Masih banyak
lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian
golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam
hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan
para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan
takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits
itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan
yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan
yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam
pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan
itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena
secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga
secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia
ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu
tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni
jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah
Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan
itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw.
saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain
: “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu
dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai
zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah
Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya
mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu
Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai
Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu
apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah
“ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan
pengertian penakwilan
kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman
hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap
semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at
maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara
penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan
mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada
hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah
yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya
contoh.
Bid’ah lughawi
inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang
disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul
yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa
dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa
yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka
yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash
yang khos (khusus) untuk masalah
yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak
bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya
dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca
hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan
kita kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh
keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun
juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT.
pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita
hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah
dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan
manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah
bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya
saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw.
sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.
Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi)
baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang
yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun
tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak
Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak
asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan
mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan
telah memberi maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda