Pengikut

Senin, 13 April 2015

Edisi Revisi MakalahCORAK TAFSIR FIQHI


MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Qur’an
Dosen Pengampu: Dr. Syaifuddin, M.Ag















        Disusun Oleh:    

Nama               : Mashadi
NIM                : 1400018029


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Al-qur’an merupakan asas peradaban dan sumber pengetahuan umat Islam sekaligus sebagai sumber hukum yang paling utama dalam setiap bentuk dan jenis kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, ia merupakan factor utama bangkitnya sebuah peradaban yang membebaskan kepada mahkluk ( ‘ibadul ‘ibad) dan membawanya kepada penghambaan kepada sang maha kekal lagi maha mengetahui Dia-lahallah ( ‘ibad al-kaliq), disamping itu juga dapat merangsang bangkitnya sebuah peradaban yang memiliki karakteristik hokum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kesamaan derajat dihadapan Allah dan nilai-nilai toleransi (at-tasamuh) yang dapat menghasilkan munculnya sikap persaudaraan antar sesama muslim, serta menegakkan hukum secara berimbang dan adil.
            Al-qur’an diturunkan kepada manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan akal yang dapat membedakan antara yang hak dan bathil. Al-qur’an diturunkan kepada Rosulullah Saw melalui perantara jibril kedalam hati beliau Saw yang bertujuan agar Rosulullah Saw dapat menghafalkan teks-teks (baca ayat) Allah, memahami makna, maksud dan tujuan dari teks-teks tersebut serta mampu mengaplikasikan dan mengejawentahkan dalam kehidupan pribadi dan social. Berdasarkan konteks ini, maka kita dapat mengetahui bahwa sesungguhnya teks-teks Allah yang dibawa oleh Jibril kepada Rosululllah Saw merupakan teks yang secara mutlak hanya Allah yang mengetahui makna dan tujuanya. Kemudian disampaikan kepada Rosulullah Saw melalui Jibril berdasarkan teks serta menjelaskan kepada beliau makna, maksud dan tujuanya. Hal ini menunjukan bahwa yang paling mengetahui tafsiran suatu lafadz teks Al-qur’an adalah Allah secara mutlak kemudian Jibril karena beliau harus menjelaskanya kepada Rosulullah Saw, lalu kemudian Rosulullah Saw. Semasa Rosulullah Saw menjalankan segala bentuk perintah Allah dan mensosialisasikan seluruh risalah Allah  yang diwahyukan kepada seluruh manusia yang hidup pada masa itu, muncullah dua kelompok manusia yang mulia lagi diridhai setelah Rosulullah Saw, mereka adalah kaum Muhajirin dan Ansor dimana mereka adalah sosok manusia yang menerima pemahaman pertama kali dari Rosulullah Saw tentang sebagian besar dari makna, maksud dan tujuan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al-qur’an. Diantara para Sahabat  yang dikenal sebagai ahli dibidang  penafsiran Al-qur’an adalah  Abdullah bin Abbas,  Ali bin AbiThalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Ubai bin Ka’ab[1].
            Pasca meninggalnya Rosulullah Saw dan tergantinya beliau sebagai pemimpin kaum muslimin oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, mulailah para sahabat bertebaran di mukabumi diantaranya mereka ada yang hijrahke Baghdad, Mesir, Yaman, dan mayoritas diantara mereka memilih untuk tetap domisili di Makkah dan Madinah.
            Masa-masa ini disebut dengan masa sahabat dan masa munculnya generasi Islam ketiga yaitu paraTabi’in adapun para ahli Tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid , Ikrimah, thawus dan Atha bin Abi Rabah semua merupakan hasil didikan Abdullah bin Abbas di Makkah. Kemudian di Madinah terdapat madrasah Ubai bin Ka’ab yang kemudian menghasilakan Zaid bin Aslam, Abu Al-Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhy. Lalu di Iraq terdapat Madrasah ibnuMas’ud dan menghasilakan para Mufasir handal seperti: Al-qomah, Masruq, al-Aswad bin Zaid, Murrah al-Hamdany, Amir asy-Sya’by, al-Hasan ,dan Qotadah. Demikianlah  silsilah  para mufassir dari tiga generasi utama sejarah Islam. Setelah mereka bermunculan para penulis-penulis tafsir dengan menggunakan manhaj dan corak yang berbeda-beda tepatnya pada akhir masa Dinasti Bani Umayah dan awal tahun masa Dinasti Abbasiyyah[2].
            Dalam memahami al-Qur’an dibutuhkan pengetahuan terhadap metodologi dan keragaman tipologi penafsiran al-qur’an sebab ia merupakan sebuah keniscayaan dalam membumikan maksud-maksud wahyu illahi kepada manusia. Diantara corak dan tipologi penafsiran adalah penafsiran ayat-ayat  yang bernuansa hukum atau disebut dengan istilah Tafsirayat  al-ahkam yang diatasnya dibangun pemahaman terhadap kandungan hukum al-qur’an , corak penafsiran al-qur’an dalam bentuk ini lebih banyak diperankan oleh para Fuqoha’ (ahlifiqhi) seperti Imam Abu HAnifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin HAmbal dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
2.      Bagaimana Sejarah munculnya Tafsir Fiqhi?
3.      Apasaja kelebihan dan kekurangan dalam penafsiran al-qur’an dengan menggunakan pendekatan fighi?
4.      Apasaja jenis Tafsir yang ditulis melalui pendekatan fighi?















BAB II
PEMBAHASAN

A.  At-Tafsir al-Fighi (bercorak fighi)
1. Pengertian Tafsir al-Fighi

Al- tafsir al-fighi kadang disebut tafsir ayat-ayat alqauniyyah[3] dan tafsir ahkam al-Qur’an[4]. Tafsir al fighi terdiri dari dua kata yaitu tafsir dan al fighi, secara harfiyah tafsir berarti penjelas (al-idhah) keterangan (al-bayan), menyimak (al-kasyf) dan penampakan (al-izhhar) adapun yang dimaksud dengan tafsir dalam terminologi ulama tafsir seperti diformulasikan al-Zarkasi ialah:
التفسير علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم ، وبيان معانيه ، واستحراج أحكامه وحكمه .
Artinya : “Ilmu yang denganya diketahui pemahaman tentang kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-nya- Muhammad Saw (al-Qur’an) dengan menerankan makna-makna yang terkandung di dalamnya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah[5].
Berdasarkan batasan diatas[6] , dapat dirumuskan sehingga dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud tafsir al-fighi  adalah tafsir yang memusatkan perhatian kepada fiqih atau penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dalam kaitanya dengan  persoalan –persoalan hukum Islam[7].
Prof. Dr.Muhamad Amin Suma memberikan pengertian bahwa tafsir al fighi atau ayat ahkam lebih dipopulerkan dengan sebutan dengan sebutan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam[8]. Sehingga dalam karya bukunya yang berjudul  “pengantar tafsir ahkam”  mendevinisikan tafsir ai-ahkam adalah tafsir al-qur’an yang penafsiranya lebih berorientasi atau bahkan mengkhususkan pembahasan pada ayat-ayat hukum[9].
Sehingga pemakalah memberikan kesimpulan bahwa pengertian tafsir al-fiqhi atau tafsir al-ahkam adalah corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab karena  mempunyai kesamaan dari sudut menghukumi sebuah ayat alqur’an yang didalamnya tidaklah lepas dari hukum halal-haram, makruh-sunnah, mubah-nya hal-hal yang berhubungan dengan ibadah mahdhah[10] maupun muamalah. Itulah sebabnya para penafsir memilih ayat-ayat hukum sebagai objek material penafsirannya sehingga tafsir fikih ini seakan-akan memperlakukan Al-Qur’an sebagai kitab hukum atau ketentuan “perundang-undangan.

2. Bagaimana Sejarah munculnya Tafsir Fiqhi ?

Penafsiran al-qur’an dengan menggunakan pendekatan al-fighi atau hukum sebenarnya telah dimulai sejak masa turunya wahyu Allah kepada Rosulullah Saw , sebab secara umum ayat-ayat dalam al-qur’an mengandung hukum- hukum yang berkenaan dengan kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akihirat, oleh karena itu para shahabat dimasa kehidupan Rosulullah Saw dapat memahmi ayat-ayat yang bernuansa hukum tersebut berdasarkan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab, adapun ayat-ayat yang menyulitkan mereka dalam memahami maksud dan tujuan, maka dengan segera mereka menanyakan kepada Rosulullah Saw. Diantara contoh kasus tentang ayat-ayat hukum adalah sebab turunya (sebab nuzul) ayat tentang pengharaman khamar dimana Imam asy-Syaukany- rahimahullah- menyebutkan dalam tafsirnya Fath al-Qadir :
Diriwatkan oleh Ahmad, Ibnu  Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Abu Daud, at-Tirmidzy, an-Nas’I, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibn Abi Hatim, dan al-Hakim, dari hadis Umar bin Khaththab beliau berkata: demi Allah ! jelaskanlah kepada kami perihal hukum khomer , karena benda tersebut dapat menyia-nyiakan harta dan menghilangkan akal ?, maka turunlah firman Allah dalam Q.S al-Baqarah: 219.
* y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? ÇËÊÒÈ  
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar [136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
Dalam riwat lain dari hadits Anas beliau berkata: “Dahulu kami meminum khamar, kemudian turunlah ayat pada saat itu QS.Al-Baqarah: 219, lalu kami berkata: kami hanya meminum kamar yang  memberikan manfaat kepada kami” maka turunlah QS. Al-Maidah: 90,
$pkšr'¯»tƒ[11] tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.( al-Maidah :90 )
Lalu kami berkata: “Ya Allah sesungguhnya kami telah berhenti dari meminum khamar tersebut[12]. Dari contoh kasus diatas dapat dipahami bahwa Rosulullah Saw dan para shahabat memahami maksud dan tujuan teks-teks Qur’aniyyah -utamanya yang mengandung pemahaman hukum kausalitas[13] dan kemanusiaan- melalui wahyu baik wahyu tersebut adalah wahyu yang bersifat lafzhan wa ma’nan min Allah ( Al-Qur’an) atau  wahyu yang bersifat  ma’anan min Allah wa lafzdhan  min ar-Rosul (as-Sunah)[14].
Meskipun demikian perbedaan para shahabat dalam memahami dan menyimpulkan sebuah bentuk hukum yang dimaksudkan oleh teks-teks al-Qur’an dalam suatu permasalahan tidak dapat terelakkan , hal ini lebih disebabkan karena muatan hukum dan konteks social dimana hukum tersebut akan ditegaskan, sebagai sebuah contoh kasus adalah ketika Rosulullah Saw memerintahkan sekelompok shahabat untuk berangkat kebani Qoirudhah, sebelum berangkat Rosulullah Saw berpesan agar tidak sholat kecuali setelah sampai di tempat tujuan, namun dalam perjalanan telah masuk waktu sholat ashar, maka terjadilah perbedaan diantara mereka, ada berpendapat bahwa mereka harus melakukan sholat di Bani Quraidhoh berdasarkan pesan Rosulullah Saw, sebagian lainya berpendapat bahwa kita harus shalat tepat waktu berdasarkan firman Allah QS. An-Nisa’: 103
#sŒÎ*sù ÞOçFøŠŸÒs% no4qn=¢Á9$# (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNà6Î/qãZã_ 4 #sŒÎ*sù öNçGYtRù'yJôÛ$# (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# 4 ¨bÎ) no4qn=¢Á9$# ôMtR%x. n?tã šúüÏZÏB÷sßJø9$# $Y7»tFÏ. $Y?qè%öq¨B ÇÊÉÌÈ  
Artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
dan karena dalam keadaan safar, maka shalat harus dilakukan dalam bentuk qashar berdasarkan firman Allah QS. An-Nisa’: 101,
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ  
Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar[343] sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
setelah berita ini sampai ketelinga Rosulullah Saw, beliaupun tersenyum tanda persetujuan (taqrir).
Contoh kasus yang lainya tentang: berapakah harta waris yang didapatkan oleh suami, ayah, dan ibu yang ditinggalkan? Ibnu abbas menfatwakan bahwa suami mendapat ½, ibu mendapatkan 1/3, dan ayah mendapatkan Ashabah ( sisa harta yang telah dibagi sebelumnya) berdasarkan QS. An-Nisa’:11.
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  
Artinya :” Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagihan dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
 Disisi lain Zait bin Tsabit dan sahabat lainya memandang bahwa Istri yang ditinggslksn mendapat 1/3 dari sisa harta milik suaminya, hal ini dipandang karena ayah dan ibu keduanya adalah lelaki dan wanita dan keduanya mendapatkan harta waris dalam satu bentuk yaitu 1:2 (1 untuk wanita dan 2 untuk laki=laki)[15]. Namun dengan demikian masing-masing berusaha untuk tetap pada kebenaran tanpa harus memaksakan sebuah ayat untuk dijadikan dalil dalam pendapatnya , dan jika salah satu diantara dua orang shahabat menemukan bahwa hasil kesimpulan hukumyang difahami oleh shahabat lainya lebih baik dan lebih mendekati kebenaran, maka mereka tidak segan-segan dan tanpa gengsi untuk menerima pendapat sahabat yang berbeda denganya.
Terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapakan hukum suatu permasalahan terus berlangsung hingga masa generasi fuqoha’ al-mazahib ( ahli fighi mazhab), namun perbedaan yang terjadi dikalangan fuqoha’ tersebut disebabkan karena munculnya berbagai macam persoalan hidup baik individu maupun sosial dikalangan kaum muslimin , dimana persoalan-persoalan tersebut belum terjadi sebelumnya dan bahkan belum ditemukan garis hukum yang berkenaan dengan beberapa masalah, oleh karena itu para fuqoha’ seperti Abu Hanifah, Malik, asy – Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan selain mereka[16]. Berusaha semaksimal mungkin untuk menggali seluruh kandungan  hukum terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan landasan –landasan syari’at lainya kemudian menterjemahkan dan mentafsirkanya sesuai dengan konteks social yang mereka hadapi pada masa itu, sehingga terkadang kita menemukan kesepakatan tentang hukum sesuatu permasalahan dan terkadang pula kita temukan terjadinya perbedaan. Namun perbedaan ini terjadi lebih disebabkan karena perbedaan pandangan masing-masing Imam dalam memahami suatu dalil meskipun demikian tidak tampak dari mereka terjadinya sikap ta’ashub al-madzhaby akan tetapi mereka berusah untuk mencari kebenaran hukum dari suatu permasalahan dengan berlandaskan pada kebenaran dalil, dan bahkan jika salah seorang diantara mereka mendapatkan bahwa pendapat saudaranya lebih tepat dan lebih sesuai dengan al-Qur’an dari pendapatnya, maka dia tidak sungkan untuk menerima dan mengamalkan pendapat saudaranya dan meninggalkan pendapatnya hal ini tergambarkan dalam perkataan mereka masing-masing seperti perkataan Imam Malik : Seluruh perkataan manusia dapat diterima dan ditolak kecuali perkataan Rosulullah Saw, Imam Asy-Syafi’I pernah berkata: “Jika sebuah hadits itu shahih ,maka itulah mazhabku”, dalam perkataan beliau yang lain : “Jika kalian menemukan dalam pendapatku terdapat pendapat yang menyalahi al-Qur’an dan as-Sunnah ,maka buanglah pendapatku dan ambillah al-Qur’an dan as-Sunah “, beliau juga pernah berkata kepada muridnya Ahmad bin Hambal semasa di Baghdad: “ jika sebuah hadis shahih dalam pandanganmu, maka ajarkanlah aku”, demikilanlah sikap para fuqoha’terhadap perbedaan pemahaman dan persepsi dalam mengambil dan mengistimbatkan satu hukum dari al-Qur’an.
Setelah terputusnya masa para aimah al-madzahib, dan munculnya masa taqlid dimana hukum yang dipegangi pada masa ini merupakan produk hukum hasil olah fikir para fuqoha’terdahulu, maka nampaklah perbedaan tata cara ibadah dan muamalah pada masing-masing muqalid bahkan tidak sedikit diantara mereka menjadi kelompok yang fanatic terhadap satu madzhab tertentu sehingga mereka menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pemahaman madzhab yang mereka yakini kebenaranya dan bahkan cenderung berusaha untuk membenarkan bentuk penafsiran imam madzhab yang menjadi panutan dan panutan mereka dalam menjalankan hukum syari’at serta menjatuhkan dan menafikan pemahaman madzhab yang tidak sejalan dengan madzhab mereka.
Sikap seperti ini pun terjadi dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an utamanya yang berhubungan dengan ayat-ayat hukum. Dapat kita temukan bahwa penafsiran dari kalangan al-muqallid al-madzhaby berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dan memahaminya dengan berusaha untuk tidak menyalahi pendapat imam madzhab panutanya, atau jika harus bersebrangan , maka ia berusaha untuk tidak membela madzhab yang tidak sejalan dengan panutanya, atau berusaha untuk masuk dalam wilayah at-Tansikh dan at-Takhshish.
Dari sinilah muncul kebinekaan dan keragaman tafsir fiqhi sehingga kita dapat menemukan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan madzhab Hanafy, Maliky, Syafi’I, dan sebagainya.

B. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Fiqhi
1. Kelebihan Tafsir Fiqhi
Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan melalui pendekatan fighi ini memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
a.       Sebagai mubayan hukum syari’at yang terkandung dalam al-Qur’an[17].
b.      Upaya untuk memberikan kesepakatan praktis yang bertujuan untuk mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termaktub didalam al-Qur’an setelah terjebak kedalam perbedaan mazhab dogmatis serius yang bersifat teoritis.
c.       Tafsir al-Qur’an dengan pendekatan fiqhi meskipun memberikan peluang terjadinya perbedaan pemahaman terhadap teks-teks Quraniyyah tetapi memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik  individu maupun social tetap harus tunduk kepada al-Musyari’ al-Awwal ( Allah) melalui kalam-Nya yang mulia kemudian kepada pembawa wahyu dan risalah yang kemudian dikenal sebagai al-Musyari’ ats-Tsany ba’da Allah (Rosulullah Saw) melalui sunah beliau demi kemaslahatan manusia baik didunia maupun diakhirat.
d.      Tafsir fiqhi berusaha untuk membumikan al quran lewat pemahaman lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat qauniyah guna memberikan penyadaran, pemberdayaan dan advokasi terhadap permasalahan manusia
e.       Tafsir fiqhi kendatipun beragam tetap memberikan kekayaan bagi khasanah intelektual muslimah, sebab tanpa adanya penafsiran alquran dalam bentuk ini, maka umat Islam secara khusus dan manusia secara umum akan kehilangan akar hukum dan perundang-undangan yang sesungguhnya.
2. Kelamahan tafsir fiqhi
Hasil oleh pikir manusia biasa tidak akan pernah lepas dari berbagai macam bentuk kekurangan dan kelemahan, sebab sudah menjadi bagian dari suratan takdir bahwa manusia adalah mahluk yang lemah bisa benar dan bisa salah.
Demikian juga dengan adanya penafsiran alqur’an yang meskipun landasan penafsirannya adalah untuk menemukan saripati dari perkataan yang Maha Benar secara mutlak namun dilakukan oleh manusia maka pasti akan terdapat kelemahan. Dan diantara kelemahan penafsiran al-Quran melalui pendekatan fiqhi adalah:
a.       Tafsir fiqhi cenderung terjabak pada fanatik mazhaby sehingga memunculnya sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabsahan mazhab-mazhab lainnya sikap ini terwariskan kepada berpuluh-puluh generasi hingga saat ini.
b.      Tafsir fiqhi masih melakukan reduksi pada aspek tertentu dari al-quran (penafsiran parsial) padahal al-quran meliputi akidah dan syariah, konsep dan sistem teori dan praktek yang membutuhkan pemahaman dan penafsiran secara universal.
c.       Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-quran dengan menghubungkannya pada konteks social tertentu dan cenderung mengabaikan nilai-nilai universal hukum,-hukum yang terdapat pada al-quran (rahmatan lil alamin). Sebab tidak semua bentuk permasalahan yang telah terjawab pada masa lampau masih berlaku pada masa sekarang, sehingga dibutuhkan penafsiran terhadap ayat-ayat hukum al-quran yang sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini tanpa menafikan kerja-kerja yang bersifat analogi terhadap masa lampau dan berusaha untuk tidak terjebak pada perbedaan teoritis mazhabi[18].
C. Jenis-jenis tafsir al-quran lewat pendekatan fiqhi
Tafsir fiqhi merupakan salah satu corak penafsiran yang sangat dikenal dikalangan umat Islam baik salaf maupun khalaf, perkembangan  penafsiran dengan menggunakan pendekatan fiqhi telah ada sejah Rasululloh Saw hingga perkembangan madzahib al fiqhiyah bahkan hingga saat ini sebagaimana yang sebelumnya kami sampaikan pada point a dalam bab ini.
Kendatipun keberadaan corak penafsiran al-quran dalam bentuk ini telah ada sejak masa wahyu diturunkan akan tetapi pada perkembangannya telah melalui beberapa tahap dalam beragam bentuk metode penyajiannya. Adapun metode penyajian yang kita kenal saat ini ada empat metode tahlilli, metode ijmali, metode muqoron dan metode maudhlui.
Penafsiran al-quran lewat pendekatan fiqhi juga menggunakan salah satu metode dari empat metode penyajian di atas, diantaranya adalah:
1.      Tafsir fiqhi tahlilli[19]: penafsiran al-quran lewat pendekatran fiqhi dengan menggunakan metode penyajian tahlilli diwakili oleh kitab jamik al-bayan fii takwil al-quran karya Muhammad bin Jarir Atthobari yang selanjutnya dikenal dengan tafsir Atthobari. Kitab ini merupakan presentasi fiqhi assyafiiyah meskipun dalam pembahasannya imam attobari lebh banyak menggunakan madzhab sendiri ketimbang terkontaminasi dengan madzhab yang sudah ada pada masa itu kemudian kitab al-Jamik li ahkam al-quran karya Abubakar al qurtubui, kemudian kitab ahkam al-qur’an karya abu bakar ibnu al-a’rabi yang keduanya merupakan presentasi dari kitab tafsir fiqhy madzhab al-malikiyyah, kemudian kitab ahkam al-qur’an karya imam abu bakar ahmad ar-Razy ,al-jashshos yang kemudian dikenal dengan nama ahkam al-qur’an li ai-jashosh yang merupakan presentasi kitab fighi dari madzhab al-hanafyyah, kemudian kitab fath al- qodir karya muhammad bin Ali-Asyaukany dan kemudian kitab tafsir ayat ahkam karya Ali Ashobuny.     
2.      Tafsir Fiqhi Ijmali: Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an li Asy Syafi’I yang dikumpulkan oleh imam al-Baihaqy.
3.      Tafsir fiqhi Muqaran[20]: Penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Muqaran diwakili oleh kitab Tafsir ath-Thabary, Al-Qurthuby, dan Tafsir Ibnu Katsir. Kitab-kitab tafsir tersebut melakukan pendekatan muqaran dalam menguraikan ayat-ayat yang menimbulkan beberapa perselisihan utamanya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
4.      Tafsir Fiqhi maudhu’i[21]: penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian maudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an li al-Jashshash, kemudian kitab Tafsir ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.
5.      Tafsir Fiqhi Tahlili Maudhu’i: penafsiran al-Qur’an lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Tahlily maudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash dan kitab Tafsir al-Munir karya Dr. Wahbah al-Zuhaily. Kitab tersebut menguraikan ayat-ayat secara tahlily dengan memberikan tema pada setiap kelimpok ayat yang akan ditafsirkan.
6.      Tafsir fighy Tahlily Muqoron : Penafsiran al-qur’an lewat pendekatan fighy dengan menggunakan metode penyajian Tahlily Muqaran diwakili oleh kitab ath thabary ,Al-Qurtuby, dan Tafsir Ibnu Katsir . kitab-kitab tersebut menguraikan ayat secara Tahlily dengan menguraikan perbandingan –perbandingan antara pendapat para fuqhoha’ lalu berusaha mentarjihkan dan atau menkompromikan antara satu pendapat dengan pendapat lainya dengan mengacu pada dalil –dalil yang shohih.
7.      Tafsir fighy Tahlily Ijmaly : Penafsiran al-qur’an lewat pendekatan fighy dengan menggunakan metode penyajian Tahlily Ijmaly diwakili oleh kitab ahkam al-qur’an karya Abu Bakar Ibnu al-A’rabi.
Seluruh kitab tafsir yang kami sebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari kitab-kitab tafsir fiqhi yang menurut kami dapat mewakili seluruh bentuk ragam metode penyajian mulai dari metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i atau penggabungan dua metode penyajian dalam satu bagian kerangka metodologi penulisan tafsir yang dimaksudkan untuk dapat memudahkan para mujtahid dan umat Islam secara keseluruhan dalam memahami al-Qur’an secara utuh.
Selain dari jenis dan corak tafsir fiqhi di atas terdapat pula corak tafsir fiqhi yang lain yang disebut dengan istilah Tafsir al-Fiqhi al-Hadisiyyah ; yaitu penafsiran ayat-ayat ahkam lewat riwayat hadits-hadits Rosulullah Saw atau atsaar dari shahabat beliau, corak ini diwakili oleh kitab-kitab hadits seperti Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Jami’ at-tirmidzi, Sunan Abi Daud, sunan an_Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, al-Mstadrak yang didalamnya terdapat satu kitab khusus yaitu kitab at-Tafsir, serta kitab ad-Durru al-Manstur fi-Tafsir bi al-Matsur karya Imam As-Suyuthy. Tentunya diantara ayat-ayat hukum yang ditafsirkan lewat periwayatan ini jumlahnya lebih sedikit bahkan mayoritasnya lebih kepada penguraian secara khusus tentang sebab turunya (asbab an-Nuzul) suatu ayat yang berkenaan dengan hukum.

SKEMA ILMU TAFSIR

























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Setelah penulis menguraiakan beberapa hal yang berhubungan dengan tafsir lewat pendekatan fiqhi atau disebut dengan istilah ‘tafsir fiqhi’ atau tafsir fuqoha’, maka tibalah pada beberapa kesimpulan diantaranya:
1.      Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan fiqhiyyah atau hukumtelah ada semenjak masa Rosulullah Saw dan berlanjut kemasa sahabat yang kemudian terjadi perbedaan pemahaman diantara mereka, lalu perbedaan ini terus berlanjut hingga masa tabi’in dan bahkan lebih serius lagi pada masa munculnya madzhab-madzhab fiqhi dan berjubelnya para muqalid wa al-muntashibin ‘ala al-madzahib al-fiqhiyyah al-mu’awiyyanah (para pengikut setia madzhab-madhzb fiqhi tertentu)
2.      Bahwa tafsir fiqhi memiliki kelebihan dan kekurangan, diantara kelebihanya
a.       Memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an.
b.      Mempermudah manusia dalam mengaplikasikan seluruh bentuk hukum-hukum Allah yang termatub di dalam al-Qur’an.
c.       Memberikan sumbangsih pemikiran bahwa sesungguhnya seluruh bentuk aturan dan hukum dalam kehidupan baik individu maupun social tetap harus tunduk kepada al-Qur’an dan As-Sunnah
d.      Berusaha untuk membumikan al-Qur’an lewat pemahaman ,lewat ayat-ayat qauliyah kepada ayat-ayat qauniyah
e.       Memberikan kekayaan khazanah intelektual Muslim dunia.
Adapun kelemahan adalah:
a.    Tafsir fiqhi cenderung terjebak pada fanatic madzhabnya sehingga memunculkan sikap ortodoksi, pembelaan dan pembenaran terhadap madzhab tertentu dan menafikan keabshahan madzhab-madzhab lainya,
b.    Tafsir fiqhi hanya melakukan reduksi pada satu aspek tertentu dari al-Qur’an yaitu aspek hukum
c.    Tafsir fiqhi lebih mengedepankan penafsiran al-Qur’an dengan menghubungkan dengan konteks social tertentu dan cenderung mengabaikan sifat universal hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.
3.      Tafsir fiqhi memiliki berbagai macam metode penyajian diantaranya menggunakan metode tahlili, ijmali, muqaran, maudhu’i, tahlily Maudhu’i, tahlily Ijmaly , tahlily Muqaran.

B. Kritik dan Saran
   Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami buat. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.










DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ghufron, Rahmawati, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah ( Yogyakarta: Sukses Offset, 2013,)
Abdul Mustaqin, Dinamika Sejarah tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta, Adab Press, 2012)
Muhammad bin Ali asy-syukny, Fath al-Qadir (Cet, I: Beirut: Muassah ar-Risalah,! 412 h), jld.I
Dokter hasan hanafi, manahijts atafsir wamasholih al ummah, diterjemahkan oleh Zudian wahyudi dengan judul metode tafsir dan kemaslahatan umat (cetakan 1: Yogyakarta: Nawesea 2007)
Muhammad Husain Adz-Dzahaby, at-Tafsir wal al-Muwassirun, (Cet:1 : Bairut: Maktabah Mus’ab bin Umair al-islamiyah,  2004), Jld, I
Manna’bin Khalil al-Qoththsn, Mabahits fi Ulumil qur’an (Cet, I: Mesir Mansyurat al-ashru al-Hadits),
Muhammad Amin Suma ,Ulumul Qur’an ,( C:1 :Jakarta : PT RajaGrafindo Persada , 2001)
Muhammad Amin Suma, pengantar tafsir ahkam ,( C:1 :Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, 2008, Semarang Aneka Ilmu.





[1] .Muhammad Husain Adz-Dzahaby, at-Tafsirwal al-Muwassirun,(Cet,1:Bairut: MaktabahMus’ab bin Umair al-islamiyah,  2004), Jld, I hlm.,62-93
[2] .Manna’ bin Khalil al-Qoththsn, Mabahits fi Ulumilqur’an (Cet,I: MesirMansyurat al-ashru al-Hadits), hlm.,338-340
[3]. Maksud pemakalah dari Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah  Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagunganPenciptanyacontohQS.Nuh(41):53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
[4] .Maksud dari pengertian tafsir ahkam atau juga disebut tafsir ayat ahkam adalah tafsir al-Qur’an yang penafsiranya lebih berorientasi atau bahkan mengkhususkan pembahasan kepada ayat-ayat hokum.
[5] .Badr al-Din al-Zarkasi.al-burhan fi Ulum al-Qur’an.,jilid.1 ,Beirut Lubnan:Dar Ihya al-kutub al arabiyah,13376 H,hlm.,13.
[6] .Maksud  pemakalah adalah dari batasan diatas bahwa dalam pengertian secara terminology dapat diambil kesimpulan atau sebuah pengertian .
[7] .Muhammad Ghufron ,rahmawati,Ulumul Qur’an ,(Yogyakarta:Teras C.1) hlm.,189
[8] .Muhammad Amin Suma ,Ulumul Qur’an ,( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada C:1) hlm.,399
[9] . Muhammad Amin Suma, pengantar tafsir ahkam ,( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada C:1) , hlm., 118
[10] .maksud  pemakalah dari  ibadah mahdoh adalah yang berhubungan dengan ibadah wajib seperti sholat lima waktu atau rukun islam ,sedang ibadah ghoiru mahdah atau yang bersifat tidak wajib seperti membantu orang lain ,bersedekah atau yang lainya.
[11] . al-qur’an dan terjemahnya al-Maidah: 90 ( edisi terbaru Departemen Agama RI Dilengkapi dengan translate Arab –Latin. 2008 ,hlm .228.
[12]. Muhammad bin Ali asy-syukny, Fath al-Qadir (Cet,I:Beirut:Muassah ar-Risalah, !412 h) ,jld.I, hlm.335
[13] .hukum kausalitas maksudnya adalah hokum yang menerangkan sebab akibat artinya kalau kita hendak melakukan sesuatu ,harus kita perhatikan hokum.
[14] . Ma’anan min Allah wa lafzdhan  min ar-Rosul maksudnya adalah hadis rosulullah atau asunah baik itu hadis qudsi maupun hadis nabi .
[15]. Adz-Dzahaby, Op.cit,,hlm.,151
[16]. selain keempat Imam tersebut terdapat fuqoha’ seperti: Abu Daud Adh-Dhahiry, al-Auza’I, ats-tsury, Ath-thabary, al-Zaidiyyah, dan al-ja’fary
[17]. Maksud  pemakalah  memberikan kejelasan terhadap umat Islam akan kandungan hukum syari’at yang terdapat dalam al-Qur’an, hal ini menjadi titik tolak pemahaman umat bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang aspek yang bersifat transenden dan metafisik (aqidah), akan tetapi ia juga menjelaskan tentang aspek-aspek syri’ah, disisi lain juga memberitahukan bahwa syri’ah atau hukum bukan semata-mata merupakan produk fuqoha’ akan tetapi telah menjadi bagian dari nash-nash al-Qur’an bahkan lebih dominan yang mampu mengatur tatanan hidup manusia baik individu maupun social.
[18]. Dokter hasan hanafi,  manahijts atafsir wamasholih al ummah, diterjemahkan oleh Zudian wahyudi dengan judul metode tafsir dan kemaslahatan umat (cetakan 1: Yogyakarta: Nawesea 2007),  hlm 27-28
[19] . Maksud  dari tafsir Tahlili adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan dengan berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum didalam mushaf al-Qur’an.
[20]. Maksud dari tafsir muqaran adalah suatu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara  membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan dan kemiripan redaksi dalam dua kasusatau lebih , atau penafsiran dengan mebandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits yang lahirnya tampak bertentangan atau membandingkan berbagai pendapat ulama’tafsir baik ulama’salaf maupun ulama’kholaf dalam penafsiran al-Qur’an
[21].  Maksud tafsir maudhu’I adalah metode penafsiran al-Quran dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang satu tema atau masalah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda