IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN
PENDIDIKAN
MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI
SMP NEGERI I DEMAK
TESIS
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar
Magister Studi Islam
Oleh:
CHUNDASAH
NIM: 065112009
PROGRAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
2008
IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI
SMP NEGERI I DEMAK
Abstrak
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan pada masing-masing
satuan pendidikan yang merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya yaitu
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Implementasi KTSP baru berjalan dua tahun
yang diberlakukan pada tahun pelajaran 2006/2007 dengan dasar pelaksanaan Permendiknas
No. 22, 23 dan 24 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan
dan Pelaksanaan Permendiknas tersebut. Karena belum lama diberlakukan maka
penulis ingin menelitinya, apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan harapan
pemerintah atau belum.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa KTSP
Pendidikan Agama Islam belum sepenuhnya diimplementasikan dengan baik di SMP
Negeri I Demak, baik dari segi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran maupun penilaian pembelajaran.
Kata kunci : KTSP, PAI, SMP Negeri I Demak
I Pendahuluan
Perubahan
kurikulum merupakan perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pendidikan nasional
dan akan mengubah komponen-komponen pendidikan lainnya. Perubahan kurikulum
harus diantisipasi dan dipahami oleh berbagai pihak, karena kurikulum sebagai
rancangan pembelajaran memiliki kedudukan yang sangat strategis, yang
menentukan keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan baik proses maupun
hasil.
Kurikulum
mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum
mengarahkan seluruh bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan
pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup dan urutan isi serta proses
pendidikan.[1]
Reformasi
kurikulum pendidikan nasional di negara kita sejalan dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 2 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah yang mengatur pembagian
kewenangan berbagai bidang pemerintahan yang berimplikasi pada penyelenggaraan
pemerintah daerah saat ini dan masa mendatang termasuk
kegiatan penyelenggaraan pendidikan.
kegiatan penyelenggaraan pendidikan.
Salah satu
kebijaksanaan pemerintah yang mengalami perubahan dalam proses penyelenggaraan
pendidikan antara lain adalah proses pengembangan kurikulum. Tujuannya sebagai
upaya untuk mempersiapkan lulusan pendidikan dalam memasuki era globalisasi
yang penuh tantangan yang perlu disikapi secara profesional di berbagai bidang
dan keterampilan hidup (life skill) yang memadai. Pendidikan perlu
dirancang dengan mendasarkan pada kebutuhan riil di lapangan. Apabila kurikulum
riil yang dialami oleh anak didik tidak mendapat sentuhan yang wajar/layak dari
sekolah maka setelah tamat dari sekolahnya mereka akan merasa
asing dengan apa yang dihadapinya dan mereka tidak bisa menghadapi problem
hidupnya bahkan akhirnya hanya akan menjadi beban masyarakat.
Atas dasar
inilah pemerintah memprogramkan kurikulum berbasis kompetensi (competency
based curriculum) sebagai acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan
untuk mengembangkan berbagai ranah pendidikan (pengetahuan, sikap dan
keterampilan) dalam semua jalur dan jenjang pendidikan, khususnya pada jalur
pendidikan sekolah.
Pada tahun
2004 pemerintah telah menetapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebagai
kurikulum yang berlaku di Indonesia.[2]
Jika dilihat dari berbagai sisi, KBK menjadi kurikulum yang sempurna secara
konseptual. Namun berdasarkan penelitian di lapangan KBK mengalami banyak
kendala terkait dengan pelaksanaannya sehingga perlu perangkat khusus yang
mengatur secara teknis dan detail. Perangkat tersebut disusun berdasar pada
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan siswa.
Maka dibentuklah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dalam rangka
menjembatani hal tersebut.[3]
Akhirnya melalui Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan serta melalui Peraturan Mendiknas No. 22, 23 dan 24 tahun 2006 pemerintah
mengamanatkan setiap satuan pendidikan untuk membuat KTSP sebagai pengembangan
kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Sementara
itu, KTSP yang merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004 (KBK) adalah
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan/sekolah. Terkait dengan penyusunan KTSP ini, BSNP telah membuat
Panduan Penyusunan KTSP yang menjadi acuan bagi pendidikan dasar dan menengah.[4]
Kemudian sekolah diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum berdasarkan
standar isi dan standar kompetensi lulusan dengan prinsip diversifikasi.
Kurikulum harus disesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan siswa.
E. Baskoro Poedjinoegroho[5]
seperti dikutip Joko Susilo[6]
mengatakan bahwa Kurikulum 2006 merupakan penegasan dari kebijakan
desentralisasi yang memberi peluang sebesar-besarnya kepada daerah untuk
berkembang. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, satuan pendidikan
menjadi mandiri dan diberi kesempatan untuk mengerahkan seluruh potensi demi
kemajuan pendidikan yang kontekstual walaupun tidak mudah dilakukan.
KTSP
memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan
tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Juga lebih
memberdayakan guru untuk membuat konsep pembelajaran yang membumi sesuai
kebutuhan dan kondisi sekolah. Pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih
baik, karena guru dituntut memiliki kemampuan menyusun kurikulum dan harus
memikirkan perencanaan penyampaian materi yang tepat bagi siswanya.
Kurikulum
2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP)
keduanya adalah kurikulum yang berbasis kompetensi. Kurikulum berbasis
kompetensi mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model
lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Madjid dan Dian Andayani.[7]
Pertama, pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual), karena
berangkat, berfokus dan bermuara pada hakekat siswa untuk mengembangkan
berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing. Dalam hal ini siswa
merupakan subyek belajar, dan proses belajar berlangsung secara alamiah dalam
bentuk bekerja dan mengalami berdasarkan standar kompetensi tertentu, bukan
transfer pengetahuan (transfer of knowledge). Kedua, kurikulum
berbasis kompetensi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan
keilmuan dan keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek kepribadian dapat
dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu. Ketiga,
ada mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan
pendekatan kompetensi, terutama berkaitan dengan keterampilan.
Proses
pembelajaran yang didasarkan pada kompetensi atau penguasaan adalah kegiatan
belajar mengajar yang diarahkan untuk memberikan pengetahuan, sikap dan
keterampilan kepada siswa untuk melakukan sesuatu, berupa seperangkat tindakan
intelegensi (dalam bentuk kemahiran, keterampilan dan keberhasilan) dengan penuh
tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan tugas-tugas pada
jenis pekerjaan tertentu.
Dalam KTSP
mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang
dinyatakan sedemikian rupa sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk
perilaku atau keterampilan, siswa menguasai sekurang-kurangnya tingkat
kompetensi minimal, agar mereka dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat, setiap siswa harus
diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan
belajar masing-masing.[8]
Karena pada hakekatnya setiap anak
memiliki kemampuan yang
berbeda, yang satu
dengan lainnya tidak sama (unik).
Bagaimanapun juga pengembangan KTSP yang beragam ini tetap mengacu pada
Standar Nasional Pendidikan (SNP). Di mana SNP itu terdiri atas delapan
komponen, yaitu: standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan.[9]
Dan dua dari delapan SNP tersebut adalah standar isi (SI) dan standar
kompetensi lulusan (SKL) merupakan acuan
utama bagi satuan
pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Dengan demikian siswa diharapkan memiliki beberapa kompetensi, yakni: Pertama,
kompetensi dasar yaitu ukuran minimal atau memadai yang ditetapkan dengan
kemampuan, sikap dan perilaku dasar dalam menguasai materi pokok dan pencapaian
hasil belajar. Kedua, kompetensi umum mata pelajaran yaitu
kompetensi yang harus dicapai siswa ketika menyelesaikan suatu mata pelajaran
tertentu. Ketiga, kompetensi lulusan yaitu kompetensi yang harus dicapai
ketika siswa tamat dari suatu jenjang pendidikan.
Di dalam
UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Bab II, pasal 3) dikatakan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Melihat dari
tujuan pendidikan nasional yakni untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia maka pendidikan agama di sekolah mendapat sorotan utama dalam upaya untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut.
Oleh karena
sebagai dasar dalam
meningkatkan mutu bangsa yang dilandasi
oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia maka
hal itu dapat diperoleh salah satu di antaranya dari pendidikan agama di
sekolah.
Kegiatan
pendidikan yang antara lain merealisasikan seperti tersebut di atas tidak
semudah membalikkan telapak tangan, melainkan perlu proses, prosedur dan
berlangsung secara bertahap, terus menerus dan berkesinambungan. Karena
pendidikan agama menjadi bagian utama dalam kurikulum pendidikan, maka dalam
hal pengelolaannya harus dilaksanakan oleh tenaga pendidik yang sesuai dengan
ahlinya (profesional). Artinya tenaga pendidik dalam pendidikan agama haruslah
orang yang menguasai ilmu agama dan mampu mengajarkannya kepada siswa dengan menggunakan pendekatan,
metode dan media
yang sesuai dengan materi agama tersebut.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa kurikulum tidak akan mampu memperbaiki mutu pendidikan
jika kualitas guru masih sangat rendah. Dengan kata lain usaha peningkatan mutu
pendidikan itu erat kaitannya dengan pemberdayaan guru. Dalam hal ini sebagai
pengajar atau pendidik, guru merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
setiap upaya pendidikan.
Pembelajaran
PAI yang dilaksanakan di SMP mengacu pada Kurikulum 2006 memberi
alokasi waktu sebanyak
2 jam pelajaran
(2 x 40 menit) per minggu.
Kondisi ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kurang berhasilnya
pembelajaran pendidikan agama di sekolah umum jika guru PAI tidak mampu
melakukan pembelajaran dengan baik. Hal ini terjadi karena waktu dua jam
pelajaran per minggu merupakan waktu yang sangat singkat untuk melakukan
pembelajaran.
Salah satu
cara mengatasi masalah tersebut hendaknya guru mampu melakukan persiapan
pembelajaran dengan baik. Persiapan tersebut meliputi penggunaan metode yang
tepat, pemanfaatan media dengan baik [10], menetapkan sumber bahan yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran (istilah di dalam KTSP adalah indikator) yang telah
direncanakan, serta melakukan evaluasi sebagai usaha untuk mengetahui
keberhasilan siswa maupun sebagai umpan balik (feedback) bagi guru.[11]
Di sisi
lain, pendidikan agama di sekolah kurang mempunyai daya tarik tersendiri bagi
siswa maupun bagi orang tua siswa. Karena mereka mempunyai anggapan bahwa
pendidikan agama bukan termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan secara
nasional. Dengan melihat kondisi tersebut guru agama dituntut untuk bisa aktif
dan kreatif dalam melaksanakan pembelajaran maksudnya guru mampu melakukan
interaksi dengan siswa serta mampu menumbuhkan motivasi pada diri siswa
untuk mengikuti pembelajaran
yang dilakukan oleh guru.
Oleh karena
itu guru tidak
sekedar menyampaikan materi (transfer of knowledge)
semata, akan tetapi diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran terhadap siswa
tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan penanaman sikap dan perilaku yang
terpuji serta bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama. Dengan
melihat kondisi di atas sehubungan dengan dilaksanakannya Kurikulum 2006
(KTSP), maka penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang bagaimana
implementasi KTSP mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP Negeri I
Demak.
Penulis memilih
tempat penelitian di SMP Negeri
I Demak karena sekolah tersebut merupakan salah satu
kebanggaan masyarakat Demak sekaligus menjadi dambaan bagi lulusan SD yang
ingin melanjutkan pendidikannya ke SMP. Keberhasilan proses pendidikan di SMP
Negeri I Demak ini antara lain diindikasikan dengan banyaknya alumni yang
diterima di SMA favorit di kota Demak. Di samping itu SMP Negeri I Demak adalah
Sekolah Standar Nasional (SSN) merupakan sekolah yang memenuhi standar prestasi
dan standar pengelolaan minimal seperti yang telah ditetapkan BSNP. Sekolah
Standar Nasional merupakan program unggulan pemerintah dalam bidang pendidikan
dan dikembangkan untuk memberikan jaminan mutu dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Penilaian
dan penetapan SSN dilakukan pemerintah berdasarkan PP. No. 19 tahun 2005
tentang SNP. [12]
II.
Kerangka Teori
A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Secara harfiah,
kata kurikulum berasal dari bahasa
Yunani yang
pada awalnya digunakan dalam bidang olah raga, yaitu kata ‘currere’ yang
berarti jarak tempuh lari (to run). Kata ‘currere’ dimaksudkan
sebagai jarak yang harus ditempuh dari start sampai dengan finish.
Istilah kurikulum tersebut kemudian digunakan di dalam dunia pendidikan dengan
pengertian sejumlah mata pelajaran (a course of study) yang harus
dipelajari oleh siswa di sekolah atau perguruan tinggi atau dalam salah satu
departemennya (the body of courses offered in a school or college or in one
of its department).[13] Pengertian ini sejalan dengan pendapat
Crow and Crow [14]
dan Abdullah [15].
Namun kemudian pengertian kurikulum oleh
Saylor dan Alexander sebagaimana dikutip oleh Nasution[16]
bukan hanya sekedar memuat sejumlah mata pelajaran, akan tetapi segala usaha
sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik usaha tersebut dilakukan di
lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Lihat juga Langgulung. [17]
Jika
sebelumnya kurikulum hanya terbatas pada kegiatan pengajaran yang dilakukan di
ruang kelas, maka kemudian pendidikan dapat pula memanfaatkan berbagai sumber
pengajaran yang terdapat di luar kelas, seperti perpustakaan, museum, pameran,
majalah, surat kabar, siaran televisi, radio, pabrik, dan sebagainya. Dengan
cara demikian siswa tetap bisa selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, kebudayaan, dan lainnya yang terjadi
di luar sekolah.
di luar sekolah.
Dalam
perkembangan selanjutnya pengertian kurikulum bergeser kepada pengertian
kurikulum yang memperhatikan minat dan kebutuhan anak didik (child centered
curriculum). Anak didik tidak lagi diperlakukan hanya sebagai obyek yang
statis melainkan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai dengan perkembangan
jiwanya. Pemahaman baru terhadap anak didik yang berimbas pada pergeseran
pengertian kurikulum tercermin dalam mendefinisikan kurikulum. Misalnya
definisi kurikulum yang dikemukakan oleh Kearney dan Cook, sebagai berikut:
All the experiences that a learner has under the guidance of the
school, objectives, content, processes, resources, and means of evaluation of
all the learning experiences planned for pupils both in and out of the school
and community through classroom instruction and related program (for example,
field trips, library programs, word experiences, education guidance, and extra
classroom activities).[18]
Sedangkan Hamalik
[19]
memberikan beberapa tafsiran kurikulum dalam tiga hal, yaitu:
1) Kurikulum memuat isi
dan materi pelajaran
2) Kurikulum sebagai Rencana Pembelajaran
3) Kurikulum sebagai Pengalaman Belajar
David Pralt dalam Burhan Nurgiantoro
[20]
mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat organisasi pendidikan formal atau
pusat-pusat pelatihan yang implikasi ekspilisitnya meliputi lima hal, yaitu:
1)
Kurikulum
adalah suatu rencana (intention) yang diwujudkan dalam bentuk tulisan,
2) Kurikulum merupakan perencanaan atau rancangan kegiatan, 3) Kurikulum berisi
hal yang harus dikembangkan dalam diri siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil
belajar, bahan dan peralatan yang dipergunakan, kualitas guru yang dituntut,
dsb, 4) Kurikulum melibatkan maksud atau tujuan pendidikan formal, 5) kurikulum
adalah sebuah system yang menyatukan berbagai komponen seperti tujuan, isi,
sistem penilaian dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Selama ini
kebutuhan pengalaman anak yang diharapkan terpenuhi melalui
kegiatan pembelajaran di sekolah ternyata kurang menguntungkan karena membatasi anak dalam proses belajar mengajar saja atau kurang memperhatikan pengalaman-pengalaman lain yang diperoleh di luar kelas. Kurikulum yang bersifat demikian hanya menerapkan aspek intelektual saja yang harus dikuasai siswa dan mengabaikan aspek-aspek lain yang sangat berpengaruh pada perkembangan kejiwaan anak. Kemudian para ahli berusaha merumuskan kembali kurikulum yang sejalan dengan perkembangan era modern dan kebutuhan masyarakat.
kegiatan pembelajaran di sekolah ternyata kurang menguntungkan karena membatasi anak dalam proses belajar mengajar saja atau kurang memperhatikan pengalaman-pengalaman lain yang diperoleh di luar kelas. Kurikulum yang bersifat demikian hanya menerapkan aspek intelektual saja yang harus dikuasai siswa dan mengabaikan aspek-aspek lain yang sangat berpengaruh pada perkembangan kejiwaan anak. Kemudian para ahli berusaha merumuskan kembali kurikulum yang sejalan dengan perkembangan era modern dan kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia, usaha perbaikan mutu
pendidikan disikapi dengan diberlakukannya Kurikulum 2004 yang terkenal dengan
sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun karena KBK oleh BSNP dinilai
sarat isi tanpa standar kompetensi yang jelas [21]
maka pada tahun 2006 digulirkan Kurikulum 2006 yang disesuaikan dengan
perkembangan iptek, serta tuntutan kebutuhan lokal, nasional dan global yang dinamai
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai penyempurna Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Penyempurnaan
kurikulum dilakukan agar sistem pendidikan nasional selalu relevan dan
kompetitif.
Kurikulum
2004 (KBK) dan Kurikulum 2006 (KTSP) merupakan kurikulum berbasis kompetensi. Di
dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab I Pasal 1
diuraikan tentang pengertian kurikulum tingkat satuan pendidikan yaitu
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,
struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan,
dan silabi. Silabi adalah rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata
pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar,
materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi
waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabi merupakan penjabaran standar
kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Kompetensi
merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Mc. Ashan dalam Mulyasa [22]
mengatakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
yang diperoleh seseorang untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik termasuk
menyangkut perilaku-perilaku kognitif, afektif
dan psikomotorik. Jadi kompetensi
merupakan keterampilan, sikap dan
nilai yang harus dimiliki oleh individu
dalam melaksanakan tugas-tugas
dengan baik.
Gordon
menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi,
sebagai berikut:
1) Pengetahuan (knowledge);
yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Misalnya: seorang guru mengetahui cara
melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran
terhadap siswa sesuai dengan kebutuhannya.
2) Pemahaman (understanding);
yaitu kedalaman kognitif yang dimiliki oleh individu. Misalnya: seorang guru
yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang
karakteristik dan kondisi siswa, agar dapat melaksanakan secara efektif dan
efisien.
3) Kemampuan (skill);
adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu
untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya:
kemampuan guru dalam memilih dan membuat alat peraga sederhana untuk memberi
kemudahan belajar kepada siswa.
4) Nilai (value);
adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu
dalam diri seseorang. Misalnya: standar
perilaku guru dalam pembelajaran
(kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan lain lain).
5) Sikap (attitude);
yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap
suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya: reaksi terhadap krisis
ekonomi, reaksi terhadap krisis moral bangsa, perasaan terhadap kenaikan
upah/gaji, dan sebagainya.
6) Minat (interest);
adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya: minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu. [23]
Ciri utama seseorang yang memiliki kompetensi adalah apabila ia dapat
menjalankan suatu tugas dengan baik. Kompetensi tertentu yang dimiliki
seseorang akan dapat mencerminkan gambaran tingkah laku yang diharapkan. Dengan
demikian, kompetensi untuk menjalankan tugas-tugas tertentu pada masa mendatang
dimungkinkan untuk dipersiapkan sejak awal. Atas pengertian tersebut maka
kompetensi dijadikan basis di dalam merumuskan suatu kurikulum pendidikan.
B. Dasar Pelaksanaan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dalam rangka memenuhi amanat yang
tertuang di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam penyusunannya,
KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu kepada Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun
2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun
2006, dan berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP).
Sedangkan dasar/landasan filosofis diberlakukannya KTSP adalah dalam rangka
untuk lebih merespon tuntutan reformasi, globalisasi otonomi daerah. [24]
Pertama, reformasi
bertujuan untuk menegakkan demokrasi, menerapkan dan menghargai hak asasi
manusia. Dua komponen ini telah berpengaruh terhadap keseluruhan struktur
pemerintah, politik, ekonomi, sosial budaya
dan dengan
sendirinya terhadap sistem pembangunan pendidikan nasional termasuk di
dalamnya kurikulum.
Kedua, otonomi
daerah, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 2 Tahun 2000 tentang Otonomi
Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang pendidikan
dinyatakan bahwa perlu penetapan standar kompetensi siswa dan peraturan
kurikulum nasional membawa konsekuensi untuk menyempurnakan kurikulum
terdahulu. Peraturan tersebut menuntut perubahan dalam pengelolaan pembelajaran
dari yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik dalam upaya pemberdayaan
daerah dan sekolah dalam meningkatkan mutu secara berkelanjutan, terarah dan menyeluruh.
Ketiga, perubahan
pada abad ke-21 membawa implikasi yang besar dalam bidang pendidikan,
pengetahuan seseorang akan lebih cepat usang, tidak relevan dan kehilangan
nilai, jika hal ini tetap diharapkan untuk selalu mutakhir, pengetahuan harus diperbaharui dengan cara yang baru.
Penyusunan
KTSP yang dipercayakan pada setiap tingkat satuan pendidikan diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan
sekolah dalam merencanakan, melaksanakan dan mengelola serta menilai
pembelajaran sesuai dengan kondisi dan aspirasi mereka. Muslich [25]
mengatakan prinsip pengelolaan KTSP mengacu pada ”kesatuan dalam kebijaksanaan
dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Yang dimaksud dengan ”kesatuan dalam
kebijaksanaan” ditandai dengan sekolah-sekolah menggunakan perangkat dokumen
KTSP yang ”sama” dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan
”keberagaman dalam pelaksanaan” ditandai dengan keberagaman silabi yang akan
dikembangkan oleh sekolah masing-masing sesuai dengan karakteristiknya.
1.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Islam sebagai agama universal
memberikan pedoman hidup bagi manusia menuju kehidupan yang bahagia, yang
pencapaiannya sangat bergantung pada pendidikan. Pendidikan merupakan kunci
pembuka kehidupan yang dipergunakan manusia (Tafsir, 2004). Oleh karena itu,
Islam dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat, yang bersifat organis-fungsional,
di mana pendidikan difungsikan sebagai alat untuk mencapai
tujuan keislaman, dan Islam
menjadi kerangka dasar serta pondasi pengembangan pendidikan
Islam.
Sangat banyak
pengertian pendidikan Islam yang
telah dikemukakan para ahli
pendidikan Islam. Misalnya: At-Thoumy
al-Syaibani dalam Arifin;[26]
Abdurrahman an-Nahlawi; [27]
Imam Bawani; [28] Abdur
Rahman Saleh [29]dan
Murni Jamal.[30]
Dari uraian
para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan agama Islam
adalah usaha/bimbingan secara sadar kepada anak didik agar menjadi insan yang
berkepribadian luhur, mengerti dan memahami sekaligus mengamalkan ajaran Islam
yang dianutnya sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat.
2. Dasar Pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam
a. Dasar Yuridis
pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dibagi 3 yaitu: 1) Landasan Ideal: Pancasila,
2) Landasan Konstitusional, dan 3) Landasan
Operasional.
Pancasila
sangat relevan untuk penerapan filosofi pembelajaran yang mendunia seperti
empat pilar belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know),
belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning
to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
Keempat pilar belajar tersebut, semangatnya tidak bertentangan dengan tatanan
Islam sebagaimana diungkap oleh Mahmud Syalthut bahwa tatanan Islam merupakan
tatanan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, pribadi dengan dirinya
sendiri, pribadi dengan masyarakat muslim maupun non muslim, serta hubungan dengan alam
dan kehidupan
secara universal ( Dellor dalam Depag,
2003: 3-4).
Di dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat 2 berbunyi, ”Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Untuk melaksanakannya maka perlu pendidikan agama khususnya
pendidikan agama Islam.
Landasan operasional pendidikan agama Islam adalah Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 3, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 3, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
b. Dasar Religius
Dasar
religius pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dibagi 2, yaitu: Al-Qur’an dan
As-Sunnah:
Banyak ayat
di dalam al-Qur’an yang
menyuruh manusia untuk belajar
dan mencari ilmu, di antaranya adalah:
1)
Surat al-Alaq [96]: 1-5:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam.[1]
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
2) Surat Ali Imran, [3]:
104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ì...s3YßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya:
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar.
3)
Hadits
(a) يا أبا ذ ر,لأن تعد
وفتعلم اية من كتاب الله خيرلك من أن تصلي ما ئة ركعة, ولان تغدو فتعلم بابا من ا
لعلم عمل به اولم يعمل, خيرمن ان تصلي ألف ركعة.(ابن ماجة)
Artinya:
Wahai Aba
Dzar, kamu mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu dari pada shalat
(sunnah) seratus rakaat. Dan pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan baik
dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat seribu rakaat (HR.
Ibnu Majah).
(b) بلغو عنى ولواية. (روا ه البخاري)
Artinya: Sampaikanlah olehmu mengenai hal agama walaupun
satu ayat (HR. Bukhari).
3. Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Hasan
Langgulung [31] tujuan
pendidikan Islam harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari
agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan aqidah dan iman, fungsi psikologis
yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai akhlak yang
mengangkat derajat manusia menjadi lebih sempurna dan fungsi sosial yang
berkaitan dengan aturan-aturan antara
manusia satu dengan
yang lain dan dengan
masyarakat di mana masing-masing
bertanggung jawab untuk menyusun
masyarakat yang harmonis dan seimbang.
Senada
dengan Langgulung adalah pendapat yang diuraikan
oleh Athiyah al-Abrasyi, [32]
dan Quraish Shihab dalam Abudin Nata.[33]
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat diketahui
bahwa tujuan pendidikan Islam
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Mengarahkan manusia
agar menjadi khalifah Allah dengan memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan
kehendak-Nya.
2. Mengarahkan manusia
agar seluruh tugas kekhalifahan di bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah
kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan.
3. Mengarahkan manusia
agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalah-gunakan fungsi
kekhalifahannya.
4. Membina dan
mengarahkan potensi akal, jiwa
dan jasmaninya, sehingga ia
memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat mendukung tugas pengabdian
dan kekhalifahannya.
5. Mengarahkan manusia
agar bisa mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Lebih
lanjut, tujuan Pendidikan Agama Islam di SMP/MTs adalah:
a. Menumbuhkembangkan aqidah
melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan,
penghayatan, pengamalan, pembiasaan serta pengalaman siswa tentang agama Islam
sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan
ketakwaan-Nya kepada Allah Swt.
b. Mewujudkan manusia
Indonesia yang taat
beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara
personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
D.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam
1. Kegiatan Pembelajaran
Penggunaan
istilah ”pembelajaran” sebagai pengganti
istilah mengajar sudah cukup lama dipakai di dalam dunia pendidikan. Istilah
pembelajaran berhubungan erat dengan
pengertian belajar dan mengajar.
Belajar, mengajar dan pembelajaran adalah interaksi yang terjadi bersama-sama.
Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran
formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang dilakukan oleh guru di
dalam kelas. Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja
melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru untuk
mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas yang
terjadi dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan demi
tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum.
Dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) harus memperhatikan: (1)
apa yang akan diajarkan; (2) bagaimana cara mengajarkannya; dan (3) bagaimana
cara mengetahui bahwa yang diajarkan telah dikuasai atau dimiliki siswa.
Pertanyaan pertama berkaitan dengan tujuan dan materi PAI yang akan diajarkan,
pertanyaan kedua menyangkut metode mengajar dan alat peraga yang akan digunakan
dalam pembelajaran PAI, dan
pertanyaan ketiga berkaitan
dengan cara mengevaluasi
materi yang telah diajarkan. [34]
2. Model Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM)
Guru harus menyadari bahwa
pembelajaran memiliki sifat yang sangat komplek
karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis dan didaktis secara bersamaan.[35]
Aspek pedagogis menunjuk pada
kenyataan bahwa pembelajaran
berlangsung dalam suatu
lingkungan pendidikan,
sehingga guru harus
mendampingi siswa menuju kesuksesan belajar atau penguasaan sejumlah
kompetensi tertentu. Aspek psikologis menunjuk pada kenyataan bahwa
siswa pada umumnya memiliki taraf perkembangan yang berbeda, yang menuntut
materi yang berbeda pula. Selain itu, aspek psikologis menunjuk pada kenyataan
bahwa proses belajar itu sendiri mengandung variasi, seperti belajar
keterampilan motorik, belajar konsep, belajar sikap, dan sebagainya. Aspek
didaktis menunjuk pada pengaturan belajar siswa oleh guru. Guru harus
menentukan secara tepat jenis belajar yang paling berperan dalam proses
pembelajaran dengan mengingat kompetensi dasar yang harus dicapai. Untuk kepentingan tersebut, guru harus memiliki
pengetahuan yang luas mengenai
jenis-jenis belajar, kondisi
internal-eksternal siswa, serta menciptakan pembelajaran aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan (pakem).
Model pembelajaran pakem merupakan
salah satu model pembelajaran
yang diinginkan dalam implementasi KTSP di dalam kelas. Secara umum tujuan penerapan pakem adalah agar pembelajaran yang dilaksanakan di kelas dapat merangsang aktivitas dan kreativitas belajar siswa serta dilaksanakan dengan efektif dan menyenangkan.
yang diinginkan dalam implementasi KTSP di dalam kelas. Secara umum tujuan penerapan pakem adalah agar pembelajaran yang dilaksanakan di kelas dapat merangsang aktivitas dan kreativitas belajar siswa serta dilaksanakan dengan efektif dan menyenangkan.
Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan, guru harus mampu
merancang pembelajaran dengan baik, memilih materi yang tepat, serta memilih
dan mengembangkan strategi yang dapat melibatkan siswa secara optimal.
3. Karakteristik Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Setiap mata pelajaran memiliki ciri khas atau karakteristik
tertentu yang membedakan dengan mata
pelajaran lain. Adapun karakteristik
mata pelajaran PAI di SMP adalah sebagai berikut:[36]
(a) PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari
ajaran-ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam,
sehingga PAI merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam.
(b) PAI merupakan
mata pelajaran pokok
yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan
mata pelajaran lain yang bertujuan untuk pengembangan moral
dan kepribadian siswa.
(c) PAI bertujuan untuk
membentuk siswa yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., berbudi pekerti
luhur (berakhlak mulia), dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam.
PAI
menekankan penguasaan kajian keislaman sekaligus pengamalan dalam kehidupan
sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Sehingga PAI tidak hanya menekankan
pada aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif
dan psikomotornya.
(d) PAI bersumber pada
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. (dalil naqli) dan juga ijtihad
(dalil aqli) para ulama dalam pengembangan prinsip-prinsip PAI dengan
lebih rinci dan mendetail dalam
bentuk fiqih dan
hasil-hasil ijtihad lainnya.
(e) Prinsip-prinsip dasar
PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam,
yaitu: aqidah, syari’ah dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman; syari’ah merupakan penjabaran dari konsep islam; syari’ah memiliki dua dimensi kajian pokok, yaitu ibadah dan muamalah, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.
yaitu: aqidah, syari’ah dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman; syari’ah merupakan penjabaran dari konsep islam; syari’ah memiliki dua dimensi kajian pokok, yaitu ibadah dan muamalah, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.
(f)
Tujuan akhir dari mata pelajaran PAI di SMP adalah
terbentuknya siswa yang memiliki akhlak
yang mulia (budi pekerti yang luhur). Tujuan ini yang sebenarnya merupakan misi
utama diutusnya Nabi Muhammad Saw. di dunia. Dengan demikian, pendidikan akhlak
(budi pekerti) adalah jiwa PAI. Mencapai akhlak yang karimah adalah tujuan
sebenarnya dari pendidikan. Hal ini bukan berarti bahwa pendidikan Islam tidak
memperhatikan pendidikan jasmani, akal, ilmu, ataupun segi-segi
praktis lainnya, tetapi pendidikan Islam memperhatikan pendidikan
akhlak seperti juga
segi-segi lainnya.
(g) PAI merupakan mata
pelajaran wajib yang harus diikuti oleh setiap siswa, terutama yang beragama
Islam, atau bagi yang beragama lain yang
didasari dengan kesadaran
yang tulus dalam mengikutinya.
Itulah gambaran tentang
karakteristik PAI pada umumnya dan mata pelajaran PAI di SMP pada khususnya
yang dapat dikembangkan oleh para guru PAI dengan variasi-variasi tertentu,
selama tidak menyimpang dari karakteristik umum ini.
4. Ruang Lingkup,
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam
a. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam sesuai
Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
–Permendiknas Nomor 23 Tahun
2006- meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
(1) Al-Qur’an dan Hadits
(2)
Aqidah
(3)
Akhlak
(4) Fiqih
(5) Tarikh dan Kebudayaan Islam
Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan,
keselarasan dan keserasian antara hubungan manusia dengan sesama manusia,
hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam
sekitarnya.
Untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran
dan indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian harus mengacu pada standar
kompetensi dan kompetensi dasar.
b. Standar Kompetensi
Acuan yang diperlukan untuk melaksanakan
pembelajaran dan memantau perkembangan mutu pendidikan adalah standar
kompetensi. Standar kompetensi yaitu kemampuan yang dapat dilakukan atau
ditampilkan untuk satu mata pelajaran; kompetensi dalam mata pelajaran tertentu
yang harus dimiliki oleh siswa; atau kemampuan yang harus dimiliki oleh suatu
lulusan dalam suatu mata pelajaran. [37]
Menurut
definisi tersebut, standar
kompetensi menyangkut dua hal, yaitu
standar isi (content standards), dan standar unjuk kerja (performan
standards). Standar kompetensi yang menyangkut isi berupa pernyataan
tentang pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam
mempelajari mata pelajaran tertentu. Standar kompetensi yang menyangkut tingkat
penampilan adalah pernyataan tentang kriteria untuk menentukan tingkat
penguasaan siswa terhadap standar isi.[38]
Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa standar kompetensi memiliki dua
penafsiran, yaitu: (1) pernyataan tujuan yang menjelaskan apa yang harus
dikuasai siswa dan kemampuan melakukan sesuatu dalam mempelajari suatu mata
pelajaran, dan (2) peringkat kinerja yang berkaitan dengan kategori pencapaian
seperti lulus atau memiliki keahlian.
Dalam merumuskan standar kompetensi PAI ada
dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek, ruang lingkup atau
cakupan standar kompetensi. Kedua, kata kerja yang digunakan dalam
merumuskan standar kompetensi. Adapun masalah aspek dan cakupan dalam perumusan
standar kompetensi dapat berupa kompetensi dalam aspek kognitif, aspek afektif
dan aspek psikomotor.
Kata kerja yang digunakan adalah kata kerja yang operasional dan terukur.
Operasional mengandung arti bahwa kata kerja tersebut menggambarkan unjuk kerja tertentu, dan
terukur mengandung arti bahwa unjuk kerja tersebut dapat dibandingkan dengan unjuk kerja yang standar.
Dua hal penting yang perlu mendapat perhatian
dalam menentukan standar kompetensi
yang dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional, yaitu:
(1) Kecakapan
hidup (life skill), yaitu keterampilan untuk menciptakan atau menemukan
pemecahan masalah-masalah baru (inovasi) dengan menggunakan fakta, konsep,
prinsip atau prosedur yang telah diajarkan aspek-aspeknya seperti yang sudah
diuraikan di bagian depan.
(2) Kecakapan sikap (afektif),
meliputi: (a) sikap yang berkenaan dengan nilai, moral, tata susila, baik
buruk, dsb; dan (b) sikap yang berhubungan dengan materi dan kegiatan
pembelajaran, seperti menyukai,
memandang positif, menaruh minat, dsb.
c.
Kompetensi
Dasar
Kompetensi dasar merupakan penjabaran dari standar
kompetensi. Setiap standar kompetensi dapat dijabarkan menjadi beberapa
kompetensi dasar (misalnya 3-6) namun bisa saja kurang atau lebih dari itu.
Kompetensi dasar adalah kemampuan minimal dalam mata pelajaran yang harus
dimiliki oleh lulusan; kemampuan minimal yang harus dapat dilakukan atau
ditampilkan oleh siswa dari standar kompetensi untuk suatu mata pelajaran. [39]
Kata kerja yang digunakan pada standar kompetensi
dan kompetensi dasar adalah
kata kerja yang
operasional. Kata kerja
yang digunakan pada kompetensi dasar bisa sama dengan kata kerja yang digunakan
pada standar kompetensi, namun cakupan materinya lebih sempit.
5. Manajemen
pembelajaran PAI
Arikunto
mengatakan bahwa keberhasilan pembelajaran antara lain bergantung pada mutu
pengelolaan pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran adalah kegiatan yang
meliputi tiga hal, yaitu: a. merencanakan pembelajaran; b. melaksanakan
pembelajaran; dan c. mengevaluasi hasil belajar siswa. Keberhasilan pembelajaran
di sekolah dapat terwujud jika ditentukan oleh kualitas manajemennya.
Belajar agama Islam yang direncanakan adalah aktivitas pendidikan yang
secara sadar dirancang untuk membantu murid dalam mengembangkan pandangan hidup
baik yang bersifat manual maupun mental spiritual. Proses perubahan tingkah
laku manusia untuk menjadi muslim, mukmin, muttaqin dan sebagainya salah
satu diantaranya dapat dilakukan dengan pembelajaran.[40]
Pembelajaran dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan potensi murid
menuju jalan kehidupan yang disediakan oleh Allah dan murid sendiri yang
memilih, memutuskan dan mengembangkan jalan hidupnya. Fungsi guru PAI adalah
berupaya untuk memilih, menetapkan dan mengembangkan metode pembelajaran yang dapat
memudahkan murid mempelajari Islam untuk dijadikan
pedoman dan petunjuk hidupnya.
6. Komponen Manajemen Pembelajaran
PAI
Berkaitan dengan manajemen pembelajaran, Suryosubroto mengemukakan bahwa
kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran dikelompokkan menjadi 3,
yaitu: a) Kemampuan merencanakan pembelajaran;b) Kemampuan melaksanakan proses
pembelajaran; c) Kemampuan mengevaluasi/mengadakan penilaian pembelajaran.[41]
a. Perencanaan
pembelajaran
Seorang guru harus memiliki kemampuan merancang perencanaan pembelajaran
secara profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai
seorang pendidik, pembelajar sekaligus sebagai perancang pembelajaran.
Perencanaan pembelajaran merupakan salah satu bagian program pembelajaran yang memuat tentang
persiapan guru mengajar dan berfungsi sebagai acuan untuk melaksanakan
pembelajaran agar lebih terarah dan berjalan lebih efektif. Dengan demikian
guru PAI sebagai perancang pembelajaran sekaligus sebagai pengelola dan
pelaksana proses pembelajaran harus memiliki keterampilan dan pengetahuan.
1) Silabi
Silabi didefinisikan sebagai ”garis besar,
ringkasan, ikhtisar atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran”.[42]
Istilah silabi digunakan untuk menyebut suatu produk pengembangan kurikulum
berupa penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang ingin dicapai, dan pokok-pokok serta uraian materi yang perlu dipelajari
siswa dalam rangka pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Dalam kurikulum 2006 silabi disusun
berdasarkan Standar Isi, yang di dalamnya berisikan Identitas Mata Pelajaran,
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), Materi Pokok/Pembelajaran,
Kegiatan Pembelajaran, Indikator, Penilaian, Alokasi Waktu dan Sumber Belajar.[43]
Sedangkan manfaat silabi adalah: 1) Sebagai
pedoman dalam pengembangan pembelajaran, seperti pembuatan rencana
pembelajaran, pengelolaan kegiatan pembelajaran dan pengembangan sistem
penilaian; 2) Sebagai sumber pokok dalam penyusunan rencana pembelajaran, baik
rencana pembelajaran untuk satu standar kompetensi maupun satu kompetensi
dasar; 3) sebagai pedoman untuk merencanakan pengelolaan kegiatan belajar
secara klasikal, kelompok kecil atau pembelajaran secara individual; dan 4)
sangat bermanfaat untuk mengembangkan sistem penilaian, yang dalam pembelajaran
berbasis kompetensi (KTSP) sistem penilaian selalu mengacu pada SK, KD dan pembelajaran yang
terdapat di
dalam silabi.[44]
2) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Perencanaan pembelajaran atau biasa disebut
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata
pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas.
Di dalam kurikulum 2006 (KTSP) secara teknis rencana pembelajaran
mencakup komponen-komponen berikut:
(1)
Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator
pembelajaran
(2)
Tujuan pembelajaran
(3)
Materi pembelajaran
(4)
Pendekatan dan metode pembelajaran
(5)
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran
(6)
Alat dan sumber belajar
(7)
Evaluasi pembelajaran
Dengan demikian inti dari perencanaan pembelajaran adalah proses memilih,
menetapkan dan mengembangkan pendekatan, metode dan teknik pembelajaran,
menawarkan bahan ajar, menyediakan pengalaman belajar yang bermakna serta
mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran dalam mencapai hasil
pembelajaran.
b. Pelaksanaan
pembelajaran
Yang dimaksud dengan
pelaksanaan pembelajaran adalah
proses berlangsungnya pembelajaran di kelas maupun di luar kelas yang
merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Menurut Lefrancois seperti
dikutip oleh Suryobroto pelaksanaan pembelajaran adalah pelaksanaan
strategi-strategi yang telah dirancang untuk mencapai tujuan pembelajaran.[45]
Menurut Muslich pembelajaran - istilah lain dari Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) - merupakan langkah-langkah kongkrit kegiatan belajar siswa dalam rangka
memperoleh, mengaktualisasikan atau meningkatkan kompetensi yang dikehendaki.[46]
Dengan kata lain, pembelajaran merupakan proses aktif bagi siswa dan guru untuk
mengembangkan potensi siswa sehingga mereka akan ”tahu” terhadap pengetahuan
dan pada akhirnya ”mampu” untuk melakukan sesuatu.
Tahapan kegiatan pembelajaran
menururt Abdul Majid meliputi: [47]
1) Kegiatan awal
Kegiatan
pendahuluan dimaksudkan sebagai jembatan atau pemanasan yang menghubungkan
pelajaran sebelumnya dengan pelajaran yang akan diajarkan, yang fungsinya untuk
memberikan motivasi kepada siswa, memusatkan perhatian dan mengetahui apa yang
telah dikuasai siswa berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari. Kegiatan pendahuluan ini dapat dilakukan
dengan bermacam cara, antara lain:
a) Melaksanakan
apersepsi atau penilaian kemampuan awal
Kegiatan
ini dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana kemampuan awal yang
dimiliki siswa dan tidak mengesampingkan motivasi belajar terhadap siswa.
b) Menciptakan kondisi
awal pembelajaran melalui upaya:
i.
Menciptakan semangat dan kesiapan belajar melalui
bimbingan guru kepada siswa.
ii. Menciptakan suasana
pembelajaran demokratis dengan memberdayakan keunggulan yang dimiliki siswa.
2) Kegiatan inti
Kegiatan
inti adalah kegiatan utama untuk menanamkan, mengembangkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan berkaitan dengan bahan kajian yang bersangkutan. Kegiatan inti
setidaknya mencakup:
a) penyampaian tujuan
pembelajaran
b) penyampaian
materi/bahan ajar dengan menggunakan pendekatan dan metode, sarana dan
alat/media yang sesuai.
c) pemberian bimbingan bagi
pemahaman siswa
d) melakukan pemeriksaaan/pengecekan
terhadap pemahaman siswa
3) Penutup
Kegiatan penutup
memberikan penegasan atau kesimpulan dan penilaian terhadap penguasaan bahan
kajian yang diberikan pada kegiatan inti.
Kesimpulan ini dibuat oleh guru dan atau bersama-sama dengan siswa.
Kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan akhir adalah:
a) Melaksanakan
penilaian akhir dan mengkaji hasilnya
b) Melaksanakan kegiatan
tindak lanjut, di antaranya: memberi tugas atau latihan-latihan, menugaskan
mempelajari materi tertentu dan memberi motivasi/bimbingan belajar.
c) Mengakhiri proses
pembelajaran dengan menjelaskan atau memberi tahu materi pokok yang akan
dibahas pada pelajaran berikutnya.
c. Penilaian
pembelajaran
Penilaian merupakan serangkaian
kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan proses dan hasil
belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga
menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan untuk menentukan tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi
yang telah ditentukan. [48]
Penilaian dalam KTSP menganut prinsip penilaian berkelanjutan dan
komprehensip guna mendukung upaya memandirikan siswa untuk belajar, bekerja
sama dan menilai diri sendiri. Karena itu, penilaian dilakukan dalam kerangka
Penilaian Berbasis Kelas (PBK).[49]
Dikatakan PBK karena kegiatan
penilaian dilakukan secara
terpadu dalam kegiatan
pembelajaran.
Sedang PBK yang disusun secara berencana dan sistematis oleh guru menurut
Majid, memiliki fungsi motivasi, belajar tuntas, efektivitas pengajaran dan
umpan balik.[50] Fungsi
motivasi, penilaian yang dilakukan oleh guru harus mendorong motivasi siswa
untuk belajar. Latihan, tugas dan ulangan harus dirancang sedemikian rupa
sehingga siswa terdorong untuk terus belajar dan merasa kegiatan tersebut
menyenangkan dan menjadi kebutuhannya. Fungsi belajar tuntas, penilaian
di kelas harus diarahkan untuk memantau ketuntasan belajar. Ketuntasan belajar
harus menjadi fokus dalam perancangan materi yang dicakup setiap kali guru
melakukan penilaian. Jika kompetensi belum dikuasai siswa, penilaian harus
terus dilakukan hingga semua atau sebagian besar siswa benar-benar telah
menguasai kompetensi yang dimaksud. Fungsi sebagai indikator efektivitas
pengajaran, di samping untuk memantau kemajuan belajar siswa, penilaian
juga untuk mengetahui seberapa
jauh KBM telah
berhasil.
Fungsi
umpan balik, umpan balik
hasil penilaian bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kelemahan
belajarnya dan bagi guru berfungsi untuk melihat kekurangan-kekurangan dalam pembelajaran.
Dalam hal tertentu hasil penilaian juga dapat mendorong dan membantu
ketercapaian target penguasaan kompetensi.
Kriteria atau hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam penilaian pembelajaran PAI adalah:
1) Penilaian dapat
dilakukan melalui tes maupun non tes.
2) Penilaian harus
mencakup tiga aspek kemampuan, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik.
3) Menggunakan berbagai
bentuk dan teknik penilaian pada saat pembelajaran sedang berlangsung,
misalnya: mendengarkan, observasi, mengajukan pertanyaan, mengamati hasil kerja
dan memberikan tes.
4) Pemilihan alat dan
jenis penilaian berdasarkan rumusan tujuan pembelajaran.
5) Alat penilaian harus
mendorong kemampuan penalaran dan kreativitas, misalnya: penilaian kinerja,
penilaian penugasan, peni-laian hasil kerja, penilaian tes tertulis, portofolio
dan penilaian sikap.
6) Mengacu pada prinsip
diferensi, yaitu memberi peluang kepada siswa untuk menunjukkan apa yang
diketahui, dipahami dan mampu dilakukan.
7) Tidak bersifat
diskriminasi, artinya memberi peluang yang adil kepada semua siswa.
E. Analisis Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam
Implementasi kurikulum adalah operasional konsep
kurikulum yang masih bersifat potensial (tertulis) menjadi aktual dalam bentuk
kegiatan pembelajaran. Secara garis besar implementasi kurikulum mencakup tiga
kekuatan pokok, yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan
penilaian pembelajaran.
Mars dalam Mulyasa mengemukakan bahwa ada tiga
faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum, yaitu dukungan kepala sekolah;
dukungan rekan sejawat guru dan dukungan internal yang datang dari guru
sendiri. Dari berbagai faktor tersebut guru merupakan faktor penentu di samping
faktor-faktor lain.[51]
Dengan kata lain, keberhasilan implementasi kurikulum (KTSP) sangat ditentukan
oleh guru, karena bagaimanapun baiknya sarana pendidikan apabila guru tidak
melaksanakan tugas dengan baik, maka hasil implementasi kurikulum
(pembelajaran) tidak akan
memuaskan.
memuaskan.
Sebagaimana
sudah peneliti deskripsikan
pada bab sebelumnya bahwa kegiatan pembelajaran PAI di
SMP Negeri I Demak meliputi tiga tahap, yaitu: perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran dan penilaian pembelajaran.
1. Tahap Perencanaan
Perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru mencakup pengembangan
silabi, perencanaan program tahunan dan program semester serta membuat program
harian dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Format silabi yang digunakan SMP Negeri I Demak adalah format yang
dicontohkan oleh BSNP. Di dalamnya tersusun kompetensi yang harus dikuasai
siswa, standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi pokok/ pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian dan sumber belajar. Semua sudah
diuraikan oleh BSNP secara lengkap. Satuan pendidikan/guru tinggal
mengembangkan. Namun kenyataannya, guru PAI SMP Negeri I Demak tidak
mengembangkannya lagi dengan beberapa alasan, di antaranya adalah guru sudah
terbiasa menerima segala sesuatu (kurikulum) dalam bentuk jadi dan siap pakai
sebagaimana pada kurikulum 1994, GBPP tinggal menggunakan.
Tentu saja hal ini tidak
sejalan dengan amanat Kurikulum 2006. Dalam kurikulum 2006 (KTSP) guru diberi
kebebasan untuk mengubah, memodifikasi bahkan membuat sendiri silabi yang
sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah. Sebagaimana pendapat Karnadi (pakar
kurikulum, dosen UNJ) yang menjelaskan bahwa KTSP tidak hanya menyempurnakan
kurikulum sebelumnya, namun memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada
daerah dan memberi ruang lebih luas bagi otonomi sekolah. Pemerintah hanya
menetapkan standar minimal kurikulum yang harus dipenuhi, selebihnya bergantung
pada masing-masing sekolah. [52]
Demikian halnya, prota, promes
dan RPP yang digunakan oleh guru PAI SMP Negeri I Demak juga disusun oleh guru
PAI melalui forum MGMP
Kab. Demak dengan alasan agar diperoleh keseragaman. Artinya guru-guru PAI SMP Negeri I Demak tidak terlibat semuanya dalam proses penyusunan hal-hal tersebut di atas. Hanya seorang guru yang terlibat karena dia adalah pengurus MGMP PAI Kab. Demak.
Kab. Demak dengan alasan agar diperoleh keseragaman. Artinya guru-guru PAI SMP Negeri I Demak tidak terlibat semuanya dalam proses penyusunan hal-hal tersebut di atas. Hanya seorang guru yang terlibat karena dia adalah pengurus MGMP PAI Kab. Demak.
Hal demikian tentunya tidak
diharapkan di dalam implementasi KTSP. Menurut Prof. Ansyar seperti dilansir Antara,[53]
bahwa pemberdayaan guru dalam KTSP ini akan lebih baik, karena guru harus
memikirkan perencanaan penyampaian materinya, setelah selama ini hanya mengajar
sesuai kurikulum yang diturunkan pusat. Menurutnya, penerapan KTSP memberikan
peluang bagi setiap sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, dan untuk itu
tiap guru yang akan mengajar di kelas dituntut memiliki kemampuan menyusun kurikulum yang tepat bagi siswanya.
2. Tahap Pelaksanaan
Proses pembelajaran
selain diawali dengan perencanaan yang baik, didukung dengan
komunikasi yang baik, juga harus didukung dengan pengembangan strategi yang
mampu membelajarkan siswa. Pengelolaan pembelajaran merupakan suatu
proses penyelenggaraan interaksi siswa dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pada Kurikulum 2006 (KTSP)
materi pembelajaran lebih sedikit dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya.
Namun karena belajar adalah membantu siswa mencapai kompetensi maka materi
pembelajaran dirasa masih terlalu banyak sedangkan waktu yang disediakan
terbatas, yaitu 2 jam pelajaran X 40 menit setiap satu pertemuan dalam
seminggu.
Hal ini terjadi karena
kemampuan siswa tidak sama, ada yang tinggi, sedang atau rendah. Sedang guru
belum menguasai metode pembelajaran danbelum memberdayakan sumber-sumber
belajar yang ada secara maksimal.
Sehingga jika guru merasa dikejar-kejar oleh materi dan waktu.
Sehingga jika guru merasa dikejar-kejar oleh materi dan waktu.
Selain itu guru perlu memahami
pola pengalaman belajar siswa dan kemungkinan hasil belajar yang dicapainya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Confucius, filosof Cina dalam Mel Silberman
di dalam buku Active Learning: What I hear, I forget; What I see, I
remember; What I do, I unserstand.[54]
Muslich yang mengembangkan
pendapat Mel Silberman dalam ”Kerucut Pengalaman Belajar” mengatakan bahwa
pengalaman belajar yang ’didengar’ dan ’dilihat’ oleh siswa hanya mampu diingat
oleh siswa sebanyak 30 %, namun jika siswa ”mendengar, melihat, membahas/ mendiskusikan
dan mempraktekkannya” maka siswa akan menjadi mengerti dan terampil serta mampu
mengingat sampai 90 %.[55]
Oleh sebab itu pengalaman
belajar yang telah diidentifikasi dalam silabi perlu digunakan sebagai acuan
oleh guru dalam mengembangkan strategi atau metode pembelajaran. Pengalaman belajar dapat dilakukan baik di
dalam maupun di luar kelas. Hal yang tidak boleh dilupakan bahwa pengalaman
belajar yang diberikan bukan semata-mata mengembangkan kemampuan dan
keterampilan akademis (academic skill) tetapi juga keterampilan hidup (life
skill) yang sangat diperlukan bagi kehidupan siswa sebagai anggota
masyarakat.
Sedang metode pembelajaran
yang digunakan oleh guru PAI
SMP Negeri I Demak
antara lain adalah
metode ceramah, tanya jawab, pemberian tugas, diskusi, tutor
sebaya, modeling dan demonstrasi. Namun
metode yang sangat dominan digunakan adalah metode ceramah.
Kita tahu bahwa Contextual
Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran kontekstual merupakan suatu
konsep belajar di mana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dalam
upaya itu mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing. Sehingga,
orientasi pembelajaran bergeser dari ”guru dan apa yang harus dilakukan” ke
”siswa dan apa yang harus mereka lakukan”, dari ”teacher oriented” ke ”student
oriented”. [56]
Dengan demikian, siswa belajar
diawali dengan pengetahuan, pengalaman dan konteks keseharian yang mereka
miliki yang dikaitkan dengan konsep mata pelajaran yang dipelajari di kelas dan
selanjutnya dimungkinkan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan
keseharian mereka. Kata
kuncinya adalah ”Bawalah mereka dari dunia mereka ke dunia kita, kemudian
antarkan mereka dari dunia kita ke dunia mereka kembali!”. [57]
Terlepas dari semua metode
yang digunakan oleh guru PAI SMP Negeri I Demak, satu metode yang hendaknya
tidak ditinggalkan oleh guru PAI adalah metode keteladanan. Hal ini penting karena figur guru
selayaknya menampilkan kepribadian yang sopan, ramah, tidak mudah marah,
pemaaf, pandai, rapi, bersih, taat beribadah dan sebagainya.
Pada umumnya pembelajaran yang
dilakukan oleh guru PAI SMP Negeri I Demak belum menerapkan konsep belajar
tuntas. Ini terbukti pada saat peneliti mengadakan observasi kelas, materi
pembelajaran yang belum selesai ”dinyatakan selesai” dan siswa diminta oleh
guru untuk memperdalam pemahaman di rumah kemudian guru melanjutkan ke materi
pembelajaran berikutnya dengan alasan untuk mengejar waktu [58] sehingga sejauh mana kompetensi yang
sudah dikuasai siswa tidak bisa diukur. Hal ini bisa ’sedikit’ dimengerti mengingat pada semester II alokasi
waktu/minggu efektif untuk pembelajaran lebih sedikit dibandingkan pada
semester I karena terkurangi untuk pelaksanaan latihan ujian nasional (try
out), pelaksanaan ujian nasional maupun ujian sekolah bagi kelas IX. Namun
hal ini tidak dapat digunakan sebagai alat pembenaran mengingat standar
kompetensi/kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa juga lebih sedikit
dibandingkan dengan pada semester I.
Pembelajaran remediasi
dilakukan oleh guru PAI SMP Negeri I Demak jika dalam satu kelas hampir separoh
atau lebih dari separoh siswa yang belum mencapai kompetensi dasar. Dan
terhadap siswa yang masih juga belum kompeten maka guru memberi tugas khusus
yang tentu saja lebih mudah jika dibandingkan dengan tugas sebelumnya yang
diberlakukan bagi semua siswa di kelas.
3. Tahap Penilaian
Penilaian hasil belajar pada
hakekatnya merupakan suatu kegiatan untuk mengukur dan menentukan tingkat
ketercapaian kompetensi dan sekaligus untuk mengukur efektivitas proses
pembelajaran. Sesuai dengan standar nasional pendidikan disyaratkan bahwa
penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru PAI SMP Negeri I Demak secara
berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam
bentuk ulangan harian, ulangan tengah
semester, ulangan umum semester dan ulangan kenaikan kelas.
Ulangan harian pada umumnya
dilakukan oleh guru PAI SMP Negeri I Demak setiap selesai proses pembelajaran
dalam kompetensi dasar tertentu. Ulangan harian terdiri dari seperangkat soal
yang harus dijawab para siswa dan tugas-tugas terstruktur yang berkaitan dengan
konsep dan kompetensi dasar yang sedang dibahas.
Jika nilai yang diperoleh dari
ulangan harian tidak memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu nilai 70
untuk kelas VII dan VIII dan 75 untuk kelas IX untuk beberapa siswa maka
biasanya guru tidak mengadakan ”bimbingan khusus” kepada mereka, atau
mengadakan remediasi dengan cara memberikan tugas lain yang masih berkaitan
dengan materi ulangan harian. Jika ada separoh anak yang tidak mencapai KKM
maka langkah guru biasanya mengulang SK tersebut secara global, kemudian
mengadakan ulangan harian lagi. Dan jika ternyata masih ada beberapa siswa yang
belum menguasai standar kompetensi biasanya mereka tetap melanjutkan ke
materi/standar kompetensi berikutnya.
Idealnya proses penilaian berlangsung terus-menerus (on
going process test). Data
nilai diambil dari berbagai sumber dan berbagai cara, tidak hanya hasil tes.
Yang utama guru menilai dari penampilan, kinerja dan hasil karya siswa. Yang
mendapat nilai tinggi dalam pembelajaran shalat (misalnya) adalah siswa yang
shalatnya benar menurut tata caranya dan bacaanya juga benar, bukan hasil
ulangan tentang shalat.
Namun perlu diingat bahwa
penilaian harus berkelanjutan dalam rangkaian rencana mengajar guru melalui
pemberian tugas, pekerjaan rumah (PR), ulangan harian, ulangan tengah dan akhir
semester serta ulangan kenaikan kelas merupakan proses yang berkesinambungan
dan berkelanjutan selama satu tahun pelajaran.
Sedang pelaksanaan ulangan
tengah semester di SMP Negeri I Demak dilakukan setelah pembelajaran mencapai
beberapa standar kompetensi tertentu (kurang lebih 50 % dari standar kompetensi
pada semester tersebut). Ulangan tengah semester terdiri dari seperangkat soal
yang harus dijawab oleh siswa mengenai materi dan kompetensi dasar yang telah
dilakukan pada setengah semester bagian awal dan dilakukan satu kali dalam satu
semester. Ulangan tengah semester merupakan ulangan sub sumatif ditujukan untuk
menentukan keberhasilan siswa yang diwujudkan dalam pemberian nilai, termasuk
untuk bahan pertimbangan kenaikan kelas.
Tahap penilaian selanjutnya adalah
ulangan umum semester yang
dilaksanakan bersama-sama untuk kelas-kelas paralel, umumnya juga
dilakukan bersama baik tingkat rayon, kecamatan, kabupaten/kota maupun
propinsi yang soalnya dibuat oleh MGMP PAI Kab. Demak. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan pemerataan mutu pendidikan dan untuk menjaga akurasi soal-soal
yang diujikan.
Jika pada ulangan
umum semester ini terdapat siswa yang
belum mencapai KKM maka langkah guru adalah memberi remedial berupa mengerjakan
materi tes semester yang sama yang baru
selesai diujikan beberapa hari lalu. Jika nilai remediasi masih belum mencapai
KKM maka guru memberi tugas lain, misalnya membaca dan menulis ayat-ayat al-Qur’an
atau mengerjakan shalat yang ditentukan jenisnya oleh guru yang bersangkutan.
Jika masih belum tuntas juga maka terpaksa anak tersebut diberi nilai di bawah
KKM artinya belum tuntas belajar.
Hal ini tentu saja
akan semakin menambah ”beban” bagi guru dan juga siswa. Tapi usaha guru dengan
berbagai metode dan teknik untuk tetap mencapai kompetensi yang dimaksud tidak
boleh berhenti sampai siswa benar-benar mencapai kompetensi yang
dipersyaratkan.
Tahap penilaian paling akhir
adalah ulangan kenaikan kelas dilakukan pada akhir semester genap. Ulangan
kenaikan kelas soalnya diambil dari standar kompetensi, kompetensi dasar
dan materi pembelajaran semester kedua.
Ulangan kenaikan kelas (sama
dengan ulangan umum semester kedua) dilakukan untuk menentukan peserta didik
yang berhak pindah kelas/naik kelas ke kelas yang berada di atasnya, dari kelas
VII ke kelas VIII, dari kelas VIII ke kelas IX. Sedangkan ulangan umum semester
genap bagi kelas IX kemudian dilanjutkan Ujian Akhir Sekolah (UAS) untuk
menentukan kelulusan siswa yang materi
soalnya dibuat oleh MGMP PAI tingkat
kabupaten.
Penilaian hasil belajar oleh
pendidik yang mencakup ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan
semester dan ulangan kenaikan kelas harus dilakukan secara menyeluruh mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan dan nilai serta sikap siswa secara proporsional.
Hasil belajar merupakan proses
prestasi belajar siswa secara keseluruhan yang menjadi indikator kompetensi
dasar dan perubahan tingkah laku yang bersangkutan. Penentuan nilai rapor
selama ini cenderung memperhatikan hasil ulangan tertulis yang mayoritas
mengamati ’kemajuan’ ranah kognitif. Ranah afektif dan psikomotorik juga harus
diamati kemajuannya, karena kedua ranah ini tidak hanya bisa diketahui dari tes
tertulis akan tetapi harus dengan tes perbuatan atau dalam bentuk lain,
misalnya: observasi, wawancara, jawaban terinci dan sebagainya. Untuk
meningkatkan partisipasi dan keterlibatan siswa serta melihat kompetensi siswa
sebagai hasil belajar, penilaian pembelajaran seyogyanya melalui tes perbuatan
atau non tes yang kesemuanya itu sudah dicantumkan di dalam
RPP guru tinggal merealisasikan.
E. Penutup
Manusia tidak bisa menghindar
dari perubahan karena tuntutan jaman. Oleh karena itu manusia harus siap
menghadapi perubahan jaman. Namun
pada umumnya sebagian manusia cenderung menolak jika terjadi perubahan karena
berbagai faktor. Setiap perubahan mengandung ketidakpastian terhadap hasil yang
akan dicapai. Perubahan dapat mengganggu suatu sistem yang telah mapan.
Perubahan mengandung ancaman (memberikan rasa tidak aman terhadap orang yang
sulit menyesuaikan dirinya dengan perubahan), karena memang perubahan pasti
mengandung resiko (untung dan rugi).
Pada era global, lembaga
pendidikan banyak menghadapi berbagai tantangan, bagaimana mempersiapkan
peserta didik, pengajar, fasilitas dan kurikulum (silabi) dengan baik sehingga
cita-cita dan harapan pemerintah agar pendidikan di Indonesia menjadi maju dan
tidak tertinggal dengan negara-negara lain akan terwujud. Salah satu di
antaranya dengan perbaikan kurikulum untuk mengantisipasi beberapa hal. Yaitu
mengadaptasi dan mengelola perubahan, menumbuhkan tradisi mengembangkan
kemampuan diri dan mengembangkan kretivitas lembaga pendidikan sebagai ”learning
organization and creative centre”.[59]
Secara garis besar
implementasi KTSP mencakup tiga kekuatan pokok, yaitu pengembangan program,
pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. 1. Pengembangan program;
pengembangan kurikulum mencakup pengembangan program tahunan, program semester,
program modul (pokok bahasan/indikator), program mingguan dan harian (RPP),
program pengayaan dan remediasi serta program bimbingan dan konseling; 2. Pelaksanaan
pembelajaran; pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara
peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah
yang lebih baik. Tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan
agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik; 3. Evaluasi
hasil belajar; evaluasi hasil belajar dalam implementasi kurikulum
dilakukan dengan penilaian kelas yang meliputi ulangan harian, ulangan tengah
semester/mid semester, ulangan umum dan ujian akhir.[60]
Untuk mengimplementasikan
suatu program baru tentu tidak akan terlepas dari kendala atau rintangan. Oleh
karena itu untuk meminimalkan adanya kendala dalam proses implementasi perlu adanya
persiapan yang harus dilakukan oleh sekolah. Salah satu kendala tersebut dapat
diatasi dengan lebih banyak melibatkan guru. Guru tidak saja dilibatkan dalam
penjabaran program tahunan, program semester dan program harian tetapi juga
untuk menyusun kurikulum menyeluruhdi sekolahnya. Jika sejak awal guru
dilibatkan dalam penyususnan kurikulum. Mereka akan memahami benar substansi
kurikulum dan cara implementasinya secar baik.
[1] Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: teori dan praktek, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999, h. 4.
[2] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis
Kompetensi, Konsep, Karakteristik Implementasi dan Inovasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004, h. 5.
[3] Khaeruddin, dkk, Kurikulum Tingkat
Satuan Penduidikan: konsep dan implementasinya di madrasah, cet. I,
Jakarta: Bumi Aksara, 2007, h. 5.
[4] Masnur Muslich, KTSP, Dasar Pemahaman dan Pengembangan Pemahaman
dan Pengembangan: Pedoman bagi pengelola pendidikan, pengawas sekolah,
kepala sekolah, komite sekolah, dewan sekolah dan guru, Jakarta: Bumi Aksara,
Ed. I, Cet. 2, 2007, h. 17
[6] Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan:
manajemen pelaksanaan dan kesiapan sekolah menyongsongnya, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h.
95.
[7] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, h. 52.
[8] Muhammad Joko Susilo, op. cit., h.
100-101.
[9] Lihat
PP No. 19 Th. 2005, Bab II, pasal 2, ayat 1.
[10] Arif Sadiman, dkk, Media Pendidikan; Pengertian, pengembangan
dan pemanfaatannya, cet. ke-5, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, h. 181.
[11] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis ...,
h. 102-103.
[12] E. Mulyasa, Kurikulum Yang
Disempurnakan: Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Cet.
I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, h. 55.
[13] Webster’s School Dictionary, New
York: American Book Company, 1980, h. 221.
[15] Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook,
Makkah al-Mukarramah: Umm al-Qura University, t.t., h. 123
[17] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, cet. 1, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1987, h. 483-484
[18] Lee C. Deighton, Encyclopedia of Educational Research, New York: Macmillan,
1960, h. 359-365
[21] Lihat Kompas, 10 -2- 2006
[22] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis... op cit., h. 38.
[23] Ibid, 38-39
[24] Sam M Chan dan T. Sam, Tuti, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan
Era Otonomi Daerah, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005, h. 193-194
[25] Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual: Panduan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah, Ed. I,
Cet. 2, Jakarta:
Bumi Aksara, 2007, h. 10
[27] Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyatul Islamiyah wa Asalibuha,
Alih Bahasa. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1989, h. 41.
[28] Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan
Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1987, 122.
[31] Langgulung, Hasan, Asas-asas
Pendidikan Islam, cet. 1, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987, h. 178
[32] Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Ter. Bustami
A. Ghani, dkk, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, h. 10.
[34] Depdiknas, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Mata Pelajaran Pendidikn Agama Islam, Jakarta:
Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2004, h. 1.
[37] BSNP, Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan untuk Sekolah Menengah Pertama
dan Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: PT. Binatama, 2007, 352. Lihat juga Muhammad
Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: manajemen pelaksanaan
dan kesiapan sekolah menyongsongnya, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007,
h. 141-142.
[38] Depag RI, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kegiatan Pembelajaran
Aqidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Direktorat Mapenda Islam pada
Sekolah Umum, 2004, 5-6.
[40] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, h.11.
[41] B. Suryobroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah: Wawasan Baru Beberapa
Metode Pendukung dan Beberapa Layanan Khusus, Jakarta: Rineka Cipta, 1997,
h. 26-27.
[42] Salim dalam Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual: Panduan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah, Ed. I,
Cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, h. 23.
[44] Abdul Majid, op. Cit., h. 40.
[45] B. Suryobroto, op. cit., h. 26-27.
[46] Masnur Muslich, op. cit., h. 71.
[47] Abdul Majid, op. cit., h. 104.
[49] Masnur Muslich, op. cit., h. 91.
[50] Abdul Majid, op. cit., h. 188.
[51] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis... op cit., h. 189.
[53] Ibid.
[54] Melvin L Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach any
Subject, Nedham Heights
Massachusetts, 1996, h. 1.
[55] Masnur Muslich, op. cit., h. 75-76.
[56] Nurhadi dan Agus Gerrar Senduk, Pembelajaran Kontekstual
(Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK, Malang: Penerbit
Universitas Negeri Malang, 2003, h. 4.
[57] Depdiknas, Panduan Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual Sekolah Menengah
Pertama, Jakarta: Ditbin SMP, 2008, h. 4.
[58] Kebetulan peneliti mengadakan riset di
sekolah tersebut pada saat memasuki pertengahan semester II.
[59] Mansur, Peradaban
Islam dalam Lintasan Sejarah, Global Pustaka Utama, Yogyakarta, 2004, h. 114.
[60] Muhammad Joko Susilo, op. cit., h.
176-177.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Abdurrahman Saleh, t.t., Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah
al-Mukarramah: Umm al-Qura University
Al-Abrasyi,
Athiyah, 1984, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Ter. Bustami A.
Ghani, dkk, Jakarta: Bulan Bintang
An-Nahlawi,
Abdurrahman, 1989, Ushulut Tarbiyatul Islamiyah wa Asalibuha, Alih
Bahasa. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro
Arifin,
M, 1987, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Aksara
Bawani, Imam,
1987, Segi-segi Pendidikan Islam, Surabaya: Al-Ikhlas
BSNP,
2007, Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan untuk Sekolah Menengah Pertama dan
Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: PT. Binatama
Chan, Sam
M dan T. Sam, Tuti, 2005, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Crow and Crow, 1990, Pengantar Ilmu Pendidikan,
Yogyakarta: Rake Sarasin, Ed. III
Depag RI, 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kegiatan
Pembelajaran Aqidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Direktorat Mapenda
Islam pada Sekolah Umum
Depdiknas, 2004, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Mata Pelajaran Pendidikn Agama Islam,
Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama
-----------, 2008, Panduan Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual Sekolah
Menengah Pertama, Jakarta: Ditbin SMP
Hamalik, 1999, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara
http://isrona.wordpress.com/2007/02/05/ktsp-bikin-guru-kreatif
Irawan, Prasetyo, 1997, Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan
Mengajar (Pekerti), Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud
Jamal, Murni, 1983, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Dirjen Binbaga
Islam
Khaeruddin,
dkk, 2007, Kurikulum Tingkat Satuan Penduidikan: konsep dan implementasinya
di madrasah, Jakarta: Bumi Aksara, cet. I
Langgulung,
Hasan, 1987, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, cet. 1
--------------,
1989, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: PT.
al-Ma’arif, cet. ke-1
Lee C. Deighton, 1960: Encyclopedia
of Educational Research, New York:
Macmillan
Majid, Abdul, 2006, Perencanaan
Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya
Majid,
Abdul, dan Dian Andayani, 2004,
Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja
Rosdakarya
Mulyasa,
E, 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik Implementasi
dan Inovasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
----------,
2006, Kurikulum Yang
Disempurnakan: Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar,
Bandung : Remaja Rosdakarya, Cet. I
Muslich,
Masnur, 2007, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual:
Panduan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah, Jakarta: Bumi Aksara,
Ed. I, Cet. 2
----------, 2007, KTSP, Dasar Pemahaman dan Pengembangan
Pemahaman
dan Pengembangan: Pedoman
bagi pengelola pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, komite sekolah,
dewan sekolah dan guru, Jakarta: Bumi Aksara, Ed. I, Cet. 2
Nasution,
S, 1991, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Adrya Bakti, cet. 4
Nata,
Abudin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Nurgiantoro,
Burhan, 1988, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, Yogyakarta:
BPFE
Nurhadi
dan Senduk, Agus Gerrar, 2003, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching
and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK, Malang: Penerbit Universitas
Negeri Malang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Permendiknas Nomor 22 dan 23 Tahun 2006
Sadiman,
Arif S, dkk, 2002, Media Pendidikan; Pengertian, pengembangan dan
pemanfaatannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ke-5
Saleh,
Abdurrahman, 1976, Didaktik Pendidikan Agama, Jakarta: Bulan Bintang
Silberman, Melvin L, 1996, Active
Learning: 101 Strategies to Teach any Subject, Nedham Heights Massachusetts
Sudarmono,
1996, Penataran P4, Jakarta: Set. Tim Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran
Pegawai RI
Sujana,
Nana, 1995, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar,
Bandung: Sinar Baru
----------,
1996, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru
Suryobroto, B, 1997, Proses Belajar Mengajar di Sekolah: Wawasan Baru
Beberapa Metode Pendukung dan Beberapa Layanan Khusus, Jakarta: Rineka
Cipta
Susilo,
Muhammad Joko, 2007, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: manajemen pelaksanaan
dan kesiapan sekolah menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Webster’s School Dictionary, 1980, New York: American Book
Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda