BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran sejak pertama kalinya muncul berusaha
dipahami dan di tafsirkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dari fakta
inilah bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an memiliki posisi yang sangat penting,
yaitu menjadi pedoman hidup manusia. Pemahaman tentang pedoman hidup juga
memunculkan berbagai pandangan. Tentunya sebuah pedoman akan berusaha digunakan
apabila ia dipahami, dimengerti dan jelas, sehingga bisa digunakan dari hal ini
lah upaya interpretasi secara kompleks muncul.
Kendati waktu terus berubah setiap waktu, sebuah
pedoman hidup harus tetap bisa exist. Al-Qur’an yang terlahir dalam sebuah teks
tentu besifat statis, tetap dan tidak banyak mengalami perubahan substansi. Sedangkan
di satu sisi kehidupan manusia terus berjalan tanpa henti dan masalah yang
dihadapi juga makin berkembang hingga komleks. Sebuah teks yang statis tentu
tidak akan bisa menjawab perkembangan jika ia tidak ditafsirkan.
Berangkat dari hal tersebutlah penafsiran
muncul, namun dalam perkembanannya tafsir tidak pernah lepas dari mufassirnya
sendiri. akibat sisi subjektitas ini, ditemukan banyaknya corak tafsir yang
bisa dilihat setiap saat. Perbedaan juga tidak lepas dari kekuasaan yang ada
saat itu, sehingga banyak corak berkembang dari fase ke fase karena secara
funsgsional tadi, yakni Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Salah satu corak yang berkembang pesat dalam
penafsiran adalah corak fiqih. Corak ini selalu berkembang setiap saat
dikarenakan kebutuhan manusia kepada fiqih adalah setiap saat. Berbeda dengan
corak lain yang tidak setiap waktu ada, sedangkan masalah fiqih selalu dijumpai
kapanpun dan dimanapun. Berangkat dari inilah sekiranya corak ini perlu dikaji
agar bisa diambil suatu nilai yag bisa dikembangkan demi kebutuhan manusia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan tafsir
corak fiqhi?
2.
Bagaimana Sejarah munculnya Tafsir Fiqhi?
3. Apasaja kelebihan dan kekurangan dalam
penafsiran al-qur’an dengan menggunakan pendekatan fighi?
4.
Apasaja jenis Tafsir yang ditulis melalui pendekatan fighi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. At-Tafsir al-Fighi (bercorak fighi)
1. Pengertian
Tafsir al-Fighi
Al-
tafsir al-fighi kadang disebut tafsir ayat-ayat alqauniyyah[1]
dan tafsir ahkam al-Qur’an[2].
Tafsir al fighi terdiri dari dua kata yaitu tafsir dan al fighi, secara harfiyah
tafsir berarti penjelas (al-idhah) keterangan (al-bayan), adapun yang dimaksud
dengan tafsir dalam terminologi ulama tafsir seperti diformulasikan al-Zarkasi
ialah:
التفسير
علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم ، وبيان
معانيه ، واستحراج أحكامه وحكمه .
Ilmu yang denganya
diketahui pemahaman tentang kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-nya-
Muhammad Saw (al-Qur’an) dengan menerankan makna-makna yang terkandung di
dalamnya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah[3].
Sehingga dapat diambil
pengertian bahwa yang dimaksud tafsir al-fighi adalah tafsir yang memusatkan perhatian kepada
fiqih atau penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam kaitanya dengan persoalan
–persoalan hukum Islam[4]. Karena
didalam fiqih tidaklah lepas dari halal-haram,
makruh-sunnah, mubah-nya hal-hal yang berhubungan dengan ibadah mahdhah maupun
muamalah. Itulah sebabnya para penafsir memilih ayat-ayat hukum sebagai objek
material penafsirannya sehingga tafsir fikih ini seakan-akan memperlakukan
Al-Qur’an sebagai kitab hukum atau ketentuan “perundang-undangan
2. Bagaimana Sejarah munculnya Tafsir Fiqhi ?
Penafsiran
al-qur’an dengan menggunakan pendekatan fighi atau hukum sebenarnya telah
dimulai sejak masa turunya wahyu Allah kepada Rosulullah Saw , sebab secara
umum ayat-ayat dalam al-qur’an mengandung hukum- hukum yang berkenaan dengan
kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akihirat, oleh karena itu para
shahabat dimasa kehidupan Rosulullah Saw dapat memahmi ayat-ayat yang bernuansa
hukum tersebut berdasarkan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab, adapun
ayat-ayat yang menyulitkan mereka dalam memahami maksud dan tujuan, maka dengan
segera mereka menanyakan kepada Rosulullah Saw. Diantara contoh kasus tentang
ayat-ayat hukum adalah sebab turunya (sebab nuzul) ayat tentang pengharaman
khamar dimana Imam asy-Syaukany- rahimahullah- menyebutkan dalam tafsirnya Fath
al-Qadir:
Diriwatkan
oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Abu Daud, at-Tirmidzy, an-Nas’I,
Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, dan al-Hakim, dari hadis Umar bin
Khaththab beliau berkata: demi Allah ! jelaskanlah kepada kami perihal hukum
khomer , karena benda tersebut dapat menyia-nyiakan harta dan menghilangkan
akal?, maka turunlah firman Allah dalam Q.S al-Baqarah: 219.
* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur (
ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya."
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah " Yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir,
Dalam riwat
lain dari hadits Anas beliau berkata: “Dahulu kami meminum khamar, kemudian
turunlah ayat pada saat itu QS.Al-Baqarah: 219, lalu kami berkata: kami hanya
meminum kamar yang memberikan manfaat
kepada kami” maka turunlah QS. Al-Maidah:
90,
$pkr'¯»t[5] tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434],
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan.
Lalu kami berkata: “Ya Allah sesungguhnya kami
telah berhenti dari meminum khamar tersebut[6]. Dari contoh kasus diatas
dapat dipahami bahwa Rosulullah Saw dan para shahabat memahami maksud dan
tujuan teks-teks Qur’aniyyah -utamanya yang mengandung pemahaman hukum
kausalitas dan kemanusiaan- melalui wahyu baik wahyu tersebut adalah wahyu yang
bersifat lafzhan wa ma’nan min Allah ( Al-Qur’an) atau wahyu
yang bersifat ma’anan min Allah wa lafzdhan min
ar-Rosul (as-Sunah).
Meskipun
demikian perbedaan para shahabat dalam memahami dan menyimpulkan sebuah bentuk
hukum yang dimaksudkan oleh teks-teks al-Qur’an dalam suatu permasalahan tidak
dapat terelakkan , hal ini lebih disebabkan karena muatan hukum dan konteks
social dimana hukum tersebut akan ditegaskan, sebagai sebuah contoh kasus
adalah ketika Rosulullah Saw memerintahkan sekelompok shahabat untuk berangkat kebani
Qoirudhah, sebelum berangkat Rosulullah Saw berpesan agar tidak sholat kecuali
setelah sampai di tempat tujuan, namun dalam perjalanan telah masuk waktu
sholat ashar, maka terjadilah perbedaan diantara mereka, ada berpendapat bahwa
mereka harus melakukan sholat di Bani Quraidhoh berdasarkan pesan Rosulullah
Saw, sebagian lainya berpendapat bahwa kita harus shalat tepat waktu
berdasarkan firman Allah QS. An-Nisa’:
103
#sÎ*sù ÞOçFøÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2ø$$sù ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4
#sÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã úüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ
Artinya: Maka apabila kamu telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan
di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa
aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
dan karena dalam keadaan
safar, maka shalat harus dilakukan dalam bentuk
qashar berdasarkan firman Allah QS. An-Nisa’: 101,
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4
¨bÎ) tûïÍÏÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu men-qashar[343] sembahyang(mu), jika
kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu
adalah musuh yang nyata bagimu.
setelah berita
ini sampai ketelinga Rosulullah Saw, beliaupun tersenyum tanda persetujuan
(taqrir).
Contoh kasus yang lainya
tentang: berapakah harta waris yang didapatkan oleh suami, ayah, dan ibu yang
ditinggalkan? Ibnu abbas menfatwakan bahwa suami mendapat ½, ibu mendapatkan
1/3, dan ayah mendapatkan Ashabah ( sisa harta yang telah dibagi sebelumnya)
berdasarkan QS. An-Nisa’:11. Disisi lain Zait bin Tsabit dan sahabat lainya
memandang bahwa Istri yang ditinggslksn mendapat 1/3 dari sisa harta milik
suaminya, hal ini dipandang karena ayah dan ibu keduanya adalah lelaki dan
wanita dan keduanya mendapatkan harta waris dalam satu bentuk yaitu 1:2 (1
untuk wanita dan 2 untuk laki=laki)[7]. Namun dengan demikian
masing-masing berusaha untuk tetap pada kebenaran tanpa harus memaksakan sebuah
ayat untuk dijadikan dalil dalam pendapatnya , dan jika salah satu diantara dua
orang shahabat menemukan bahwa hasil kesimpulan hukumyang difahami oleh
shahabat lainya lebih baik dan lebih mendekati kebenaran, maka mereka tidak
segan-segan dan tanpa gengsi untuk menerima pendapat sahabat yang berbeda
denganya.
Terjadinya
perbedaan pendapat dalam menetapakan hukum suatu permasalahan terus berlangsung
hingga masa generasi fuqoha’ al-mazahib ( ahli fighi mazhab), namun perbedaan
yang terjadi dikalangan fuqoha’ tersebut disebabkan karena munculnya berbagai
macam persoalan hidup baik individu maupun sosial dikalangan kaum muslimin ,
dimana persoalan-persoalan tersebut belum terjadi sebelumnya dan bahkan belum
ditemukan garis hukum yang berkenaan dengan beberapa masalah, oleh karena itu
para fuqoha’ seperti Abu Hanifah, Malik, asy – Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan
selain mereka[8]. Berusaha semaksimal mungkin untuk
menggali seluruh kandungan hukum
terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan landasan –landasan syari’at lainya
kemudian menterjemahkan dan mentafsirkanya sesuai dengan konteks social yang
mereka hadapi pada masa itu, sehingga terkadang kita menemukan kesepakatan
tentang hukum sesuatu permasalahan dan terkadang pula kita temukan terjadinya
perbedaan. Namun perbedaan ini terjadi lebih disebabkan karena perbedaan
pandangan masing-masing Imam dalam memahami suatu dalil meskipun demikian tidak
tampak dari mereka terjadinya sikap ta’ashub al-madzhaby akan tetapi mereka
berusah untuk mencari kebenaran hukum dari suatu permasalahan dengan
berlandaskan pada kebenaran dalil, dan bahkan jika salah seorang diantara mereka
mendapatkan bahwa pendapat saudaranya lebih tepat dan lebih sesuai dengan
al-Qur’an dari pendapatnya, maka dia tidak sungkan untuk menerima dan
mengamalkan pendapat saudaranya dan meninggalkan pendapatnya hal ini
tergambarkan dalam perkataan mereka masing-masing seperti perkataan Imam Malik
: Seluruh perkataan manusia dapat diterima dan ditolak kecuali perkataan
Rosulullah Saw, Imam Asy-Syafi’I pernah berkata: “Jika sebuah hadits itu shahih
,maka itulah mazhabku”, dalam perkataan beliau yang lain : “Jika kalian
menemukan dalam pendapatku terdapat pendapat yang menyalahi al-Qur’an dan
as-Sunnah ,maka buanglah pendapatku dan ambillah al-Qur’an dan as-Sunah “,
beliau juga pernah berkata kepada muridnya Ahmad bin Hambal semasa di Baghdad:
“ jika sebuah hadis shahih dalam pandanganmu, maka ajarkanlah aku”,
demikilanlah sikap para fuqoha’terhadap perbedaan pemahaman dan persepsi dalam
mengambil dan mengistimbatkan satu hukum dari al-Qur’an.
Dari sinilah
muncul kebinekaan dan keragaman tafsir fiqhi sehingga kita dapat menemukan
tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan madzhab Hanafy, Maliky, Syafi’I, dan
sebagainya.
B. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi
1. Kelebihan Tafsir Fiqhi
Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan melalui
pendekatan fighi ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
a. Sebagai mubayan
hukum syari’at yang terkandung dalam al-Qur’an[9].
b. Upaya untuk
memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam
mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub didalam
al-Qur’an setelah terjebak kedalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang
bersifat teoritis.
c.
Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun
memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah
tetapi memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan
dan hukum dalam kehidupan baik individu
maupun social tetap harus tunduk kepada al-Musyari’ al-Awwal ( Allah) melalui
kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian
dikenal sebagai al-Musyari’ ats-Tsany ba’da Allah (Rosulullah Saw) melalui
sunah beliau demi kemaslahatan manusia baik didunia maupun diakhirat.
d.
Tafsir fiqhi berusaha untuk membunyikan al quran lewat
pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat9ayat qauniyah guna memberikan
penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan manusia
e. Tafsir fiqhi
kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khasanah intelektual
muslimah, sebab tanpa adanya penafsiran alquran dalam bentuk ini, maka umat Islam
secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan
perundang-undangan yang sesungguhnya.
2. Kelamahan tafsir fiqhi
Hasil oleh pikir manusia
biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk
kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa
manusia adalah mahluk yang lemah bisa benar dan bisa salah.
Demikian juga dengan adanya penafsiran alqur’an
yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripati dari
perkataan yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia maka pasti
akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan
penafsiran al-Quran melalui pendekatan fiqhi adalah:
a. Tafsir fiqhi cenderung
terjabak pada fanatik mazhaby sehingga memunculnya sikap ortodoksi, pembelaan
dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab
lainnya sikap ini terwariskan kepada berpuluh-puluh generasi hingga saat ini.
b. Tafsir fiqhi masih
melakukan reduksi pada aspek tertentu dari al-quran (penafsiran parsial)
padahal al-quran meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem teori dan
praktek yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
c.
Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-quran dengan
menghubungkannya pada konteks social tertentu dan cenderung mengabaikan
nilai-nilai universal hukum,-hukum yang terdapat pada
al-quran (rahmatan lil alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang
telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga
dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-quran yang sesuai dengan
kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi
terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis
mazhabi[10].
C.
Jenis-jenis tafsir al-quran lewat pendekatan fiqhi
Tafsir fiqhi merupakan salah satu corak
penafsiran yang sangat dikenal dikalangan umat islam baik salaf maupun khalaf,
perkembangan penafsiran dengan menggunakan pendekatan fiqhi telah ada sejah
Rasululloh SAW hingga perkembangan madzahib al fiqhiyah bahkan hingga saat ini
sebagaimana yang sebelumnya kami sampaikan pada point a dalam bab ini.
Kendatipun keberadaan corak penafsiran al-quran
dalam bentuk ini telah ada sejak masa wahyu diturunkan akan tetapi pada perkembangannya telah melalui beberapa
tahap dalam beragam bentuk metode penyajiannya. Adapun metode penyajian yang kita kenal saat ini ada empat
metode tahlilli, metode ijmali, metode muqoron dan metode maudhlui.
Penafsiran al-quran lewat pendekatan fiqhi juga
menggunakan salah satu metode dari empat metode penyajian di atas, diantaranya
adalah:
1. Tafsir fiqhi tahlilli[11]: penafsiran al-quran lewat pendekatran fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
tahlilli diwakili oleh kitab jamik al-bayan fii takwil al-quran karya Muhammad
bin Jarir Atthobari yang selanjutnya dikenal dengan tafsir Atthobari. Kitab ini
merupakan presentasi fiqhi assyafiiyah meskipun dalam pembahasannya imam
attobari lebh banyak menggunakan madzhab sendiri ketimbang terkontaminasi
dengan madzhab yang sudah ada pada masa itu kemudian kitab al-Jamik li ahkam al-quran karya Abubakar al qurtubui, Tafsir
Fiqhi Ijmali: Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi
dengan menggunakan metode penyajian ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an
li Asy Syafi’I yang dikumpulkan oleh imam al-Baihaqy.
2. Tafsir fiqhi Muqaran[12]: Penafsiran al-Qur’an
lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Muqaran diwakili
oleh kitab Tafsir ath-Thabary, Al-Qurthuby, dan Tafsir Ibnu Katsir. Kitab-kitab
tafsir tersebut melakukan pendekatan muqaran dalam menguraikan ayat-ayat yang
menimbulkan beberapa perselisihan utamanya ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum.
3. Tafsir Fiqhi maudhu’i[13]: penafsiran al-Qur’an
lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian maudhu’i diwakili
oleh kitab Ahkam al-Qur’an li al-Jashshash, kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam
karya Ali Ash-Shabuny.
4.
Tafsir Fiqhi Tahlili Maudhu’i:
penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian
Tahlily maudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash dan
kitab Tafsir al-Munir karya Dr. Wahbah al-Zuhaily. Kitab tersebut menguraikan
ayat-ayat secara tahlily dengan memberikan tema pada setiap kelimpok ayat yang
akan ditafsirkan.
Seluruh kitab tafsir yang kami sebutkan di atas
hanyalah sebagian kecil dari kitab-kitab tafsir fiqhi yang menurut kami dapat
mewakili seluruh bentuk ragam metode penyajian mulai dari metode tahlili,
ijmali, muqaran, dan maudhu’i atau penggabungan dua metode penyajian dalam satu
bagian kerangka metodologi penulisan tafsir yang dimaksudkan untuk dapat
memudahkan para mujtahid dan umat Islam secara keseluruhan dalam memahami
al-Qur’an secara utuh.
Selain dari jenis dan corak tafsir fiqhi di atas terdapat
pula corak tafsir fiqhi yang lain yang disebut dengan istilah Tafsir al-Fiqhi
al-Hadisiyyah; yaitu penafsiran ayat-ayat ahkam lewat riwayat hadits-hadits
Rosulullah Saw atau atsaar dari shahabat beliau, corak ini diwakili oleh
kitab-kitab hadits seperti Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Jami’ at-tirmidzi,
Sunan Abi Daud, sunan an_Nasa’i, Sunan Ibnu Majah,
al-Mstadrak yang didalamnya terdapat satu kitab khusus yaitu kitab at-Tafsir,
serta kitab ad-Durru al-Manstur fi-Tafsir bi al-Matsur karya Imam As-Suyuthy.
Tentunya diantara ayat-ayat hukum yang ditafsirkan lewat periwayatan ini
jumlahnya lebih sedikit bahkan mayoritasnya lebih kepada penguraian secara
khusus tentang sebab turunya (asbab
an-Nuzul) suatu ayat yang berkenaan dengan hukum.
SKEMA ILMU TAFSIR
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraiakan beberapa hal yang
berhubungan dengan tafsir lewat pendekatan foqhi atau disebut dengan istilah
‘tafsir fiqhi’ atau tafsir fuqoha, maka tibalah pada beberapa kesimpulan
diantaranya:
1.
Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan fiqhiyyah
atau hukumtelah ada semenjak masa Rosulullah Saw dan berlanjut kemasa sahabat
yang kemudian terjadi perbedaan pemahaman diantara mereka, lalu perbedaan ini
terus berlanjut hingga masa tabi’in dan bahkan lebih serius lagi pada masa
munculnya madzhab-madzhab fiqhi dan berjubelnya para muqalid wa al-muntashibin
‘ala al-madzahib al-fiqhiyyah al-mu’awiyyanah (para pengikut setia madzhab-madhzb
fiqhi tertentu)
2.
Bahwa tafsir fiqhi memiliki kelebihan dan kekurangan,
diantara kelebihanya
a.
Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan
hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an.
b.
Mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk
hukum-hukum Allah yang termatub di dalam al-Qur’an.
c.
Memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh
bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun social tetap harus
tunduk kepada al-Qur’an dan As-Sunnah
d.
Berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ,lewat
ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat qauniyah
e.
Memberikan kekayaan khazanah intelektual Muslim dunia.
Adapun kelemahan adalah:
a.
Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatic madzhabnya
sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab
tertentu dan menafikan keabshahan madzhab-madzhab lainya,
b.
Tafsir fiqhi hanya melakukan reduksi pada satu aspek
tertentu dari al-Qur’an yaitu aspek hukum
c.
Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an
dengan menghubungkan dengan konteks social tertentu dan cenderung mengabaikan
sifat universal hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.
3.
Tafsir fiqhi memiliki berbagai macam
metode penyajian diantaranya menggunakan metode tahlili, ijmali, muqaran,
maudhu’i.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami
buat. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Ghufron, Rahmawati, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah ( Yogyakarta: Sukses
Offset, 2013,)
Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah tafsir al-Qur’an,
(Yogyakarta, Adab Press, 2012)
Muhammad bin Ali asy-syukny, Fath al-Qadir (Cet, I: Beirut: Muassah
ar-Risalah,! 412 h),jld.I
Dokter hasan hanafi, manahijts atafsir
wamasholih al ummah, diterjemahkan oleh Zudian wahyudi dengan judul metode
tafsir dan kemaslahatan umat (cetakan 1: Yogyakarta: Nawesea 2007)
.Muhammad Husain Adz-Dzahaby, at-Tafsir wal al-Muwassirun, (Cet,1:
Bairut: Maktabah Mus’ab bin Umair al-islamiyah,
2004), Jld, I
Manna’bin Khalil al-Qoththsn, Mabahits fi Ulumil qur’an
(Cet, I: Mesir Mansyurat al-ashru al-Hadits),
Website
http://www.alquran-digital.com
[1]. Maksud pemakalah dari Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang
diciptakan oleh Allah Ayat-ayat ini
adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam
alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan
segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan
keagungan Penciptanya contoh QS. Nuh (41):
53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
[2] .Maksud
dari pengertian tafsir ahkam atau juga disebut tafsir ayat ahkam adalah tafsir
al-Qur’an yang penafsiranya lebih berorientasi atau bahkan mengkhususkan
pembahasan kepada ayat-ayat hokum.
[3] .Badr al-Din al-Zarkasi.al-burhan fi Ulum al-Qur’an.,jilid.1 ,Beirut
Lubnan:Dar Ihya al-kutub al arabiyah,13376 H,hlm.,13.
[6]. Muhammad
bin Ali asy-syukny, Fath al-Qadir (Cet,I:Beirut:Muassah ar-Risalah, !412
h) ,jld.I, hlm.335
[7]. Adz-Dzahaby,
Op.cit,,hlm.,151
[8].selain
keempat Imam tersebut terdapat fuqoha’ seperti: Abu Daud Adh-Dhahiry,
al-Auza’I, ats-tsury, Ath-thabary, al-Zaidiyyah, dan al-ja’fary
[9]. Maksud
pemakalah memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at
yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa
sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat
transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang
aspek-aspek syri’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syri’ah atau hukum
bukan semata-mata merupakan produk fuqoha’ akan tetapi telah menjadi bagian
dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup
manusia baik individu maupun social.
[10]. Dokter hasan hanafi, manahijts atafsir wamasholih al ummah,
diterjemahkan oleh Zudian wahyudi dengan judul metode tafsir dan kemaslahatan umat (cetakan 1: Yogyakarta: Nawesea
2007), hlm 27-28
[11] . Maksud dari tafsir Tahlili adalah suatu metode
penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan dengan
berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana
tercantum didalam mushaf al-Qur’an.
[12].Maksud dari tafsir muqaran adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an dengan
cara membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan dan kemiripan
redaksi dalam dua kasusatau lebih , atau penafsiran dengan mebandingkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hdits yang lahirnya tampak bertentangan atau membandingkan
berbagai pendapat ulama’tafsir baik ulama’salaf maupun ulama’kholaf dalam
penafsiran al-Qur’an
[13].Maksud
tafsir maudhu’I adalah metode penafsiran al-Quran dengan cara menghimpun
seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu tema atau masalah.