SEMANTIK ALQURAN DALAM PRESPEKTIF
THOSIHIKO IZUTSU
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. Muh Syaifuddin. MA
.
Disusun Oleh :
Moch. Muamar
1400018056
PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci
yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam.[1]Menjadi
ciri khas peradaban Islam yang memuat petunjuk-petunjuk, hokum-hukum dan bukti kebenaran-kebenaran
yang abadi.Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dinamis selalu bisa
diaplikasikan oleh siapapun, kapan pun dan di manapun.Hampir tidak ada ruang
kehidupan manusia baik individu maupun kolektif yang tidak dimuat dalam Al-Qur’an.Tidak
berlebihan jika banyak yang ingin mengkaji secara mendalam kitab suci ini,
termasuk orang non-muslim.Merekan meyakini bahwa peradaban Islam adalah
peradaban teks.[2]
Nama
Thosihiko Izutsu adalah salah satu pengkaji Al-Qur’an dari kalangan
non-muslim, mungkin masih asing di
kalangan masyarakat awam. Namun bagiahli akademik dan pengkaji
pengajian Islam dunia, Profesor Izutsu adalah pendakwah dan
ilmuwan yang mengembangkan pemahaman tentang Islam.Ilmuwan asal
Jepang ini merupakan salah seorang outsider yang mampu
menguasai lebih dari 30 bahasa milik bangsa-bangsa bertamadun utama dunia
termasuk bahasa klasik.[3]Dia
juga berhasil menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jepang pada tahun 1958. .
Dengan
penekanan pada aspek metodologi: yakni analisis semantik atas hubungan personal
antara Tuhan dan manusia, Toshihiko Izutsu memaparkan segitiga relasi Tuhan dan
manusia dalam al-Quran yaitu relasi ontologis, relasi komunikatif dan relasi
etis. Di samping itu, ia juga melakukan analisis tentang makna dasar dan makna
relasional yang berkaitan dengan segitiga relasi Tuhan dan manusia. Penulis
dalam makalah ini juga akan mengetengahkan pandangan Toshihiko Izutsu
tentang pemikiran dan pandangannnya tentang al-Quran serta metode
penafsiran al-Quran menurutnya dan juga aplikasi ayatnya serta bagaimana cara
menyikapinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan Pemikiran
Toshihiko Izutsua
Toshihiko
Izutsua (4 mei 1914-1993 M) dilahirkan dari keluarga kaya di
Jepang. Ia adalah profesor universitas dan penulis banyak buku
tentang keislaman dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institute of
Cultural and Linguistic studies pada Keio University di
Tokyo, the Imperial Iranian Academy of Philosophy di
Tehran, and universitas Mc. Gill di
Montreal.Pendekatannya dalam mengkaji agama adalah linguistik dan dia
menggunakan ilmu humaniora/sosial lebih ekstensive dari pada pendekatan yang
berdasarkan pada keimanan.Dia dilahirkan dalam keluarga kaya di jepang. Sejak
usia dini dia sudah akrab dengan koan dan meditasi zen.[4]
Dia
belajar di Fakultas Ekonomi di Mesir tetapi kemudian dia pindah jurusan ke
departemen sastra Inggris atas saran Prof. Junzaburo Nishiwaki. Dia
menjadi assisten peneliti pada tahun1937, kemudian lulus dengan meraih gelar
B.A. Atas saran dari ShumeiOkawa. Dia belajar tentang Islam di East
Asiatic Economic Investigation Bureau. Pada tahun 1958, dia menyelesaikan
terjemahan Qurannya yang pertama kali dari bahasa arab ke bahasa Jepang.[5]
Toshihiko
Izutsu adalah Profesor Emeritus di Universitas Keio di Jepang dan otoritas yang
luar biasa di sekolah kebijaksanaan metafisis dan filosofis Sufisme Islam,
Hindu Advaita Vedanta, Mahayana Buddhisme (khususnya Zen), dan Taoisme
Filosofis. Fasih di lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia,
Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani, penelitian yang bergerak di
tempat-tempat seperti Timur Tengah (terutama Iran), India, Eropa, Amerika
Utara, dan Asia dilakukan dengan pandangan untuk mengembangkan pendekatan
meta-filosofis untuk perbandingan agama berdasarkan studi linguistik ketat
teks-teks metafisik tradisional.[6]
Terjemahannya
masih renownwd untuk akurasi linguistiknya dan banyak
digunakan untuk tugas-tugas akademik. Dia sangat berbakat dalam belajar bahasa
asing dan dia sanggup menyelesaikan membaca al-Quran dalam satu bulan setelah
ia belajar bahasa Arab.Izutsu
seringkali menyatakan keyakinannya bahwa harmoni bisa dipupuk antara masyarakat
dengan menunjukkan bahwa banyak kepercayaan dengan mana suatu komunitas yang
diidentifikasi sendiri dapat ditemukan, meskipun mungkin bertopeng dalam bentuk
yang berbeda, dalam metafisika komunitas lain, sangat berbeda.[7]
Karya-karyanya
yang paling penting termasuk tasawuf dan Taoisme: Sebuah Studi Perbandingan
Konsep Kunci Filsafat (1983) dan diterbitkan anumerta koleksi esai berjudul
Penciptaan dan Orde Abadi of Things (1994).
B. Pemahaman Toshihiko Izutsu Terhadap
al-Quran
1.
Semantik Sebagai Metode Analisis al-Quran
Kata
semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda
atau lambang, juga dapat ditemukan dalam kata semaphore.Semantik
merupakan cabang linguistik yang membahas aspek-aspek makna bahasa yang
mencakup deskripsi makna kata dan makna kalimat.Dalam bahasa Inggris dikenal
istilah semantics dan bahasa Arab dikenal istilah ilm ad-dilalah. [8]
Izutsu
mengungkapkan bahwa sejatinya ajaran al-Quran itu ditakdirkan berkembang, tidak
hanya sebagai suatu agama belaka, tapi juga suatu kebudayaan dan peradaban,
maka kita perlu mengakuinya sebagai suatu yang teramat agung dalam lapangan
etika-sosial, yang berisikan konsep-konssep yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari dari orang banyak itu di dalam masyarakat. Secara khusus, pada masa
Madinah, al-Quran telah banyak bicara tentang kehidupan kemasyarakatan.Namun,
aspek etika al-Quran ini belum banyak dikaji secara sistematik pada masa
sekarang.[9]
Izutsu
menggunakan metode analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan yang
disediakan oleh kosa kata al-Quran yang berhubungan dengan beberapa persoalan
yang paling kongkrit dan melimpah yang dimunculkan oleh bahasa al-Quran.Yang
dimaksud semantik dalam kajian izutsu disini adalah kajian analitik terhadap
istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai
pada pengertian konseptual weltanschauung
atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu , tidak hanya
sebagai alat bicara dan berfikir , tetapi lebih penting lagi , pengkonsepan dan
penafsiran dunia yang melingkupinya.[10]
Terminus
semantik sendiri secara semantis banyak memiliki arti.Ia berarti aspek tertentu
dalam objek penelitian ilmu bahasa itu sendiri, seperti ketika orang mengatakan
semantik kota kata, demikian pula teori dalam penelitian bahasa. Yang paling
banyak dianut dalam ilmu bahasa adalah semantik dalam pengertian kajian analitik
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang
akhirnya sampai pada pengertian konseptual dari masyarakat pengguna bahasa
tersebut.pandangan ini tidak saja sebagai alat berbicara dan berpikir, tetapi
lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[11]
Sekarang
mudah sekali untuk melihat bahwa kata al-Quran dalam frasa semantik al-Quran
harus dipahami hanya dalam pengertianWeltanschauung al-Quran atau
pandangan dunia Qurani yaitu visi Qurani tentang alam semesta.[12]
Analisis semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkat
kongkret sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Quran. Tujuannya adalah
memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Quran dengan penelaah
analisis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok.[13]
Dari uraian di atas dapat diapahamai bahwa
kajian Izutsu didasarkan pada sejarah nyata kesadaran qur’ani melalui analisa
lingkup bahasa Arab untuk memaparkan bagaimana filologi, akustik, psikologi,
sosiologi, sejarah yang mendasari terbentuknya sutau jaringan arti yang tak
terpisah secara timbal balik. Dengan cara ini, naskah al-Qur‟an secara utuh
merupakan sistem dari berbagai hubungan internal, bukan pada tingkat hubungan
berbagai satuan artifisial yang terpisah. Metode sematik merupakan
metode yang luas cakupannya dan terus menerus mengalami perkembangan (dinamis),
pada awalnya hanya digunakan hanya untuk mengkaji teks, namun pada masa
sekarang sematik modern digunakan untuk mengkaitkan bahasa dan pikiran.
Sematik merupakan salah satu hal yang tidak
bisa dipisahkan dengan semiotic dan hermeneutika. Ketiganya memiliki
kajian disiplin ilmu yang kuat, banyak
topic atau sub bahasan yang sama antara ketiganya. Semiotic secara spesifik
memfokuskan kajian terhadap tanda dan
makna kata-kata individu, [14]sedangkan
hermeneutika lebih menekankan focus kajian tentang makna tekstaual atau makna kata ketika telah digunakan dalam
kalimat atau teks yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan kekinian.[15]
2.
Istilah-istilah kata kunci
dan weltanschauung
Thosihiko
Izutsu mengkaitkan metode sematik dengan weltanschauung.[16]Secara sederhana term ini memiliki arti filsafat
hidup atau pandangan hidup yang dimiliki setiap kepercayaan (agama), Budaya,
Bangsa, Bahkan setiap orang memiliki weltanschauung masing-masing. Dalam
perkembangannya kata weltanschauungdiartikan secara komplek, Ninian
Smart mendefinisikan kata itu sebagai suatu kepercayaan, perasaan yang dimiliki
setiap orang sebagai motor penggerak keberlangsungan dan perubahan moral dan
social.[17]
Dalam
pandangan syed Naquib Al-Atas, weltanschauungmemiliki makna bahwa pandangan hidup tidak hanya
pandangan akal terhadap dunia fisik saja, akan tetapi lebih memiliki arti yang
mendalam yaitu pandangan akal terkait dengan orientasi akhirat.[18]Pandangan ini sejalan dengan Thosihiko Izutsu yaitu
sebuah pandangan yang tidak terkait dengan realitas yang bersifat tampak saja,
namun juga terkait dengan realitas yang tidak tampak.
Menurut Thosihiko Izutshu, supaya tidak terjadi
elimenasi dalam memahami weltanschauung, dia berusaha membiarkan Al-Qur’an
menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri.[19]Caranya dengan mengumpulkan
kata-kata penting yang memiliki kensep-konsep penting seperti :Allah, kufr,
iman, nabi. kemudian menelaah kata-kata itu dalam konteks Al-Qur’an,
selanjutnya oleh Thosihiko Izutsu disebut kata-kata kunci, oleh karena itu
tidak semua kata- kata memiliki makna
secara konsep dan ontologis.
Kata-kata yang menempati
istilah-istilah kata kunci dalam Al-Qur’an ada 2 tipe: pertama; kata-kata
yang berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah kata kunci,
kata Taqwa, misalnya, ia adalah kata yang penting dalam Al-Qur’an, yang
mana seluruh bangunan-bangunan kesalehan dalam Al-Qur’an berpijak. Padahal
pada masa pra-Islam kata tersebut
memiliki arti yang rendah (biasa), yaitu prilaku takut binatang dalaam membela
diri.[20]
Kedua: Kata-kata yang dalam sistem sebelumnya merupakan
kata-kata penting, hanya saja sematiknya sudah jauh berubah sebagai akibat dari
sistem, misalnya Karim, yang memiliki arti mulia sejak jaman jahiliyah,
yakni dipersembahkan bagi orang yang memiliki garis keturunan yang mashur dan
terhormat. Dalam Al-Qur’an makna kata ini harus mengalami perubahan karena
didekatkan dengan makna taqwa.[21]
3.
Makna Dasar dan Makna Relasional
Jika kita mengambil
al-Quran dan menelaah istilah-istilah kunci di dalamnya dari sudut pandang
kita, maka kita akan menemukan dua hal, yang satu begitu nyata, sering begitu
dangkal, biasa untuk dijelaskan, dan yang lainnya mungkin sepintas kilas tidak
begitu jelas. Sisi nyata persoalan tersebut adalah bahwa masing-masing kata
individual, diambil secara terpisah memiliki makna dasar atau kandungan
kontekstualnya sendiri yang akan melekat pada kata itu meskipun kata itu kita
ambil di luar konteks al-Quran.[22]
Kata kitab misalnya, makna
dasarnya baik yang ditemukan dalam al-Quran maupun di luar al-Quran sama. Kata
ini sepanjang dirasakan secara aktual oleh masyarakat penuturnya menjadi satu
kata, mempertahankan makna fundamentalnya – dalam hal ini, makna yang sangat
umum dan tidak spesifik, yaitu “kitab -, dimana pun ditemukan, baik digunakan
sebagai istilah kunci dalam sistem konsep yang ada atau lebih umum lagi di luar
sistem khusus tersebut. Kandungan unsur semantik ini tetap ada pada kata itu
dimana pun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan, inilah yang disebut
dengan makna dasar kata itu.[23]
4.
Aplikasi Metode Sematik
Dalam Penafsiran
Menurut Izutsu, untuk
memahami teks-teks al-Quran dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama
adalah dengan memilih istilah-istilah kunci(key word) dari al-Quran
sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah menentukan makna
dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational
meaning).Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep
tersebut dalam satu kesatuan.
Di
sini Izutsu menekankan pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan
seluruh sistem statis. Tahapan-tahapan sejarah tersebut pada pembentukan awal
sejarah kosakata al-Quran adalah: (1) sebelum turunnya al-Quran atau
jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Quran, (3) setelah turunnya al-Quran, terutama
pada periode Abbasiyah. Jadi pada tahap pertama, yakni masa pra-Islam, kita
mempunyai tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga pandangan dunia yang
mendasarinya yang berbeda pula: (1) Kosakata Badwi murni yang mewakili weltanschauungArab
kuno, (2) Kosakata kelompok pedagang yang berlandaskan pada kosakata Badwi, (3)
Kosakata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosakata Arab pra-Islam.[24]
Misalnya.kufr tidak
hanya merupakan istilah yang paling komprehensif untuk semua nilai etika
religius yang negatif yang dikenal demikian di dalam al-Quran, tetapi kufr berfungsi sebagai suatu yang paling
inti dari keseluruhan sistem sifat negatif.Tampaknya, implikasinya adalah bahwa
kita memahami sifat dasar kufr yang
sesungguhnya hanya jika kita memahami sifat dasar unsur yang membentuk keseluruhan
sistem itu sendiri.[25]Kata
kunci yang akan dibicarakan yaitu: Fasiq, Fajir dan Zalim.
Fasiq sebaga
sinonim dari kafir. Fasiq mempunyai banyak
kesamaan dalam struktur semantik dengan kafir, sedemikian banyaknya
sehingga dalam banyak kasus terbukti sangat sulit untuk membedakan antara
keduanya.Bagaimanapun juga, dalam tahapan analisis ini kita dapat mengatakatan
bahwa fasiq merupakan sinonim dari kafir.
Demikianlah, istilah ini dihubungkan dengan Abu Amir, seorang pertapa terkenal
pada masa jahiliyyah dan berhasil menjadirahib; dan orang yang sangat
berpengaruh di Madinah pada masa Hijrah, yang sampai akhir tetap bersikeras
menolak untuk mempercayai Tuhan Muhammad walaupun kebanyakan sukunya menerima
keyakinan Islam, dan bahkan secara bersungguh-sungguh meninggalkan mereka dan
menyebrang ke Mekah bersama dengan beberapa orang yang masih mempercayainya.
Dengan kejadian ini, dikatakan bahwa Muhammad telah mengatakan, “selanjutnya
jangan sebut dia rahib”, tetapi sebut dia fasiq,
Muhammad telah menggunakan kata kafir sebagai ganti fasiq.[26]
Pandangan
yang paling umum diterima adalah bahwa fisq berartikhuruj ‘an
at-tha’at, yaitu tidak mematuhi perintah Tuhan.Dalam hal ini, maka fasiq merupakan
istilah yang aplikasinya lebih luas daripada kafir, siapapun yang tidak
mentaati Tuhan dalam pengertian apapun dapat disebut fasiq,
sementara kafir mempunyai pengertian yang jauh lebih terbatas.[27]
Tidak
seperti fasiq, kata fajir (fajr, fujur) selanjutnya
tidak menjadi istilah teknik dalam teologi Islam.Dalam pengertian yang khusus
ini, istilah ini tidak punya sejarah pasca-Quranik. Tetapi tentu saja sebagai
istilah moral biasa, non-teknik, dalam literatur pasca-Quranik istilah ini
terus mempunyai peran penting yang sama sebagaimana dalam masa Jahiliyyah. Dan
kadang-kadang dalam teologi, kita menemukan kata itu digunakan untuk
menunjukkan kategori negatif dalam konsep mu’min, orang yang percaya, sebagai lawan
dari kategori positif yang disebutkan dengan kata barr.[28]
Sebenarnya
Quran tidak banyak memberikan informasi mengenai kata ini kecuali mungkin bahwa
fajir itu secara kasar merupakan sinonim dari kafir.Dikatakan bahwa
makna yang mendasari adalah menyimpang.Oleh karena itu, kata ini secara
metaforik berarti meninggalkan jalan yang benar dan kemudian melakukan perilaku
yang immoral.
Kata zalim,
sebagaimana seringkali kita lihat, umumnya diterjemahkan dalam Bahasa Inggris
sebagai wrong doer ‘orang yang melakukan pekerjaan salah’
atau evil doer ‘orang yang melakukan perbuatan buruk’ dan
bentuk nominal yang berkorespondensi dengan zulm dapatberupa wrong ‘salah’, evil‘buruk’, isjustice ‘tidakadil’dan tyranny ‘kekejaman’.[29]
Arti
utama dari zlm, dalam pemikiran kebanyakan leksikografer
authoritatif adalah meletakkan di tempat yang salah. Dalam lingkup etika,
utamanya berarti bertindak sedemikian rupa yang melampaui batas yang benar
serta melanggar hak orang lain. Secara singkat dan umum dibicarakan, zulm berhubungan
dengan ketidakadilan dalam pengertian melewati batas yang dimiliki seseorang
dan melakukan apa yang tidak menjadi haknya.[30]
Contoh
lain, pada masa pra-Islam, kata Allah bukannya tidak dikenal pada masa Arab
pra-Islam, kata tersebut dikenal secara luas bukan saja oleh bangsa Arab Yahudi
dan Nasrani, bahkan masyarakat Arab Badui murni sudah mengenal kata itu sebagai
nama Tuhan. Selain nama Allah, bangsa Arab juga menggunakan kata alihah (tuhan
atau dewa-dewa). Eksistensi kata Allah masa Arab sebelum turunnya al-Quran
setara dengan kata alihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam datang yang
dibawa oleh Nabi Muhammad dengan panduannya berupa al-Quran, Islam tidak
merubah kata Allah sebagai nama tuhan. Namun konsep kata Allah yang ada pada
masa pra-al-Quran sangat berbeda dengan konsep Allah yang dibawa pada masa
al-Quran. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Quran berupa nama tuhan yang
bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan kata tersebut untuk tuhan mereka
yang politeistik. Pandangan seperti ini dirubah sejak Islam datang, kata Allah
pada masa turunnya al-Quran menjadi monoteistik, tuhan yang tunggal.[31]
Contoh
yang lain yaitu ayat yang menerangkan tentang hasan. Hasan,
seperti khayr, kata ini mempunyai cakupan pemakaian yang sangat
luas. Hasanadalah kata sifat yang dapat diterapkan pada hampir
peristiwa apapun yang dianggap menyenangkan, memuaskan, indah, terpuji.Dan
sebagaimana dalam kasus khayr, lingkupnya mencakup kehidupan
manusia yang bersifat religius dan bersifat dunia. Contohnya terdapat ayat:
`ÏBurÏNºtyJrOÈ@ϨZ9$#É=»uZôãF{$#urtbräÏGs?çm÷ZÏB#\x6y$»%øÍur$·Z|¡ym3¨bÎ)Îûy7Ï9ºsZptUy5Qöqs)Ïj9tbqè=É)÷ètÇÏÐÈ4ym÷rr&ury7/un<Î)È@øtª[$#Èbr&ÉϪB$#z`ÏBÉA$t6Ågø:$#$Y?qãç/z`ÏBurÌyf¤±9$#$£JÏBurtbqä©Ì÷ètÇÏÑȧNèOÍ?ä.`ÏBÈe@ä.ÏNºtyJ¨W9$#Å5è=ó$$sù@ç7ßÅ7În/uWxä9è4ßlãøs.`ÏB$ygÏRqäÜç/Ò>#u°ì#Î=tFøC¼çmçRºuqø9r&ÏmÏùÖä!$xÿϩĨ$¨Z=Ïj93¨bÎ)Îûy7Ï9ºsZptUy5Qöqs)Ïj9tbrã©3xÿtGtÇÏÒÈ
Artinya :Dan dari buah korma dan anggur, kamu
buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang
memikirkan.
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada
lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia",
Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
Telah dimudahkan (bagimu).dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang
bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi
manusia.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. an-Nahl: 67-69)
Di
sini jelaslah, bahwa kata hasan secara kasar ekuivalen dengan kata enak atau
sesuai dengan selera. Dalam contoh berikut, kata yang sama merujuk pada sesuatu
yang sama sekali berbeda.
$ygn=¬6s)tFsù$yg/u@Aqç7s)Î/9`|¡ym$ygtFt7/Rr&ur$·?$t6tR$YZ|¡ym$ygn=¤ÿx.ur$Ìx.y($yJ¯=ä.@yzy$ygøn=tã$Ìx.yz>#tósÏJø9$#yy`ur$ydyZÏã$]%øÍ(tA$s%ãLuqöyJ»t4¯Tr&Å7s9#x»yd(ôMs9$s%uqèdô`ÏBÏZÏã«!$#(¨bÎ)©!$#ä-ãöt`tBâä!$t±oÎötóÎ/A>$|¡ÏmÇÌÐÈ
Artinya :Maka Tuhannya menerimanya (sebagai
nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik
dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya... (QS. Ali Imran: 37)
Haruslah
dicatat bahwa dalam ayat ini, hasan tampak dua kali dalam suatu urutan.Yang
pertama kata ini berarti penerimaan yang baik yang diterima oleh Maryam di
tangan Allah, sementara yang kedua kata hasan menegaskan bahwa Maryam tumbuh
sehat dan menjadi wanita yang mulia.
Ayat
berikut menggunakan kata itu untuk tipe ideal dalam hubungan antara manusia
dalam hubungan sosial. Secara lebih konkret, ayat ini memerintahkan kepada
manusia akan kewajiban untuk berbicara dengan damai dengan maksud untuk
mempertahankan dan mendukung terwujudnya hubungan yang penuh damai di antara
mereka.
@è%urÏ$t7ÏèÏj9(#qä9qà)tÓÉL©9$#}Ïdß`|¡ômr&4¨bÎ)z`»sÜø¤±9$#éøu\töNæhuZ÷t/4¨bÎ)z`»sÜø¤±9$#c%x.Ç`»|¡SM~Ï9#xrßtã$YZÎ7BÇÎÌÈ
Artinya :Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku:
"Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya
syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia (QS. Al-Isra’: 53).
Hasan
juga dapat digunakan untuk pengertian menguntungkan dalam pembicaraan mengenai
usaha dan perdagangan.Al-Quran menggunakan kata ini secara figuratif dalam
hubungannya dengan perbuatan yang baik.Dengan berbuat baik, manusia memberikan
pinjaman yang sangat menguntungkan bagi Allah.
`¨B#sÏ%©!$#ÞÚÌø)ã©!$#$·Êös%$YZ|¡ym¼çmxÿÏè»Òãsùÿ¼ã&s!$]ù$yèôÊr&ZouÏW24ª!$#urâÙÎ6ø)täÝ+Áö6turÏmøs9Î)urcqãèy_öè?ÇËÍÎÈ
Artinya :Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka
Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.( Al. Baqoroh,245)
Janji
Allah disebut janji hasan karena menjanjikan banyak kebaikan kepada
C. Kritik Dan Apresiasi
Terhadap Toshihiko Izutsu
Tafsir
merupakan cabang ilmu keislaman yang sangat strategis untuk dikaji, selain
ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu nahwu, hadis, usul fiqih, fiqih, dll. Oleh
karena itu agar tidak terjadi kerancauan dalam menafsirkan terdapat
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Menurut Dr. Farmawi
dalam bukunya Al-Bidayah Fi Al-Tafsir
Maudui: mengatakan bahwa ada empat syarat yang harus dimiliki seorang
mufassir yaitu mempunyai aqidah yang benar, menjalankan sunah rosul, mempunyai
tujuan yang benar yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan dalil naql, dan menguasai ilmu-ilmu yang
digunakan untuk penafsiran.[33]
Berdasarkan
syarat-syarat di atas menurut hemat penulis bahwa Thosihiko Izutsu tidak
termasuk seorang mufassir atau dengan kata lain beliau tidak memiliki otoritas untuk
menafsiri Al-Qur’an karena beliau bukan seorang muslim, beliau penganut agama zen budhisme. Penafsiran Al-Qur’an
adalah kerja kesalehan yang membutuhkan persyaratan-parsyaratan khusus. Syarat
utamanya adalah seorang mufassir harus menjalankan syariat-syariat Islam.
Dalam
penafsirannya, Thosihiko Izutshu terlalu bercita-cita tinggi untuk menjelaskan Al-Qur’an
dengan dasar pencarian “ struktur kata “ dan “kata Kunci” dalam Al-Qur’an.
Padahal dalam menafsiri Al-Qur’an banyak dibutuhkan beberapa pendekatan agar
bisa lebih valid tafsirnya, sebut saja pendekatan sejarah( Historical
Approach). Al-Qur’antanpa dikaji dengan pendekatan sejarah akan sulit
berlaku adil dalam evolusi konsep, terutama kensep tentang Allah.
Selain
itu Thosihiko Izutsu dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak memperhatikan
peranan sejarah(Asbabun nuzul)
dalam perubahan makna, artinya ketika beliau menafsirkan arti suatu kata tidak
melihat adanya perubahan makna yang terjadi dalam proses berjalannya sejarah.
Makna suatu kata kemungkinan akan
mengalami perubahan seiring berjalannya kehidupan
manusia dari masa ke masa.Beliau
juga tidak menegaskan fakta bahwa surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan selama
dua puluh tiga tahun dan beberapa kata yang terdapat di surat-surat awal
maknanya berbeda dengan makna kata-kata yang terdapat di surat-surat akhir,
atau dengan kata lain ada sejarah ( asbabun
nuzul )sematik dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Thosihiko Izutsu
tentang makna dasar dan makna relasional terdapat makna yang membahayakan,
beliau berkata bahwa makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh posisinya
dalam suatu system. Dalam pendekatan beliau mendasarkan atas
keyakinan bahwa orang dalam situasi berbeda akan menggunakan kata-kata untuk
mengkelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam. Dengan demikian
kebutuhan akan pemetakan bidang sematik masing-masing kata harus benar-benar
dieksplorasi.Istilah makna yang tepat
dapat membahyakan, tidak ada satupun makna yang dapat diklaim sebagai makna Al-Qur’an.Makna
Al-Qur’an adalah sejarah makna-makna.
Selain itu menurut hemat penulis, metode sematik hanya
menafsirkan atau mendefinisakan suatu kata yang bertujuan membentuk pandangan
dunia tentang makna dari kata tersebut, padahal dalam penafsiran tidak hanya
menjelaskan definisi atau konsep suatu kata, namun lebih dari itu,
mencakup segala aspek, sosisal, hukum,
teologi, tasawuf dan filsafat. Atau lebih mudahnya penulis sebut tafsir ini
sebagai tasfir konseptual.
Selain itu, penafsiran dengan model seperti ini tidak
membutuhkan syarat-syarat khusus dari sang mufasiir, semua orang bisa
membuat penafsiran sendiri-sendiri mengenai makna suatu kata, tanpa
memperhatikan latar belakang agama, tingkah laku, dan keahlian tertentu yang
harus dimiliki sang mufassir.
Menafsirkan al-Qur’an dengan hanya menggunakan pendekatan
bahasa, hukum, sastra dan filsafat dirasa kurang memberikan suatu hasil
penafsiran yang tepat dan benar, dikarenakan
tidak meyakinkan dan hanya dugaan semata. Orang yang mengatakan tentang
agama Allah dengan dugaan semata, berati dia mengatakan kepada Allah suatu yang
tidak ia ketahui.
Meskipun
demikian, pemikiran Thosihiko Izutsu layak dapat apresiasi yang positif. Kebanyakan orentalis barat dalam mengkaji Al-Qur’an
didasari rasa kedengkian kefrustasian
dan kedendaman. Akan tetapi menurut hemat penulis Thosihiko Izutsu di
luar orang-orang di atas, sebab dalam menafsirkan beliau menggunakan
argument-argument yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran
kitab suci hanya bisa dicapai melalui Insider
tradisi suci tersebut.Walaupun pemikirannya sedikit banyak masih ditopangi
gaya penafsiran orentalis, beliau tetap fair dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
tanpa menitikberatkan antara penafsiran muslim dan non-muslim, keduannya
dipandang beliau hal yang tidak perlu dicondongi salah satunya. Beliau
menggunakan metode yang sangat tepat yang
membiarkanAl-Qur’an berbicara dengan sendirinya.
Selain
itu menurut penulis beliau adalah orang yang mumpuni dalam membuka cakrawala
dunia penafsiran Al-Qur’an semakin lebar, ilmu filsafatnya sangat mumpuni,
karya-karyanya paling tidak bisa dijadikan refrensi bagi dunia penafsiran Al-Qur’an
modern.Agar Al-Qur’an bisa mengikuti perkembangan zaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari Pembahasan di atas,
penulis dapat menyimpulkan:
Toshihiko Izutsu (4 mei
1914-1993 M) dilahirkan dari keluarga kaya di Jepang.Pendekatannya dalam
mengkaji agama adalah linguistik dan dia menggunakan ilmu humaniora/sosial
lebih ekstensive dari pada pendekatan yang berdasarkan pada keimanan. Izutsu
mengungkapkan bahwa sejatinya ajaran al-Quran itu ditakdirkan berkembang, tidak
hanya sebagai suatu agama belaka, tapi juga suatu kebudayaan dan peradaban.
Menurut Izutsu, untuk
memahami teks-teks al-Quran dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama
adalah dengan memilih istilah-istilah kunci (key word)dari al-Quran
sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah menentukan makna
dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational
meaning).Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep
tersebut dalam satu kesatuan.Al-Quran dalam frasa semantik al-Quran harus
dipahami hanya dalam pengertianWeltanschauung al-Quran atau
pandangan dunia Qurani yaitu visi Qurani tentang alam semesta.
Tahapan-tahapan sejarah
tersebut pada pembentukan awal sejarah kosakata al-Quran adalah: (1) sebelum
turunnya al-Quran atau jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Quran, (3) setelah
turunnya al-Quran, terutama pada periode Abbasiyah. Beberapa contoh ayat yang
menunjukkan penafsirannya adalah bahasan tentang kufur, hasan dan lain
sebagainya.
Sebagai kritik dan
apresiasi, pemikiran Izutsu ada yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan
syarat-syarat sebagai seorang mufassir, sehingga bisa dikatakan tafsir beliau
ditolak dan tidak sah, walau demikian
tetap pemikiran beliau bisa memberikan sumbangsih bagi ilmu keislaman khususnya
bagi studi Al-Qur’an.
B. Saran
Demikianlah
makalah ini penulis buat, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.Tentulah masih
banyak kekurangannya. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan.Cukup sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Al-Hay Al-farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir
Maudui; Dirosah Manhajiah Mauduiyah, Kairo, Matha’ah al-hadharah
al-Arobiyah, 1997
Wijaya ,Dr. Aksin, Teori Interpretasi
Al-Qur’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologi-Hermeneutis, Jogja, LKIS Yogyakarta,
2009
Hamidi,Lutfi,Sematik
Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Yogyakarta, Grafido Litera Media, 2010
Hasanah,Mamluatul, Menyingkap Tabir
Dua Kalimat Syahadat Perspektif Semantik Tindak Tutur, UIN Malang Press:
Malang, 2008
Setiawan, M.
Nur Kholis,Akar-akar
Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Quran, Elsaq Press: Yogyakarta.
Ninian Smart, Worldview,
crossculltural Explorations of Human Belief, ( New York, Charles ber’s son)
Syed
Naquib al-Atas, Prolegomena to The
metaphysics of Islam, An Expotitions of Fundamental
Element of Worldview Islam,( Kuala Lumpur, ISTAC, 2005)
Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Quran,
Pustaka Firdaus: Jakarta, 1996
_______, Toshihiko, 2003, The Relation God and Man,
diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta.
_______,Toshihiko 1993, Konsep-konsep Etika
Religius dalam al-Quran, Tiara Wacana: Yogyakarta.
________,Thosihiko, god
and man in the Qur’an, sematics of the qur’anic weltanschauung,( Montreal McGill University, 2002
Umma
Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir al-Quran, Idea Press:
Yogyakarta.
[1] . sebagai pedoman sekaligus
petunjuk hidup umat Islam untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat
[2]. Artinya peradaban yang bersumber
dari teks suci untuk di aplikasikan dalam rangka membangun sebuahperadaban yang
menjunjung tinggi derajat manusia.
[3]Bahasa Arab, Persia, Sanskrit,
pali, cina, Jepang dan Yunani, dll
[4]Adalah meditasi yang dilakukan
dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh dan fikiran untuk mencapai
hakikat eksistensi dengan demikian mendapatkan pencerahan
[5] Lutfi Hamidi, Sematik Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko
Izutsu, Yogyakarta, Grafido Litera Media, 2010, hal. 35
[6]
Ibid.
[8]Mamluatul Hasanah, 2008, Menyingkap Tabir
Dua Kalimat Syahadat Perspektif Semantik Tindak Tutur, UIN Malang Press:
Malang, hlm. 1
[9]Umma Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir al-Quran,
Idea Press: Yogyakarta, hlm. 64.
[10]http://irvansoleh.blogspot.com/2009/04/semantik-al-quran-dalam-pandangan.
Diambil tanggal 3 Desember 2014
[11] M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran
Progresif dalam Kajian al-Quran, Elsaq Press: Yogyakarta, hlm. 88.
[12]Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa
kata al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud
analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci
suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan
dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.Sehingga, bahasa tidak hanya
sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai
pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.
[13]Thosihiko Izutsu, 2003, Relasi Tuhan dan Manusia,
diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm 3
[14]Lutfi Hamid, Op, Cit.,Hlm .68
[15] Dr. Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologi-Hermeneutis, Jogja, LKIS
Yogyakarta, 2009, hal.32-33
[16] Istilah ini berasal dari Jerman
yang memiliki arti pandangan dunia, term ini sama maknya dengan worldviewdalamBahasa Inggris
[17]Ninian Smart, Worldview, crossculltural Explorations of
Human Belief, ( New York, Charles ber’s son), Hlm, 1-2
[18]Syed Naquib al-Atas, Prolegomena to The metaphysics of Islam, An Expotitions of Fundamental Element of Worldview Islam,(
Kuala Lumpur, ISTAC, 2005), Hlm. 2
[19]Thosihiko Izutsu, god and man in the Qur’an, sematics of the
qur’anic weltanschauung,( Montreal McGill University,
2002),hlm.2
[21]Qs, Al-Hujrat, 13
[22]Atau
lebih muahnya penulis sebut dengan makna dasar dan makna relasional.
[23]Thosihiko Izutsu, 2003, Relasi Tuhan dan Manusia,
diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm 3
[25]Toshihiko Izutsu, 1993, Konsep-konsep Etika
Religius dalam al-Quran, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm.187.
[30]Ibid.
[31]Umma
Farida, Op.Cit., hlm. 67
[32]Thosihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius
dalam al-Quran, Op.Cit., hlm. 266
[33]‘Abd Al-Hay Al-farmawi, Al-Bidayah
Fi Al-Tafsir Maudui; Dirosah Manhajiah Mauduiyah, Kairo, Matha’ah al-hadharah al-Arobiyah,
1997, Hlm. 17-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda