Pengikut

Rabu, 27 April 2016

khotbat jum'at rajab

Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KONTEKS KEHIDUPAN SOSIAL
Khutbah Pertama:
 
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah,

Tanpa terasa, saat ini kita telah berada di tengah bulan Rajab, bulan yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW 1400-an tahun yang silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang zaman. Oleh karenanya, adalah hal yang wajar jika kemudian setiap tanggal 27 Rajab, peristiwa Isra’ Mi’raj itu selalu diperingati oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai penting di dalamnya. Terlebih pada masa sekarang, di mana bangsa dan masyarakat kita terus menerus digoncang oleh berbagai kasus kejahatan, penyimpangan, dan sederet praktik de-moralisasi (kemerosotan moral), mulai dari aksi kekerasan atas nama agama, terorisme, pembegalan, mafia hukum dan peradilan, korupsi, konflik antar elite politik dan lembaga negara, hingga pembocoran soal Ujian Nasional, dan lain sebagainya.

Jama’ah Jum’at hadaniyallahu wa iyyakum,

Paling tidak, sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut:

Pertama, peristiwa Isra’, yang berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina.Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi SAW bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena bukankah telah disebutkan sendiri oleh Nabi: al-dînu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).

Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketikaia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu, diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturahmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya, seperti melakukan korupsi, kecurangan, penipuan, membicarakan aib dan kejelekan orang lain, menebarkan fitnah, hingga memelihara perpecahan dan konflik berkepanjangan. Modelberagama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Sebab salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan sesamanya, sesuai dengan akhlak-akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hal ini telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang).

Di samping itu, perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat bahwa, mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat secara luas. Jangan sampai, masjid justeruhanya dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektoral secara eksklusif dansempit, yang justru merusak jalinan ukhuwwah antar umat Islam. Misalnya, dengan mudah orang lalu mengkafirkan atau mem-bid’ah-kan kelompok lain yang berbeda, apalagi masjid lalu dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan ideologi politik “keislaman sempit” yang anti-Pancasila dan NKRI sebagaimana yang saat ini marak di berbagai tempat.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya: Allah SWT, sehingga terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, hingga berani melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atau pun pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.

Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus terusditegakkan, untuk melawan segala bentuk de-moralisasi. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting. Fenomena seperti “nyontek massal” yang masih sering dilakukan para pelajar pada saat Ujian Nasional, ataupun “budaya” korupsi yang dilakukan semakin terang-terangan, adalah potret buram bagi dunia pendidikan maupun birokrasi pemerintahan kita, bahkan fenomena ini telah menjalar ke tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan praktik-praktik manipulatif. Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo sing jujur malah kajur” (orang yang jujur akan hancur). Padahal kita tahu, bahwa kejujuranlah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.

Kemudian yang Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncakpengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat apapun. Namun, di sinilah nampak sifat keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi SAW adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi baik).

Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat penting, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama. Demikian sabda Nabi. Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkanpesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kitamemahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahamimakna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).

Jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka,salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilaikedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. [ ]

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda