Pengikut
Rabu, 27 April 2016
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
keren
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
khotbat jum'at rajab
Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KONTEKS KEHIDUPAN SOSIAL”
Khutbah Pertama:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah,
Tanpa terasa, saat ini kita telah berada di tengah bulan Rajab, bulan yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW 1400-an tahun yang silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang zaman. Oleh karenanya, adalah hal yang wajar jika kemudian setiap tanggal 27 Rajab, peristiwa Isra’ Mi’raj itu selalu diperingati oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai penting di dalamnya. Terlebih pada masa sekarang, di mana bangsa dan masyarakat kita terus menerus digoncang oleh berbagai kasus kejahatan, penyimpangan, dan sederet praktik de-moralisasi (kemerosotan moral), mulai dari aksi kekerasan atas nama agama, terorisme, pembegalan, mafia hukum dan peradilan, korupsi, konflik antar elite politik dan lembaga negara, hingga pembocoran soal Ujian Nasional, dan lain sebagainya.
Jama’ah Jum’at hadaniyallahu wa iyyakum,
Paling tidak, sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut:
Pertama, peristiwa Isra’, yang berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina.Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi SAW bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena bukankah telah disebutkan sendiri oleh Nabi: al-dînu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).
Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketikaia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu, diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturahmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya, seperti melakukan korupsi, kecurangan, penipuan, membicarakan aib dan kejelekan orang lain, menebarkan fitnah, hingga memelihara perpecahan dan konflik berkepanjangan. Modelberagama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Sebab salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan sesamanya, sesuai dengan akhlak-akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hal ini telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang).
Di samping itu, perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat bahwa, mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat secara luas. Jangan sampai, masjid justeruhanya dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektoral secara eksklusif dansempit, yang justru merusak jalinan ukhuwwah antar umat Islam. Misalnya, dengan mudah orang lalu mengkafirkan atau mem-bid’ah-kan kelompok lain yang berbeda, apalagi masjid lalu dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan ideologi politik “keislaman sempit” yang anti-Pancasila dan NKRI sebagaimana yang saat ini marak di berbagai tempat.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya: Allah SWT, sehingga terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, hingga berani melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atau pun pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.
Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus terusditegakkan, untuk melawan segala bentuk de-moralisasi. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting. Fenomena seperti “nyontek massal” yang masih sering dilakukan para pelajar pada saat Ujian Nasional, ataupun “budaya” korupsi yang dilakukan semakin terang-terangan, adalah potret buram bagi dunia pendidikan maupun birokrasi pemerintahan kita, bahkan fenomena ini telah menjalar ke tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan praktik-praktik manipulatif. Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo sing jujur malah kajur” (orang yang jujur akan hancur). Padahal kita tahu, bahwa kejujuranlah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.
Kemudian yang Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncakpengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat apapun. Namun, di sinilah nampak sifat keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi SAW adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi baik).
Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat penting, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).
Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. “Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama.” Demikian sabda Nabi. Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkanpesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kitamemahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahamimakna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).
Jama’ah Jum’at yang berbahagia,
Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka,salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilaikedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. [ ]
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Label:
khotbah jum'at
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
Sabtu, 23 April 2016
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH
SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH
Kegiatan yang
tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz
Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab
tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum
Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة،
فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر
الأول
“Sesungguhnya
sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya
amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz
sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di
tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz
as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil
amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan
“manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan
membaca al-Qur’an’. [1]
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di
Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh
al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab
beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful
Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة
والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها
لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا
نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد
يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف
الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و
انتهارهما.
“Sungguh sunnah
memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku
menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan
sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku
kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di
tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima
(memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini
saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan.
al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah)
karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah
penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai
bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya
pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan
gertakannya”. [2]
Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [3] Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat
tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya
dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.
CATATAN KAKI :
[1]
Lihat : al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
[2] Lihat : Kasyful Astaar
lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama
besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi,
Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh
Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin
al-Fadani.
[3] Oleh karena itu, keliru jika
dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya karena
adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi
asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari,
100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan
penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu
bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja
atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut
ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan
hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari
menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban
(bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan
dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja
atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah
kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits
al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض
الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك
“Dan didalam hadits ini jalurnya
diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian
hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan)
melakukannya”.
Dengan demikian, tidaklah masalah
menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak
hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama
bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya
seperti shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan
hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah
menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan
“al-Adaat”. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya
dengan hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut
ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan
kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan
sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan
sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah
atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang
mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah
yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan
syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika digantinya budaya
Jahiliyyah yakni
melumuri kepala bayi
dengan darah hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak
za’faraan, disebutkan pada
sebuah hadits shahih
yang tercantum didalam Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam
al-Baihaqi [9/509] :
عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي
بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ
ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ
كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ
بِزَعْفَرَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia
berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa
Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami,
menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing
sembelihan, maka tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih
kambing, memotong rambutnya namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.
Al-Syawkani didalam Nailul Awthar
[5/
16] dan
disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :
قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران
أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور
“Frasa : (dan kami melumurinya
dengan minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri
kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits
‘Aisyah yang telah disebutkan”.
Lebih jauh lagi, istilah 40 hari
pun sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan
didalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam
al-Suyuthi (w 911 H).
وروى بن جريج في مصنفه
عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن
فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا
“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam
Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata :
“dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang
mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami
fitnah qubur selama 40 hari”.
Imam al-Suyuthi juga menyebutkan
didalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi
‘alaa Muslim [2/491] sebagai berikut :
روى أَحْمد بن حَنْبَل
فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي
قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده
صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن
الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر
بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة
أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ
“.... sanadnya shahih juga, dan
Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas
qubur selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.
Wallhu A’lam. []
Label:
Nahdhotul Ulama'
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
Jumat, 22 April 2016
JAMUAN MAKAN PARA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL
| |||
|
Label:
dalil NU
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
Kamis, 21 April 2016
sumenef/kali anget
kenangan wisata religi di madura tempat di sumenef atau kali anget makamnya mbah abdurrahman
Label:
religi
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
bid'ah sebuah kata sejuta makna 3
Masih banyak
lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari
Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian
golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam
hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan
para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan
takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits
itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan
yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah
sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan
yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam
pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan
itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena
secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa
kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga
secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan
dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia
ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu
tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulullah saw. berikut ini:
“Hendaklah
kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun
sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni
jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah
Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan
itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw.
saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain
: “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu
dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai
zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in,
Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah
Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya
mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri
(orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui
dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus
kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka
itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu
Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai
Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu
apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah
“ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam
Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan
pengertian penakwilan
kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman
hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap
semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at
maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara
penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan
mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada
hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah
yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya
contoh.
Bid’ah lughawi
inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru
yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang
disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul
yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar
syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa
dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa
yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka
yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash
yang khos (khusus) untuk masalah
yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak
bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang
lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya
dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca
hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin
menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan
kita kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh
keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun
juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT.
pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita
hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah
dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan
manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah
bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya
saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw.
sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan
maknanya.
Berbuat
kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja.
Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi)
baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak
memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta.
Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang
yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.
Manusia manapun
tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak
Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak
pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak
asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan
mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan
telah memberi maaf.
Label:
Nahdhotul Ulama'
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
Langganan:
Postingan (Atom)