BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN (21)
Assalamu'alaikum wrwb.
Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan rizqi yang Allah berikan. Supaya
kita mampu merasakan kebahagiaan. Jangan menunggu kaya, karena biasanya makin
kaya, justru lupa bersyukur. Meski banyak juga yang makin kaya, dia makin
bersyukur.
Shalawat dan salam pada Rasulullah saw, figur idola dan teladan umat yang
ingin hidup dalam ridha Allah, hidup yang bermakna, dan selalu dalam panduan
dzikir kepada-Nya (QS. Al-Ahzab: 21). Sosok yang tampil sejuk, menyejukkan,
berempati kepada siapapun, memanusiakan manusia, termasuk kepada orang yang tua
yang buta dan beda agama.
Beragama itu hidayah, pilihan, dan menjalankan fitrah manusia, dan
keberagamaan atau religiusitas artinya manifestasi dan implementasi dari
hidayah dan pengembangan fitrah dari orang yang beragama. Ada orang yang
beragama tapi tidak didukung dengan kebearagamaan yang berkualitas dengan amal
shalih. Dalam Islam, memeluk Islam itu, diawali dengan syahadat atau bersaksi
bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah, melainkan hanya Allah, dan
sesungguhnya Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah. Orang yang bersyahadat dia
sudah memiliki fondasi atau dasar keislaman. Tetapi beragama bagi orang Muslim,
musti dilengkapi dengan amalan wajib yang meliputi shalat, membayar zakat bagi
yang memiliki penghasilan yang dalam satu tahun melebihi dari batas minimal,
setara dengan 85 gram emas (Yusuf al-Qaradlawy) atau 92,6 gram emas
(Kementerian Agama), menjalankan puasa bagi yang mampu, dan menunaikan ibadah
haji bagi yang mampu, bekal, ongkos perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan,
dan sehat badannya (QS. Ali 'Imran: 97). Bagi yang non-muslim, tentu ada
syariat yang wajib dijalankannya yang juga dimaksudkan sebagai wujud kebearagamaan.
Beragama -- atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa -- bagi warga negara
Indonesia adalah mutlak atau menjadi keharusan. Ini karena Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan oleh founding fathers kita, menetapkan
sila pertama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, kalau ada
yang memilih anti Tuhan sebagaimana dianut oleh faham komunis, maka
sesungguhnya tidak layak hidup di wilayah NKRI. Karena melanggar konstitusi.
Sebaliknya, negara wajib menjamin warga negaranya supaya dapat mengamalkan
ajaran agamanya dengan baik, tanpa dibayangi oleh rasa takut atau ancaman dari
pihak manapun.
Apakah kita bisa dan berhak menilai keberagamaan seseorang? Jawabannya
tentu tidak bisa. Karena sesungguhnya yang mulia di sisi Allah adalah orang
yang paling bertaqwa (QS. Al-Hujurat: 13). Hanya Allah yang tahu keberagamaan
seseorang berkualitas atau tidak, dan tentu dirinya sendiri. Sahabat 'Umar bin
al-Khaththab menegaskan, "hisab/nilai dirimu sendiri sebelum
dinilai". Ironisnya, tidak jarang terjadi, orang bertambah ilmu tidak
tambah santun dan rendah hati, tetapi makin tampak angkuh atau takabburnya,
merasa paling bertaqwa. Dan orang lain, menjadi sasaran cacian dan kecaman.
Padahal Rasulullah saw mengingatkan, "janganlah rendahkan orang yang
tidak/belum jamaah ke masjid, ketika kamu bisa jamaah di masjid".
Pilihan taat beragama dengan menjalankan ibadah baik ritual-vertikal (عبادة محضة)
atau ibadah sosial-horizontal, diharapkan dapat melahirkan sikap dan prilaku
keberagamaan yang baik. Dalam bahasa sederhananya, keberagamaan seseorang bisa
ditampakkan dalam kesalihan individual dan kesalihan sosial. Atau meminjam
bahasa Al-Qur'an, orang yang keberagamaannya baik dan berkualitas, dialah orang
yang bertaqwa (muttaqin). Mereka itu yang akan mendapatkan keberuntungan (QS.
Al-Baqarah: 2-5). Pendek kata orang yang keberagamaannya baik, ia beriman
kepada Allah, hari akhir, Malaikat, kitab-kitab, para Nabi, menginfakkan
hartanya, pada keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang kehabisan
bekal di jalan, para peminta, membebaskan budak, menjalankan shalat, membayar
zakat, menepati janji, sabar dalam berbagai keadaan, dan rajin sadaqah (QS.
Al-Baqarah: 177).
Bagaimana dengan penampilan atau busana lahiriahnya? Setahu saya banyak
ayat Al-Qur'an lebih menekankan pada pesan substantifnya, yakni menutup aurat.
Apakah harus mengenak jubah dan surban seperti Pangeran Diponegoro sang
pahlawan kita, yang boleh jadi mencontoh Rasulullah saw, ataukah cukup busana
sarung, baju koko, dan pecis? Atau pakai setelan jas, berdasi, berpeci hitam,
yang oleh Bung Karno, dijadikan pakaian nasional Indonesia?
Persoalan ini menjadi isu yang sering memicu kontroversi bahkan sampai
saling membully antara satu dengan yang lain. Rasulullah saw menegaskan:
ان الله لا ينظر
الى أجسامكم ولا الى صوركم ولكن ينظر الى قلوبكم رواه مسلم عن أبي هريرة
"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasmani dan gambar (casing)
kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati kalian" (Riwayat Muslim dari
Abu Hurairah).
Karena itu, kewajiban kita adalah berusaha beragama dan keberagamaan kita
sesuai dengan yang ditinjukkan oleh Rasulullah saw. Beliau mengingatkan:
"Akan datang suatu zaman atas manusia, perut-perut mereka menjadi
Tuhan-tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka.
Dinar-dinar mereka menjadi agama mereka. Waktu itu, tidak tersisa iman
sedikitpun kecuali namanya saja. Tidak tersisa Islam sedikitpun kecuali
ritualnya saja. Masjid-masjid mereka makmur dan megah, akan tetapi hati mereka
kosong dari petunjuk (hidayah) Allah. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk yang
paling buruk di muka bumi. Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa
mereka dan menimpakan kepada mereka berbagai bencana: Kekejaman para
pemimpin/penguasa, kekeringan berkepanjangan, dan kekejaman para pejabat dan
kedhaliman para pengambil keputusan (Riwayat al-Baihaqi).
Saudaraku, kita akan kehabisan energi jika kita "berantem" atau
berbeda pendapat pada soal busana. Yang terpenting adalah berbagi tugas sesuai
keahlian kita masing-masing. Kita perlu bersatu dalam perbedaan. Karena
perbedaan adalah sunnatuLlah yang harus kita jaga dan rawat baik-baik, demi
keutuhan NKRI. Mari kita buktikan bahwa kita beragama dengan keberagamaan yang
baik, berkualitas, memberi manfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara ini.
Kita teladani Rasulullah saw, seperi Allah jelaskan: "Maka dengan
kasih sayang dari Allah, kamu bersikap lemah lembut kepada mereka, dan
sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang yang bertawakkal kepada-nya" (QS. Ali 'Imran: 159).
Soal pilihan busana sehari-hari apakah mau pakai jubah/qamis, peci putih,
dan surban, tetapi dia berjuang demi membela bangsanya dan NKRI, seperti
Pangeran Diponegoro, atau pakai sarung, baju koko, peci hitam tetapi dia rajin
juga membela agama dan bangsanya, atau pakaian adat seperti blangkon, tetapi
bela mati-matian membela NKRI yang baginya adalah harga mati, itu soal selera
dan kenyamanan. Sepanjang tidak menyalahi pesan syariat agama, maka itu bagian
dari ekspresi hak azasi dia yang perlu dihargai.
Negara ini sedang dirundung banyak masalah, ideologi trans-nasional yang
ingin menegakkan khilafah, ada yang sangat sekuler dan ingin menghapus
pendidilan agama, ada yang ingin merusak generasi muda dengan narkoba, dan
terutama pihak yang ingin menguasai ekonomi dan kekayaan alam Indonesia yang
kita cintai. Mari kita ciptakan harmoni melalui perbedaan, kita bersatu dan
jaga baik-baik kemajemukan, kita bangun persaudaraan sejati, karena di sinilah
hakikat kemanusiaan kita.
Allah a'lam bi al-shawab.
Wassalamu'alaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 31/1/2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda