PENDEKATAN HERMENEUTIKA
DALAM STUDI ISLAM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Pendekatan Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. H. Abu Rohmat – Dr. H. Muhsin Jamil
Disusun Oleh :
M. Muhibuddin
1400018028
PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
A.
Pendahuluan
Peranan sejarah
dan bahasa dalam pemahaman secara luas telah menjadi perhatian banyak para
pemikir hermeneutika. Meneliti sejarah merupakan satu keharusan. Salah satu
cara yang digunakan untuk menelusuri sejarah untuk memindahkan keadaan masa
lampau ke masa sekarang dan untuk membawanya ke masa depan adalah bahasa.[1]
Bahasa atau
tradisi bahasa adalah meta institusi yang dijadikan sandaran bagi tindakan
sosial-keagamaan. Hal demikian terjadi karena seluruh tindakan sosial hanya
dapat diungkapkan dan disusun melalui komunikasi.[2] Maka
dalam tradisi keilmuan diperlukan hermeneutika terutama berfungsi sebagai
jembatan perantara antar berbagai model pemahaman epistemologi keilmuan yang
bersifat “intersubjective” terhadap kemungkinan adanya berbagai makna dari
tindakan sosial dan teks, sekaligus juga berfungsi untuk menghubungkan generasi
yang hidup era sekarang dan generasi terdahulu. Karena dalam tradisi
hermeneutika antara teks dan konteks sangat diutamakan.[3]
Di bawah ini akan dibahas tentang hermeneutika dalam studi Islam.
B.
Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika
merupakan satu disiplin yang perhatian utamanya dicurahkan pada aturan-aturan
penafsiran terhadap teks.[4] Ada
yang megidentikkanhermeneutika dengan seni atau sains penafsiraan, ada yang
mengartikannya sebagai metode penafsiran.[5]
Ia merupakan teori untuk mengoperasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan
penafsiran terhadap teks.[6] Sedangkan
Kuhn mendefinisikan hermeneutik sebagai cara membaca yang sensitif terhadap hal
yang dianggap penting untuk memahami inti dari tradisi penafsiran.[7] Untuk
itu ia berkaitan dengan bahasa.
Suatu hal yang
tidak bisa dihindari oleh siapapun adalah kenyataan bahwa perintah-perintah
Tuhan selalu bertumpu pada “teks”, sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar
pada alat perantara “bahasa”. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat
sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan
komunitas dan ciptaan manusia. Huruf, kata, kalimat, anak kalimat, kata sifat,
sangat tergantung pada sistem simbol. Sedang simbol itu sendiri memerlukan
bantuan dan dukungan asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, juga emosi
para pendengar, yang sangat bisa jadi berubah dari waktu ke waktu.[8]
Dengan begitu
tampaknya bahasa memiliki realitas objektif tersendiri, karena maknanya tidak
dapat ditentukan secara efektif, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca.
Ketika seseorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media
komunikasi, dialog atau menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus
memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh para pengguna
bahasa itu sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman secara sosial maupun
kultural. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok
manapun, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca sepihak.[9]
C.
Hermeneutika dalam Kajian keagamaan
Agama merupakan
kekuatan luar biasa yang memiliki kemampuan untuk mendorong orang ke jurang
kebencian atau mengantar mereka ke kecintaan yang tiada terkira. Kekuatan ini
adalah potensi yang ada pada semua yang merepresentasikannya: teks-teks dan
sejarahnya, keyakinan dan mitologinya, ritual dan simbolnya.[10] Dalam
masa modern kaum muslim terbagi menjadi dua yaitu puritan dan moderat. Kaum
puritan memahami bahwa agama tidak direpresentasikan oleh siapapun selain teks
dan ritualnya. Sedangkan kaum moderat menganggap bahwa sikap puritan tersebut
adalah naif dan problematis. Tuhan dan kehendak Tuhan terlalu luas untuk bisa
sepenuhnya teungkapkan dalam teks dan ritual, dan apa yang terjadi karena
keduanya bersifat manusiawi. Tanggungjawab atas apa yang dilakukan manusia atas
nama Tuhan harus berada di pundak manusia itu sendiri.[11] Kaum
moderat dan puritan merupakan dua kutub yang berlawanan dan keduanya adalah
produk modernitas sekaligus meresponnya.[12]
Seorang muslim harus bersifat kritis dalam
berinteraksi dengan tradisi agamanya dan harus memiliki keberanian untuk
merebut serta membangun kembali Islam sebagai kekuatan humanistik di dunia saat
ini.[13] Banyak
umat Islam yang merasa terganggu dengan gagasan perubahan ini karena ada
kekhawatiran bahwa jika demikian berarti Islam selama ini adalah salah dan
tidak lengkap. Namun perubahan bukanlah untuk mengoreksi Tuhan, tetapi
perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang mampu mengoreksi kita dalam
meningkatkan hubungan kita dengan Tuhan. Ada dua hal sikap kritis yang harus ditingkatkan
yaitu; Pertama, menyangkut penilaian kembali terhadap
pemahaman kita seputar sifat-dasar kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada
kita. Dan kedua, ketika kita mengembangkan konsepsi mengenai
kepercayaan ini, menilai apakah tugas-tugas yang kita laksanakan terkait dengan
kepercayaan ini.[14]
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat
pendekatan hermeneutik untuk kalangan tertentu cenderung dihindari. Terdapat
konotasi yang dilekatkan pada
hermeneutik. Ada yang melekatkan predikat relativisme atau pendangkalan akidah,
ada yang mengaitkannya dengan pengaruh kajian BiblicalStudies di
lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian
Alquran di lingkungan Islam.[15]
Selain itu ada dua kemungkinan lain
sehingga terjadi putusan yang mendeskreditkanhermeneutika. Pertama,minimnya
pengetahuan tentang hermeneutika, atau pengetahuan yang hanya
sepotong-sepotong, parsial dan tidak komprehensif. Kedua, munculnya
wacana pluralisme dan Islam liberal yang sejak dini dianggap berkaitan dengan
hermeneutika karena penafsirannya yang mengundang kontroversi.[16]
Corbin mengungkapkan bahwa pendekatan hermeneutik
sangat diperlukan dalam mengkaji studi agama,[17] begitu
juga dalam mengkaji agama Islam karena Islam merupakan “agama kitab”. Hal
tersebut terlihat dari dijadikannya Alquran sebagai pedoman hidup seorang
muslim tidak hanya di masa ketika Alquran itu diturunkan tapi berlanjut sampai
sekarang.[18] Studi
kritis terhadap Alquran mulai muncul sekitar abad 19, yang mempertanyakan
tentang kebenaran urutan surat dalam Alquran, sebab turunnya ayat, dan
lain-lainnya yang berkenaan dengan kandungan Alquran. Pada abad 20 studi
tersebut berkembang ke studi kritik teks Alquran.[19] Hal
tersebut terkait dengan adanya usaha ulama terdahulu dalam menafsirkan Alquran,
yang kitab tafsir tersebut berjilid-jilid, selain itu penafsiran ulama
terdahulu terpengaruh oleh tradisi pada waktu itu sehingga banyak kalangan
meganjurkan adanya reinterpretasi terhadap teks Alquran.[20] Hubungan
antara ilmu tafsir dan interpretasi ini biasanya didiskusikan dalam ilmu
hermeneutika.[21]
Dalam studi hermeneutika dalam Alquran, Nasr Hamid
Abu Zaid[22]
mengungkapkan bahwa Alquran adalah sebuah “teks” yang mengatasi dan melampaui
“teks-teks” dalam sejarah.[23] Alquran
sebelum disebut sebagai Alquran dalam pengertian sucinya, diperlakukan sebagai
teks tanpa atribut apa pun sebagaimana teks-teks yang lain. Ini dilakukan untuk
melihat teks Alquran secara “polos” tanpa harus dimasuki bias-bias ideologis
yang selalu membayangi kajian kitab suci. Nasr Hamid memilih sebutan teks
terhadap Alquran didasarkan pada fakta empiris Alquran yang ada di hadapan
manusia, bahwa ia berupa untaian huruf-huruf yang membentuk bahasa mulai dari
unitnya yang paling kecil hingga yang paling luas menurut konvensi bahasa
tertentu, Arab. Alquran tidak dilihat dari sisi sumber kemunculannya
sebagaimana yang selama ini dilakukan kalangan ulama.[24] Maka
untuk memahami teks tersebut diperlukan perangkat bahasa sebagai kaitannya
dengan Alquran sebagai teks verbal.[25]
Lebih lanjut Nasr menjelaskan bahwa peradaban
Arab-Islam adalah peradaban teks yang identik dengan ta’wil. Dalam
perkembangan selanjutnya ia berubah menjadi tafsir[26] padahal kalimat tafsir di dalam Alquran hanya
disebut sekali dan kalimat ta’wil tersebut 17 kali.[27]
Menurutnya, harus
dibedakan antara ta’wil dan tafsir. Tafsir merupakan bagian dari ta’wil. Tafsir
pada umumnya terbatas pada aspek eksternal dari teks dan didominasi oleh
riwayat sehingga pembaca menjadi pasif sedangkan ta’wil berkaitan dirayah, yang
memberikan peran aktif kepada pembaca dalam menyingkap makna teks.[28]
Selain Nasr Hamid Abu Zaid, salah satu tokoh
hermeneutik yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang cara kerja
hermeneutik adalah Khalid Abu al-Fadl Khalid Aboual-Fadl merupakan professor
Islam di UCLA, Amerika Serikat. Lulusan Yale dan Pricenton ini pernah mendalami
studi keislaman diKuwait dan Mesir.
. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pokok tentang
bagaimana sesungguhnya hubungan antara teks atau nas, penulis atau pengarang,
dan pembaca dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam pada khususnya dan
pemikiran Islam umumnya. Lebih khusus lagi ia menyoroti secara tajam tentang
bagaimana sesungguhnya mekanisme perumusan dan pengambilan keputusan
fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh pribadi-pribadi, tokoh masyarakat, dan
lembaga atau organisasi masyarakat keagamaan.[29]
Kajian Khalid berawal dari adanya ketimpangan dalam
penjelasan fatwa-fatwa wanita. Hal tersebut dijadikan pijakan awal dalam
menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme
perumusan, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan keputusan, dan
pengambilan kesimpulan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok,
organisasi, dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam.
Pertanyaan mendesak yang diungkapkan dengan pendekatan hermeneutik adalah:
mengapa dalam dunia modern sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali
ditangkap di berbagai tempat terdapat kecenderungan yang kuat oleh umat
beragama, khususnya Islam, untuk mengambil alih begitu saja kekuasaan
(otoritas) pengarang, dalam hal ini adalah otoritas ketuhanan, untuk
membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut yang dilakukan oleh pembaca
teks-teks keagamaan? Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan
paling benar hanyalah “keinginan pengarang”, maka dengan mudah para pembaca
menggantikan posisi pengarang dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai
satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Di sini lalu terjadi
proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu
metamorfosis atau menyatunya “pembaca” dan “pengarang”, dalam arti bahwa
pengarang tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri
dan institusinya menjadi Tuhan yang tiada terbatas.[30]
Ada lima syarat yang diajukan Khalid sebagai katup
pengaman supaya tidak ada tindakan sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa
keagamaan, yaitu kemampuan seseorang atau kelompok untuk mengendalikan diri (selfrestraint),
sungguh-sunggh (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait
(comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness),
dan kejujuran (honesty).[31]
Alquran dan sunnah dalam tradisi Islam dipandang
sebagai teks utama. Alquran merupakan wahyu firman Tuhan yang abadi,
diwahyukan, dihafalkan, diriwayatkan secara lisan, dan akhirnya dihimpun dan
ditulis pada masa sahabat setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.[32] Sedangkan
sunnah memiliki posisi yang tidak semapan Alquran dalam hal autentitas dan
keabadiannya. Sunnah dipandang sebagai perilaku, sejarah dan perkataan Nabi dan
mencakup sahabat Nabi. Dalam bentuk lisan, sunnah merekam tradisi yang hidup
dalam masyarakat muslim terdahulu. Dalam bentuk tulisan, hadis-hadis tersebut
tidak lagi berubah dan berkembang tapi terekam dalam bentuk terstruktur dan
terorganisasi.[33] Namun
meskipun para ulama hadis sering kali mengklaim bahwa standar untuk membuktikan
autentisitas periwayatan sepenuhnya bersifat obyektif, standar yang ditetapkan,
pada kenyataannya menjadi bahan perdebatan yang sengit dan sangat bersifat
konstektual.[34]
Hal tersebut terlihat dari adanya kritik dari berbagai kalangan pemikir tentang
keotentikan dan metodologi sunnah sehingga dibutuhkan pemikiran ulang dalam membuat
metodologi kritik hadits.[35]
Dalam kajian Alquran saat ini diperlukan penafsiran
Alquran yang bersifat kontekstual. Yaitu penafsiran ayat Alquran dengan
pendekatan konteks budaya dan soaial masyarakat ketika itu dengan melihat
relevansinya bagi kondisi saat ini. Sehingga Alquran dapat tetap dijadikan
pedoman yang relevan bagi kehidupan seorang muslim sepanjang masa.[36]
Ketika Alquran hanya dipahami secara tekstualis ia akan kehilangan statusnya
sebagai pedoman hidup muslim modern.[37]
Kita sering menjumpai banyak teks dengan bahasa
yang berbeda-beda. Bahasa adalah ibarat permainan dan hakikat permainan adalah
aturan atau kaidah-kaidah, mencakup tata bahasa, logika dan retorika. Jika teks
dan bahasa adalah otonom, demikian pula halnya dengan teks-teks Alquran. Karena
Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, maka sangat logis jika untuk menafsirkan
Alquran, seseorang harus mengusai bahasa Arab. Dan kaidah-kaidah penafsiran
seperti yang ada dalam ulumal Tafsir, tentu mempunyai perbedaan dengan
hermeneutik, yakni tidak pernah keluar dari wilayahnya, sedangkan hermeneutik
malah sebaliknya. Adanya asbabal-nuzul mengindikasikan adanya
historisitas teks Alquran. Apalagi Alquran diturunkan dengan sebuah bahasa yang
memiliki karakteristik kesejarahannya sendiri. Bahasa Alquran adalah bahasa
utama di tempat dan wilayah tertentu. Bahkan, seandainya teks Alquran
diwahyukan berdasarkan kejadian sejarah atau menggunakan bahasa yang dibatasi
sejarah, itu tidak berarti makna tekstualnya tidak mampu melampaui makna
konteksya. Sebuah teks historis dapat dibaca untuk melihat implikasi atau makna
tambahan guna diterapan pada situasi kekinian. Dengan demikian bahasa Arab dan
ulumal- Tafsir merupakan materi primer bagi seseorang yang hendak menafsirkan
Alquran. Untuk itu kita perlu memahami kaidah bahasa sebuah teks untuk memahami
dinamika antara teks dan penerima awalnya.[38]
Abdullah KhozinAfandi, mensyaratkan persyaratan
primer dalam menafsirkan teks Alquran, yakni seorang hermeneutis harus tetap
memiliki penguasaan terhadap bahasa Arab daegan segala ulumal Tafsir.
Kedua, seorang hermeneutis tidak bergerak langsung kepada Alquran, melainkan
dengan menelaah kitab-kitab tafsir secara kritik (penelitian yang cermat dan
mendalam) dengan harapan masih terlihat ada tanah kosong yang ditinggalkan mufassir
sehingga mungkin bisa diisi melalui kajian hermeneutika. Dalam arti tidak
hendak menghujat atau menyalahkan penafsiran mufassir yang telah ada, melainkan
memberi alternatif baru, wawasan baru yang belum atau tidak dijelaskan oleh
mufassir terdahulu. [39]
D. Antara Pengarang, Teks, dan Pembaca
Menurut Nasr, dalam memahami makna teks harus
dilihat adanya tiga factor, yaitu penulis teks (almu’allif) , teks itu
sendiri (al nas), serta pembaca (alnaqid).[40]
Teks, menurut Nasr terkait dengan dunia
linguistic, maka bisa bermakna luas karena ia mecakupsystem tanda yang dapat
memproduksi makna umum. Dengan demikian, kitab-kitab wahyu yang menjadi
kebanyakan agama dapat dianggap sebagai himpunan tanda yang menunjukkan makna
atau pesan tertentu yang perlu digali dalam proses penafsiran. Dengan asumsi
ini dapat dikatakan bahwa antara makna, teks, bahasa dan juga interpretasi
merupakan obyek dari semiotika.[41] Bahasa
dalam wilayah realitas histories yang merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa
sebagai sistem tanda tidak mengenal pertanda terakhir dan makna bahasa
merupakan metafora yang tidak mempunyai rujukan final karena ia bersifat
dinamis dan relasional.[42]
Dalam memahami makna teks, Nasr tidak setuju dengan
pandangan bahwa makna itu digagas oleh pembaca sendiri. Dia mengatakan bahwa
dalam proses penerjemahan teks bukanlah obyek yang diam yang bisa dibawa dalam
petunjuk oleh pembaca yang aktif. Hubungan antara teks dan pembaca bukanlah
hubungan ikhda’ (kekuatan teks untuk menyampaikan kepada
pembaca) dan khudu’ (kepatuhan pembaca pada teks. Secara
dialektika, hubungan antara teks dan pembaca adalah jadaliyyah.[43]
Sedangkan Khalid Aboual-Fadl mengungkapkan tentang
karakteristik dinamika antara pengarang, teks, dan pembaca. Pertanyaan yang
muncul adalah: apa/siapa yang harus menentukan makna dalam sebuah penafsiran?
Setidaknya ada tiga kemungkinan jawaban. Kemungkinan pertama adalah bahwa makna
ditentukan oleh pengarang atau setidakya oleh upaya pemahaman terhadap maksud
pengarang. Pengarang sebuah teks tampaknya telah memformulasikan maksudnya
ketika ia membentuk sebuah teks, dan pembaca berusaha memahami maksud pengarang
atau harus berusaha memahaminya. Gagasan tentang menyusun maksud pengarang
dalam menyusun makna dipandang sebagai hal yang kompleks dan problematis.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa maksud pengarang dipandang tidak penting
dalam menentukan sebuah makna.
Kemungkinan kedua berpusat pada peranan teks dalam
menentukan makna, dan pengakuan atas tingkat otonomi teks dalam menentukan
makna. Teks, yang mempunyai sistem makna bahasa yang rumit, dipandang sebagai
satu-satunya sarana yang mengklaim kewenangan menentukan makna. Teks dipandang
sebagai entitas komplek yang maknanya tergantung pada sejarah dan konteksnya.
Kemungkinan ketiga adalah memberikan penetapan
makna kepada pembaca. Semua pembaca membawa serta subyektivitas mereka ke dalam
proses pembacaan. Pembaca memproyeksikan subyetivitasnya kepada kehendak
pengarang dan teks.[44]
Tiga kemungkinan tersebut berperan penting dalam
penetapan makna. Jarang para sarjana yang menentukan makna hanya sepihak hanya
dari pengarang, teks atau pembaca saja. Dengan adanya tiga unsur tersebut akan
terjadi proses dialog yang kompleks, interaktif, dinamis, dan dialektis di
antara ketiga unsur tersebut.
Sebuah pemahaman makna yang tidak bersifat rasional
tidak mesti bersifat otoriter, karena bisa jadi ia disebabkan oleh interaksi
yang salah antara pembaca dan teks. Penetapan makna tidak pernah bersifat abadi
dan bebas dari kesalahan. Pembaca rasional juga bisa mengkritisi makna yang
telah disepakati oleh komunitas interpretasi. Seorang pembaca rasional yang
memiliki kerendahan hati akan menyadari bahwa selain ia terdapat pembaca lain
yang memiliki bentuk interpretasi berbeda terhadap teks.[45]
E. Kesimpulan
Hermeneutika merupakan satu disiplin yang perhatian
utamanya dicurahkan pada aturan-aturan penafsiran terhadap teks. Bagi banyak
kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik cenderung
dihindari karena beberapa alasan namun sebagian kalangan yang lain berpendapat
bahwa pendekatan hermeneutik sangat diperlukan dalam mengkaji studi agama,
termasuk agama Islam. Kajian hermeneutik dalam Islam dikaitkan dengan studi
disiplin keilmuan Islam yang bersifat historis dengan menyelami pemahaman teks
yang ada pada Alquran, hadis, dan fikih.
F. Penutup
Dengan mengucapkan syukur Al-Hamdulillah
kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah dan Inayah-Nya, sehingga penulisan
makalah yang sederhana ini dapat terselesaikan.
Mengingat dari kemampuan yang ada, tentunya makalah
ini jauh dari kriteria sempurna sehingga apabila ada kebenaran hal itu
semata-mata merupakan hidayah-Nya, namun apabila ada kesalahan itu semua
merupakan kekhilafan penulis semata. Untuk itu sumbangsih kritik maupun saran konstruktif sangat
penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
memberikan konstribusi berharga bagi
dunia Peradaban dan pemikiran serta bermanfaat untuk penulis pribadi khususnya, dan pembaca pada umumnya Fid
dun ya ilal akhiroh. Amien.
Daftar Pustaka
Abdul
Kabir HussainSolihu, “HermeneutikaAlquran Menurut Muhammad Arkoun: Sebuah
Kritik”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004.
Abdullah
KhozinAffandi, Hermeneutika, (Surabaya: Alpha, 2007).
Abdullah
Saeen, Interpretating the Quran, (Laondon: Routledge,
2005).
Amin
Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, Khalid
Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2004).
Amin
Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta:
Suka Press, 2007).
Charles
J. Adams, “The Hermeneutics of Henry Corbin”, Charles J. Adams, Approachesto
Islam inReligiousStudies, (Arizona: The University of Arizona Press,
1985)
Khalid
Aboual-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam fromtheExtremist, (New
York: HarperCollins, 2005).
Leonardo
Binder, ed., The Study of theMiddle East, (London: John
Wileyand Sons, 1976).
Nasr
Hamid Abu Zaid, TekstualiasAlquran, penerjemah: KhoironNahdyiyyin,
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
_______________, al-Tafkirfi
Zaman al-Takfir, (Kairo: Sina, 1995)
_______________, IshkaliyyatalQira’at, (Beirut:
al-Markasal-‘Arabial-Islami,t.t.)
Richard J Bernstein, BeyondObjectivism
[1] Abdul Kabir
HussainSolihu, “HermeneutikaAlquran Menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik”, Islamia,
THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, 20.
[2] Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 28.
[4] Paul Riceor dan
JurgenHabermas, Filsafat Bahasa dnHermeneutika, Penerjemah:
Abdullah KhozinAfandi, (Surabaya: Visi Humanika, 2005), 67.
[8] Amin Abdullah,
“Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, Khalid Aboual-Fadl, Atas
Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), XI.
[10] Khalid
Aboual-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam fromtheExtremist, (New
York: HarperCollins, 2005), 275.
[17] Charles J.
Adams, “The Hermeneutics of Henry Corbin”, Charles J. Adams,Approachesto
Islam inReligiousStudies, (Arizona: The University of Arizona Press,
1985), 130.
[22] Nasr Hamid Abu
Zayd dilahirkan di Tanta, Mesir, pada tanggal 10 Juli 1943. Ia lulus dari
Sekolah Teknik Tanta pada tahun 1960. Lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Sastra Universitas Kairo pada tahun 1972. pada tahun 1977 ia lulus
program magister, dan pada tahun 1981 ia lulus program Doktoral. Karena
pemikirannya yang menyamakan Alquran dengan teks-teks yang lain ia dianggap
kafir dan diharuskan bercerai dari istrinya. Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkirfi
Zaman al-Takfir, (Kairo: Sina, 1995), 67.
[23] Nasr Hamid Abu Zaid, TekstualiasAlquran, penerjemah:
KhoironNahdyiyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), x.
[28] Khalid Aboual-Fadl merupakan professor Islam di UCLA, Amerika
Serikat. Lulusan Yale dan Pricenton ini pernah mendalami studi keislaman
diKuwait dan Mesir.
[41] Ahmad Muzakki, “Semiotika Al-Qur’an” dalam Akademika Vol.
16, No.2 Maret 2005 (PPS IAIN Sunan Ampel:Surabaya, 2005), 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda