1. Makna “KULLU BID’AH DHOLALAH”
Pada firman Allah yang berbunyi : Waja`alna minal maa-i
KULLA syai-in hayyin. Lafadz KULLA disini, haruslah diterjemahkan dengan arti :
SEBAGIAN. Sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma, SEBAGIAN
makhluk hidup.Karena Allah juga berfirman menceritakan tentang penciptaan jin dan Iblis yang berbunyi: Khalaqtanii min
naarin. Artinya : Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api.
Dengan demikian, ternyata lafadl KULLU, tidak dapat
diterjemahkan secara mutlak dengan arti : SETIAP/SEMUA, sebagaimana umumnya
jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai
dengan kenyataan.
Demikian juga dengan arti hadits Nabi saw. : Fa inna KULLA BID`ATIN dhalalah,. Maka harus diartikan:
Sesungguhnya SEBAGIAN dari BID`AH itu adalah sesat.
Kulla di dalam Hadits ini, tidak dapat diartikan
SETIAP/SEMUA BID`AH itu sesat, karena Hadits ini juga muqayyad atau terikat
dengan sabda Nabi saw., yang lain: Man sanna fil islami
sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man `amila biha. Artinya : Barangsiapa
memulai/menciptakan perbuatan baik di dalam Islam, maka dia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya.
Jadi jelas, ada
perbuatan baru yang diciptakan oleh orang-orang di jaman sekarang, tetapi
dianggap baik oleh Nabi saw. dan dijanjikan pahala bagi pencetusnya, serta
tidak dikatagorikan BID`AH DHALALAH.
Sebagai contoh dari man sanna sunnatan hasanah (menciptakan perbuatan baik) adalah saat
Hajjaj bin Yusuf memprakarsai pengharakatan pada mushaf Alquran, serta
pembagiannya pada juz, ruku`, maqra, dll yang hingga kini lestari, dan
sangat bermanfaat bagi seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya, maka bid’ah itu dapat diklasifikasi
sebagai berikut : Ada pemahaman bahwa Hadits KULLU BID`ATIN DHALALAH diartikan
dengan: SEBAGIAN BID`AH adalah SESAT, yang
contohnya :
1. Adanya sebagian masyarakat yang
secara kontinyu bermain remi atau domino setelah pulang dari mushalla.
2. Adanya kalangan umat Islam yang
menghadiri undangan Natalan.
3. Adanya beberapa sekelompok muslim
yang memusuhi sesama muslim, hanya karena berbeda pendapat dalam
masalah-masalah ijtihadiyah furu`iyyah (masalah fiqih ibadah dan ma’amalah), padahal
sama-sama mempunyai pegangan dalil Alquran-Hadits, yang motifnya hanya karena
merasa paling benar sendiri. Perilaku semacam ini dapat diidentifikasi sebagai
BID`AH DHALALAH).
Ada pula pemahaman yang mengatakan, bahwa amalan baik yang
terrmasuk ciptaan baru di dalam Islam dan tidak bertentangan dengan syariat
Islam yang sharih, maka disebut SANNA (menciptakan perbuatan baik). Contohnya:
- Adanya sekelompok orang yang mengadakan shalat malam (tahajjud) secara berjamaah setelah shalat tarawih, yang khusus dilakukan pada bulan Ramadhan di Masjidil Haram dan di Masjid Nabawi, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh beraliran Wahhabi Arab Saudi semisal Syeikh Abdul Aziz Bin Baz dan Syeikh Sudaisi Imam masjidil Haram, dll. Perilaku ini juga tergolong amalan BID`AH karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., tetapi dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH atau bid’ah yang baik.
Melaksanakan
shalat sunnah malam hari dengan berjamaah yang khusus dilakukan pada bulan
Ramadhan, adalah masalah ijtihadiyah yang tidak didapati tuntunannya secara
langsung dari Nabi saw. maupun dari ulama salaf, tetapi kini menjadi tradisi
yang baik di Arab Saudi. Dikatakan Bid’ah Hasanah karena masih adanya
dalil-dalil dari Alquran-Hadits yang dijadikan dasar pegangan, sekalipun tidak
didapat secara langsung/sharih, melainkan secara ma`nawiyah. Antara lain adanya
ayat Alquran-Hadits yang memerintahkan shalat sunnah malam (tahajjud), dan
adanya perintah menghidupkan malam di bulan Ramadhan.
Tetapi
mengkhususkan shalat sunnah malam (tahajjud) di bulan Ramadhan setelah shalat
tarawih dengan berjamaah di masjid, adalah jelas-jelas perbuatan BID`AH yang
tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan ulama salaf. Sekalipun demikian masih
dapat dikatagorikan sebagai perilaku BID`AH HASANAH.
Demikian juga umat Islam yg melakukan pembacaan tahlil atau
kirim doa untuk mayyit, melaksanakan perayaan maulid Nabi saw. mengadakan
isighatsah, dll, termasuk BID’AH HASANAH. Sekalipun amalan-amalan ini tidak
pernah dilakukan oleh Nabi saw. namun
masih terdapat dalil-dalil Alquran-Haditsnya sekalipun secara ma’nawiyah.
Contoh mudah,
tentang pembacaan tahlil (tahlilan masyarakat), bahwa isi kegiatan tahlilan
adalah membaca surat Al-ikhlas, Al-falaq, Annaas. Amalan ini jelas-jelas adalah
perintah Alquran-Hadits. Dalam kegiatan tahlilan juga membaca kalimat Lailaha
illallah, Subhanallah, astaghfirullah, membaca shalawat kepada Nabi saw. yang jelas- jelas perintah Alquran-Hadits. Ada juga
pembacaan doa yang disabdakan oleh Nabi saw.
: Adduaa-u mukhkhul ‘ibadah. Atrinya : Doa itu adalah intisari ibadah. Yang
jelas, bahwa menghadiri majelis ta`lim atau majlis dzikir serta memberi jamuan
kepada para tamu, adalah perintah syariat yang terdapat di dalam
Alquran-Hadits.
Hanya saja mengemas amalan-amalan tersebut dalam satu
rangkaian kegiatan acara tahlilan di rumah-rumah penduduk adalah BID`AH, tetapi
termasuk bid’ah yang dikatagorikan sebagai BID`AH HASANAH. Hal itu, karena
senada dengan shalat sunnah malam berjamaah yang dikhususkan di bulan Ramadhan,
yang kini menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Wahhabi Arab Saudi.
Nabi saw. dan para
ulama salaf, juga
tidak pernah berdakwah lewat pemancar radio atau menerbitkan majalah dan
bulletin. Bahkan pada saat awal Islam berkembang, Nabi saw.
pernah melarang penulisan apapun yang bersumber dari diri beliau saw. selain penulisan Alquran. Sebagaiman di dalam sabda beliau saw. : La taktub `anni ghairal quran, wa man yaktub `anni
ghairal quran famhuhu. Artinya: Jangan kalian menulis dariku selain alquran,
barangsiapa menulis dariku selain Alquran maka hapuslah. Sekalipun pada akhir
perkembangan Islam, Nabi saw. menghapus
larangan tersebut dengan Hadits : Uktub li abi syah. Artinya: Tuliskanlah
hadits untuk Abu Syah.
Meskipun sudah ada perintah Nabi saw. untuk menuliskan
Hadits, tetapi para ulama salaf tetap memberi batasan-batasan yang sangat ketat
dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para muhadditsin. Fenomena di atas
sangat berbeda dengan penerbitan majalah atau bulletin.
Dalam
penulisan artikel untuk majalah atau bulletin, penulis hanyalah mencetuskan
pemahaman dan pemikirannya, tanpa ada syarat-syarat yang mengikat, selain
masalah susunan bahasa. Jika memenuhi standar jurnalistik maka artikel akan
dimuat, sekalipun isi kandungannya jauh dari standar kebenaran syariat.
Contohnya, dalam penulisan artikel, tidak ada syarat tsiqah
(terpercaya) pada diri penulis, sebagaimana yang disyaratkan dalam periwayatan
dan penulisan Hadits Nabi saw. Jadi sangat berbeda dengan
penulisan Hadits yang masalah ketsiqahan menjadi syarat utama untuk
diterima-tidaknya Hadits yang diriwayatkannya.
Namun, artikel majalah atau bulletin dan yang semacamnya,
jika berisi nilai-nilai kebaikan yang sejalan dengan syariat, dapat
dikatagorikan sebagai BID’AH HASANAH, karena berdakwah lewat majalah atau
bulletin ini, tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun oleh ulama salaf
manapun. Namun karena
banyak manfaat bagi umat, maka dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, selagi
tidak keluar dari rel-rel syariat yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda