KONDISI MASYARAKAT MEKKAH – MADINAH, TERUTAMA
PARA SAHABAT DAN TABIIN DIMASA PERIWAYATAN HADITS
MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Erfan
Soebahar,
M.Ag
Disusun
Oleh:
Nama : MASHADI
NIM : 1400018029
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
2014
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan .........................................................................
A. LatarBelakang.............................................................................1
B. RumusanMasalah …………………………...……………........2
C. Tujuan…………………………………………………………..2
BAB II Pembahasan
A. Gambaran Kondisi
Masyarakat Makkah dan Madinah pada Masa Awal Islam……………………………………
1. Kondisi
Masyarakat Makkah…………………………………...3
2. Kondisi Masyarakat Madinah......................................................4
B. kondisi para shahabat dan tabi'in
pada masa periwayatan hadits
1.
Peran para
shahabat nabi dalam periwayatan hadits…………...7
2. Peran para Tabi'in dalam periwayatan hadits………………......9
BAB III Penutup
A. Kesimpulan................................................................................12
B.
Saran .........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kondisi masyarakat kota Makkah – Madinah sebelum Nabi
Muhammad Saw diutus dikota tersebut kebanyakan, mayoritas masyarakat penduduk
kota senang dengan kebiasaan jahiliyyah seperti menyembah berhala, api, matahari
dan lainya sehingga Allah telah mengutus Rasulnya yang terakhir yaitu Nabi Muhammad
Saw guna untuk menyampaikan risalah[1] ketuhanan kepada seluruh
umat manusia.
Dan segala ucapan, perbuatan,
ketetapan bahkan apasaja yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw menjadi uswah bagi para sahabat dan umat Islam
yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya
seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal
Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk meng abadikan ayat-ayat
al-Qur'an diatas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.
Tetapi tidak
demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk
dan keterangan dari Nabi Muhammad Saw dalam
menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur'an.
Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama
hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai
wafatnya Nabi Muhammad Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan
hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya
sahabat yang wafat[2],
penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat
bagi generasi umat Islam setelahnya
dalam memecahkan permasalahan.
Nabi Muhammad
Saw adalah teladan yang senantiasa dicontoh para Shahabat, menjadi
referensi kehidupan para shahabat oleh sebab itu, tidak mengherankan jika hampir setiap gerak-gerik Nabi Muhammad Saw diketahui dan diriwayatkan oleh para shahabat dengan
demikian bagi mereka Nabi Muhammad saw
adalah sumber ilmu pengetahuan dan ilmu agama.
Dan Nabi
Muhammad Saw dalam menyelesaikan semua persoalan itu berdasarkan petunjuk
al-qur’an dan disaksikan oleh para shahabat, jika beliau menemukan suatu norma hukum
yang bisa dijadikan landasan pengambilan suatu keputusan maka beliau memutuskan
berdasarkan norma hukum itu, jika beliau tidak menemukanya adakalanya beliau
berijtihad atau menunggu turunya wahyu sebagai penjelas hukum
Allah[3].
Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang terkait dengan kondisi masa
sahabat dan tabi’in dalam periwayatan hadits
B. RUMUSAN MASALAH
Makalah ini
dibuat guna untuk
mengetahui
1. bagaimana
sejarah kondisi masyarakat makkah-madinah pada masa
Nabi Muhammad saw.
2. Kondisipara Shahabat dan tabiin dalam
periwayatan hadist Nabi Muhammad Saw, yang
diharapkan dapat mengetahui sikap atau
tindakan para Shahabat
dan para tabiin dalam periwayatan hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Kondisi Masyarakat Makkah dan Madinah
pada Masa awal Islam
1. Kondisi Masyarakat
Makkah Hadis yang Terbentuk pada Masa itu.
Menjelang kedatangan agama Islam semua penduduk Makkah
mengaku sebagai keturunan Quraisy atau Fihr atau an-Nadir, namun demikian
mereka terbagi-bagi lagi dalam beberapa kabilah yang paling berpengaruh adalah
Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Naufal, Bani Zuhra, Bani Asad, Bani Ta’im, Bani
Makhzum, Bani ‘Adi, Bani Djamah, dan Bani Sahm.
Kota Makkah merupakan tempat tinggal suku-suku Quraisy, yang
sewaktu-waktu pada musim panas pindah ke Syam (Suriah) dan pada musim dingin ke
Yaman, tetapi waktu itu sudah ada pengaturan tentang tugas-tugas yang
menyangkut ibadah dan sosial kemasyarakatan. Pembagian tugas tersebut antara
lain: Hijabah (memegang kunci pintu
Ka’bah), Siqayah (mengawasi mata air
zamzam), Rifadah (menyediakan makanan
bagi para tamu), Nadwah (memimpin
rapat antar suku), Liwa (mengatur
panji-panji perang), dan Qiyadah
(memimpin pasukan perang jika harus terjadi perang).[4]
Mengingat pentingnya sebuah suku dalam komunitas Makkah,
maka Nabi Muhammad Saw, diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam dikalangan
kerabatnya -seperti besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Makkah
yang karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Nabi Muhammad Saw ketika ia
mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan mengajak mereka ke jalan
Allah, namun ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani
dan mau menjadi pembantunya, puluhan orang yang hadir mentertawakan Nabi
Muhammad Saw dan Ali bin Abi Thalib tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa
di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badar empat belas
tahun kemudian sebagai bukti kesungguhan Ali bin Abi thalib.
Besarnya pengaruh suku Quraisy di Makkah jugalah yang salah
satunya bisa membuat Hamzah memeluk Islam yakni ketika Abu Jahl dari bani
Hanzhalah mencaci dan mengejek Nabi Muhammad Saw lalu orang-orang melapor pada
Hamzah dan serta merta Hamzah-lah yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur
panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit suku saat itu
tidak segera padam.
Ketika Abu Thalib masih hidup bani Hasyim memberikan
perlindungan pada Nabi Muhammad Saw, dan tidak ada yang berani membunuh Nabi
Muhammad Saw karena Baninya akan membalas nantinya ketika Islam hadir di Makkah
dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada fase Makkah bercirikan ajaran
Tauhid, tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata juga seruan
Islam akan keadilan sosial, seperti perhatian pada nasib anak yatim fakir
miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia
yang menimbulkan penolakan keras penduduk Makkah pada Nabi Muhammad Saw bagi
mereka agama ini tidak hanya merusak ideologi dan teologi mereka tetapi juga
merombak kehidupan sosial mereka.
Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat
Islam pada kurun Makkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri
dan bebas dari urusan Bani. Negara Islam juga belum terbentuk pada dakwah Islam
fase Makkah, ajaran Islam pada fase Makkah bercirikan tauhid dan dalam titik
tertentu terjadi radikalisasi makna dalam pandangan Arab jahiliyyah yang
berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Makkah kita akan
melihat bagaimana ciri umum ajaran Islam dan masyarakat Islam berkembang pada
fase Madinah, untuk itu mari kita bahas dakwah Islam fase Madinah.
2. Kondisi Masyarakat Madinah dan
Hadis yang terbentuk Masa itu
Perkembangan Islam pada masa Madinah setelah Nabi Muhammad
Saw hijrah bisa dikatakan sebagai masa penyempurnaan Agama Islam, Nabi Muhammad
Saw hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyong-konyong) ada
beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua) kedua Ba`iat ini
merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam , kehadiran Nabi
Muhammad melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat
menarik untuk dibahas, peta demografis Madinah saat itu adalah sebagai berikut:
1.
Kaum Muslimin yang terdiri dari
Muhajirin dan Anshar
2.
Anggota suku Aus dan Khazraj yang
masih berada pada tingkat nominal Muslim, bahkan ada yang secara rahasia
memusuhi Nabi Muhammad Saw.
3.
Anggota suku Aus dan Khazraj yang
masih menganut paganism
4.
Orang-orang Yahudi yang terbagi
dalam tiga suku utama: Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidloh.
Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan konflik
dan tension, pertentangan suku Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah
Islam, bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di
kedua Bani tersebut karena kedua Bani tersebut membutuhkan orang ketiga dalam
konflik diantara mereka hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik,adapun
diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri,tentu saja
Yahudi menerima Rosul dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Rosul
mampu merangkul mereka paling tidak
sampai Rosul eksis di Madinah
Berbagai macam komunitas yang ada di Madinah membuat Rasul
melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal
dengan Piagam Madinah, Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting
dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Rosul, selaku mandataris Piagam
Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tidak
satupun ayat al-Qur'an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara.
Dari sudut pandang ilmu
politik obyek yang dipimpin oleh Nabi Muhammad
memenuhi syarat untuk disebut sebagai Negara, syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk
dan pemerintahan yang berdaulat, kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen
negara tersebut walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi
Muhammad dipandang bukan saja sebagai pemimpin rohani tetapi juga sebagai
kepala Negara.
Kita beralih pada persoalan ajaran Islam pada fase Madinah
ini ajaran Islam merupakan kelanjutan dari dakwah fase Makkah bila pada fase
Makkah ayat tentang hukum belum banyak
diturunkan maka pada fase Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun
melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya ini bisa dipahami mengingat hukum
bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk, juga dapat dicatat
kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini satu contoh
menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba setting
sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah perlawanan
dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan
riba yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik
bagi praktek riba kaum Yahudi.
Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur sempurna
juga ayat tentang etika tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur
mendekati titik kesempurnaan dan mencapai puncaknya setelah Rosul wafat, dimulailah
era Khulafa’ al-Rasyidin tidak dapat dipungkiri di Madinah Islam sempurna dan
disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta.
Madinah merupakan Dar al-Hijrah ibukotanegara Islam yang
menampung Nabi Muhammad, sesudah hijrah disertai para sahabat ia menjadi saksi
pembentukan syariat masa permulaan Islam di masjid-masjidnya, kaum muslimin
mengitari Nabi Muhammad , menerima Al-Qur’an dan mendengarkan hadits, disanalah
mereka menyaksikan keputusan Nabi Muhammad pembagian harta rampasan yang beliau
lakukan pembakaran semangat para prajurit dan reaksi beliau terhadap para musuh
kesanalah kaum muslimin Muhajirin mengungsi dengan membawa agama mereka, dibawah
tekanan kaum Quraisy dan kabilah-kabilah dibagian tepi kawasan Arabia.
Di Madinah kita bisa melihat Shahabat-shahabat besar yang
sangat mendalam ilmunya mereka juga memiliki peranan yang sangat besar dalam
masalah hadits, antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abu Hurairah,
‘Aisyah Umm al-Mukminin, Abdullah ibn Umar, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Zaid ibn
Tsabit yang popular dengan pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Qur’an, hadits
dan khususnya fara’idh.
Di Madinah juga lulus beberapa tabi’in besar, yang antara
lain: Sa’id ibn al-Musayyab, ‘Urwah ibn az-Zubair, Ibn Syihab az-Zuhriy,
Ubaidillah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abdillah ibn Umar, Nabi Muhammad
Saw ibn al-Munkadir dan lain-lain yang menjadi rujukan umat dalam masalah
sunnah, qadha’, dan fatwa.[5]
B. kondisi para shahabat dan tabi'in pada masa periwayatan
hadits
1. Peran para Shahabat Nabi Muhammad dalam periwayatan
hadits
a. Hadits Pada Masa Shahabat
Setelah
Nabi
Muhammad Saw meninggal, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Shabat
Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-Siddiq ,
kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab , Usman bin Affan , dan Ali bin Abi
Thalib Keempat khalifah ini dikenal
dengan "AI-khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman
"Sahabat Besar".
Pada masa itu perhatian para shahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, sehingga periwayatan hadis belum begitu berkembang dan tampak
adanya pembatasan. Para ulama menganggapnya sebagai al-tasabbut wa al-iqlal
min al-riwayah[6]. Kehatian-hatian dan usaha pembatasan periwayatan hadis tersebut
dilakukan para sahabat karena mereka khawatir terjadi kekeliruan, yang padahal
mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-Qur’an. Oleh
karena itu, hadis pun harus terjaga dari kekeliruannya, sebagaimana al-Qur’an[7].
Shahabat) ( صحابيsecara
etimologis berasal
dari kata asshuhbah
) (صحبة artinya persahabatan, perkawanan , pertemanan , secara terminologi Shahabat adalah
orang yang ketika hidup bertemu dengan Nabi Muhammad Saw..[8]
Imam bhukahari dalam kitab shohihnya berkata ( “ Siapapun orang Islam yang
pernah bershahabat dengan Nabi Saw, atau melihat beliau, ia termasuk diantara
shahabat beliau”) dalam keadaan Islam dan meninggalpun dalam kondisi Islam[9]. Pada periode ini , masa shahabat
r.a mereka mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam meriwatkan hadits
baik melalui penulisan ataupun dengan cara khalaqoh ( menyampaikan hadist
langsung kepada shahabat yang masih kecil atau tabiin ( shahabat lain ) dengan
demikian para shahabat memiliki komitmet terhadap kitab allah , mereka
memeliharanya dalam lembaran – lembaran ,mushab ,dan didalam hati mereka . Pada
masa periode inilah sejarah perkembangan hadits tumbuh dan berkembang terutama
pada masa Shahabat khususnya masa khulafa' Al-Rasyidin (Abu Bakar ,Umar ibn
khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi tholib) yang berlangsung sekitar 11 H
sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa Shahabat besar[10].
Karena pada masa ini perhatian para
Shahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur'an maka
periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatanya berusaha
membatasinya, oleh karena itu ,masa ini oleh para ulama' dianggap sebagai masa
yang menunjukkan pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wal-iqlal min al-riwayah)[11]. Ada beberapa Shahabat yang
meriwayatkat hadits cukup banyak diantaranya: Abu hurairah, Abdullah ibnu Umar,
Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi said
al-khudri[12]. Secara khususjika diamati, mengapa para
sahabat membatasi periwayatan, maka dapat temukan jawaban di sekitar hal ini
yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian yaitu:
1. Pada masa Abu Bakar, pusat perhatian
tertuju pada pemecahan masalah politik khususnya konsolidasi dan pemulihan
kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam .Oleh sebab itu gerakan periwayatan dengan
sendirinya terbatas.
2. Shahabat
masih dekat dengan era Rosul Saw dimana umumnya mereka mengetahui Sunnah sehingga persoalan-persoalan
hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka, memang
diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang
ditemui para sahaba, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan
generasi setelah Shahabatdalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan
baru atau salah seorang di antara mereka tidak mengetahui adanya Sunnah, maka
mereka saling memberi peringatan.
3. Para Shahabat lebih menfokuskan diri
pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al-quran, kegiatan ini bukanlah
pekerjaan mudah sebab Shahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan
hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku atau mushaf. Zaid bin
Tsabit pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali
tulisan Al-quran bahwa beliau lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud
ketimbang melakukan pekerjaan ini.
