Ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk
dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di
masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum
syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam
fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada
asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang
bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah
itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’,
maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap
jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk
bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang
lima”.
Pendapat beliau
ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin
as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam
risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al
Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam
Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam
Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang
senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan
lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya
bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi
beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah
(bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak
menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan
hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu
dibicarakan.
Sedangkan
menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang
ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin
Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut
ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu
dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti
menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi siapapun yang ingin
memahami Qur’an dan Hadits dengan baik dan benar.
2. Bid’ah mandub/baik;
seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah,
mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan
yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi
masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan
kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak
semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti
menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama
tidak mengganggu kesehatan), memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain
sebagainya.
5. Bid’ah haram;
semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan
tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua
bid’ah (masalah yang baru) adalah
dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum
pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya dholalah atau
haram, misalnya :
a). Pengumpulan
ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai
Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan
Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan
dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir
kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang
menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan
khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat
tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau
sendiri berkata : ‘Ni’matul Bid’ah Hadzihi/Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian
gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada
universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulullah saw. cukup banyak
para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel
dibelakang namanya.
d).
Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti
asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang
bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya
adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak
harus dikurung dahulu.
e). Tambahan
adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra.
Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di
Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya.
Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata
ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya.
Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah,
menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga
masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus
meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya
Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur,
tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern
lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang
baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal
bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan
sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan
bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa
hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga
didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai
dengan zamannya Rasulullah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya;
pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full ac
sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup
(beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik
Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya
bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa
Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at
Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua
masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup
pintu ijtihad para ulama, terutama pada
zaman sekarang teknologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran
dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana
telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i,
Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Katsir ra. serta para ulama
lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak
menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab
(dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah
bagian dari agama”.
Semua amal
kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulullah saw.
telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw.
dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka
prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah
diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai
bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah
dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk
kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada
abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang
belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui
kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap
ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad
bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara
kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah
tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya
didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di
Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah
membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat
disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah
Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash
mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau
ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana
kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun
begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau
hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada
zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan
pengingkar).
Masalah-masalah
serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini,
antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulullah
saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu
sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah
hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara
seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum
muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah
dholalah/sesat.
Sebuah hadits
yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya juz 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia
selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia
tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305
dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid
yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.
Tiba-tiba kami
melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak
orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada
‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra
seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa
dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga
‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah,
tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah
yang pelakunya akan dimasukkan ke neraka!
Dengan demikian
masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah.
Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat
yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut
bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum
syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah
As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin
Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik
(extrem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah
mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab
bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulullah
saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada
kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah SWT.
‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali
Imran (3) : 104).
Allah SWT.
berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh
keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu
Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulullah saw.;
وَعَنْ
أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ
فَاعِلُهُ(رواه مسلم)
‘Siapa yang
menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. (
HR.Muslim)
Dalam hadits
riwayat Muslim Rasulullah saw. bersabda:
‘Barangsiapa
menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya
dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun,
dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia
terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa
dikurangi sedikitpun” .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda