38]Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, hlm. 7
[39]Ibid, hlm. 7
[40]Kurdi, dkk. Hermeneutika Al-Quran dan Hadis. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 72
[41]Ibid
[42]Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2003), hlm. 63
[43]Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 71
[44]Fazlur Rahman, Major Themes of The al-Qur’an (Chicago: Minneapolis-Bibliotheca Islamica, 1980), hlm. xi
[45]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 175
[46] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, hlm. 465
[47] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 8-9
[48]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 179
[49]Ibid, hlm. 181
[50] Abdul Fatah Abdul Ghani al-Qadhi, Asbab al-Nuzul ‘an al Shahabah wa al-Mufassirin (Mesir: Dar al-Salam, 2005), hlm. 64
[51] Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandah lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan. Maka sesungguhnya Allah maha Mengetahuinya. (Lihat Tafsir Kementerian Agama QS. An-Nisa’ (4): 129)
[52] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, hlm. 70
[53]Ibid, hlm. 68
[54]Ibid, hlm. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda