Pengikut

Senin, 13 April 2015

SEMANTIK ALQURAN DALAM PRESPEKTIF THOSIHIKO IZUTSU

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. Muh  Syaifuddin. MA
.
Disusun Oleh :
Moch. Muamar
1400018056


PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam.[1]Menjadi ciri khas peradaban Islam yang memuat petunjuk-petunjuk, hokum-hukum dan bukti kebenaran-kebenaran yang abadi.Al-Qur’an merupakan kitab suci yang dinamis selalu bisa diaplikasikan oleh siapapun, kapan pun dan di manapun.Hampir tidak ada ruang kehidupan manusia baik individu maupun kolektif yang tidak dimuat dalam Al-Qur’an.Tidak berlebihan jika banyak yang ingin mengkaji secara mendalam kitab suci ini, termasuk orang non-muslim.Merekan meyakini bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks.[2]
Nama Thosihiko Izutsu adalah salah satu pengkaji Al-Qur’an dari kalangan non-muslim,  mungkin masih asing di kalangan masyarakat awam. Namun  bagiahli akademik dan pengkaji pengajian Islam dunia, Profesor Izutsu adalah pendakwah dan ilmuwan yang mengembangkan pemahaman tentang Islam.Ilmuwan asal Jepang ini merupakan salah seorang outsider yang mampu menguasai lebih dari 30 bahasa milik bangsa-bangsa bertamadun utama dunia termasuk bahasa klasik.[3]Dia juga berhasil menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jepang pada tahun 1958. .
Dengan penekanan pada aspek metodologi: yakni analisis semantik atas hubungan personal antara Tuhan dan manusia, Toshihiko Izutsu memaparkan segitiga relasi Tuhan dan manusia dalam al-Quran yaitu relasi ontologis, relasi komunikatif dan relasi etis. Di samping itu, ia juga melakukan analisis tentang makna dasar dan makna relasional yang berkaitan dengan segitiga relasi Tuhan dan manusia. Penulis dalam makalah ini juga akan mengetengahkan pandangan Toshihiko Izutsu tentang pemikiran dan pandangannnya tentang al-Quran serta metode penafsiran al-Quran menurutnya dan juga aplikasi ayatnya serta bagaimana cara menyikapinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi dan Pemikiran Toshihiko Izutsua
Toshihiko Izutsua (4 mei 1914-1993 M) dilahirkan dari keluarga kaya di Jepang. Ia adalah profesor universitas dan penulis banyak buku tentang keislaman dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institute of Cultural and Linguistic studies pada Keio University di Tokyo, the Imperial Iranian Academy of Philosophy di Tehran, and universitas Mc. Gill di Montreal.Pendekatannya dalam mengkaji agama adalah linguistik dan dia menggunakan ilmu humaniora/sosial lebih ekstensive dari pada pendekatan yang berdasarkan pada keimanan.Dia dilahirkan dalam keluarga kaya di jepang. Sejak usia dini dia sudah akrab dengan koan dan meditasi zen.[4]
Dia belajar di Fakultas Ekonomi di Mesir tetapi kemudian dia pindah jurusan ke departemen sastra Inggris atas saran Prof. Junzaburo Nishiwaki. Dia menjadi assisten peneliti pada tahun1937, kemudian lulus dengan meraih gelar B.A. Atas saran dari ShumeiOkawa. Dia belajar tentang Islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau. Pada tahun 1958, dia menyelesaikan terjemahan Qurannya yang pertama kali dari bahasa arab ke bahasa Jepang.[5]
Toshihiko Izutsu adalah Profesor Emeritus di Universitas Keio di Jepang dan otoritas yang luar biasa di sekolah kebijaksanaan metafisis dan filosofis Sufisme Islam, Hindu Advaita Vedanta, Mahayana Buddhisme (khususnya Zen), dan Taoisme Filosofis. Fasih di lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani, penelitian yang bergerak di tempat-tempat seperti Timur Tengah (terutama Iran), India, Eropa, Amerika Utara, dan Asia dilakukan dengan pandangan untuk mengembangkan pendekatan meta-filosofis untuk perbandingan agama berdasarkan studi linguistik ketat teks-teks metafisik tradisional.[6]
Terjemahannya masih renownwd untuk akurasi linguistiknya dan banyak digunakan untuk tugas-tugas akademik. Dia sangat berbakat dalam belajar bahasa asing dan dia sanggup menyelesaikan membaca al-Quran dalam satu bulan setelah ia belajar bahasa Arab.Izutsu seringkali menyatakan keyakinannya bahwa harmoni bisa dipupuk antara masyarakat dengan menunjukkan bahwa banyak kepercayaan dengan mana suatu komunitas yang diidentifikasi sendiri dapat ditemukan, meskipun mungkin bertopeng dalam bentuk yang berbeda, dalam metafisika komunitas lain, sangat berbeda.[7]
Karya-karyanya yang paling penting termasuk tasawuf dan Taoisme: Sebuah Studi Perbandingan Konsep Kunci Filsafat (1983) dan diterbitkan anumerta koleksi esai berjudul Penciptaan dan Orde Abadi of Things (1994).
B.     Pemahaman Toshihiko Izutsu Terhadap al-Quran
1.      Semantik  Sebagai Metode Analisis al-Quran
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang, juga dapat ditemukan dalam kata semaphore.Semantik merupakan cabang linguistik yang membahas aspek-aspek makna bahasa yang mencakup deskripsi makna kata dan makna kalimat.Dalam bahasa Inggris dikenal istilah semantics dan bahasa Arab dikenal istilah ilm ad-dilalah[8]
Izutsu mengungkapkan bahwa sejatinya ajaran al-Quran itu ditakdirkan berkembang, tidak hanya sebagai suatu agama belaka, tapi juga suatu kebudayaan dan peradaban, maka kita perlu mengakuinya sebagai suatu yang teramat agung dalam lapangan etika-sosial, yang berisikan konsep-konssep yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dari orang banyak itu di dalam masyarakat. Secara khusus, pada masa Madinah, al-Quran telah banyak bicara tentang kehidupan kemasyarakatan.Namun, aspek etika al-Quran ini belum banyak dikaji secara sistematik pada masa sekarang.[9]
Izutsu menggunakan metode analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan yang disediakan oleh kosa kata al-Quran yang berhubungan dengan beberapa persoalan yang paling kongkrit dan melimpah yang dimunculkan oleh bahasa al-Quran.Yang dimaksud semantik dalam kajian izutsu disini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu , tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir , tetapi lebih penting lagi , pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[10]
Terminus semantik sendiri secara semantis banyak memiliki arti.Ia berarti aspek tertentu dalam objek penelitian ilmu bahasa itu sendiri, seperti ketika orang mengatakan semantik kota kata, demikian pula teori dalam penelitian bahasa. Yang paling banyak dianut dalam ilmu bahasa adalah semantik dalam pengertian kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual dari masyarakat pengguna bahasa tersebut.pandangan ini tidak saja sebagai alat berbicara dan berpikir, tetapi lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[11]
Sekarang mudah sekali untuk melihat bahwa kata al-Quran dalam frasa semantik al-Quran harus dipahami hanya dalam pengertianWeltanschauung al-Quran atau pandangan dunia Qurani yaitu visi Qurani tentang alam semesta.[12] Analisis semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkat kongkret sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Quran. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Quran dengan penelaah analisis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok.[13]
Dari uraian di atas dapat diapahamai bahwa kajian Izutsu didasarkan pada sejarah nyata kesadaran qur’ani melalui analisa lingkup bahasa Arab untuk memaparkan bagaimana filologi, akustik, psikologi, sosiologi, sejarah yang mendasari terbentuknya sutau jaringan arti yang tak terpisah secara timbal balik. Dengan cara ini, naskah al-Qur‟an secara utuh merupakan sistem dari berbagai hubungan internal, bukan pada tingkat hubungan berbagai satuan artifisial yang terpisah. Metode sematik merupakan metode yang luas cakupannya dan terus menerus mengalami perkembangan (dinamis), pada awalnya hanya digunakan hanya untuk mengkaji teks, namun pada masa sekarang sematik modern digunakan untuk mengkaitkan bahasa dan pikiran.
Sematik merupakan salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dengan semiotic dan hermeneutika. Ketiganya memiliki kajian  disiplin ilmu yang kuat, banyak topic atau sub bahasan yang sama antara ketiganya. Semiotic secara spesifik memfokuskan kajian  terhadap tanda dan makna kata-kata individu, [14]sedangkan hermeneutika lebih menekankan focus kajian tentang makna tekstaual  atau makna kata ketika telah digunakan dalam kalimat atau teks yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan kekinian.[15]
2.      Istilah-istilah kata kunci dan weltanschauung
Thosihiko Izutsu mengkaitkan metode sematik dengan weltanschauung.[16]Secara sederhana term ini memiliki arti filsafat hidup atau pandangan hidup yang dimiliki setiap kepercayaan (agama), Budaya, Bangsa, Bahkan setiap orang memiliki weltanschauung masing-masing. Dalam perkembangannya kata weltanschauungdiartikan secara komplek, Ninian Smart mendefinisikan kata itu sebagai suatu kepercayaan, perasaan yang dimiliki setiap orang sebagai motor penggerak keberlangsungan dan perubahan moral dan social.[17]
Dalam pandangan syed Naquib Al-Atas, weltanschauungmemiliki makna bahwa pandangan hidup tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik saja, akan tetapi lebih memiliki arti yang mendalam yaitu pandangan akal terkait dengan orientasi akhirat.[18]Pandangan ini sejalan dengan Thosihiko Izutsu yaitu sebuah pandangan yang tidak terkait dengan realitas yang bersifat tampak saja, namun juga terkait dengan realitas yang tidak tampak.
Menurut Thosihiko Izutshu, supaya tidak terjadi elimenasi dalam memahami weltanschauung, dia berusaha membiarkan Al-Qur’an menjelaskan konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri.[19]Caranya dengan mengumpulkan kata-kata penting yang memiliki kensep-konsep penting seperti :Allah, kufr, iman, nabi. kemudian menelaah kata-kata itu dalam konteks Al-Qur’an, selanjutnya oleh Thosihiko Izutsu disebut kata-kata kunci, oleh karena itu tidak semua kata- kata  memiliki makna secara konsep dan ontologis.
Kata-kata yang menempati istilah-istilah kata kunci dalam Al-Qur’an ada 2 tipe: pertama; kata-kata yang berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah kata kunci, kata Taqwa, misalnya, ia adalah kata yang penting dalam Al-Qur’an, yang mana seluruh bangunan-bangunan kesalehan dalam Al-Qur’an berpijak. Padahal pada  masa pra-Islam kata tersebut memiliki arti yang rendah (biasa), yaitu prilaku takut binatang dalaam membela diri.[20]
Kedua: Kata-kata yang dalam sistem sebelumnya merupakan kata-kata penting, hanya saja sematiknya sudah jauh berubah sebagai akibat dari sistem, misalnya Karim, yang memiliki arti mulia sejak jaman jahiliyah, yakni dipersembahkan bagi orang yang memiliki garis keturunan yang mashur dan terhormat. Dalam Al-Qur’an makna kata ini harus mengalami perubahan karena didekatkan dengan makna taqwa.[21]
3.      Makna Dasar dan Makna Relasional
Jika kita mengambil al-Quran dan menelaah istilah-istilah kunci di dalamnya dari sudut pandang kita, maka kita akan menemukan dua hal, yang satu begitu nyata, sering begitu dangkal, biasa untuk dijelaskan, dan yang lainnya mungkin sepintas kilas tidak begitu jelas. Sisi nyata persoalan tersebut adalah bahwa masing-masing kata individual, diambil secara terpisah memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan melekat pada kata itu meskipun kata itu kita ambil di luar konteks al-Quran.[22]
Kata kitab misalnya, makna dasarnya baik yang ditemukan dalam al-Quran maupun di luar al-Quran sama. Kata ini sepanjang dirasakan secara aktual oleh masyarakat penuturnya menjadi satu kata, mempertahankan makna fundamentalnya – dalam hal ini, makna yang sangat umum dan tidak spesifik, yaitu “kitab -, dimana pun ditemukan, baik digunakan sebagai istilah kunci dalam sistem konsep yang ada atau lebih umum lagi di luar sistem khusus tersebut. Kandungan unsur semantik ini tetap ada pada kata itu dimana pun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan, inilah yang disebut dengan makna dasar kata itu.[23]
4.      Aplikasi Metode Sematik Dalam Penafsiran
Menurut Izutsu, untuk memahami teks-teks al-Quran dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memilih istilah-istilah kunci(key word) dari al-Quran sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah menentukan makna dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning).Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep tersebut dalam satu kesatuan.
Di sini Izutsu menekankan pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh sistem statis. Tahapan-tahapan sejarah tersebut pada pembentukan awal sejarah kosakata al-Quran adalah: (1) sebelum turunnya al-Quran atau jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Quran, (3) setelah turunnya al-Quran, terutama pada periode Abbasiyah. Jadi pada tahap pertama, yakni masa pra-Islam, kita mempunyai tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga pandangan dunia yang mendasarinya yang berbeda pula: (1) Kosakata Badwi murni yang mewakili weltanschauungArab kuno, (2) Kosakata kelompok pedagang yang berlandaskan pada kosakata Badwi, (3) Kosakata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting kosakata Arab pra-Islam.[24]
Misalnya.kufr tidak hanya merupakan istilah yang paling komprehensif untuk semua nilai etika religius yang negatif yang dikenal demikian di dalam al-Quran, tetapi kufr berfungsi sebagai suatu yang paling inti dari keseluruhan sistem sifat negatif.Tampaknya, implikasinya adalah bahwa kita memahami sifat dasar kufr yang sesungguhnya hanya jika kita memahami sifat dasar unsur yang membentuk keseluruhan sistem itu sendiri.[25]Kata kunci yang akan dibicarakan yaitu: FasiqFajir dan Zalim.
Fasiq sebaga sinonim dari kafirFasiq mempunyai banyak kesamaan dalam struktur semantik dengan kafir, sedemikian banyaknya sehingga dalam banyak kasus terbukti sangat sulit untuk membedakan antara keduanya.Bagaimanapun juga, dalam tahapan analisis ini kita dapat mengatakatan bahwa fasiq merupakan sinonim dari kafir. Demikianlah, istilah ini dihubungkan dengan Abu Amir, seorang pertapa terkenal pada masa jahiliyyah dan berhasil menjadirahib; dan orang yang sangat berpengaruh di Madinah pada masa Hijrah, yang sampai akhir tetap bersikeras menolak untuk mempercayai Tuhan Muhammad walaupun kebanyakan sukunya menerima keyakinan Islam, dan bahkan secara bersungguh-sungguh meninggalkan mereka dan menyebrang ke Mekah bersama dengan beberapa orang yang masih mempercayainya. Dengan kejadian ini, dikatakan bahwa Muhammad telah mengatakan, “selanjutnya jangan sebut dia rahib”, tetapi sebut dia fasiq, Muhammad telah menggunakan kata kafir sebagai ganti fasiq.[26]
Pandangan yang paling umum diterima adalah bahwa fisq berartikhuruj ‘an at-tha’at, yaitu tidak mematuhi perintah Tuhan.Dalam hal ini, maka fasiq merupakan istilah yang aplikasinya lebih luas daripada kafir, siapapun yang tidak mentaati Tuhan dalam pengertian apapun dapat disebut fasiq, sementara kafir mempunyai pengertian yang jauh lebih terbatas.[27]
Tidak seperti fasiq, kata fajir (fajr, fujur) selanjutnya tidak menjadi istilah teknik dalam teologi Islam.Dalam pengertian yang khusus ini, istilah ini tidak punya sejarah pasca-Quranik. Tetapi tentu saja sebagai istilah moral biasa, non-teknik, dalam literatur pasca-Quranik istilah ini terus mempunyai peran penting yang sama sebagaimana dalam masa Jahiliyyah. Dan kadang-kadang dalam teologi, kita menemukan kata itu digunakan untuk menunjukkan kategori negatif dalam konsep mu’min, orang yang percaya, sebagai lawan dari kategori positif yang disebutkan dengan kata barr.[28]
Sebenarnya Quran tidak banyak memberikan informasi mengenai kata ini kecuali mungkin bahwa fajir itu secara kasar merupakan sinonim dari kafir.Dikatakan bahwa makna yang mendasari adalah menyimpang.Oleh karena itu, kata ini secara metaforik berarti meninggalkan jalan yang benar dan kemudian melakukan perilaku yang immoral.
Kata zalim, sebagaimana seringkali kita lihat, umumnya diterjemahkan dalam Bahasa Inggris sebagai wrong doer ‘orang yang melakukan pekerjaan salah’ atau evil doer ‘orang yang melakukan perbuatan buruk’ dan bentuk nominal yang berkorespondensi dengan zulm dapatberupa wrong ‘salah’, evil‘buruk’, isjustice ‘tidakadil’dan tyranny ‘kekejaman’.[29]
Arti utama dari zlm, dalam pemikiran kebanyakan leksikografer authoritatif adalah meletakkan di tempat yang salah. Dalam lingkup etika, utamanya berarti bertindak sedemikian rupa yang melampaui batas yang benar serta melanggar hak orang lain. Secara singkat dan umum dibicarakan, zulm berhubungan dengan ketidakadilan dalam pengertian melewati batas yang dimiliki seseorang dan melakukan apa yang tidak menjadi haknya.[30]
Contoh lain, pada masa pra-Islam, kata Allah bukannya tidak dikenal pada masa Arab pra-Islam, kata tersebut dikenal secara luas bukan saja oleh bangsa Arab Yahudi dan Nasrani, bahkan masyarakat Arab Badui murni sudah mengenal kata itu sebagai nama Tuhan. Selain nama Allah, bangsa Arab juga menggunakan kata alihah (tuhan atau dewa-dewa). Eksistensi kata Allah masa Arab sebelum turunnya al-Quran setara dengan kata alihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan panduannya berupa al-Quran, Islam tidak merubah kata Allah sebagai nama tuhan. Namun konsep kata Allah yang ada pada masa pra-al-Quran sangat berbeda dengan konsep Allah yang dibawa pada masa al-Quran. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Quran berupa nama tuhan yang bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan kata tersebut untuk tuhan mereka yang politeistik. Pandangan seperti ini dirubah sejak Islam datang, kata Allah pada masa turunnya al-Quran menjadi monoteistik, tuhan yang tunggal.[31]
Contoh yang lain yaitu ayat yang menerangkan tentang hasan. Hasan, seperti khayr, kata ini mempunyai cakupan pemakaian yang sangat luas. Hasanadalah kata sifat yang dapat diterapkan pada hampir peristiwa apapun yang dianggap menyenangkan, memuaskan, indah, terpuji.Dan sebagaimana dalam kasus khayr, lingkupnya mencakup kehidupan manusia yang bersifat religius dan bersifat dunia. Contohnya terdapat ayat:
`ÏBurÏNºtyJrOÈ@ϨZ9$#É=»uZôãF{$#urtbräÏ­Gs?çm÷ZÏB#\x6y$»%øÍur$·Z|¡ym3¨bÎ)Îûy7Ï9ºsŒZptƒUy5Qöqs)Ïj9tbqè=É)÷ètƒÇÏÐÈ4ym÷rr&ury7/un<Î)È@øtª[$#Èbr&ÉσªB$#z`ÏBÉA$t6Ågø:$#$Y?qãç/z`ÏBur̍yf¤±9$#$£JÏBurtbqä©Ì÷ètƒÇÏÑȧNèOÍ?ä.`ÏBÈe@ä.ÏNºtyJ¨W9$#Å5è=ó$$sùŸ@ç7ßÅ7În/uWxä9èŒ4ßlãøƒs.`ÏB$ygÏRqäÜç/Ò>#uŽŸ°ì#Î=tFøƒC¼çmçRºuqø9r&ÏmŠÏùÖä!$xÿϩĨ$¨Z=Ïj93¨bÎ)Îûy7Ï9ºsŒZptƒUy5Qöqs)Ïj9tbr㍩3xÿtGtƒÇÏÒÈ

Artinya :Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
                 Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu).dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. an-Nahl: 67-69)
Di sini jelaslah, bahwa kata hasan secara kasar ekuivalen dengan kata enak atau sesuai dengan selera. Dalam contoh berikut, kata yang sama merujuk pada sesuatu yang sama sekali berbeda.
$ygn=¬6s)tFsù$ygš/u@Aqç7s)Î/9`|¡ym$ygtFt7/Rr&ur$·?$t6tR$YZ|¡ym$ygn=¤ÿx.ur$­ƒÌx.y($yJ¯=ä.Ÿ@yzyŠ$ygøŠn=tã$­ƒÌx.yz>#tósÏJø9$#yy`ur$ydyZÏã$]%øÍ(tA$s%ãLuqöyJ»tƒ4¯Tr&Å7s9#x»yd(ôMs9$s%uqèdô`ÏBÏZÏã«!$#(¨bÎ)©!$#ä-ãötƒ`tBâä!$t±oÎŽötóÎ/A>$|¡ÏmÇÌÐÈ

Artinya :Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya... (QS. Ali Imran: 37)
             Haruslah dicatat bahwa dalam ayat ini, hasan tampak dua kali dalam suatu urutan.Yang pertama kata ini berarti penerimaan yang baik yang diterima oleh Maryam di tangan Allah, sementara yang kedua kata hasan menegaskan bahwa Maryam tumbuh sehat dan menjadi wanita yang mulia.
Ayat berikut menggunakan kata itu untuk tipe ideal dalam hubungan antara manusia dalam hubungan sosial. Secara lebih konkret, ayat ini memerintahkan kepada manusia akan kewajiban untuk berbicara dengan damai dengan maksud untuk mempertahankan dan mendukung terwujudnya hubungan yang penuh damai di antara mereka.
@è%urÏŠ$t7ÏèÏj9(#qä9qà)tƒÓÉL©9$#}Ïdß`|¡ômr&4¨bÎ)z`»sÜø¤±9$#éøu\tƒöNæhuZ÷t/4¨bÎ)z`»sÜø¤±9$#šc%x.Ç`»|¡SM~Ï9#xrßtã$YZÎ7BÇÎÌÈ

Artinya :Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia (QS. Al-Isra’: 53).
Hasan juga dapat digunakan untuk pengertian menguntungkan dalam pembicaraan mengenai usaha dan perdagangan.Al-Quran menggunakan kata ini secara figuratif dalam hubungannya dengan perbuatan yang baik.Dengan berbuat baik, manusia memberikan pinjaman yang sangat menguntungkan bagi Allah.
`¨B#sŒÏ%©!$#ÞÚ̍ø)ラ!$#$·Êös%$YZ|¡ym¼çmxÿÏ軟ÒãŠsùÿ¼ã&s!$]ù$yèôÊr&ZouŽÏWŸ24ª!$#urâÙÎ6ø)tƒäÝ+Áö6tƒurÏmøŠs9Î)uršcqãèy_öè?ÇËÍÎÈ

Artinya :Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.( Al. Baqoroh,245)
Janji Allah disebut janji hasan karena menjanjikan banyak kebaikan kepada
manusia jika mereka memenuhi kewajibannya dengan penuh keyakinan.[32]
C.    Kritik Dan Apresiasi Terhadap Toshihiko Izutsu
Tafsir merupakan cabang ilmu keislaman yang sangat strategis untuk dikaji, selain ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu nahwu, hadis, usul fiqih, fiqih, dll. Oleh karena itu agar tidak terjadi kerancauan dalam menafsirkan terdapat syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. Menurut Dr. Farmawi dalam bukunya Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Maudui: mengatakan bahwa ada empat syarat yang harus dimiliki seorang mufassir yaitu mempunyai aqidah yang benar, menjalankan sunah rosul, mempunyai tujuan yang benar yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan dalil naql, dan menguasai ilmu-ilmu yang digunakan untuk penafsiran.[33]
Berdasarkan syarat-syarat di atas menurut hemat penulis bahwa Thosihiko Izutsu tidak termasuk seorang mufassir atau dengan kata lain beliau tidak memiliki otoritas untuk menafsiri Al-Qur’an karena beliau bukan seorang muslim, beliau penganut  agama zen budhisme. Penafsiran Al-Qur’an adalah kerja kesalehan yang membutuhkan persyaratan-parsyaratan khusus. Syarat utamanya adalah seorang mufassir harus menjalankan syariat-syariat  Islam.
Dalam penafsirannya, Thosihiko Izutshu terlalu bercita-cita tinggi untuk menjelaskan Al-Qur’an dengan dasar pencarian “ struktur kata “ dan “kata Kunci” dalam Al-Qur’an. Padahal dalam menafsiri Al-Qur’an banyak dibutuhkan beberapa pendekatan agar bisa lebih valid tafsirnya, sebut saja pendekatan sejarah( Historical Approach). Al-Qur’antanpa dikaji dengan pendekatan sejarah akan sulit berlaku adil dalam evolusi konsep, terutama kensep tentang Allah.
Selain itu Thosihiko Izutsu dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak memperhatikan peranan sejarah(Asbabun nuzul) dalam perubahan makna, artinya ketika beliau menafsirkan arti suatu kata tidak melihat adanya perubahan makna yang terjadi dalam proses berjalannya sejarah. Makna suatu kata kemungkinan akan mengalami perubahan seiring berjalannya kehidupan manusia dari masa ke masa.Beliau juga tidak menegaskan fakta bahwa surat-surat Al-Qur’an yang diturunkan selama dua puluh tiga tahun dan beberapa kata yang terdapat di surat-surat awal maknanya berbeda dengan makna kata-kata yang terdapat di surat-surat akhir, atau dengan kata lain ada sejarah ( asbabun nuzul )sematik dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Thosihiko Izutsu tentang makna dasar dan makna relasional terdapat makna yang membahayakan, beliau berkata bahwa makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh posisinya dalam suatu system. Dalam pendekatan beliau mendasarkan atas keyakinan bahwa orang dalam situasi berbeda akan menggunakan kata-kata untuk mengkelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam. Dengan demikian kebutuhan akan pemetakan bidang sematik masing-masing kata harus benar-benar dieksplorasi.Istilah makna yang tepat dapat membahyakan, tidak ada satupun makna yang dapat diklaim sebagai makna Al-Qur’an.Makna Al-Qur’an adalah sejarah makna-makna.
Selain itu menurut hemat penulis, metode sematik hanya menafsirkan atau mendefinisakan suatu kata yang bertujuan membentuk pandangan dunia tentang makna dari kata tersebut, padahal dalam penafsiran tidak hanya menjelaskan definisi atau konsep suatu kata, namun lebih dari itu, mencakup  segala aspek, sosisal, hukum, teologi, tasawuf dan filsafat. Atau lebih mudahnya penulis sebut tafsir ini sebagai tasfir konseptual.
Selain itu, penafsiran dengan model seperti ini tidak membutuhkan syarat-syarat khusus dari sang mufasiir, semua orang bisa membuat penafsiran sendiri-sendiri mengenai makna suatu kata, tanpa memperhatikan latar belakang agama, tingkah laku, dan keahlian tertentu yang harus dimiliki sang mufassir.
Menafsirkan al-Qur’an dengan hanya menggunakan pendekatan bahasa, hukum, sastra dan filsafat dirasa kurang memberikan suatu hasil penafsiran yang tepat dan benar, dikarenakan  tidak meyakinkan dan hanya dugaan semata. Orang yang mengatakan tentang agama Allah dengan dugaan semata, berati dia mengatakan kepada Allah suatu yang tidak ia ketahui.
Meskipun demikian, pemikiran Thosihiko Izutsu layak dapat apresiasi yang positif.  Kebanyakan orentalis barat dalam mengkaji Al-Qur’an didasari rasa kedengkian kefrustasian  dan kedendaman. Akan tetapi menurut hemat penulis Thosihiko Izutsu di luar orang-orang di atas, sebab dalam menafsirkan beliau menggunakan argument-argument yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran kitab suci hanya bisa dicapai melalui Insider tradisi suci tersebut.Walaupun pemikirannya sedikit banyak masih ditopangi gaya penafsiran orentalis, beliau tetap fair dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa menitikberatkan antara penafsiran muslim dan non-muslim, keduannya dipandang beliau hal yang tidak perlu dicondongi salah satunya. Beliau menggunakan metode yang sangat tepat yang  membiarkanAl-Qur’an berbicara dengan sendirinya.
Selain itu menurut penulis beliau adalah orang yang mumpuni dalam membuka cakrawala dunia penafsiran Al-Qur’an semakin lebar, ilmu filsafatnya sangat mumpuni, karya-karyanya paling tidak bisa dijadikan refrensi bagi dunia penafsiran Al-Qur’an modern.Agar Al-Qur’an bisa mengikuti perkembangan zaman.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari Pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan:
Toshihiko Izutsu (4 mei 1914-1993 M) dilahirkan dari keluarga kaya di Jepang.Pendekatannya dalam mengkaji agama adalah linguistik dan dia menggunakan ilmu humaniora/sosial lebih ekstensive dari pada pendekatan yang berdasarkan pada keimanan. Izutsu mengungkapkan bahwa sejatinya ajaran al-Quran itu ditakdirkan berkembang, tidak hanya sebagai suatu agama belaka, tapi juga suatu kebudayaan dan peradaban.
Menurut Izutsu, untuk memahami teks-teks al-Quran dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memilih istilah-istilah kunci (key word)dari al-Quran sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah menentukan makna dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning).Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep tersebut dalam satu kesatuan.Al-Quran dalam frasa semantik al-Quran harus dipahami hanya dalam pengertianWeltanschauung al-Quran atau pandangan dunia Qurani yaitu visi Qurani tentang alam semesta.
Tahapan-tahapan sejarah tersebut pada pembentukan awal sejarah kosakata al-Quran adalah: (1) sebelum turunnya al-Quran atau jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Quran, (3) setelah turunnya al-Quran, terutama pada periode Abbasiyah. Beberapa contoh ayat yang menunjukkan penafsirannya adalah bahasan tentang kufur, hasan dan lain sebagainya.
Sebagai kritik dan apresiasi, pemikiran Izutsu ada yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat sebagai seorang mufassir, sehingga bisa dikatakan tafsir beliau ditolak dan tidak sah,  walau demikian tetap pemikiran beliau bisa memberikan sumbangsih bagi ilmu keislaman khususnya bagi studi Al-Qur’an.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.Tentulah masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.Cukup sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Al-Hay Al-farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Maudui; Dirosah Manhajiah Mauduiyah, Kairo, Matha’ah al-hadharah al-Arobiyah, 1997
Wijaya ,Dr. Aksin, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologi-Hermeneutis, Jogja, LKIS Yogyakarta, 2009
Hamidi,Lutfi,Sematik Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Yogyakarta, Grafido Litera Media, 2010
Hasanah,Mamluatul, Menyingkap Tabir Dua Kalimat Syahadat Perspektif Semantik Tindak Tutur, UIN Malang Press: Malang, 2008         
Setiawan, M. Nur Kholis,Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Quran, Elsaq Press: Yogyakarta.
Ninian Smart, Worldview, crossculltural Explorations of Human Belief, ( New York, Charles ber’s son)
Syed Naquib al-Atas, Prolegomena to The metaphysics of  Islam, An Expotitions of Fundamental Element of Worldview Islam,( Kuala Lumpur, ISTAC, 2005)
Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Quran, Pustaka Firdaus: Jakarta, 1996
_______, Toshihiko, 2003, The Relation God and Man, diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta.
_______,Toshihiko 1993, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Tiara Wacana: Yogyakarta.
________,Thosihiko, god and man in the Qur’an, sematics of the qur’anic weltanschauung,( Montreal McGill University, 2002
Umma Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir al-Quran, Idea Press: Yogyakarta.




[1] . sebagai pedoman sekaligus petunjuk hidup umat Islam untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat
[2]. Artinya peradaban yang bersumber dari teks suci untuk di aplikasikan dalam rangka membangun sebuahperadaban yang menjunjung tinggi derajat manusia.
[3]Bahasa Arab, Persia, Sanskrit, pali, cina, Jepang  dan Yunani, dll
[4]Adalah meditasi yang dilakukan dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh dan fikiran untuk mencapai hakikat eksistensi dengan demikian mendapatkan pencerahan
[5] Lutfi Hamidi, Sematik Al-Qur’an Dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, Yogyakarta, Grafido Litera Media, 2010, hal. 35
[6] Ibid.
[7]Ibid.,hlm.36
[8]Mamluatul Hasanah, 2008, Menyingkap Tabir Dua Kalimat Syahadat Perspektif Semantik Tindak Tutur, UIN Malang Press: Malang, hlm. 1
[9]Umma Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir al-Quran, Idea Press: Yogyakarta, hlm. 64.
[11] M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Quran, Elsaq Press: Yogyakarta, hlm. 88.
[12]Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa kata al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.Sehingga, bahasa tidak hanya sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.
[13]Thosihiko Izutsu, 2003, Relasi Tuhan dan Manusia, diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm 3
[14]Lutfi Hamid, Op, Cit.,Hlm .68
[15] Dr. Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd Kritik Ideologi-Hermeneutis, Jogja, LKIS Yogyakarta, 2009, hal.32-33
[16] Istilah ini berasal dari Jerman yang memiliki arti pandangan dunia, term ini sama maknya dengan worldviewdalamBahasa Inggris
[17]Ninian Smart, Worldview, crossculltural Explorations of Human Belief, ( New York, Charles ber’s son), Hlm, 1-2
[18]Syed Naquib al-Atas, Prolegomena to The metaphysics of  Islam, An Expotitions of  Fundamental Element of Worldview Islam,( Kuala Lumpur, ISTAC, 2005), Hlm. 2
[19]Thosihiko Izutsu, god and man in the Qur’an, sematics of the qur’anic weltanschauung,( Montreal McGill University, 2002),hlm.2
[20]Ibid.,Hlm.9
[21]Qs, Al-Hujrat, 13
[22]Atau lebih muahnya penulis sebut dengan makna dasar dan makna relasional.
[23]Thosihiko Izutsu, 2003, Relasi Tuhan dan Manusia, diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm 3
[24] Umma Farida, Op.Cit., hlm. 66
[25]Toshihiko Izutsu, 1993,  Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm.187.
[26]Ibid., Hal.188
[27]Ibid .
[28]Ibid.
[29]Ibid., Hal.189
[30]Ibid.
[31]Umma Farida, Op.Cit., hlm. 67
[32]Thosihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Op.Cit., hlm. 266
[33]‘Abd Al-Hay Al-farmawi, Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Maudui; Dirosah Manhajiah Mauduiyah, Kairo, Matha’ah al-hadharah al-Arobiyah, 1997, Hlm. 17-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda