Pengikut

Jumat, 08 April 2016

tafsir tahlily


METODOLOGI TAFSIR TAHLILI - IJMALI

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. H. Muhammad Saifuddin, M.A
       Dr. H. Imam Taufiq, M. Ag

Disusun Oleh :
Lailatul Fadhilah
1400018056



PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

I.       PENDAHULUAN
Kehadiran teks Al-Qur’an ditengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayat-Nya.[1] Maka dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an hingga kini masih menjadi teks inti dalam peradaban Islam.
Dalam mengkaji keilmiahan, filsafat ilmu mengajarkan kepada kita tentang ontologi (objek/mahiyah sesuatu yang dikaji), epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan) dan aksiologi (nilai kegunaan ilmu).[2]
Metodologi[3] adalah bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Prinsip metodologis dalam hal ini bukan maksud sekedar langkah-langkah metodis, melainkan asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya sebuah metode.[4] Dalam pembahasan epistemologi tafsir, hendaknya kita memahami mengenai konteks metodologi tafsir (metode penafsiran Al-Qur’an).[5]
Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan Al-Qur’an  secara apresiasif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat islam. Hasil dari upaya yang sungguh-sungguh tersebut dengan menggunakan alat (metodologi) sehingga terwujud sebagai tafsir. Konsekuensinya, kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tersebut.[6]
Ada beberapa metode penafsiran Al- Qur’an yang umumnya digunakan para ulama tafsir. Penafsiran yang lazim digunakan ada yang bersifat meluas/melebar dan secara global, tetapi ada juga yang menafsirkannya dengan cara melakukan studi perbandingan (komparasi) atau pun dengan cara yang sistematis. Menurut ahli tafsir, Abd al-Hayy al-Farmawi, menyebutkan empat macam metode (manhaj minhaj) penafsiran Al- Qur’an, yaitu: al-manhaj al-tahlili, al-manhaj al-ijmali, al-manhaj al-muqaran, dan al-manhaj al-maudhu’i.[7]
Perkembangan tafsir Al-Qur’an dari sejak dulu hingga sekarang secara garis besar mengacu pada keempat metode yang disebutkan Abd al-Hayy al-Farmawi tersebut, metode ijmali (global), tahlili (analitis), muqaran (perbandingan), maudhu’i (tematik). Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menguraikan diantara macam metode tersebut, yaitu metodologi tafsir Tahlili dan Ijmali (al-manhaj al-tahlili dan al-manhaj al-ijmali).
II.    Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalah ini terdapat point rumusan masalah, yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud dengan metode tafsir tahlili dan Ijmali?
2.      Bagaimanakah penjelasan mengenai metode tafsir tahlili dan Ijmali ini?

III.  Pembahasan
A.    Metode Tafsir al- Tahlili (Deskriptif –Analitis)
1.    Pengertian
Kata tahlili (التحليلي) adalah bentuk masdar dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan berasal dari kata halla-yahullu-hallan. Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Menurut Ibnu Faris, asal kata ha’, lam, dan lam mempunyai derivasi kata, dan asalnya berarti membuka sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang tertutup darinya. Dari sini dapat dipahami bahwa kata tahlili menunjukkan arti membuka sesuatu yang tertutup atau terikat dan mengikat sesuatu yang berserakan agar tidak ada yang terlepas atau tercecer.[8] Secara definisi, penafsiran tahlili adalah seorang mufasir menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an sesuai susunan bacaannya dan tertib susunan didalam mushaf, kemudian baru menafsirkan dan menganalisis secara rinci [9]
Metode tahlili, menurut M. Quraish Shihab, lahir jauh sebelum maudhu’i. Metode tahlili dikenal sejak Tafsir al-Farra (w. 206 H./821 M), atau Ibn Majah (w. 237 H/851 M), atau paling lambat Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H/922 M) (tafsir Jami’ al-Bayan ‘an takwil ayi Al-Qur’an). Kitab-kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis para mufasir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir semuanya menggunakan metode tahlili. [10]
Menurut Abd al-Hayy al-Farmawi, metode penafsiran tahlili adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat Al- Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[11] Penjelasan makna-makna ayat tersebut bisa mengenai makna kata, penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbabun-nuzul-nya, serta penafsiran yang dikutip dari nabi, sahabat, maupun tabi’in.[12]
Sebagaimana penjelasan M. Quraish Shihab, metode tahlili, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai   seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tercantum didalam mushaf.[13]
Dalam metode ini, mufasir menguraikan makna yang dikandung Al- Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya didalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian, kosakata, konotasi kalimatnya, latarbelakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.[14]
Metode penafsiran tahlili juga dapat dipahami sebagai metode yang berupaya menafsirkan ayat demi ayat Al- Qur’an dari setiap surah-surah dalam Al-Qur’an dengan seperangkat alat-alat penafsiran (antaranya mengenai asbabun-nuzul, munasabat, nasikh-mansukh, dan sebagainya) dalam Al-Qur’an.[15]
Dari definisi-definisi diatas penulis dapat memahami bahwa metode penafsiran tahlili, dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun didalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabat (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat atau para tabi’in yang kadang bercampur dengan pendapat penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh kecenderungan latarbelakang pendidikan dan corak pemikirannya. Sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan lain yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an.
2.    Tokoh Tafsir Tahlili dan Kitab Tafsirnya
Adapun tokoh-tokoh mufasir yang menggunakan metode tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dapat mengambil dalam bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’yi (pemikiran). Diantara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir bi al ma’tsur[16] ialah Jami’ al Bayan an Ta’wil Ayi al- Qur’an karangan Ibn Jarir Al Thabari (w. 310 H.), Ma’alim al Tazil karangan al-Baghawi (w. 516 H.), Tafsir Al- Qur’an al-‘Azhim (Tafsir ibn Katsir) karangan Ibn Katsir (w.774 H.), dan Al- Durr al-Mantsur fi al- Tafsir bi al-Ma’tsur karangan As-Suyuthi (w. 911 H.).[17]
Sedangkan tafsir tahlili yang mengambil bentuk tafsir al- ra’yi[18] antara lain : Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi (w. 691 H.), Al- Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H.), ‘Arais al- Bayan fi Haqaiq al-Qur’an karangan al- Syirazi (w. 606 H.), Al-Tafsir al- Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al- Fakhr al-Razi (w. 606. H), al Jawahir fi Tafsir al- Qur’an karangan Thanthawi Jauhari, Tafsir al- Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H.) dan lain-lain.[19]
3.    Ciri- ciri Metode Tahlili
            Jika kita mengkaji pola penafsiran yang diterapkan oleh pengarang kitab tafsir yang dinukilkan diatas, maka akan dipahami bahwa mufasir tersebut berusaha menjelaskan makna yang terkandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’yi. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan, serta menerangkan asbab-al-nuzul dari ayat yang ditafsirkan. Diungkapkan pula penafsiran yang pernah diberikan oleh Nabi Muhammad Saw., sahabat, tabi’in tabi’ al-tabi’in dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqh, bahasa, sastra dan sebagainya.[20]
Dilengkapi pula mengenai munasabat (kaitan) antara satu ayat dengan ayat yang lain, juga antara surah dengan surah yang lain. Disamping itu, tafsir yang mengikuti pendekatan metode analitis ini diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufasirnya, sehingga lahirlah berbagai corak penafsiran seperti tafsir al-fiqhi[21], tafsir al-shufi[22], tafsir al-falsafi[23] , tafsir al-‘ilmi[24] , tafsir al-adab al ijtima’i[25] , dan sebagainya. Penafsiran pada kosakata juga mendapat perhatian yang cukup besar dalam metode ini.
Dalam metode tafsir tahlili, terdapat bentuk penafsiran yaitu bi-al ma’tsur dan bi al –ra’yi, yang keduanya terdapat perbedaan. Karakteristik bentuk bi-al ma’tsur, maka pemikiran analisis mufasir kurang tampak didalamnya, sebaliknya pada penafsiran yang bi al-ra’yi, pemikiran analisis mufasir sangat dominan. [26]
Demikian dapat kita pahami, bahwa kedua bentuk penafsiran ini menggunakan riwayat, namun fungsinya berbeda. Pada tafsir bi al-ma’tsur, riwayat dijadikan dasar pijakan dan titik tolak serta subjek penafsiran. Sedangkan pada tafsir bi al-ra’yi, riwayat hanya berfungsi sebagai legitimasi untuk mendukung penafsiran mufasir.[27]
Untuk lebih memudahkan kita memahami metode tahlili (analitis) ini, adapun contoh  bentuk tafsir  al-ra’yi dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf  karangan Al-Zamakhsyari yaitu dalam menguraikan Surah Al-Baqarah ayat 115:
¬!ur  ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al- Baqarah; 115).[28]

{ وَلِلَّهِ المشرق والمغرب } أي بلاد المشرق والمغرب والأرض كلها لله هو مالكها ومتوليها { فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ } ففي أي مكان فعلتم التولية ، يعني تولية وجوهكم شطر القبلة بدليل قوله تعالى : { فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام وحيثما كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ } . { فَثَمَّ وَجْهُ الله } أي جهته التي أمر بها ورضيها . والمعنى أنكم إذا منعتم أن تصلوا في المسجد الحرام أو في بيت المقدس ، فقد جعلت لكم الأرض مسجداً فصلوا في أي بقعة شئتم من بقاعها ، وافعلوا التولية فيها فإن التولية ممكنة في كل مكان لا يختص [ إمكانها ] في مسجد دون مسجد ولا في مكان دون مكان { إِنَّ الله واسع } الرحمة يريد التوسعة على عباده والتيسير عليهم { عَلِيمٌ } بمصالحهم . وعن ابن عمر : نزلت في صلاة المسافر على الراحلة أينما توجهت . وعن عطاء : عميت القبلة على قوم فصلوا إلى أنحاء مختلفة ، فلما أصبحوا تبينوا خطأهم فعذروا . وقيل : معناه ( فأينما تولوا ) للدعاء والذكر ولم يرد الصلاة . وقرأ الحسن : فأينما تَولوا ، بفتح التاء من التولي يريد : فأينما توجهوا القبلة .[29]
Artinya : (وَلِلَّهِ المشرق والمغرب) maksudnya timur dan barat dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan Allah, Dia memilikinya dan menguasainya. (فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ) maka ke arah mana pun kamu menghadap yakni memalingkan wajahmu menghadap kiblat, sesuai dengan maksud firman Allah SWT :
.( فَوَلّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام وحيثما كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ) Niscaya (disana ada Allah) artinya ditempat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya (disitu). Yang dimaksud oleh ayat itu ialah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka (jangan khawatir sebab) seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang ditempat mana saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan ditempat itu; tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain; demikian pula tidak terikat oleh lokasi mana pun. (hal itu dimungkinkan karena) (Allah Maha Lapang dan Luas rahmat-Nya). Dia ingin memberikan kelonggaran dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, (lagi Maha Tahu) tentang kemaslahatan dari kebutuhan mereka. (penafsiran ini sesuai dengan latarbelakang turun ayat), menurut Ibn Umar, ayat ini turun berkenaaan dengan shalat musafir diatas kendaraan ia menghadap kearah mana kendaraannya menghadap. (tapi) menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kiblat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat diarah yang berbeda-beda (sesuai keyakinan masing-masing), setelah pagi hari ternyata mereka keliru menghadap kiblat, lantas mereka menyampaikan peristiwa itu kepada Rasul (maka turunlah ayat itu). Ada yang berpendapat kebolehan menghapar kearah mana saja itu adalah dalam berdo’a, bukan dalam sholat. Al hasan membaca ayat itu (فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ) dengan memberi harakat fathah pada huruf () sehingga bacaannya menjadi (تُوَلُّواْ) karena menurutnya kata itu berasal dari (تولىّ), yang berarti “kearah mana saja kamu menghadap kiblat”.[30]

Dari uraian dari tafsir al-Zamakhsyari, dia memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional, kemudian penafsirannya didukung dengan firman Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.Hal itu berarti, al-Zamakhsyari tidak terikat oleh riwayat. Kalau ada riwayat yang menjelaskan tentang hal itu maka dipakainya, tapi jika tidak ada riwayat tersebut, dia tetap melakukan penafsirannya.[31]
Dalam tafsir bi al-ra’yi yang menggunakan metode analitis (tahlili) ini, para mufasir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan interpretasi  terhadap ayat-ayat Al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar. Itulah sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’yi dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sebagaimana yang telah diuraikan diatas.[32]
Sedangkan contoh dari tafsir bentuk bil ma’tsur dari surat QS. Al- Baqarah; 115  yaitu:
Yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya (وَلِلَّهِ المشرق والمغرب) ialah Allah berwenang penuh atas pemilikan dan pengaturan keduanya seperti yang dikatakan: “rumah ini kepunyaan si fulan”. Artinya, dia berwenang penuh atas pemilikan rumah itu. Dengan demikan, firman-Nya (وَلِلَّهِ المشرق والمغرب) bermakna bahwa keduanya adalah milik dan makhluk-Nya. Kata (المشرق) sama artinya dengan (مطلع) yang kasrah lam, yakni menunjuk kepada “tempat terbit matahari”.
Jika ada yang bertanya betapa gerangan Allah menyebutkan timur dan barat secara khusus, bahwa Dia memiliki keduanya bukan yang lain? Para pakar tafsir berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat itu secara khusus. Kami akan menjelaskan pendapat yang terbaik dalam menafsirkan ayat itu setelah mengemukakan pendapat mereka. Ada yang berkata, Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam shalat mengahadap ke Baitul Maqdis; dan Rasul pernah melakukan hal yang sama pada suatu periode; kemudian mereka berpaling menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tersebut dan berkata: “Apa gerangan yang memalingkan mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan arah shalat?”. Allah SWT menjelaskan kepada mereka, “Barat dan Timur semuanya milik-Ku, Aku memalingkan muka hamba-hamba-Ku (dalam shalat) sesuai keinginan-Ku; maka kearah mana saja kamu mengahadap niscaya disitu ada Allah (Aku).
Dalam kasus ini, al- Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya: Abu Shalih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shalih: Mu’awiyah bin Shalih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali, dari ibn ‘Abbas, katanya: “Yang pertama sekali dinasikhkan adalah ayat tentang kiblat. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah memerintahkan menghadap Baitul Maqdis sebagai kiblat shalat. Hal itu membuat mereka gembira, lalu Rasul shalat menghadap Baitul Maqdis itu lebih dari 10 bulan. Tapi Rasul tetap menginginkan menghadap kiblat nabi Ibrahim (Ka’bah di Mekah). Dari itu dia selalu berdo’a sambil melihat ke langit; lantas Allah menurunkan (تد نرى تقلب وجهك فى السماء) hingga (فولواوجوهكم شطره)  sungguh Kami memperhatikan wajahmu sering menghadap ke langit… (maka (sekarang) hadapkanlah wajahmu (dalam shalat) kea rah Masjidil Haram (Ka’bah). Dengan demikian, timbul keraguan dikalangan kaum Yahudi, lalu mereka berkata: Mengapa dia memalingkan mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan arah shalat.” Untuk menjawab pertanyaan itu Allah menurunkan:
(قل َلِلَّهِ المشرق والمغرب) (katakanlah milik Allah Timur dan Barat) dan ditegaskan-Nya pula “kearah mana saja kamu menghadap, disana ada Allah”.)
Menurut ulama lain, ayat ini turun kepada Nabi saw. Sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap ke mana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi saw. bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai dengan firman-Nya tadi.  )   ( «!$# çmô_ur §NsVsù#q9uqè?$yJuZ÷ƒr'sù Ü>̍øópRùQ$#ur ä-̍ô±pRùQ$#¬!ur)
Telah bercerita kepadaku Abu al-Saib, katanya: ibn Fudhail telah menyampaikan kepadanya dari ‘Abd al- Malik ibn Abu Sulaiman, dari Sa’id ibn Jubair dari Ibn ‘Umar: “Bahwa dia (Ibn ‘Umar) telah berkata, ayat ini:
)«!$# çmô_ur §NsVsù#q9uqè?$yJuZ÷ƒr'sù) turun supaya kamu dapat shalat sunnat diatas kendaraanmu kearah mana saja kendaraan itu menghadap. Rasul bila kembali pulang dari Mekah dia shalat sunnat diatas kendaraannya sambil memberi isyarat dengan kepalanya kearah Madinah.
Jadi makna ayat itu ialah milik Allah penguasaan semua makhluk yang berada antara timur dan barat, dan Dialah yang membuat mereka beribadah sesuai kehendak-Nya; dan Dia pula yang memutuskan cara bagaimana mentaati-Nya, maka (dikatakan-Nya) Hadapkanlah mukamu sekalian hai kaum mukminun kearah-Ku, kearah mana saja kamu menghadap disana ada Aku.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa didalam ayat terjadi nasikh-mansukh, maka pendapat yang betul ialah, ayat ini berkonotasi umum tapi yang dimaksud adalah khusus. Dengan demikian, firman-Nya:
(«!$# çmô_ur §NsVsù#q9uqè?ا yJuZ÷ƒr'sù) boleh jadi keizinan untuk melakukan shalat dengan menghadap kearah mana saja ketika dalam perjalanan, dalam peperangan dan sebagainya. Baik shalat sunnat maupun shalat wajib sebagaimana ditegaskan oleh Ibn ‘Umar, al-Nakha’i, dan lain-lain yang sepaham dengan mereka.
Adapun firman-Nya ($yJuZ÷ƒr'sù) artinya “dimana, kearah mana” (#q9uqè?): penafsirannya yang terbaik ialah: “kamu menghaadap ke arah-Nya, kepada-Nya”. Seperti seorang berkata: “Saya menghadapkan muka kearahnya. Artinya saya menghadapinya.” Kita katakan ini penafsiran yang “terbaik” karena argumennya telah disepakati. Dan aneh sekali bila ada yang mengartikan (#q9uqè?) itu dengan “membelakanginya”; sedangkan («!$# çmô_ur) yang mereka hadapi itu berarti (قبلة الله). Kata (§NsVsù) artinya disana. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata (§NsVsù). Ada yang berkata “disana Kiblat Allah”. Yang dimaksud adalah “Wajah Allah” yang mereka menghadap kepada-Nya.
Jika ada yang bertanya, apakah kaitan ayat ini dengan ayat sebelumnya? Jawabannya adalah: “Ia merupakan lanjutan darinya.” Jadi makna kedua ayat itu menjadi: “Tak ada yang lebih aniaya dari kaum Nasrani yang melarang hamba-hamba Allah menyebut nama-Nya (berzikir) didalam masjid, dan mereka berusaha meruntuhkan masjid-masjid itu (umat islam tak usah khawatir akan berhenti zikir kepada Allah karena) milik Allah timur dan barat. Karena itu, kearah mana saja kamu menghadapkan wajah maka sebutlah Allah. Dengan adanya wajah Allah dimana-mana, kalian mendapat kemudahan meraih karunia-Nya, tanah-Nya (tempat bercocok tanam), dan negeri-Nya (tempat tinggal). Dia Maha Tahu semua yang kamu lakukan. Adanya usaha untuk meruntuhkan masjid Baitul Maqdis dan upaya mencegah berzikir tak perlu menjadi penghalang bagimu dalam melakukan zikrullah tersebut. Dimana pun kamu berada di muka bumi ini, niscaya kamu dapat menemukan wajah Allah.
(انّ الله واسعً عليمً ) yang dimaksud Allah dengan (واسعً) ialah, Allah menganugerahkan kepada semua makhluk-Nya kecukupan. Sedang firman-Nya (عليمً) berkonotasi bahwa Allah Maha Mengetahui semua perbuatan mereka; tak ada yang hilang atau yang luput dari ilmu Allah sedikit pun, malah sebaliknya, Dia Maha Mengetahui keseluruhannya).[33]
Mufasir menjelaskan penafsiran surah Al- Baqarah ayat 115 dengan mengemukakan berbagai riwayat dan pendapat para ulama, latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul),  penjelasan kosakata yang ada didalammya dan menggunakan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam penafsiran ini, riwayat mendominasi, sehingga uraian nya demikian panjang, sedangkan pendapat dari mufasir hanya sedikit.
Pendapat ini pun tidak berasal dari pribadi mufasir, namun merujuk pada pendapat ibn ‘umar dan al Nakha’i. Sehingga kita dapat memahami tafsir yang menggunakan metode analitis ini mengandung uraian yang lebih rinci, namun karena bentuknya al-ma’tsur, pendapat dari mufasirnya sukar ditemukan. Inilah salah satu ciri utama yang membedakan secara mencolok dari tafsir bi al-ra’yi (pemikiran).
Dalam tafsir bi al-ma’tsur tetap ada analisis tapi sebatas adanya riwayat. Artinya, penafsiran akan berjalan terus selama riwayat masih ada, jika riwayat habis, maka penafsiran akan berhenti pula. Berbeda halny adengan tafsir bi al-ra’yi, penafsiran akan berjalan terus, ada atau tidaknya riwayat, karena fungsi riwayat didalam tafsir bi al-ra’yi hanya sebagai legitimasi bagi suatu penafsiran, bukan sebagai titik tolak atau subjek. Sebaliknya, dalam tafsir bi-al ma’tsur, riwayat itulah yang menjadi subjek penafsirannya.
Selanjutnya, ciri metode analisis tafsir tahlili yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dari ayat pertama hingga ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan. Namun dapat kita pahami, metode analitis ini bukan hanya menafsirkan Al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan juga terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Artinya selama pembahasan tidak mengikuti pola perbandingan seperti dalam metode komparatif atau pola topikal dalam metode tematik, dan tidak juga global seperti dalam metode ijmali, penafsiran tersebut dapat digolongkan ke dalam tafsir analitis, walaupun uraiannya tidak mencakup keseluruhan mushaf (dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas) seperti tafsir Al –Manar (Rasyid Ridha) tetap dikategorikan sebagai tafsir analitis.[34]
4.    Langkah- langkah Metode Penafsiran Tahlili:
Langkah langkah metode penafsiran yang pada umumnya digunakan yaitu:
1.    Menerangkan makki dan madani di awal surah;
2.    Menerangkan munasabat
3.    Menjelaskan asbabun nuzul (jika ada)
4.    Menerangkan arti mufradat (kosakata), termasuk didalamnya kajian         bahasa yang mencakub i’rab dan balaghah
5.    Menerangkan unsur fasahah, bayan, dan i’jaz-nya.
6.    Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya
7.    Menjelaskan hukum yang dapat digali dari ayat yang dibahas.[35]
5.    Kelebihan dan kekurangan metode penafsiran tahlili :
Adapun kelebihan dari metode ini antara lain :
a.       Metode ini memiliki keluasan dan keutuhannya dalam memahami Al-Qur’an. Seseorang diajak memahami Al- Qur’an dari surah Al-Fatihah hingga surah An-Nas, memahami ayat dan surah dalam Al-Qur;an secara utuh dan menyeluruh, dengan memuat berbagai ide pikiran mufasir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.      Metode ini yang paling banyak memiliki corak dan ruang lingkup yang luas meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, fisafat, keilmuan, dan lainnya.[36] (penafsiran dari aspek kebahasaan : Tafsir al- Nasafi (abu al-Su’ud); filosofis :  Tafsir al-fakhr al Razi, aspek sains dan tekhnologi : Tafsir al Jawahir (al-Thanthawi al jauhari) dan sebagainya.[37]
c.       Metode ini paling banyak memungkinkan bagi seorang mufasir untuk mengambil ulasan panjang lebar (itnab), ataupun singkat. [38]
d.      Metode ini hendak menangkap pesan dan pemahaman Al-Qur’an tidak secara tekstual serta tidak terkurungi oleh lingkup historis-sosiologis yang bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan Al-Qur’an yang bersifat rasional dan universal dengan menelusuri kembali serta memperkenalkan peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar turunnya Al-Qur’an dan suasana sosial-psikologis Rasulullah serta para sahabat sewaktu Al-Qur’an diturunkan.[39]
Sedangkan kekurangan dari metode ini, antara lain yaitu :
a.       Kritik terhadap kajian metode tahlili umumnya yaitu tidak mendalam, tidak detail, tidak sistematis dan tuntas dalam menyelesaikan topik-topik yang dibahas, selain itu juga memerlukan waktu yang cukup panjang dan menuntut ketekunan.[40]
b.      Bisa menghanyutkan mufasir dalam pembahasannya, sehingga terlepas dari suasana ayat dan Al-Qur’an yang sedang dikajinya serta masuk dalam suasana lain, seperti suasana bahasa, fiqh, kalam, dan semacamnya, sehingga kita tidak sedang membaca tafsir Al-Qur’an.
c.       Metode ini bersifat parsial sehingga kurang mampu memberikan jawaban yang tuntas terhadap berbagai permasalahan kekinian yang dihadapi oleh masyarakat (masalah kontemporer seperti keadilan, kemanusiaan dan sebagainya).[41] Hal ini disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya.
Penjelasannya yaitu seperti dalam tafsir ibn katsir [42], ayat 1 Surah An-Nisa,  (;oyÏnºur<§øÿ¯R) ibnu katsir menafsirkannya dengan Adam as. Konsekuensinya, ketika dia menafsirkan lanjutan ayat itu ($ygy_÷ry $pk÷]ÏB ,n=yzur) ia menulis : “yaitu Siti Hawa.....diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri. Itu berarti, ungkapan (;oyÏnºur<§øÿ¯R) maksudnya dari Adam as. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok seperti kata (öNà6Å¡àÿRr&) didalam surah At-Taubah ayat 128 ditafsirkanya dengan “jenis (bangsa)”. Ketidak- konsistenan Ibn Katsir itu terasa sekali karena kata (نفس) dan (أنفس) itu keduanya secara etimologis berasal dari kata yang sama yaitu (ن), (ف), dan (س);sehingga membentuk (نفس). Hanya perbedaanya terletak pada bentuk kata (نفس) dalam mufrad (tunggal) dan (أنفس) dalam bentuk jamak. Perubahan bentuk kata, dari tunggal ke jamak hanya membawa perubahan konotasi dari kata tersebut, bukan perubahan makna. Setelah memperhatikan pemakaian kata tersebut dalam Al-Qur’an, bahwa penafsiran ((;oyÏnºur<§øÿ¯R) dengan Adam terasa kurang tepat karena adam tidak berkonotasi jenis atau bangsa, melainkan individu. Padahal Al-Qur’an memakai kata tersebut bukan dalam pengertian individu melainkan pengertian jenis/bangsa.[43]