4. Adanya kebijaksanaan yang dilakukan
penguasa khususnya Umar, agar Shahabat menyedikitkan riwayat, ini disebabkan
kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap
ketegasannya. dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran Al-quran
lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab andaikata gerakan Sunnah lebih
diutamakan maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan
Al-quran dan lebih memprioritaskan Sunnah dengan demikian, regenerasi penghafal
Al-quran tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah,
padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemrakasa penulisannya Al-quran dengan
alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya Shahabat-sahabat Rosul Saw, penghafal
Al-quran dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
5. Shahabat khawatir terjadinya
pemalsuan hadits yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah
belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Alquran. Umar pernah
mempersyaratkan penerimaan hadits dengan mendatangkan saksi atau
melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadits tanpa persyaratan
itu
2. Peran para Tabi'in dalam periwayatan hadits
1. Hadits
pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi'in tidak
berbeda dengan yang dilakukan sahabat mereka ,bagaimanapun mereka mengikuti
jejak para shahabat sebagai guru-guru mereka hanya saja persoalan yang dihadapi
berbeda dengan yang dihadapi para Shahabat, pada masa ini al-qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushab dipihak lain usaha yang dirintis oleh para Shahabat
,pada masa khulafa’ Al-Rosyidin ,khususnya masa kholifah Utsman para Shahabat
ahli hadits menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam[13].
Al-khalid al-bagdadhi berkata tentang pengertian Tabi’in adalah orang yang
bershahabat dengan shahabat Nabi Muhammad Saw, untuk disebut sebagai tabi’in
tidaklah cukup hanya bertemu dengan seorang shahabat Nabi Muhammad Saw, lain
halnya sebagai shahabat maka cukuplah hanya dengan bertemu dengan Nabi Muhammad Saw, disebabkan kemuliaan bertemu dengan Nabi
Muhammad saw, berkumpul dan melihat beliau, karena hal ini mempunyai pengaruh
besar dalam meluruskan hati dan membersihkan jiwa[14].
Sehingga dapat diberi pengertian bahwa Tabiin secara bahasa artinya
adalah orang yang mengikuti sedangkan secara terminologi adalah orang yang bertemu
(hidup) dengan shahabat dalam keadaan Islam dan meninggalpun dalam keadaan Islam
( orang yang menemani shahabat)[15]
,dari pengertian diatas maka pemakalah memberikan pengertian arti Tabi'in
adalah orang Islam yang bertemu dengan Shahabat, berguru dan belajar kepada
sahabat tapi tidak bertemu dengan Nabi Muhammaddan tidak pula semasa dengan Nabi
Muhammad saw.
Tabi’in yang banyak bertemu Shahabat, belajar dan berguru kepada mereka adalahTabi’in
Besar (Kibar Tabi’in)Tabi’in besar ini di antaranya yang dikenal dengan fukaha
tujuh yaitu, Sa’id Ibn Musayyab,
Al-Qasim Ibn Nabi Muhammad Saw, Abu Bakr,Urwahbin Zubair, Kharijah Ibn Zaid,
Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn
Auf.Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in) adalah Tabi’in yang sedikit bertemu
Shahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar hadits dari Tabi’in besar, peranan
Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadits tidak dapat dipungkiri karena merupakan
salah satu peranan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadits, khususnya
setelah masa pemerintahan Utsman dan Ali
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib, mulailah usaha
dan kesungguhan mencari hadis dan menghafal hadis oleh kalangan Tabi’in dengan
mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa
pencarian hadits-hadits Nabi Muhammad ) para Tabi’in memperoleh hadits dari
para Shahabat, mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para Shahabat
dan mereka juga membawa sebagian besar hadits Rasul dan para sahabat, mereka
benar-benar mengetahui kapan para Shahabat melarang penulisan hadits dan kapan
mereka memperbolehkannyamereka benar-benar mengambil teladan dari para Shahabat
yang merupakan generasi pertama yang membawa Al-quran dan hadits karena alasan-alasan
yang menyebabkan khulafaurrasyidin dan para Shahabat lain melarang penulisan
hadits sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para Tabi’in dalam
pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama para Tabi’in akan
melarang penulisan Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati
kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan mayoritas
mereka menganjurkannya.
Pada era Tabiin,
keadaan Sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat namun pada masa ini Tabiin
tidak lagi disibukkan oleh beban yang dipikul Shahabat sebab, Al-quran telah
dikodifikasikan dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, oleh sebab itu maka
Tabiin dapat memfokuskan diri untuk mempelajari Sunnah dari para sahabat kemudahan
lain yang diperoleh Tabiin karena Shahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw telah
menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Sehingga
mereka mudah mendapatkan informasi tentang Sunnah (tempat pembinaan dalam
periwayatan hadis)daerah yang telah dikuasai umat Islam pada era Tabiin antara
lain Madinah, Makkah, Kufah,
Bashrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, Yaman, Jurjan, Qazwin, Samarkand,
dan lainnya di daerah-daerah ini Sunnah telah tersebar adapun metode
Tabiin dalam menjaga Sunnah, dapat kita simpulkan yaitu menempuh metode yang
sudah dilakukan para sahabat, menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya
tsiqah dan dhabit meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari
perawi lain, melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan kondisi Makkah-Madinah terutama para Shahabat dan Tabi’in
dalam periwayatan hadits diatas dapat ditarik benang merahnya bahwa :
a.Para Shahabat masih disibukkan
dengan kodifikasi al-qur’an karena
banyaknya yang meninggal pada waktu memerangi orang-orang yang tidak mau
membayar pajak (Perang Riddah) , sehingga kondisi meraka dalam periwayatan
hadits terbatas.
b. Sahabat masih dekat dengan era Nabi Muhammad Saw
dimana umumnya mereka mengetahui Sunnah, Sehingga persoalan-persoalan hukum dan
sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka.
Dari uraian di atas dapatlah dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada
zaman sesudah generasi Shahabat Nabi Muhammad tidak makin meluas ,rangkaian
para periwayat hadits yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang
dibandingkan dengan rangkaian para periwayat pada zaman sahabat Nabi Muhammad .
B. SARAN
1. Kita dapat mengambil sikap dan semangat para shahabat Nabi Muhammad,
Para Tabiin dalam menjaga hadits dan juga kondisi kota Makkah-Madinah pada masa
periwayatan hadits.
2.
Mohon kritik dan saran yang membagun dalam penulisan makalah ini
DAFTAR
PUSTAKA
Suparta,
Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Grafindo Persada.1993.
DR. M. ‘Ajaj Al-Khathib,hadits Nabi Muhammad sebelum dibukukan (Jakarta: Gema insane press, 1999),
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),
Nabi Muhammad Saw sayyid khilani, Sirah nabawiyah ainul yakin (Jakarta:
PT Dinamika berkah utama) 1955
DR. Muhmud Athohani, Taisir Musthalah Hadits (Surabaya PT
Bengkulu indah) 1985
Musthafa Hasan, Ulumul Hadits (Bandung: Cv Pustaka etia) 2012
Bandri Yatim, sejarah peradaban Islam
(Jakarta: PT grafindo persada), 2008
[1] .Maksud pemakalah risalah ketuhan adalah kalmullah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad Saw.( al-Qur’an )
[2] .Maksudnya ketika pada waktu terjadinya
perang riddah banyak sahabat yang meninggal baik yang hafal al-qur’an maupun
yang hafal hadis karena khawatir para shahabat tidak mampu menjaga hadis
[4] . Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002), 220.
[5]. M.‘Ajaj Al-Khathib, Ushul
Al-Hadis (Pokok-Pokok Ilmu Hadis), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998),
110.
[8] . lihat
muqaddimah Ibnish- shalah ,hlm .118 : al-Baitsul-hadis, hlm 210 :tadribur
–Rawi, hlm 396 dan Fathul
– Mughits, hlm,29,juz IV.
[13]. Munzir Suparta,MA, Ilmu Hadits…, h.85
[15]. Mahmud atho'han ,Taisir Musthalah Hadits…,h, 202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda