Pengikut

Senin, 30 Maret 2015

KONDISI MASYARAKAT MEKKAH – MADINAH, TERUTAMA PARA SAHABAT DAN TABIIN DIMASA PERIWAYATAN HADITS



MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.Ag














Disusun  Oleh:           

Nama                    : MASHADI
NIM                     : 1400018029


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
2014
DAFTAR ISI
BAB I                         Pendahuluan   .........................................................................
            A. LatarBelakang.............................................................................1
                        B. RumusanMasalah …………………………...……………........2
                        C. Tujuan………………………………………………………..2
BAB II            Pembahasan   
A. Gambaran Kondisi Masyarakat Makkah dan Madinah pada Masa Awal Islam……………………………………
            1. Kondisi Masyarakat Makkah………………………………...3
            2. Kondisi Masyarakat Madinah......................................................4
                        B. kondisi para shahabat dan tabi'in pada masa periwayatan hadits
                        1. Peran para shahabat nabi dalam periwayatan hadits…………...7
                        2. Peran para Tabi'in dalam periwayatan hadits………………......9
BAB III          Penutup          
            A. Kesimpulan................................................................................12
                        B. Saran .........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA           









BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kondisi masyarakat kota Makkah – Madinah sebelum Nabi Muhammad Saw diutus dikota tersebut kebanyakan, mayoritas masyarakat penduduk kota senang dengan kebiasaan jahiliyyah seperti menyembah berhala, api, matahari dan lainya sehingga Allah telah mengutus  Rasulnya yang terakhir yaitu Nabi Muhammad Saw guna untuk menyampaikan risalah[1] ketuhanan kepada seluruh umat manusia.
Dan segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apasaja yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw menjadi uswah bagi para sahabat dan umat Islam yang kita kenal sebagai hadits. Pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk meng abadikan ayat-ayat al-Qur'an diatas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.
Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Muhammad Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam al-Qur'an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Muhammad Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat[2], penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat Islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
Nabi Muhammad Saw adalah teladan yang senantiasa dicontoh para Shahabat, menjadi referensi kehidupan  para shahabat oleh sebab itu, tidak mengherankan jika hampir setiap gerak-gerik Nabi Muhammad Saw diketahui dan diriwayatkan oleh para shahabat dengan demikian bagi mereka Nabi Muhammad  saw adalah sumber ilmu pengetahuan dan ilmu agama.
Dan Nabi Muhammad Saw dalam menyelesaikan semua persoalan itu berdasarkan petunjuk al-qur’an dan disaksikan oleh para shahabat, jika beliau menemukan suatu norma hukum yang bisa dijadikan landasan pengambilan suatu keputusan maka beliau memutuskan berdasarkan norma hukum itu, jika beliau tidak menemukanya adakalanya beliau berijtihad  atau  menunggu turunya wahyu sebagai penjelas hukum Allah[3].  
Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas beberapa hal yang terkait dengan kondisi masa sahabat dan tabi’in dalam periwayatan hadits

B. RUMUSAN MASALAH
Makalah ini dibuat guna untuk mengetahui
1.      bagaimana sejarah kondisi masyarakat makkah-madinah pada masa Nabi Muhammad saw.
2.      Kondisipara Shahabat dan tabiin dalam periwayatan hadist Nabi Muhammad Saw, yang diharapkan dapat mengetahui sikap atau tindakan para Shahabat dan para tabiin dalam periwayatan hadits.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Gambaran Kondisi Masyarakat Makkah dan Madinah pada Masa awal Islam
1.  Kondisi Masyarakat Makkah Hadis yang Terbentuk pada Masa itu.
Menjelang kedatangan agama Islam semua penduduk Makkah mengaku sebagai keturunan Quraisy atau Fihr atau an-Nadir, namun demikian mereka terbagi-bagi lagi dalam beberapa kabilah yang paling berpengaruh adalah Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Naufal, Bani Zuhra, Bani Asad, Bani Ta’im, Bani Makhzum, Bani ‘Adi, Bani Djamah, dan Bani Sahm.
Kota Makkah merupakan tempat tinggal suku-suku Quraisy, yang sewaktu-waktu pada musim panas pindah ke Syam (Suriah) dan pada musim dingin ke Yaman, tetapi waktu itu sudah ada pengaturan tentang tugas-tugas yang menyangkut ibadah dan sosial kemasyarakatan. Pembagian tugas tersebut antara lain: Hijabah (memegang kunci pintu Ka’bah), Siqayah (mengawasi mata air zamzam), Rifadah (menyediakan makanan bagi para tamu), Nadwah (memimpin rapat antar suku), Liwa (mengatur panji-panji perang), dan Qiyadah (memimpin pasukan perang jika harus terjadi perang).[4]
Mengingat pentingnya sebuah suku dalam komunitas Makkah, maka Nabi Muhammad Saw, diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam dikalangan kerabatnya -seperti besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Makkah yang karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Nabi Muhammad Saw ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan mengajak mereka ke jalan Allah, namun ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya, puluhan orang yang hadir mentertawakan Nabi Muhammad Saw dan Ali bin Abi Thalib tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badar empat belas tahun kemudian sebagai bukti kesungguhan Ali bin Abi thalib.
Besarnya pengaruh suku Quraisy di Makkah jugalah yang salah satunya bisa membuat Hamzah memeluk Islam yakni ketika Abu Jahl dari bani Hanzhalah mencaci dan mengejek Nabi Muhammad Saw lalu orang-orang melapor pada Hamzah dan serta merta Hamzah-lah yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit suku saat itu tidak segera padam.
Ketika Abu Thalib masih hidup bani Hasyim memberikan perlindungan pada Nabi Muhammad Saw, dan tidak ada yang berani membunuh Nabi Muhammad Saw karena Baninya akan membalas nantinya ketika Islam hadir di Makkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada fase Makkah bercirikan ajaran Tauhid, tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata juga seruan Islam akan keadilan sosial, seperti perhatian pada nasib anak yatim fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia yang menimbulkan penolakan keras penduduk Makkah pada Nabi Muhammad Saw bagi mereka agama ini tidak hanya merusak ideologi dan teologi mereka tetapi juga merombak kehidupan sosial mereka.
Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Makkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan Bani. Negara Islam juga belum terbentuk pada dakwah Islam fase Makkah, ajaran Islam pada fase Makkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam pandangan Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Makkah kita akan melihat bagaimana ciri umum ajaran Islam dan masyarakat Islam berkembang pada fase Madinah, untuk itu mari kita bahas dakwah Islam fase Madinah.
2. Kondisi Masyarakat Madinah dan Hadis yang terbentuk Masa itu
Perkembangan Islam pada masa Madinah setelah Nabi Muhammad Saw hijrah bisa dikatakan sebagai masa penyempurnaan Agama Islam, Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyong-konyong) ada beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua) kedua Ba`iat ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam , kehadiran Nabi Muhammad melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat menarik untuk dibahas, peta demografis Madinah saat itu adalah sebagai berikut:
1.          Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar
2.          Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih berada pada tingkat nominal Muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi Muhammad Saw.
3.          Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganism
4.          Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidloh.
Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan konflik dan tension, pertentangan suku Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam, bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di kedua Bani tersebut karena kedua Bani tersebut membutuhkan orang ketiga dalam konflik diantara mereka hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik,adapun diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri,tentu saja Yahudi menerima Rosul dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Rosul mampu merangkul mereka paling tidak  sampai Rosul eksis di Madinah
Berbagai macam komunitas yang ada di Madinah membuat Rasul melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan Piagam Madinah, Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Rosul, selaku mandataris Piagam Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tidak satupun ayat al-Qur'an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara.
Dari sudut pandang  ilmu politik obyek yang dipimpin oleh Nabi Muhammad  memenuhi syarat untuk disebut sebagai Negara,  syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat, kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen negara tersebut walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi Muhammad dipandang bukan saja sebagai pemimpin rohani tetapi juga sebagai kepala Negara.
Kita beralih pada persoalan ajaran Islam pada fase Madinah ini ajaran Islam merupakan kelanjutan dari dakwah fase Makkah bila pada fase Makkah ayat tentang hukum  belum banyak diturunkan maka pada fase Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya ini bisa dipahami mengingat hukum bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk, juga dapat dicatat kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini satu contoh menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba setting sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah perlawanan dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan riba yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi.
Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur sempurna juga ayat tentang etika tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik kesempurnaan dan mencapai puncaknya setelah Rosul wafat, dimulailah era Khulafa’ al-Rasyidin tidak dapat dipungkiri di Madinah Islam sempurna dan disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta
Madinah merupakan Dar al-Hijrah ibukotanegara Islam yang menampung Nabi Muhammad, sesudah hijrah disertai para sahabat ia menjadi saksi pembentukan syariat masa permulaan Islam di masjid-masjidnya, kaum muslimin mengitari Nabi Muhammad , menerima Al-Qur’an dan mendengarkan hadits, disanalah mereka menyaksikan keputusan Nabi Muhammad pembagian harta rampasan yang beliau lakukan pembakaran semangat para prajurit dan reaksi beliau terhadap para musuh kesanalah kaum muslimin Muhajirin mengungsi dengan membawa agama mereka, dibawah tekanan kaum Quraisy dan kabilah-kabilah dibagian tepi kawasan Arabia.
Di Madinah kita bisa melihat Shahabat-shahabat besar yang sangat mendalam ilmunya mereka juga memiliki peranan yang sangat besar dalam masalah hadits, antara lain: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abu Hurairah, ‘Aisyah Umm al-Mukminin, Abdullah ibn Umar, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Zaid ibn Tsabit yang popular dengan pemahamannya yang mendalam terhadap Al-Qur’an, hadits dan khususnya fara’idh.
Di Madinah juga lulus beberapa tabi’in besar, yang antara lain: Sa’id ibn al-Musayyab, ‘Urwah ibn az-Zubair, Ibn Syihab az-Zuhriy, Ubaidillah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abdillah ibn Umar, Nabi Muhammad Saw ibn al-Munkadir dan lain-lain yang menjadi rujukan umat dalam masalah sunnah, qadha’, dan fatwa.[5]
B. kondisi para shahabat dan tabi'in pada masa periwayatan hadits
1. Peran para Shahabat Nabi Muhammad dalam periwayatan hadits
a. Hadits Pada Masa Shahabat
           Setelah Nabi Muhammad Saw meninggal, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi.  Shabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu BakarAl-Siddiq , kemudian disusul oleh Umar bin Al-Khatab , Usman bin Affan , dan Ali bin Abi Thalib  Keempat khalifah ini dikenal dengan "AI-khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".
Pada masa itu perhatian para shahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran  al-Qur’an,  sehingga periwayatan hadis belum begitu berkembang dan tampak adanya pembatasan. Para ulama menganggapnya sebagai al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah[6]. Kehatian-hatian dan usaha pembatasan periwayatan hadis tersebut dilakukan para sahabat karena mereka khawatir terjadi kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri’ setelah al-Qur’an. Oleh karena itu, hadis pun harus terjaga dari kekeliruannya, sebagaimana al-Qur’an[7].
Shahabat)   ( صحابيsecara etimologis berasal dari kata asshuhbah )  (صحبة  artinya persahabatan, perkawanan , pertemanan , secara terminologi Shahabat adalah orang yang ketika hidup bertemu dengan Nabi Muhammad  Saw..[8] Imam bhukahari dalam kitab shohihnya berkata ( “ Siapapun orang Islam yang pernah bershahabat dengan Nabi Saw, atau melihat beliau, ia termasuk diantara shahabat beliau”) dalam keadaan Islam dan meninggalpun dalam kondisi Islam[9]. Pada periode ini , masa shahabat r.a mereka mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam meriwatkan hadits baik melalui penulisan ataupun dengan cara khalaqoh ( menyampaikan hadist langsung kepada shahabat yang masih kecil atau tabiin ( shahabat lain ) dengan demikian para shahabat memiliki komitmet terhadap kitab allah , mereka memeliharanya dalam lembaran – lembaran ,mushab ,dan didalam hati mereka . Pada masa periode inilah sejarah perkembangan hadits tumbuh dan berkembang terutama pada masa Shahabat khususnya masa khulafa' Al-Rasyidin (Abu Bakar ,Umar ibn khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi tholib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa Shahabat besar[10].
Karena pada masa ini perhatian para Shahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur'an maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatanya berusaha membatasinya, oleh karena itu ,masa ini oleh para ulama' dianggap sebagai masa yang menunjukkan pembatasan periwayatan ( al-tasabbut wal-iqlal min al-riwayah)[11]. Ada beberapa Shahabat yang meriwayatkat hadits cukup banyak diantaranya: Abu hurairah, Abdullah ibnu Umar, Anas bin Malik, Aisyah, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdillah dan Abi said al-khudri[12]. Secara khususjika diamati, mengapa para sahabat membatasi periwayatan, maka dapat temukan jawaban di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian yaitu:
1.    Pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam .Oleh sebab itu gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
2.    Shahabat masih dekat dengan era Rosul Saw dimana umumnya mereka mengetahui Sunnah sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka, memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya masalah baru yang ditemui para sahaba, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah Shahabatdalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang di antara mereka tidak mengetahui adanya Sunnah, maka mereka saling memberi peringatan.
3.    Para Shahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Al-quran, kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah sebab Shahabat-sahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku atau mushaf. Zaid bin Tsabit pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan Al-quran bahwa beliau lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.
4.    Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa khususnya Umar, agar Shahabat menyedikitkan riwayat, ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya. dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melakukan penyebaran Al-quran lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab andaikata gerakan Sunnah lebih diutamakan maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam akan melupakan Al-quran dan lebih memprioritaskan Sunnah dengan demikian, regenerasi penghafal Al-quran tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah, padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemrakasa penulisannya Al-quran dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya Shahabat-sahabat Rosul Saw, penghafal Al-quran dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
5.    Shahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadits yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Alquran. Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadits dengan mendatangkan  saksi atau melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadits tanpa persyaratan itu
2. Peran para Tabi'in dalam periwayatan hadits
1. Hadits pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi'in tidak berbeda dengan yang dilakukan sahabat mereka ,bagaimanapun mereka mengikuti jejak para shahabat sebagai guru-guru mereka hanya saja persoalan yang dihadapi berbeda dengan yang dihadapi para Shahabat, pada masa ini al-qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushab dipihak lain usaha yang dirintis oleh para Shahabat ,pada masa khulafa’ Al-Rosyidin ,khususnya masa kholifah Utsman para Shahabat ahli hadits menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan Islam[13].
Al-khalid al-bagdadhi berkata tentang pengertian Tabi’in adalah orang yang bershahabat dengan shahabat Nabi Muhammad Saw, untuk disebut sebagai tabi’in tidaklah cukup hanya bertemu dengan seorang shahabat Nabi Muhammad Saw, lain halnya sebagai shahabat maka cukuplah hanya dengan bertemu dengan Nabi Muhammad  Saw, disebabkan kemuliaan bertemu dengan Nabi Muhammad saw, berkumpul dan melihat beliau, karena hal ini mempunyai pengaruh besar dalam meluruskan hati dan membersihkan jiwa[14].
Sehingga dapat diberi pengertian bahwa Tabiin secara bahasa artinya adalah orang yang mengikuti sedangkan secara terminologi adalah orang yang bertemu (hidup) dengan shahabat dalam keadaan Islam dan meninggalpun dalam keadaan Islam ( orang yang menemani shahabat)[15] ,dari pengertian diatas maka pemakalah memberikan pengertian arti Tabi'in adalah orang Islam yang bertemu dengan Shahabat, berguru dan belajar kepada sahabat tapi tidak bertemu dengan Nabi Muhammaddan tidak pula semasa dengan Nabi Muhammad  saw.
Tabi’in yang banyak bertemu Shahabat, belajar dan berguru kepada mereka adalahTabi’in Besar (Kibar Tabi’in)Tabi’in besar ini di antaranya yang dikenal dengan fukaha tujuh yaitu, Sa’id Ibn Musayyab, Al-Qasim Ibn Nabi Muhammad Saw, Abu Bakr,Urwahbin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf.Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in) adalah Tabi’in yang sedikit bertemu Shahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar hadits dari Tabi’in besar, peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadits tidak dapat dipungkiri karena merupakan salah satu peranan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadits, khususnya setelah masa pemerintahan Utsman dan Ali
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib, mulailah usaha dan kesungguhan mencari hadis dan menghafal hadis oleh kalangan Tabi’in dengan mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa pencarian hadits-hadits Nabi Muhammad ) para Tabi’in memperoleh hadits dari para Shahabat, mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para Shahabat dan mereka juga membawa sebagian besar hadits Rasul dan para sahabat, mereka benar-benar mengetahui kapan para Shahabat melarang penulisan hadits dan kapan mereka memperbolehkannyamereka benar-benar mengambil teladan dari para Shahabat yang merupakan generasi pertama yang membawa Al-quran dan hadits karena alasan-alasan yang menyebabkan khulafaurrasyidin dan para Shahabat lain melarang penulisan hadits sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para Tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama para Tabi’in akan melarang penulisan Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan mayoritas mereka menganjurkannya.
Pada era Tabiin, keadaan Sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat namun pada masa ini Tabiin tidak lagi disibukkan oleh beban yang dipikul Shahabat sebab, Al-quran telah dikodifikasikan dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, oleh sebab itu maka Tabiin dapat memfokuskan diri untuk mempelajari Sunnah dari para sahabat kemudahan lain yang diperoleh Tabiin karena Shahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Sehingga mereka mudah mendapatkan informasi tentang Sunnah (tempat pembinaan dalam periwayatan hadis)daerah yang telah dikuasai umat Islam pada era Tabiin antara lain Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia, Yaman, Jurjan, Qazwin, Samarkand, dan lainnya di daerah-daerah ini Sunnah telah tersebar adapun metode Tabiin dalam menjaga Sunnah, dapat kita simpulkan yaitu menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat, menerima riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan dhabit meminta sumpah dari periwayatnya saat mencari dukungan dari perawi lain, melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari pembawa aslinya.




BAB III
PENUTUP

   A.  KESIMPULAN
Dari pemaparan kondisi Makkah-Madinah terutama para Shahabat dan Tabi’in dalam periwayatan hadits diatas dapat ditarik benang merahnya bahwa :
a.Para Shahabat masih disibukkan dengan kodifikasi  al-qur’an karena banyaknya yang meninggal pada waktu memerangi orang-orang yang tidak mau membayar pajak (Perang Riddah) , sehingga kondisi meraka dalam periwayatan hadits terbatas.
b. Sahabat masih dekat dengan era Nabi Muhammad Saw dimana umumnya mereka mengetahui Sunnah, Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka.
Dari uraian di atas dapatlah dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman sesudah generasi Shahabat Nabi Muhammad tidak makin meluas ,rangkaian para periwayat hadits yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan rangkaian para periwayat pada zaman sahabat Nabi Muhammad .

   B. SARAN
         1. Kita dapat mengambil sikap dan semangat para shahabat Nabi Muhammad, Para Tabiin dalam menjaga hadits dan juga kondisi kota Makkah-Madinah pada masa periwayatan hadits.
         2. Mohon kritik dan saran yang membagun dalam penulisan makalah ini





DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Grafindo Persada.1993.
DR. M. ‘Ajaj Al-Khathib,hadits Nabi Muhammad  sebelum dibukukan (Jakarta: Gema insane press, 1999),
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002),
Nabi Muhammad Saw sayyid khilani, Sirah nabawiyah ainul yakin (Jakarta: PT Dinamika berkah utama) 1955
DR. Muhmud Athohani, Taisir Musthalah Hadits (Surabaya PT Bengkulu indah) 1985
Musthafa Hasan, Ulumul Hadits (Bandung: Cv Pustaka etia) 2012
Bandri Yatim, sejarah peradaban Islam (Jakarta: PT grafindo persada), 2008



[1] .Maksud pemakalah risalah ketuhan adalah kalmullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw.( al-Qur’an )
[2] .Maksudnya ketika pada waktu terjadinya perang riddah banyak sahabat yang meninggal baik yang hafal al-qur’an maupun yang hafal hadis karena khawatir para shahabat tidak mampu menjaga hadis
[3] M. ‘Ajaj Al-Khathib,, hadits nabi sebelum dibukukan , (Jakarta: Gema insane press, 1999),h, 107
[4] . Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 220.
[5]. M.‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis (Pokok-Pokok Ilmu Hadis), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 110.
[6] . Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 79.
[7] . Ibid., hlm. 81.
[8] . lihat muqaddimah Ibnish- shalah ,hlm .118 : al-Baitsul-hadis, hlm 210 :tadribur –Rawi, hlm  396 dan Fathul – Mughits, hlm,29,juz IV.
[9]. Mahmud Atho'han ,Musthalah Hadits, (Surabaya: Bengkulu indah 1985) h, 198.
[10].  Munzir Suparta,MA, Ilmu Hadits (Jakarta: PT Raja  Grafindo Persada, 2003), h.79
[11]. Munzir Suparta,MA, Ilmu Hadits…h.79
[12]. Ibid, h.85-86
[13]. Munzir Suparta,MA, Ilmu Hadits…, h.85
[14]. M. ‘Ajaj Al-Khathib,hadits nabi sebelm… ,h,516-517
[15]. Mahmud atho'han ,Taisir Musthalah Hadits…,h, 202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda