Pengikut

Rabu, 27 April 2016


keren


khotbat jum'at rajab

Naskah Khutbah Jum’at:
“MEMAKNAI ISRA’ MI’RAJ DALAM KONTEKS KEHIDUPAN SOSIAL
Khutbah Pertama:
 
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ, الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ, الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، أَمَّا بَعْدُ؛ فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.

Hadirin sidang Jum’at rahimakumulllah,

Tanpa terasa, saat ini kita telah berada di tengah bulan Rajab, bulan yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW 1400-an tahun yang silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang zaman. Oleh karenanya, adalah hal yang wajar jika kemudian setiap tanggal 27 Rajab, peristiwa Isra’ Mi’raj itu selalu diperingati oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai penting di dalamnya. Terlebih pada masa sekarang, di mana bangsa dan masyarakat kita terus menerus digoncang oleh berbagai kasus kejahatan, penyimpangan, dan sederet praktik de-moralisasi (kemerosotan moral), mulai dari aksi kekerasan atas nama agama, terorisme, pembegalan, mafia hukum dan peradilan, korupsi, konflik antar elite politik dan lembaga negara, hingga pembocoran soal Ujian Nasional, dan lain sebagainya.

Jama’ah Jum’at hadaniyallahu wa iyyakum,

Paling tidak, sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut:

Pertama, peristiwa Isra’, yang berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina.Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal. Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi SAW bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena bukankah telah disebutkan sendiri oleh Nabi: al-dînu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).

Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketikaia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu, diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturahmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku yang justeru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya, seperti melakukan korupsi, kecurangan, penipuan, membicarakan aib dan kejelekan orang lain, menebarkan fitnah, hingga memelihara perpecahan dan konflik berkepanjangan. Modelberagama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Sebab salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan sesamanya, sesuai dengan akhlak-akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana hal ini telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama, adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang).

Di samping itu, perisiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat bahwa, mestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat secara luas. Jangan sampai, masjid justeruhanya dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektoral secara eksklusif dansempit, yang justru merusak jalinan ukhuwwah antar umat Islam. Misalnya, dengan mudah orang lalu mengkafirkan atau mem-bid’ah-kan kelompok lain yang berbeda, apalagi masjid lalu dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan ideologi politik “keislaman sempit” yang anti-Pancasila dan NKRI sebagaimana yang saat ini marak di berbagai tempat.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya: Allah SWT, sehingga terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, hingga berani melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atau pun pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.

Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus terusditegakkan, untuk melawan segala bentuk de-moralisasi. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting. Fenomena seperti “nyontek massal” yang masih sering dilakukan para pelajar pada saat Ujian Nasional, ataupun “budaya” korupsi yang dilakukan semakin terang-terangan, adalah potret buram bagi dunia pendidikan maupun birokrasi pemerintahan kita, bahkan fenomena ini telah menjalar ke tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan praktik-praktik manipulatif. Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo sing jujur malah kajur” (orang yang jujur akan hancur). Padahal kita tahu, bahwa kejujuranlah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.

Kemudian yang Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncakpengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat apapun. Namun, di sinilah nampak sifat keluhuran dan ke-luar biasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justeru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi SAW adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi baik).

Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat penting, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama. Demikian sabda Nabi. Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkanpesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut. Jangan sampai kitamemahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahamimakna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).

Jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka,salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilaikedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. [ ]

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Sabtu, 23 April 2016

di Bandung
kenangan ziarah di makam mbah hasan munadi ungaran

SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH

SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH DAN MADINAH

Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan :
أن سنة الإطعام سبعة أيام، بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [1]
Ini sekaligus persaksian (saksi mata) adanya kegiatan kenduri 7 hari di Makkah dan Madinah sejak dahulu kala. Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني و رأيته أنها مستمرة إلى الأن بمكة والمدينة من السنة 1947 م إلى ان رجعت إلى إندونيسيا فى السنة 1958 م. فالظاهر انها لم تترك من الصحابة إلى الأن وأنهم أخذوها خلفاً عن سلف إلى الصدر الإول. اه. وهذا نقلناها من قول السيوطى بتصرفٍ. وقال الإمام الحافظ السيوطى : وشرع الإطعام لإنه قد يكون له ذنب يحتاج ما يكفرها من صدقةٍ ونحوها فكان فى الصدقةِ معونةٌ لهُ على تخفيف الذنوب ليخفف عنه هول السؤل وصعوبة خطاب الملكين وإغلاظهما و انتهارهما.
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. [2]
Istilah 7 hari tersebut adalah berdasarkan riwayat shahih dari Thawus sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. [3] Yang mana sebagian ulama mengatakan bahwa riwayat tersebut juga atas taqrir dari Rasulullah, sebagian juga mengatakan hanya dilakukan oleh para sahabat dan tidak sampai pada masa Rasulullah.

CATATAN KAKI :
[1] Lihat : al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
[2] Lihat : Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.
[3] Oleh karena itu, keliru jika dikatakan bahwa 7 hari semata-mata di ambil dari budaya hindu hanya karena adanya kemiripan. Mirip tidak berarti bahwa itu sama, bahkan dari segi asasnya pun sudah berbeda. Adapun terkait istilah 14 hari, 20 hari, 40 hari, 100 hari, haul (setahun), 1000 hari dan seterusnya maka itu boleh dengan penentuan hari untuk melakukan kebajikan atau tanpa penentuan hari sebab itu bisa di lakukan kapan saja. Sebab amaliyah tersebut boleh dilakukan kapan saja atau dengan penentuan waktu. Seperti halnya penentuan waktu belajar (menuntut ilmu tertentu) sedangkan menuntut ilmu sendiri merupakan kewajiban, menentukan hari dalam mengkhatamkan al-Qur’an dengan menetapkan semisal satu hari menyelesaikan satu juz atau sejumlah ayat tertentu, ini boleh demi ketertiban (bab tartib), dan lain sebagainya. Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya. Oleh karena itulah, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari sebuah hadits al-Bukhari no. 1118 terkait juga penentuan hari, sebagai berikut ;
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك
“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.
Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya selama bukan ibadah mahdlah atau ibadah yang terikat dengan rukun, waktu dan sebagainya seperti shalat fardlu dan lainnya.
Meskipun, seandainya penentuan hari seperti itu bermula dari warisan ajaran hindu, namun hal tersebut telah menjadi kultur budaya masyarakat sehingga pembahasannya pun terkait dengan “al-Adaat”. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dan dai-dai Islam lainnya dengan hanya menggiring dan mengarahkan budaya yang penuh kemusyrikan tersebut ke budaya yang benar sesuai dengan syariat Islam berdasarkan pertimbangan dengan kaidah-kaidah syariat, sehingga yang awalnya (seperti) menyiapkan makanan sesajen untuk roh orang mati dengan menyakini bahwa roh orang mati memakan sesajen tersebut, maka diarahkan agar makanan tersebut sebagai bentuk shadaqah atas nama orang mati yang diberikan kepada orang yang masih hidup, dan orang mati mendapatkan manfaat dengan hal tersebut atas rahmat Allah Ta’alaa, inilah yang tepat menurut syariat Islam. Hal semacam ini tidaklah keluar dari tatanan syariat Islam bahkan sesuai dengan syarit Islam, sebagaimana sebuah kisah ketika digantinya budaya Jahiliyyah yakni melumuri kepala bayi dengan darah hewan sembelihan kemudian diganti dengan melumurinya dengan miyak za’faraan, disebutkan pada sebuah hadits shahih yang tercantum didalam Sunan Abi Daud [2843] dan As-Sunan al-Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [9/509] :
عَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي بُرَيْدَةَ، يَقُولُ: كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا وُلِدَ لِأَحَدِنَا غُلَامٌ ذَبَحَ شَاةً وَلَطَخَ رَأْسَهُ بِدَمِهَا، فَلَمَّا جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ كُنَّا «نَذْبَحُ شَاةً، وَنَحْلِقُ رَأْسَهُ وَنُلَطِّخُهُ بِزَعْفَرَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin Buraidah, ia berkata : aku mendengar Abu Buraidah mengatakan : ketika kami masih di masa Jahiliyyah, apabila seorang bayi di lahirkan pada salah satu dari kami, menyembelih seekor kambing, dan melumuri kepalanya dengan darah kambing sembelihan, maka tatkala Allah mendatangkan Islam, kami tetap menyembelih kambing, memotong rambutnya namun melumuri kepalanya dengan minyak za’faraan”.
Al-Syawkani didalam Nailul Awthar [5/ 16] dan disebutkan juga didalam ‘Aunul Ma’bu [8 33]dikomentari sebagai berikut :
قوله: (ونلطخه بزعفران) فيه دليل على استحباب تلطيخ رأس الصبي بالزعفران أو غيره من الخلوق كما في حديث عائشة المذكور
“Frasa : (dan kami melumurinya dengan minyak za’faraan), padanya merupakan dalil atas disunnahkannya melumuri kepala bayi dengan minyak za’faraan atau yang lainnya sebagaimana didalam hadits ‘Aisyah yang telah disebutkan”.
Lebih jauh lagi, istilah 40 hari pun sebenarnya dikenal dalam sebuah riwayat ‘Ubaid bin ‘Umair. Ini disebutkan didalam Hasyiyah al-Suyuthi ‘alaa Sunan al-Nasaa’i [4/104] karangan Imam al-Suyuthi (w 911 H).
وروى بن جريج في مصنفه عن الحرث بن أبي الحرث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا
“Ibnu Juraij meriwayatkan didalam Mushannafnya dari al-Harits bin Abul Harits, dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata : “dua orang mengalami fitnah qubur yaitu orang mukmin dan orang munafiq ; orang mukmin mengalami fitnah qubur selama 7 hari, sedangkan orang munafiq mengalami fitnah qubur selama 40 hari”.
Imam al-Suyuthi juga menyebutkan didalam kitab al-Daibah ‘alaa Shahih Muslim atau dikenal dengan Syarh al-Suyuthi ‘alaa Muslim [2/491] sebagai berikut :
روى أَحْمد بن حَنْبَل فِي الزّهْد وَأَبُو نعيم فِي الْحِلْية عَن طَاوس أَن الْمَوْتَى يفتنون فِي قُبُورهم سبعا فَكَانُوا يستحبون أَن يطعموا عَنْهُم تِلْكَ الْأَيَّام إِسْنَاده صَحِيح وَله حكم الرّفْع وَذكر بن جريج فِي مُصَنفه عَن عبيد بن عُمَيْر أَن الْمُؤمن يفتن سبعا وَالْمُنَافِق أَرْبَعِينَ صباحا وَسَنَده صَحِيح أَيْضا وَذكر بن رَجَب فِي الْقُبُور عَن مُجَاهِد أَن الْأَرْوَاح على الْقُبُور سَبْعَة أَيَّام من يَوْم الدّفن لَا تُفَارِقهُ
“.... sanadnya shahih juga, dan Ibnu Rajab menyebutkan tentang qubur dari Mujahid bahwa ruh-ruh berada diatas qubur selama 7 hari sejak di makamkan serta tidak memisahkannya”.
Wallhu A’lam. []

Jumat, 22 April 2016

JAMUAN MAKAN PARA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL

 
||| JAMUAN MAKAN PARA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL |||

Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkannya.
Pada dasarnya bahasan ini bukan mengenai tahlilan secara keseluruhan, akan tetapi mengenai jamuan makan dari keluarga almarhum dan berkumpulnya manusia padanya setelah kematian. Jamuan makan adalah satu hal, dan tahlilan juga satu hal. Namun, karena jamuan makan juga ada pada kegiatan tahlilan maka pembahasannya pun terkait dengan tahlilan. Walaupun demikian, tidak bisa dikatakan jamuan makan adalah tahlilan atau tahlilan adalah jamuan makan, sebab memang bukan seperti itu. Orang yang melarang tahlilan dengan alasan adanya jamuan makan sebagaimana disebarkan oleh mereka yang benci tahlilan maka itu benar-benar telah keliru dan tidak merinci sebuah permasalahan dengan tepat.
Tahlilan hukumnya boleh, sedangkan unsur-unsur dalam tahlilan merupakan amaliyah-amaliyah masyru’ seperti berdo’a, membaca dzikir baik tasybih, tahmid, takbir, tahlil hingga shalawat, dan juga membaca al-Qur’an yang pahalanya untuk mayyit. Disamping itu juga terkait dengan hubungan sosial masyarakat yang dianjurkan dalam Islam yakni shilaturahim.
Adapun jamuan makan dalam kegiatan tahlilan (kenduri arwah) jika bukan karena tujuan untuk kebiasaan (menjalankan adat) dan tidak memaksakan diri jikalau tidak mampu serta bukan dengan harta yang terlarang. Maka, membuat dengan niat tarahhum (merahmati) mayyit dengan hati yang ikhlas serta dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayyit (orang mati) maka itu mustahab (sunnah). Itu merupakan amalan yang baik karena tujuannya adalah demikian. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات
 “Sesungguh sesuatu perbuatan tergantung dengan niat” [1]
Juga sebuah qaidah menyatakan : 
الأمور بمقاصدها
 “Suatu perkara tergantung pada tujuannya”. [2]
Serta, orang yang melakukannya dengan tujuan (niat) tersebut akan mendapatkan pahala, sebab telah shahih hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallah ‘anh :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
 “Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam keburukan”. [3]
Dan juga telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
 أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: «تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
 “Ya Rasulullah apakah amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab : “memberikan makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan tidak dikenal” [4]
Lafadz “ith’am” pada hadits meliputi makan, minum, jamuan juga shadaqah dan yang lainnya, sebab lafadz tersebut umum. Dalam sebuah hadits dari Thawus radliyallahu ‘anh menyebutkan :
 ان الموت يفتنون فى قبورهم سبعا . فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama masa 7 hari tersebut”. [5]
Imam al-Hafidz As-Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”, memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu. Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai pada Rasulullah. [6]
Berdasarkan hal diatas, maka memberikan makanan yang pahalanya untuk orang mati merupakan amalan yang memang dianjurkan. Adapun melakukannya setelah kematian juga tidak masalah selama diniatkan untuk menshadaqahkan dalam rangka merahmati mayyit.

CATATAN KAKI :
[1] Shahih al-Bukhari [1/9]
[2] Lihat : al-Asybah wa an-Nadlair lil-Imam Tajuddin Abdul Wahab As-Subki [1/54]
[3] Shahih al-Bukhari no. 6491 ; Shahih Muslim no. 131 ; Musnad Ahma no. 2827.
[4] Shahih al-Bukahri no. 12 ; Shahih Muslim no. 39 ; Sunan Abi Daud no. 5194 ; Sunan an-Nasaa’i no. 5000 ; Sunan Ibnu Majah no. 3253 ; al-Mu’jam al-Kabir lil-Thabraniy no. 149.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan Abu Nu’aim didalam al-Hilyah.
[6] Lihat : al-Hawi lil-Fatawi lil-Imam as-Suyuthi [2/377],

 
< KEMBALI ||| INDEKS || LANJUT >
 

Kamis, 21 April 2016

sumenef/kali anget

kenangan wisata religi di madura tempat di sumenef  atau kali anget makamnya mbah abdurrahman 

bid'ah sebuah kata sejuta makna 3



Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.

Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulullah saw. dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.

Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!

Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan  hadits Rasulullah saw. berikut ini:
Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud  sunnah  dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulullah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulullah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.

Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulullah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).

Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini  dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.

Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.

Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw., para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash  yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.

Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah SWT. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah SWT. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.

Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulullah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.

Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri.

Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.