d.      Melahirkan penafsiran subjektivitas. Metode ini memberikan peluang kepada mufasir untuk mengemukakan ide pemikirannya, sehingga kadang mufasir tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan secara subjektif, bisa jadi ia menafsirkan sesuai kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku. Sikap subjektif itu timbul berawal dari fanatisme mazhab yang terlalu mendalam, karena sikap ashabiyah serupa itu maka mereka tidak peduli, salah atau benar dalam penafsirannya, karena yang penting bagi mereka adalah mencari legitimasi kepada Al-Qur’an untuk membenarkan pemikiran dan tindakan, serta meyakinkan para pengikutnya bahwa ajaran yang mereka kembangkan adalah benar.[44]
e.       Dengan menggunakan metode ini membuka peluang yang lebih luas akan masuknya paham-paham yang tidak sejalan dengan pendapat jumhur ulama’, kisah-kisah israiliyat, dikarenakan metode ini memberikan ruang begitu luas kepada mufasir untuk menuangkan hasil pemikirannya. Dalam masalah cerita israiliyat ini, penafsiran mufasir dapat membentuk opini bahwa apa yang dikisahkan didalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, padahal belum tentu cocok dengan maksud yang sebenarnya.[45] Contohnya dalam penafsiran Al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 30 (ZpxÿÎ=yzÇÚöF{$# Îû ×@Ïã%y` ÎoTÎ)) sebagai dikatakannya : “Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah selama 40 tahun. Setelah kerangka itu siap, lewatlah para malaikat didepannya. Mereka terperanjat karena amat kagum melihat indahnya ciptaan Allah itu dan yang paling kagum ialah iblis, lalu dipukul-pukulnya kerangka Adam tersebut, lantas terdengar bunyi seperti periuk belanga dipukul. Seraya ia berucap: “untuk apa kau diciptakan”.[46]
Penafsiran al- Qurthubi ini tidak didukung oleh argumen yang kuat karena proses penciptaan Adam selama 40 tahun seperti digambarkan itu tidak ditemukan rujukannya, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Oleh karena itu terasa penafsiran tersebut dibuat-buat yang seharusnya tidak perlu, karena merusak citra Al-Quran sebagai kitab suci. Tapi, karena Al- Qurthubi mengikuti metode analitis maka secara yuridis formal dia tidak salah memasukkan pemikiran israiliyat ke dalam kitab tafsirnya, sebab metode ini memang terbuka untuk itu. Namun secara moral, Al- Qurthubi tetap bertanggungjawab atas semua pemikiran israiliyat yang masuk kedalam kitab tafsirnya tersebut.[47]

B.     Metode Tafsir al-Ijmali (Tafsir Global)
1.    Pengertian
Secara lughawi (etimologis), kata (الإجما لي) berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Tafsir ijmali ialah penafsiran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan secara umum (global), tanpa uraian, pembahasan panjang, rinci dan luas.[48]
Metode ijmali adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Didalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada didalam musfaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama’ dan mudah dipahami oleh semua orang. Disamping itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Quran, padahal yang di dengarnya itu adalah tafsirannya. [49]
Pembahasan dalam metode ijmali yang disertai dengan ayat-ayat Al-Qur’an ini, seakan Al-Qur’an itu sendiri yang berbicara, membuat makna-makna dan maksud ayat menjadi jelas. Demikianlah, lafadz-lafadz Al-Qur’an tersebut memperjelas tujuan dan manfaat yang diharapkan.[50]
Dari definisi tersebut, menurut hemat penulis, metode penafsiran ijmali adalah metode menafsirkan Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan susunan yang ada didalam mushaf.
2.    Tokoh Tafsir Tahlili dan Kitab Tafsirnya
Adapun kitab tafsir yang menggunakan metode penafsiran al manhaj al-Ijmali (metode global) yaitu, diantaranya : Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Farid Wajdi, Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al –Buhuts al-Islamiyyat, Tafsir al-Jalalain karangan Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din Abd al–Rahman al-Suyuthi (849-911 H/1445-1505 M),[51] Marah Labid Tafsir al-Nawawi/ Tafsir al –Munir li Ma’alim al-Tanzil karangan al-Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M) al –Tafsir al-farid li Al-Qur’an al-Majid karangan Dr. Muhammad Abd al Mun’im, kitab al-Tashil li’ Ulum al-Tanzil susunan Muhammad bin Ahmad bin Juzzay al-Kalbi al Gharnathi al-Andalusi (741-792 H/1340-1389 M), Fath Al-Bayan fi Maqashid Al-Qur’an karangan Imam al-Mujtahid, Shiddiq Hasan Khan dan lain sebagainya.[52]

3.    Ciri-ciri Metode Global :
1.      Mufasirnya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir secara global, tanpa perbandingan, penetapan judul / tema dan mengemukakan pendapat serta ide-idenya secara luas. [53]
2.      Kitab tafsir yang menggunakan metode global mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan.[54]
3.      Ciri metode global ini tidak terletak pada jumlah ayat yang ditafsirkan, apakah keseluruhan mushaf atau sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur ialah pola dan sistematika pembahasan. Selama mufasir hanya menafsirkan suatu ayat secara ringkas dan singkat, tanpa uraian detail, tanpa perbandingan dan tidak pula mengikuti suatu tema tertentu, maka penafsiran tersebut dapat dikategorikan kedalam tafsir ijmali.[55]

4.    Kelebihan Metode Ijmali :
1.    Praktis dan mudah dipahami, sangat ringkas dan bersifat umum. Tafsir yang menggunakan metode ijmali terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Pemahaman Al-Qur’an segera dapat diserap oleh pembacanya, karena menyajikan kesimpulan dan pokok-pokok  pikiran yang dirumuskan dari Al-Qur’an.
2.    Terhindar dari penafsiran yang besifat israiliyat, dan pemikiran yang kadang terlalu jauh menyimpang dari pemahaman ayat Al-Qur’an, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga tidak memungkinkan mufasir untuk memasukkan pemikiran spekulatif dan unsur pemikiran yang jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an.
3.    Akrab dengan bahasa Al-Qur’an. Uraian yang dimuat dalam metode ijmali terasa sangat singkat dan padat. Penggunaan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa Al-Qur’an dan pemahaman kosakata dari ayat-ayat suci lebih mudah didapatkan dari pada ketiga metode yang lain. Didalam tafsir ijmali, mufasir langsung menjelaskan pengertian kata atau ayat dengan sinonimnya dan tidak mengemukakan ide-ide atau pendapatnya secara pribadi.[56]

5.    Kekurangan Metode Ijmali :
1.    Menjadikan penunjuk Al-Qur’an bersifat parsial. Maksudnya, seakan Al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh atau tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya, padahal kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pemahaman yang utuh.[57]
2.    Tidak terdapat ruang untuk mengemukakan analisis mufasir yang memadai atau uraian yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman satu ayat. Oleh karena itu, jika menginginkan analisis yang rinci, maka metode ini tidak dapat diandalkan.[58]
Adapun contoh dari tafsir dengan metode Ijmali ini adalah :
تفسير الجلا لين (البقره: ١    )
الم (1)
{ الم } الله أعلم بمراده بذلك .
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)
{ ذلك } أي هذا { الكتاب } الذي يقرؤه محمد { لاَ رَيْبَ } لا شك { فِيهِ } أنه من عند الله وجملة النفي خبر مبتدؤه ذلك والإشارة به للتعظيم { هُدًى } خبر ثانٍ أي هاد { لّلْمُتَّقِينَ } الصائرين إلى التقوى بامتثال الأوامر واجتناب النواهي لاتقائهم بذلك النار .
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
{ الذين يُؤْمِنُونَ } يصدِّقون { بالغيب } بما غاب عنهم من البعث والجنة والنار { وَيُقِيمُونَ الصلاة } أي يأتون بها بحقوقها { وَمِمَّا رزقناهم } أعطيناهم { يُنفِقُونَ } في طاعة الله .
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4)
{ والذين يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ } أي القرآن { وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ } أي التوراة والإنجيل وغيرهما        { وبالأخرة هُمْ يُوقِنُونَ } يعلمون .
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
{ أولئك } الموصوفون بما ذكر { على هُدًى مّن رَّبّهِمْ وأولئك هُمُ المفلحون } الفائزون بالجنة الناجون من النار .[59]

Artinya : (Atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Alif lam mim), Allah yang lebih mengetahui maksud dari (الم) itu. Itu artinya, (kitab) yang dibaca kan oleh Muhammad ini tidak ada keraguan (syak) didalamnya, bahwa kitab itu datang dari Allah. Kalimat negatif (لَا رَيْبَ فِيهِ) berfungsi sebagai predikat, dan subjeknya ialah (ذلك). Lafal (ذلك) ini memberi isyarat akan keagungan kitab suci itu (هُدًى) yang berfungsi sebagai predikat kedua bagi(ذلك) mengandung arti permberi petunjuk (bagi orang-orang yang bertaqwa) yang selalu bertaqwa dengan mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya agar mereka terpelihara dari azab neraka (yakni mereka yang mempercayai) sepenuh hati (akan eksistensi yang ghaib), seperti kebangkitan di akhirat kelak, surga dan neraka; (mendirikan shalat) dengan memenuhi semua persyaratannya; sebagian dari anugrah yang Kami berikan, mereka infakkan) dijalan Allah; )dan mereka yang mempercayai kitab yang diturunkan kepadamu) yakni Al-Qur’an; dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum kamu), seperti Taurat, Injil dan lain-lain; (serta mereka meyakini pula akan adanya hari akhirat) sebenar-benar yakin. (orang-orang) yang mempunyai sifat seperti disebutkan itulah (yang berada atas petunjuk dari Tuhan, dan mereka itu pulalah yang akan beruntung) dengan memenangkan surga serta lolos dari neraka.[60]

Penafsiran yang diberikan oleh Al-Jalalain terhadap surah Al-Baqarah ayat 1-5 itu tampak sangat singkat dan global, sehingga tidak ditemui rincian ataupun penjelasan yang memadai. Meskipun tafsir Al-Jalalain ini hanya menawarkan sedikit hal baru dalam tafsir-nya, namun tulisan yang jelas, singkat dan sederhana itu, membuat tafsir klasik ini mudah diakses oleh para pembaca.[61]
IV. Kesimpulan
Metode penafsiran tahlili yaitu dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun didalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabat (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat atau para tabi’in yang kadang bercampur dengan pendapat penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh kecenderungan latarbelakang pendidikan dan corak pemikirannya. Sedangkan, metode ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca. Serta sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat didalam mushaf.
Apa dan bagaimanapun bentuk metodologi, ia tetap merupakan produk ijtihadi, yakni hasil olah pikir manusia. Manusia, meskipun dikaruniai kepintaran yang luar biasa jauh melebihi kemampuan penalaran yang dimiliki makhluk lain, mereka tetap memiliki kelemahan dan keterbatasan, seperti sifat lupa, lalai dan sebagainya. Dengan demikian, setiap produk manusia, baik berbentuk fisik maupun non-fisik, termasuk metodologi tafsir, tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahannya. Hal ini menunjukkan bahwa produk ijtihad tersebut adalah produk manusia yang memiliki kebenaran relatif, jauh dari kebenaran Mutlak, karena hal itu hanya milik Allah Swt. Perlu kita pahami bersama, bahwa kelebihan dan kekurangan metode penafsiran ini, bukan merupakan sifat negatif bagi metode tersebut, tetapi menunjukkan ciri khas yang ada pada metode tersebut.[62]
Pembacaan kritis terhadap metodologi kitab tafsir sebaiknya kita lakukan secara sinergis, maksudnya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan satu metode penafsiran Al-Quran untuk semua ayat-ayatnya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan kontemporer, misalnya, akan sulit bila didekati dengan metode tafsir tahlili atau tafsir ijmali semata-mata; tanpa melibatkan metode tafsir yang lain (metode tafsir maudhu’i (kajian tematik) atau metode tafsir muqaran (komparasi) yang demikian cukup dinamis. Demikian pula kesulitan serupa akan dialami mufasir yang hanya mengunggulkan metode tafsir tematik padahal persoalan yang dihadapi demikian sederhana atau pun bila masyarakat bersangkutan masih banyak yang hanya memerlukan penafsiran secara global sebelum menuju ke arah penafsiran yang bersifat tahlili, muqaran maupun maudhu’i.[63]
Dalam hal ini, metode tafsir digunakan sebagai sarana/cara untuk menggali isi kandungan ayat-ayat Al- Qur’an, bukan sebagai tujuan yang hendak dicapai.[64] Maka, menurut hemat penulis, penggunaan berbagai metode penafsiran Al-Qur’an perlu dipadukan secara sinergis baik dalam saat-saat menafsirkan kelompok ayat yang bersamaan maupun dalam penafsiran kelompok ayat-ayat yang berbeda.
Banyak pendapat yang memahami bahwa penyajian empat metode (ijmali, tahlili, muqarran, dan maudhu’i) yang diklasifikasikan oleh Abd Hayy al Farmawi itu sudah paten. Misalnya, memperkenalkan isi kandungan Al- Qur’an secara umum tetapi menyeluruh; penafsirannya perlu menggunakan metode tafsir ijmali dan tahlili. Sebaliknya, jika yang dikehendaki adalah menafsirkan Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, apalagi untuk menyelesaikan berbagai problema kehidupan berdasarkan Al-Qur’an, maka metode yang digunakan yaitu metode muqaran (komparasi) dan metode maudhu’i (tematik).[65]
Namun kita sebagai akademisi, hendaknya berpikir secara komprehensif, bahwa penafsiran itu ukurannnya dilihat dari sejauhmana analisis, ketelitian dan kedalaman pemikiran tafsirnya, bukan hanya dari metode yang dipakai. Hal itu harus diiringi dengan mencakup unsur-unsur persyaratan penafsiran dan mengindari terjadinya overlap dalam pemahaman kita memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

V.    PENUTUP
Demikianlah makalah sederhana yang dapat penulis susun terkait metodologi tafsir tahlili dan ijmali. Kami menyadari penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi. Abd al-Hayy. al Bidayah fi al Tafsir al-Mawdhu’i: Dirasah Manhajiyyah Mawdhu’iyah. Mesir: Mathba’ah al Hadharat al–‘Arabiyah. 1977.
Al-Mahalli dan As-Suyuthi. Tafsir al-Jalalain. Dar Al-Fikr: 1989 (bersumber dari Maktabah Syamilah)
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahis fi Ulumil Qur’an)/Studi ilmu-ilmu Qur’an Terj. Mudzakir AS. 2013. Bogor : Pustaka Litera AntarNusa. Judul asli : (cet. Ke-3 tahun 1973
Al-Zamakhsyari, Abu Al Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar. Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil.. Bairut. Dar al-Ma’rifah. I. t.th.. hlm 306-307( bersumber dari  Maktabah Syamilah)
Al-Qurthubi, Abu ‘Abdillah Muhammad.  Al-Jami’ li ahkam al Qur’an( Tafsir al –Qurthubi) juz 1. I. Beirut: Dar Ihya’ al Turats al-Arabi. 1985
Amin Suma. Muhammad. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers. 2013
Ash-Shiddieqy. Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1998
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. 1996
Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan). Jakarta: Kementrian Agama RI. 2012.
Kementrian Agama RI.  Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadis Shahih. Bandung: Syamil Quran. 2010
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2004
Mattson, Ingrid. The Story of the Qur’an/Ulumul Qur’an Zaman Kita. Terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman. 2013
Shahrur, Muhammad. al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer. Terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri . Yogyakarta: eLSAQ Press. 2008.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005


[1] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 15
[2] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 378
[3] Metodologi berasal dari kata method dan logos. Dalam bahasa indonesia, method, dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan  dan sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam bahasa arabistilah metode dikenal sebagai manhaj. Sedangkan logos diartikan sebagai ilmu pengetahuan. (lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 37
[4] Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah/Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer. Diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri , (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm.xvii
[5] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 379
[6] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 38
[7] Abd al-Hayyi  al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyah  (Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997)  hlm. 21
[8] Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Beirut: Darul-Ihya at Turas al ‘Arai, 2001, hlm. 228 (Dikutip dalam Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012)
[9] Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 68
[10] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm 379
[11] Abd al-Hayyi  al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyah  (Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997) ,hlm. 24
[12]Ibid.,hlm. 17
[13] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dn Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007 hlm.129-130
[14] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 31
[15]Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 68
[16] Tafsir bi al ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut syarat-syarat dan adab bagi mufasir. Yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, dengan Sunnah, perkataan sahabatdan juga dari tabi’in.(lihat Manna’ Khalil al- Qathan, Mabahis fi Ulumil Qur’an/Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan bahasa Indonesia oleh Mudzakir AS, cet.16, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013)  hlm. 482
[17] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998), hlm. 32
[18]Tafsir bi al ra’yi ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya, mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri (hasil ijtihad dan penalaran) dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata. (lihat Manna’ Khalil al- Qathan, Mabahis fi Ulumil Qur’an/ Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terjemahan bahasa Indonesia oleh Mudzakir AS, cet.16, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013)  hlm. 488
[19] Ibid.,hlm. 32
[20] Ibid., hlm. 33
[21] Tafsir al-fiqhi, yakni corak tafsir yang dalam pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam.(lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 44
[22] Tafsir al-Shufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris (kiasan) dan menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik (berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak dari seorang sufi dalam suluknya.(Ibid. hlm. 44)
[23]Tafsir al-falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pendekatan filosofis. (Ibid. hlm. 44)
[24]Tafsir ‘Ilmi adalah tafsir yang menetapkan istilah ilmu-ilmu pengetahuan dalam penuturan Al-Qur’an. Tafsir ‘Ilmi berusaha menggali dimensi ilmu yang dikandung Al-Qur’an dan berusaha mengungkap berbagai pendapat keilmuan yang bersifat falsafi (lihat Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Al-Qur’an. (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 109
[25] Tafsir al-adab al ijtima’i adalah corak penafsiran Al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan, perkembangan kebudayaan masyarakat dengan menggunakan keindahan gaya bahasa.(lihat M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 45
[26] Ibid., hlm. 51
[27] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.51
[28] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadis Shahih, Bandung: Syamil Quran, 2010), hlm. 18
[29]Abu Al Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi wujuh al-Ta’wil, (selanjutnya disebut Tafsir al-Kasysyaf), Bairut, Dar al-Ma’rifah, I, t.th., hlm 306-307( bersumber dari  Maktabah syamilah)
[30] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.48-49
[31]Ibid., hlm., 50
[32] Ibid.,  hlm,50
[33] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.44-45
[34] Ibid., hlm. 52
[35] Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm.69
[36] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381
[37] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.53-54
[38]Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 69
[39] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 191
[40] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381
[41] Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta:Kementerian Agama RI, 2012), hlm.70
[42] Abu al-Fida al-Hafizh ibn al-Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim(Tafsir Ibn al-Katsir) Bairut, Daral-Fikr, I, 1992, hlm 552 (dikutip dalam  Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.55
[43] Ibid.,  hlm. 55-.56
[44]Ibid. hlm. 58-59
[45] Ibid., hlm.60
[46]Abu ‘Abdillah Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkam al Qur’an (tafsir al –Qurthubi) juz 1. I.(Beirut: Dar Ihya’ al Turats al-Arabi. 1985) hlm. 280
[47] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.60-61
[48] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381
[49] Abd al-Hayyi  al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, (Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyah  (Mathba’ah al-Hadarah al-Arabiyyah, 1997)  hlm.43-44
[50] Ibid.,hlm. 44
[51] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998),hlm. 13
[52] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 382
[53] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.14
[54] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 381 
[55] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.21
[56] Ibid., hlm.24
[57] Sebagai contoh dari kelemahan pemahaman metode ijmali ini, yaitu menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial; dalam  firman Allah dalam surah ar-Ra’du ayat 11 dan surah al-anfal ayat 53 :
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3…..  )الرعد: ١١ )
y7Ï9ºsŒ  cr'Î/ ©!$# öNs9 à7tƒ #ZŽÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/    ì )…. الأنفال: ٥٣ )
Kedua ayat tersebut ditafsirkan oleh Al-Jalalain sebagai berikut:
Surah Ar-R’du ayat 11 :(Sesungguhnya Allah tidak megubah apa yang ada pada suatu kaum) tidak mencabut dari mereka nikmatnya (kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka), dari sifat-sifat yang bagus dan terpuji menjadi perbuatan maksiat. Sedangkan dalam Surah Al-Anfal ayat 53 : (yang demikian itu) yakni menyiksa orang-orang kafir (dikarenakan)sesungguhnya (Allah selamanya tidak pernah mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum) dengan menggantinya dengan kutukan (kecuali mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri), yakni mereka mengganti nikmat itu dengan kufur seperti perbuatan para kafir Mekkah yang menukar anugerah makanan, keamanan dan kebangkitan Nabi dengan sikap ingkar, menghalangi agama Allah dan memerangi umat Islam.Kedua penafisiran itu tidak tampak sinkron, dalam ayat pertama (as-Suyuthi) menafsirkan ö)NÍkŦàÿRr'Î/ $tB #rçŽÉitóムӮLym( itu dengan :” mengubah sifat-sifat yang baik dengan perbuatan maksiat”. Sementara pada ayat kedua untuk ungkapan yang sama, dia memberikan penafsiran yang berbeda yaitu : “mengganti nikmat itu dengan kufur”. Jadi penafsiranyang pertama bersifat abstrak (perbuatan maksiat) dan yang kedua bersifat konkret (kufur). (Lihat Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.25-26)
[58] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm. 27
[59] Al Mahalli dan Al Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, Dar Al-Fikr, 1989 (bersumber dari Maktabah syamilah)
[60] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.15-16
[61] Ingrid Mattson, The Story of the Qur’an/Ulumul Qur’an Zaman Kita. penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Zaman, 2013) hlm.273
[62] Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  Offset, 1998), hlm.21- 22
[63] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm. 436
[64] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta:Rajawali Press, 2013), hlm.., hlm. 436.
[65] Ibid., hlm. 437

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda