Pengikut

Senin, 13 April 2015

PENDEKATAN HERMENEUTIKA
 DALAM STUDI ISLAM


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Pendekatan Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu : Dr. H. Abu Rohmat – Dr. H. Muhsin Jamil
 









Disusun Oleh :
M. Muhibuddin
1400018028


PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
A.    Pendahuluan
Peranan sejarah dan bahasa dalam pemahaman secara luas telah menjadi perhatian banyak para pemikir hermeneutika. Meneliti sejarah merupakan satu keharusan. Salah satu cara yang digunakan untuk menelusuri sejarah untuk memindahkan keadaan masa lampau ke masa sekarang dan untuk membawanya ke masa depan adalah bahasa.[1]
Bahasa atau tradisi bahasa adalah meta institusi yang dijadikan sandaran bagi tindakan sosial-keagamaan. Hal demikian terjadi karena seluruh tindakan sosial hanya dapat diungkapkan dan disusun melalui komunikasi.[2]  Maka dalam tradisi keilmuan diperlukan hermeneutika terutama berfungsi sebagai jembatan perantara antar berbagai model pemahaman epistemologi keilmuan yang bersifat “intersubjective” terhadap kemungkinan adanya berbagai makna dari tindakan sosial dan teks, sekaligus juga berfungsi untuk menghubungkan generasi yang hidup era sekarang dan generasi terdahulu. Karena dalam tradisi hermeneutika antara teks dan konteks sangat diutamakan.[3]  Di bawah ini akan dibahas tentang hermeneutika dalam studi Islam.
B.     Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika merupakan satu disiplin yang perhatian utamanya dicurahkan pada aturan-aturan penafsiran terhadap teks.[4] Ada yang megidentikkanhermeneutika dengan seni atau sains penafsiraan, ada yang mengartikannya sebagai metode penafsiran.[5]  Ia merupakan teori untuk mengoperasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks.[6]  Sedangkan Kuhn mendefinisikan hermeneutik sebagai cara membaca yang sensitif terhadap hal yang dianggap penting untuk memahami inti dari tradisi penafsiran.[7]  Untuk itu ia berkaitan dengan bahasa.
Suatu hal yang tidak bisa dihindari oleh siapapun adalah kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan selalu bertumpu pada “teks”, sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara “bahasa”. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan manusia. Huruf, kata, kalimat, anak kalimat, kata sifat, sangat tergantung pada sistem simbol. Sedang simbol itu sendiri memerlukan bantuan  dan dukungan asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, juga emosi para pendengar, yang sangat bisa jadi berubah dari waktu ke waktu.[8]
Dengan begitu tampaknya bahasa memiliki realitas objektif tersendiri, karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca. Ketika seseorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi, dialog atau menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh para pengguna bahasa itu sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman secara sosial maupun kultural. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok manapun, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca sepihak.[9] 
C.    Hermeneutika dalam Kajian keagamaan
Agama merupakan kekuatan luar biasa yang memiliki kemampuan untuk mendorong orang ke jurang kebencian atau mengantar mereka ke kecintaan yang tiada terkira. Kekuatan ini adalah potensi yang ada pada semua yang merepresentasikannya: teks-teks dan sejarahnya, keyakinan dan mitologinya, ritual dan simbolnya.[10]  Dalam masa modern kaum muslim terbagi menjadi dua yaitu puritan dan moderat. Kaum puritan memahami bahwa agama tidak direpresentasikan oleh siapapun selain teks dan ritualnya. Sedangkan kaum moderat menganggap bahwa sikap puritan tersebut adalah naif dan problematis. Tuhan dan kehendak Tuhan terlalu luas untuk bisa sepenuhnya teungkapkan dalam teks dan ritual, dan apa yang terjadi karena keduanya bersifat manusiawi. Tanggungjawab atas apa yang dilakukan manusia atas nama Tuhan harus berada di pundak manusia itu sendiri.[11] Kaum moderat dan puritan merupakan dua kutub yang berlawanan dan keduanya adalah produk modernitas sekaligus meresponnya.[12]
Seorang muslim harus bersifat kritis dalam berinteraksi dengan tradisi agamanya dan harus memiliki keberanian untuk merebut serta membangun kembali Islam sebagai kekuatan humanistik di dunia saat ini.[13] Banyak umat Islam yang merasa terganggu dengan gagasan perubahan ini karena ada kekhawatiran bahwa jika demikian berarti Islam selama ini adalah salah dan tidak lengkap. Namun perubahan bukanlah untuk mengoreksi Tuhan, tetapi perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang mampu mengoreksi kita dalam meningkatkan hubungan kita dengan Tuhan. Ada dua hal sikap kritis yang harus ditingkatkan yaitu; Pertama, menyangkut penilaian kembali terhadap pemahaman kita seputar sifat-dasar kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada kita. Dan kedua, ketika kita mengembangkan konsepsi mengenai kepercayaan ini, menilai apakah tugas-tugas yang kita laksanakan terkait dengan kepercayaan ini.[14]
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik untuk kalangan tertentu cenderung dihindari. Terdapat konotasi yang  dilekatkan pada hermeneutik. Ada yang melekatkan predikat relativisme atau pendangkalan akidah, ada yang mengaitkannya dengan pengaruh kajian  BiblicalStudies  di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan  dalam  kajian  Alquran  di lingkungan  Islam.[15]  Selain  itu ada dua kemungkinan lain sehingga terjadi putusan yang mendeskreditkanhermeneutika. Pertama,minimnya pengetahuan tentang hermeneutika, atau  pengetahuan yang hanya sepotong-sepotong, parsial dan tidak komprehensif. Kedua, munculnya wacana pluralisme dan Islam liberal yang sejak dini dianggap berkaitan dengan hermeneutika karena penafsirannya yang mengundang kontroversi.[16]
Corbin mengungkapkan bahwa pendekatan hermeneutik sangat diperlukan dalam mengkaji studi agama,[17] begitu juga dalam mengkaji agama Islam karena Islam merupakan “agama kitab”. Hal tersebut terlihat dari dijadikannya Alquran sebagai pedoman hidup seorang muslim tidak hanya di masa ketika Alquran itu diturunkan tapi berlanjut sampai sekarang.[18] Studi kritis terhadap Alquran mulai muncul sekitar abad 19, yang mempertanyakan tentang kebenaran urutan surat dalam Alquran, sebab turunnya ayat, dan lain-lainnya yang berkenaan dengan kandungan Alquran. Pada abad 20 studi  tersebut berkembang ke studi kritik teks Alquran.[19] Hal tersebut terkait dengan adanya usaha ulama terdahulu dalam menafsirkan Alquran, yang kitab tafsir tersebut berjilid-jilid, selain itu penafsiran ulama terdahulu terpengaruh oleh tradisi pada waktu itu sehingga banyak kalangan meganjurkan adanya reinterpretasi terhadap teks Alquran.[20] Hubungan antara ilmu tafsir dan interpretasi ini biasanya didiskusikan dalam ilmu hermeneutika.[21]
Dalam studi hermeneutika dalam Alquran, Nasr Hamid Abu Zaid[22]  mengungkapkan bahwa Alquran adalah sebuah “teks” yang mengatasi dan melampaui “teks-teks”  dalam sejarah.[23] Alquran sebelum disebut sebagai Alquran dalam pengertian sucinya, diperlakukan sebagai teks tanpa atribut apa pun sebagaimana teks-teks yang lain. Ini dilakukan untuk melihat teks Alquran secara “polos” tanpa harus dimasuki bias-bias ideologis yang selalu membayangi kajian kitab suci. Nasr Hamid memilih sebutan teks terhadap Alquran didasarkan pada fakta empiris Alquran yang ada di hadapan manusia, bahwa ia berupa untaian huruf-huruf yang membentuk bahasa mulai dari unitnya yang paling kecil hingga yang paling luas menurut konvensi bahasa tertentu, Arab. Alquran tidak dilihat dari sisi sumber kemunculannya sebagaimana yang selama ini dilakukan kalangan ulama.[24] Maka untuk memahami teks tersebut diperlukan perangkat bahasa sebagai kaitannya dengan Alquran sebagai teks verbal.[25]
Lebih lanjut Nasr menjelaskan bahwa peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks yang identik dengan ta’wil. Dalam perkembangan selanjutnya ia berubah menjadi tafsir[26]  padahal kalimat tafsir di dalam Alquran hanya disebut sekali dan kalimat ta’wil tersebut 17 kali.[27]  Menurutnya, harus dibedakan antara ta’wil dan tafsir. Tafsir merupakan bagian dari ta’wil. Tafsir pada umumnya terbatas pada aspek eksternal dari teks dan didominasi oleh riwayat sehingga pembaca menjadi pasif sedangkan ta’wil berkaitan dirayah, yang memberikan peran aktif kepada pembaca dalam menyingkap makna teks.[28]
Selain Nasr Hamid Abu Zaid, salah satu tokoh hermeneutik yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang cara kerja hermeneutik adalah Khalid Abu al-Fadl Khalid Aboual-Fadl merupakan professor Islam di UCLA, Amerika Serikat. Lulusan Yale dan Pricenton ini pernah mendalami studi keislaman diKuwait dan Mesir.
. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pokok tentang bagaimana sesungguhnya hubungan antara teks atau nas, penulis atau pengarang, dan pembaca dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam pada khususnya dan pemikiran Islam umumnya. Lebih khusus lagi ia menyoroti secara tajam tentang bagaimana sesungguhnya mekanisme perumusan dan pengambilan keputusan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh pribadi-pribadi, tokoh masyarakat, dan lembaga atau organisasi masyarakat keagamaan.[29]
Kajian Khalid berawal dari adanya ketimpangan dalam penjelasan fatwa-fatwa  wanita. Hal tersebut dijadikan pijakan awal dalam menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme perumusan, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan keputusan, dan pengambilan kesimpulan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi, dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Pertanyaan mendesak yang diungkapkan dengan pendekatan hermeneutik adalah: mengapa dalam dunia modern sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap di berbagai tempat terdapat kecenderungan yang kuat oleh umat beragama, khususnya Islam, untuk mengambil alih begitu saja kekuasaan (otoritas) pengarang, dalam hal ini adalah otoritas ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut yang dilakukan oleh pembaca teks-teks keagamaan? Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling benar hanyalah “keinginan pengarang”, maka dengan mudah para pembaca menggantikan posisi pengarang dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Di sini lalu terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya “pembaca” dan “pengarang”, dalam arti bahwa pengarang tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan yang tiada terbatas.[30]
Ada lima syarat yang diajukan Khalid sebagai katup pengaman supaya tidak ada tindakan sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan, yaitu kemampuan seseorang atau kelompok untuk mengendalikan diri (selfrestraint), sungguh-sunggh (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness), dan kejujuran (honesty).[31]
Alquran dan sunnah dalam tradisi Islam dipandang sebagai teks utama. Alquran merupakan wahyu firman Tuhan yang abadi, diwahyukan, dihafalkan, diriwayatkan secara lisan, dan akhirnya dihimpun dan ditulis pada masa sahabat setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.[32] Sedangkan sunnah memiliki posisi yang tidak semapan Alquran dalam hal autentitas dan keabadiannya. Sunnah dipandang sebagai perilaku, sejarah dan perkataan Nabi dan mencakup sahabat Nabi. Dalam bentuk lisan, sunnah merekam tradisi yang hidup dalam masyarakat muslim terdahulu. Dalam bentuk tulisan, hadis-hadis tersebut tidak lagi berubah dan berkembang tapi terekam dalam bentuk terstruktur dan terorganisasi.[33] Namun meskipun para ulama hadis sering kali mengklaim bahwa standar untuk membuktikan autentisitas periwayatan sepenuhnya bersifat obyektif, standar yang ditetapkan, pada kenyataannya menjadi bahan perdebatan yang sengit dan sangat bersifat konstektual.[34]    Hal tersebut terlihat dari adanya kritik dari berbagai kalangan pemikir tentang keotentikan dan metodologi sunnah sehingga dibutuhkan pemikiran ulang dalam membuat metodologi kritik hadits.[35]
Dalam kajian Alquran saat ini diperlukan penafsiran Alquran yang bersifat kontekstual. Yaitu penafsiran ayat Alquran dengan pendekatan konteks budaya dan soaial masyarakat ketika itu dengan melihat relevansinya bagi kondisi saat ini. Sehingga Alquran dapat tetap dijadikan pedoman yang relevan bagi kehidupan seorang muslim sepanjang masa.[36] Ketika Alquran hanya dipahami secara tekstualis ia akan kehilangan statusnya sebagai pedoman hidup muslim modern.[37]
Kita sering menjumpai banyak teks dengan bahasa yang berbeda-beda. Bahasa adalah ibarat permainan dan hakikat permainan adalah aturan atau kaidah-kaidah, mencakup tata bahasa, logika dan retorika. Jika teks dan bahasa adalah otonom, demikian pula halnya dengan teks-teks Alquran. Karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, maka sangat logis jika untuk menafsirkan Alquran, seseorang harus mengusai bahasa Arab. Dan kaidah-kaidah penafsiran seperti yang ada dalam ulumal Tafsir, tentu mempunyai perbedaan dengan hermeneutik, yakni tidak pernah keluar dari wilayahnya, sedangkan hermeneutik malah sebaliknya. Adanya asbabal-nuzul mengindikasikan adanya historisitas teks Alquran. Apalagi Alquran diturunkan dengan sebuah bahasa yang memiliki karakteristik kesejarahannya sendiri. Bahasa Alquran adalah bahasa utama di tempat dan wilayah tertentu. Bahkan, seandainya teks Alquran diwahyukan berdasarkan kejadian sejarah atau menggunakan bahasa yang dibatasi sejarah, itu tidak berarti makna tekstualnya tidak mampu melampaui makna konteksya. Sebuah teks historis dapat dibaca untuk melihat implikasi atau makna tambahan guna diterapan pada situasi kekinian. Dengan demikian bahasa Arab dan ulumal- Tafsir merupakan materi primer bagi seseorang yang hendak menafsirkan Alquran. Untuk itu kita perlu memahami kaidah bahasa sebuah teks untuk memahami dinamika antara teks dan penerima awalnya.[38]
Abdullah KhozinAfandi, mensyaratkan persyaratan primer dalam menafsirkan teks Alquran, yakni seorang hermeneutis harus tetap memiliki penguasaan terhadap bahasa Arab daegan segala ulumal Tafsir. Kedua, seorang hermeneutis tidak bergerak langsung kepada Alquran, melainkan dengan menelaah kitab-kitab tafsir secara kritik (penelitian yang cermat dan mendalam) dengan harapan masih terlihat ada tanah kosong yang ditinggalkan mufassir sehingga mungkin bisa diisi melalui kajian hermeneutika. Dalam arti tidak hendak menghujat atau menyalahkan penafsiran mufassir yang telah ada, melainkan memberi alternatif baru, wawasan baru yang belum atau tidak dijelaskan oleh mufassir terdahulu. [39]
D.    Antara Pengarang, Teks, dan Pembaca
Menurut Nasr, dalam memahami makna teks harus dilihat adanya tiga factor, yaitu penulis teks (almu’allif) , teks itu sendiri (al nas), serta pembaca (alnaqid).[40]
Teks, menurut Nasr  terkait dengan dunia linguistic, maka bisa bermakna luas karena ia mecakupsystem tanda yang dapat memproduksi makna umum. Dengan demikian, kitab-kitab wahyu yang menjadi  kebanyakan agama dapat dianggap sebagai himpunan tanda yang menunjukkan makna atau pesan tertentu yang perlu digali dalam proses penafsiran. Dengan asumsi ini dapat dikatakan bahwa antara makna, teks, bahasa dan juga interpretasi merupakan obyek dari semiotika.[41] Bahasa dalam wilayah realitas histories yang merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa sebagai sistem tanda tidak mengenal pertanda terakhir dan makna bahasa merupakan metafora yang tidak mempunyai rujukan final karena ia bersifat dinamis dan relasional.[42]
Dalam memahami makna teks, Nasr tidak setuju dengan pandangan bahwa makna itu digagas oleh pembaca sendiri. Dia mengatakan bahwa dalam proses penerjemahan teks bukanlah obyek yang diam yang bisa dibawa dalam petunjuk oleh pembaca yang aktif. Hubungan antara teks dan pembaca bukanlah hubungan ikhda’ (kekuatan teks untuk menyampaikan kepada pembaca) dan khudu’ (kepatuhan pembaca pada teks. Secara dialektika, hubungan antara teks dan pembaca adalah jadaliyyah.[43]
Sedangkan Khalid Aboual-Fadl mengungkapkan tentang karakteristik dinamika antara pengarang, teks, dan pembaca. Pertanyaan yang muncul adalah: apa/siapa yang harus menentukan makna dalam sebuah penafsiran? Setidaknya ada tiga kemungkinan jawaban. Kemungkinan pertama adalah bahwa makna ditentukan oleh pengarang atau setidakya oleh upaya pemahaman terhadap maksud pengarang. Pengarang sebuah teks tampaknya telah memformulasikan maksudnya ketika ia membentuk sebuah teks, dan pembaca berusaha memahami maksud pengarang atau harus berusaha memahaminya. Gagasan tentang menyusun maksud pengarang dalam menyusun makna dipandang sebagai hal yang kompleks dan problematis. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa maksud pengarang dipandang tidak penting dalam menentukan sebuah makna.
Kemungkinan kedua berpusat pada peranan teks dalam menentukan makna, dan pengakuan atas tingkat otonomi teks dalam menentukan makna. Teks, yang mempunyai sistem makna bahasa yang rumit, dipandang sebagai satu-satunya sarana yang mengklaim kewenangan menentukan makna. Teks dipandang sebagai entitas komplek yang maknanya tergantung pada sejarah dan konteksnya.
Kemungkinan ketiga adalah memberikan penetapan makna kepada pembaca. Semua pembaca membawa serta subyektivitas mereka ke dalam proses pembacaan. Pembaca memproyeksikan subyetivitasnya kepada kehendak pengarang dan teks.[44]
Tiga kemungkinan tersebut berperan penting dalam penetapan makna. Jarang para sarjana yang menentukan makna hanya sepihak hanya dari pengarang, teks atau pembaca saja. Dengan adanya tiga unsur tersebut akan terjadi proses dialog yang kompleks, interaktif, dinamis, dan dialektis di antara ketiga unsur tersebut.
Sebuah pemahaman makna yang tidak bersifat rasional tidak mesti bersifat otoriter, karena bisa jadi ia disebabkan oleh interaksi yang salah antara pembaca dan teks. Penetapan makna tidak pernah bersifat abadi dan bebas dari kesalahan. Pembaca rasional juga bisa mengkritisi makna yang telah disepakati oleh komunitas interpretasi. Seorang pembaca rasional yang memiliki kerendahan hati akan menyadari bahwa selain ia terdapat pembaca lain yang memiliki bentuk interpretasi berbeda terhadap teks.[45]
E.     Kesimpulan
Hermeneutika merupakan satu disiplin yang perhatian utamanya dicurahkan pada aturan-aturan penafsiran terhadap teks. Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik cenderung dihindari karena beberapa alasan namun sebagian kalangan yang lain berpendapat bahwa pendekatan hermeneutik sangat diperlukan dalam mengkaji studi agama, termasuk agama Islam. Kajian hermeneutik dalam Islam dikaitkan dengan studi disiplin keilmuan Islam yang bersifat historis dengan menyelami pemahaman teks yang ada pada Alquran, hadis, dan fikih.
F.     Penutup
Dengan mengucapkan syukur Al-Hamdulillah kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah  dan Inayah-Nya, sehingga penulisan makalah yang sederhana ini dapat terselesaikan.
Mengingat dari kemampuan yang ada, tentunya makalah ini jauh dari kriteria sempurna sehingga apabila ada kebenaran hal itu semata-mata merupakan hidayah-Nya, namun apabila ada kesalahan itu semua merupakan kekhilafan penulis semata. Untuk itu sumbangsih  kritik maupun saran konstruktif sangat penulis harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan  konstribusi berharga bagi dunia Peradaban dan pemikiran serta bermanfaat untuk penulis  pribadi khususnya, dan pembaca pada umumnya Fid dun ya ilal akhiroh. Amien.





















Daftar Pustaka



Abdul Kabir HussainSolihu, “HermeneutikaAlquran Menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004.
Abdullah KhozinAffandi, Hermeneutika, (Surabaya: Alpha, 2007).
Abdullah Saeen, Interpretating  the Quran, (Laondon: Routledge, 2005).
Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, Khalid Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004).
Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007).
Charles J. Adams, “The Hermeneutics of Henry Corbin”, Charles J. Adams, Approachesto Islam inReligiousStudies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985)
Khalid Aboual-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam fromtheExtremist, (New York: HarperCollins, 2005).
Leonardo Binder, ed., The Study of theMiddle East, (London: John Wileyand Sons, 1976).
Nasr Hamid Abu Zaid, TekstualiasAlquran, penerjemah: KhoironNahdyiyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005).
_______________, al-Tafkirfi Zaman al-Takfir, (Kairo: Sina, 1995)
_______________, IshkaliyyatalQira’at, (Beirut: al-Markasal-‘Arabial-Islami,t.t.)
Richard J Bernstein, BeyondObjectivism



[1] Abdul Kabir HussainSolihu, “HermeneutikaAlquran Menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik”Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, 20.
[2] Amin Abdullah, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), 28.
[3] Ibid., 29.
[4] Paul Riceor dan JurgenHabermas, Filsafat Bahasa dnHermeneutika, Penerjemah: Abdullah KhozinAfandi, (Surabaya: Visi Humanika, 2005), 67.
[5] Abdullah KhozinAffandi, Hermeneutika, (Surabaya: Alpha, 2007), 2.
[6] Ibid., 3.
[7] Richard J Bernstein,  Beyond Objectivismand Relativism,  (Amerika : Pennsylvania, 1983), 31.
[8] Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, Khalid Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), XI.
[9] Ibid., XII.
[10] Khalid Aboual-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam fromtheExtremist, (New York: HarperCollins, 2005), 275.
[11] Ibid., 276.
[12] Ibid., 282.
[13] Ibid., 4
[14] Ibid., 283.
[15] Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, VIII.
[16] Abdullah KhozinAffandi, Hermeneutika, 21.
[17] Charles J. Adams, “The Hermeneutics of Henry Corbin”, Charles J. Adams,Approachesto Islam inReligiousStudies, (Arizona: The University of Arizona Press, 1985), 130.
[18] Ibid., 138.
[19] Leonardo Binder, ed., The Study of theMiddle East, (London: John Wileyand Sons, 1976)61-62.
[20] Ibid., 65.
[21] Khalid Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, 179.
[22] Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan di Tanta, Mesir, pada tanggal 10 Juli 1943. Ia lulus dari Sekolah Teknik Tanta pada tahun 1960. Lulus dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo pada tahun 1972. pada tahun 1977 ia lulus program magister, dan pada tahun 1981 ia lulus program Doktoral. Karena pemikirannya yang menyamakan Alquran dengan teks-teks yang lain ia dianggap kafir dan diharuskan bercerai dari istrinya. Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkirfi Zaman al-Takfir, (Kairo: Sina, 1995), 67.
[23] Nasr Hamid Abu Zaid, TekstualiasAlquran, penerjemah: KhoironNahdyiyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), x.
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Ibid., 285.
[28] Khalid Aboual-Fadl merupakan professor Islam di UCLA, Amerika Serikat. Lulusan Yale dan Pricenton ini pernah mendalami studi keislaman diKuwait dan Mesir.
[29] Amin Abdullah, “Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan”, VIII
[30] Ibid., X.
[31] Ibid., xix
[32] Khalid Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, 149.

[33] Ibid., 150
[34] Ibid., 150
[35] Abdullah Saeed, Interpretating  the Quran, (Laondon: Routledge, 2005), 145.
[36] Ibid., 1.
[37] Ibid., 3.
[38] Khalid Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, 192.
[39] A. KhozinAfandi, dalam makalah “Mempertimbangkan Hermeneutic Untuk Kitab Suci”, (2004),2
[40] Nasr Hamid Abu Zayd, IshkaliyyatalQira’at, (Beirut: al-Markasal-‘Arabial-Islami,t.t.), 16.
[41] Ahmad Muzakki, “Semiotika Al-Qur’an” dalam Akademika Vol. 16, No.2 Maret 2005 (PPS IAIN Sunan Ampel:Surabaya, 2005), 3
[42] Ibid, 1
[43] Nasr Hamid Abu Zayd, IshkaliyyatalQira’at, 17.
[44] Ibid., 185.
[45] Khalid Aboual-Fadl, Atas Nama Tuhan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 199.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda