LATAR
BELAKANG MASALAH
KERANGKA
FILOSOFIS ILMU HADIS
Ilmu
Hadis dalam Dimensi Historis
Ilmu
Hadis dalam Dimensi Fiqh al-Hadis
LANDASAN
EPISTEMOLOGIS ILMU HADIS
Landasan
Metodologis Analisis Sanad Hadis
Landasan
Metodologis Analisis Teks Hadis
BAB
II KEDUDUKAN SUNNAH
MISI
KERASULAN
Analisis
Makna Al-Hikmah dan Pengajaran
KEWAHYUAN
SUNNAH
Wahyu
dalam Bentuk Ilham
Wahyu
dalam Bentuk Mimpi
BATASAN
MAKNA HADIS
Hadis
dalam Pengertian Ahli Hadis
Hadis
dalam Pengertian Ahli Ushul
BAB
III KERANGKA UMUM FIQH AL-HADIS
CAKUPAN
MAKNA DIRAYAH HADIS
MUSYKIL
HADIS
METODE
PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Ilmu
Gharibu al-Hadis
Ilmu
Ikhtilafu al-Hadis
KAIDAH-KAIDAH
PENDUKUNG
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman teks
hadis atau fiqh al-hadis merupakan
topik bahasan yang cukup populer di kalangan para fuqaha ahli hadis. Teori dan
kaidah-kaidah yang mereka kembangkan dijadikan modal kerja oleh para pensyarah
hadis. Kitab-kitab ulumu al-hadis
yang ditulis kemudian nyaris tak memuat pembahasan tentang fiqh al-hadis. Kenyataan ini terlihat sampai ke zaman modern.
Karya-karya modern di bidang ulumu
al-hadis isinya hanya berkisar tentang ilmu sanad, sementara yang
berhubungan dengan pemahamannya hanya sebatas disebutkan nama ilmunya.
Kata “fikih”
dalam konteks ini lebih mengacu kepada makna generalnya yang berarti pemahaman
terhadap agama secara keseluruhan, bukan fikih dalam makna spesifik keilmuan
yang berarti pengetahuan tentang hukum islam. kata fikih ini juga dari sisi
pandang epistemologis dapat dimaknai dengan Filsafat Hadis.Sesuai dengan misi Rasulullah
SAW sendiri, sebagai pembawa rahmat, tuntunan hadis atau sunah merupakan faktor
terciptanya kedamaian. Hadis pada sisi substansi kebenarannya merupakan bagian
integral dari wahyu. Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan
mengingkari kebenaran dari Allah.
Buku kecil ini merupakan sebuah upaya perumusan paradigma pemahaman
hadis yang dikonstruksi dari dasar Al-Qur’an dan hadis sendiri, serta diperkaya
oleh analisis filosofis generasi awal yang terserak dalam berbagai macam kitab
hadis, ulum al-quran dan tafsir serta
ushul fiqh.
B. Kerangka Filosofis Ilmu Hadis
Dalam upaya
mencoba merumuskan kerangka filosofis, ilmu hadis perlu dibedakan dalam dua
aspek. Pertama, terdapat sejumlah ilmu hadis yang berhubungan dengan sejarah,
yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad atau rijalul hadis. Kedua, ilmu hadis yang berhubungan dengan pemahaman
teks atau matan hadis yang telah memenuhi validitas historisnya, atau dalam
bahasan ilmu hadis disebut maqbul, sahih dan hasan.
1.
Ilmu hadis dalam dimensi historis
Ketika pertama
kali hendak mempelajari ilmu hadis yang begitu luas dan beragam, tindakan
pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dimana titik tolak atau langkah
awal kajian ilmu tersebut. Kajian ini berada dalam kapling sejarah karena yang
dipelajari adalah data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah SAW dan
para periwayat hadis.
Rasulullah
dalam segenap kondisi dan kapasitasnya tergambar sebagai guru atau pendidik,
pendakwah, dan pembimbing manusia ke jalan yang diridai Allah SWT. Secara umum,
dapat digambarkan adanya Rasulullah yang ummi
(tidak bisa baca-tulis) sebagai penyampai dan pensyarah Al-Qur’an, sebagai pelaku
sejarah yang dikitari oleh para sahabat sebagai pengikut dan sasaran
risalahnya. Tampakan sosok Rasulullah ini akan menggiring pengkaji kepada
pertanyaan yang bermacam-macam bagaimana proses hadis-hadis tersebut terekam
dari Rasulullah dan tersampaikan dengan baik dari generasi awal abad pertama
hijriyah kepada generasi selanjutnya di abad kedua dan seterusnya.
2.
Ilmu hadis dalam dimensifiqh
al-hadis
Analisis
historis yang puncaknya adalah proses kritik sanad dan matan, mengantar kepada
kita puluhan ribu hadis sahih atau minimal hasan. Pada proses kritik matan,
sesungguhnya perhatian ahli hadis pada muatan makna hadis sudah pernah
dilakukan, misalnya sebuah hadis dikatakan syadz.
Analisis pada tataran komparasi historis ini belum dapat dikatakan pemahaman
hadis secara luas dan menyeluruh. Ketika misalnya ada dua hadis yang memiliki perbedaan
makna sedikit saja maka pertanyaan yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat
sanadnya.
Penyelesaian
hadis seperti ini tampaknya telah menyebabkan kaidah-kaidah penyelesaian
hadis-hadis mukhtalif tidak begitu
berkembang. Bahasannya dalam kitab ulumul
hadis hanya sebatas penertian ilmu secara umum tanpa ada uraian yang menyeluruh
dan mendalam, terutama uraian langkah-langkah penyelesaiannya yang sesuai
dengan apa yang dilakukan oleh para ahli hadis di masa lalu. Sepertinya,
kenyataan inilah yang menyebabkan seorang pengamal hadis sangat tergantung
kepada penyelesaian tarjih yang
sangat kental dengan nuansa historis di dalamnya, yakni penyelesaian yang
sangat terikat dengan analisis historis atau kritik sanad.
Segala hal yang
berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaidah-kaidah fiqh al-hadis ini, sesungguhnya bagi seorang analisis ilmu hadis
atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit untuk
merumuskan kaidah-kaidah baru, semuanya sudah ada dalam khazanah masa lalu.
Hanya saja kaidah-kaidah yang dimaksud tidak tersusun secara sistematis dalam
sebuah kitab khusus.
Berangkat dari kegelisahan seperti inilah maka upaya sistematisasi
kaidah-kaidah pemahaman hadis ini dirasa sangat mendesak. Kedua bidang kajian
ilmu hadis, analisis historis dan fiqh al-hadits, sama pentingnya. Tanpa yang pertama, yang kedua justru tak dapat
dilakukan. Karena ilmu hadis pada dimensi historis ini sudah cukup banyak, baik
dalam bahasa aslinya maupun bahasa Indonesia, maka untuk langkah pertama lebih diutamakan
pengkerangkaan bagian yang kedua, yaitu fiqh
al-hadits.
C. Landasan Epistemologis Ilmu Hadis
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme
yang berarti pengetahuan. Secara teminologis diterjemahkan dengan pengetahuan
atau lebih populer dengan istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu, sebagai salah
satu cabang pengetahuan, dari satu sisi merupakan bagian dari epistemologi atau
filsafat pengetahuan. Setiap pengetahuan, baik ilmu (sains) atau tidak,
memiliki tiga ciri dan landasan keilmuan. Pertama, landasan ontologis yang
berkenaan dengan objek analisis, bagaimana wujud hakiki objek tersebut serta
alat apa yang digunakan manusia dalam menangkap objek sehingga menghasilkan
pengetahuan. Kedua, landasan epistemologis yang berkenaan bagaimana pengetahuan
diperoleh dari objek analisis yang berbeda. Ketiga, landasan aksiologis yang membahas
tentang nilai guna atau untuk tujuan apa pengetahuan tersebut serta bagaimana
hubungannya dengan tatanan moral.
Hadis sebagai
salah satu disiplin ilmu, dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu narasi
historis dan aspek teks. Yang pertama, dalam kerangka ontologisnya (objek
analisis) pengkaji berhadapan dengan fakta-fakta sejarah sebagai objek
kajiannya yang dapat dibedakan, misalnya, dengan data-data kealaman atau
metafisika. Sementara dalam dimensi epistemologisnya, pengkaji berhadapan
dengan persoalan bagaimana data historis ini dianalisis sehingga menghasilkan
sebuah bangunan pengetahuan sejarah yang memiliki tingkat kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau dalam bahasa ilmu hadis disebut
sahih. Selanjutnya yang berhubungan dengan teks, setelah mendapat kualifikasi
sahih, masalah yang muncul adalah bagaimana ia dapat dipahami, baik secara
terpisah atau mandiri (hadis per hadis), maupun secara komparatif dan atau
tematif.
1.
Landasan Metodologis Analisis Sanad Hadis
Sanad dalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang
terdiri dari manusia-manusia (rawi) yang menghubungkan antara pencatat hadis
dengan sumber riwayat, yaitu Rasulullah SAW, sahabat dan atau tabi’in.
Kualifikasi seorang rawi berdasarkan data sejarah, ada dua aspek yang
dipersoalkan. Pertama, aspek dalam analisis kebenaran sebuah informasi, yaitu
kualitas intelektual perawi (dhabth).
Kedua, yaitu aspek keberagamaan atau ketaatannya (‘adalah). Ketika tataran kritik hadis sudah sampai pada analisis
komparatif, pembahasannya tidak lagi hanya menyangkut akurasi data-data
historisnya, melainkan sudah masuk dalam proses pemahaman makna.
2.
Landasan Metodologis Analisis Teks Hadis
Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral
yang terkandung di dalamnya ada beberapa asumsi dasar yang perlu digarisbawahi,
yaitu:
a.
Hadis sebagai teks agama, secara filosofis teks hadis adalah teks
agama yang nilai kebenarannya didasari pada iman.
b.
Kontekstual hadis, sebuah pemahaman teks hadis pada konteks
tertentu, dimana dalam kondisi bagaimana Rasulullah menyampaikan berita atau
bersikap.
c.
Dimensi metafisika, sebuah pendekatan rasional yang berhubungan
dengan kehidupan dan amalan riil di dunia nyata.
BAB
II
KEDUDUKAN
SUNNAH
Bagi umat Islam kedudukan sunnah sebagai sumber utama kedua ajaran
islam tidak perlu lagi diperdebatkan, karena sudah sangat jelas landasannya
baik dari alquran maupun dari dasar logika. Namun demikian, diskusi tentang hal
ini tidak pernah sepi. Adanya diskusi tentang ingkar sunah sudah cukup menjadi
alasan untuk dikatakan bahwa memang ada orang atau pihak yang memandang sunah
bukan bagian dari sumber aturan yang mengikat.
Bagi mereka,
keharusan mengikuti Rasul tidak dengan sendirinya mengikuti sunah. Mengikuti
rasul bisa saja bermakna mengikuti apa yang dibawa oleh rasul itu, yaitu Al-Qur’an.
Berangkat dari kenyataan seperti ini, tampaknya perlu dilakukan kajian lebih
lanjut terhadap kedudukan atau otoritas sunah ini dengan merumuskan kerangka
filosofisnya yang dikonstruksi dari Al-Qur’an sendiri bagaimana kedudukan sunah
dalam bingkai Al-Qur’an.
A. Misi Kerasulan
Menjawab
pertanyaan tentang apa saja yang diturunkan atau disampaikan Allah kepada
Rasul, dikembalikan pada pernyataan beliau sendiri dalam hadis berikut.
Rasulullah
bersabda, “Ketahuilah bahwa kepadaku diberikan Kitab dan yang semisalnya
(beliau mengulangi dua kali). Ketahuilah, nyaris ada orang yang sambil duduk
santai di sofanya mengatakan, “Pegang teguhlah alquran, apa saja yang kamu
dapati di dalamnya halal maka halalkanlah dan apa yang kamu dapati di dalamnya
haram maka haramkanlah”. (HR. Ahmad)
Hadis diatas
menegaskan bahwa apa yang diterima Rasulullah bukan hanya alquran, melainkan
juga ada yang lain yang sebanding dengannya. Hanya saja beliau tidak
menjelaskan secara tersurat apa yang beliau maksudkan dengan sesuatu yang
sebanding dengan Al-Qur’an
itu. Penjelasannya justru ditemukan dari Al-Qur’an
itu sendiri pada surat An-nisa’ (4 : 113) yang berbunyi: ... Dan (juga karena)
Allah telah menurunkan Kitab dan Al-hikmah kepadamu dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui,....
Ayat ini
menegaskan bahwa Rasulullah tidak saja memperoleh alquran dari Allah, melainkan
juga al-hikmah dan pengajaran lain
yang tidak diketahuinya. Persoalan yang muncul adalah apakah al-hikmah tadi secara kumulatif dipahami
sebagai Al-Qur’an itu sendiri, sehingga walaupun namanya berbeda-beda
substansinya tetap satu? Melihat dilematika ini, kembali pada penegasan
Rasulullah bahwa ada sesuatu yang lain selain Al-kitab.
Dengan demikian, Al-Qur’an
dan al-hikmah, walaupun tidak dapat dipisahkan, merupakan dua hal yang berbeda.
Al-kitab sudah jelas termaktub dalam al-quran dan dapat dibaca, sementara al-hikmah bersifat abstrak dan tidak ada
lafal yang dibaca.
Imam syafi’i
sebagai tokoh fikih, berpendapat bahwa al-hikmah
bukan alquran, melainkan sunah atau sunah adalah al-hikmah yang dimasukkan Allah ke dalam hati Rasulullah. Lalu
kemudian, mengenai apakah teks hadis atau redaksi kebahasaan juga termasuk
bagian yang berasal dari Allah?
Tugas Rasulullah jelas tersurat dalam Al-Qur’an,
yaitu menyampaikan pesan dan tuntunan Allah SWT kepada umat manusia sebagai
target sasaran dari kalam Allah tersebut. Selanjutnya adalah dari mana
Rasulullah tahu dan bagaimana beliau tahu pesan-pesan Ilahiah tersebut sehingga
beliau mampu menjelaskannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau seorang yang
ummi-kemampuan bahasa dan sastranya-sebelum mendapat petunjuk Allah-tidak
melebihi para penyair jahiliyah. Lalu, karena Al-Qur’an berbahasa Arab,
seharusnya semua orang Arab tahu isi dan petunjuk kitab suci tersebut. Namun
kenyataannya tak ada manusia yang dapat menjelaskan makna alquran selain
Muhammad. Dari mana asal kemampuan Muhammad yang luar biasa itu? Jawabannya tak
lain adalah bahwa semuanya bersumber dari Allah.
B. Kewahyuan Sunah
Dijelaskan
diatas bahwa sunah atau hadis adalah bagian yang integral dengan wahyu. Tidak
menutup kemungkinan kesimpulan ini akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa.
Karena itu, perlu diberi batasan yang jelas tentang makna wahyu tersebut baik
secara etimologis maupun terminologisnya.
Wahyu yang
disampaikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW tidak hanya Al-Qur’an,
melainkan juga ada yang selainnya. Jika disimpulkan, macam-macam wahyu kepada
Rasulullah akan terlihat sebagaimana berikut.
1.
Wahyu alquran yang seluruhnya melalui Jibril.
2.
Wahyu dalam bentuk pengajaran atau peragaan Jibril selain alquran,
seperti tentang waktu shalat.
3.
Tabsyir Allah lewat mimpi yang benar, seperti mimpi penaklukan
Mekkah yang secara khusus diabadikan alquran.
4.
Pendengaran dari balik hijab pada peristiwa Mikraj.
5.
Wahyu dalam bentuk alhikmah yang diturunkan langsung ke dalam hati
beliau, seperti yang juga pernah diberikan Allah kepada Lukman.
Akhirnya, apa yang disampaikan Rasulullah kepada umat bukan hanya
alquran, melainkan juga penjelasannya; dan semua penjelasannya itu mengandung
makna dan nilai Ilahiah karena bersumber dari Tuhan. Semua yang bersumber dari
Allah disebut wahyu. Hadis atau sunah yang merupakan kristalisasi dari segala
bentuk penjelasan Rasulullah, meskipun secara redaksional bersumber dari beliau
sendiri (hadits qauliyyah) atau dari
sahabat (hadits fi’liyyah dan taqririyah),
substansi kebenarannya bersifat wahyu, karena bersumber dari Allah.
C. BATASAN MAKNA HADIS
Hadis dalam
pengertian ahli hadis adalah “semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (pengakuan), atau sifat, baik sifat fisikal maupun moral,
ataupun sirah, sebelum menjadi nabi atau sesudahnya”. Pengertian tersebut oleh
Al-Khatib, ini merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang
digunakan dalam mendefinisikan hadis.
Hadis dalam
pengertian ahli ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh ulama hadis adalah
hadis, tetapi bagi mereka yang terpenting adalah hadis apa saja yang mengikat
umat sebagai konsekuensi syahadat. Dalam rumusan ulama ushul, ada penambahan
kata yakni, “semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, atau
taqrir yang dapat dijadikan dalil hukum agama”.
Definisi diatas
mengandung dua makna. Pertama, bahwa yang dimaksud adalah hadis Muhammad
setelah menjadi nabi. Sementara sebelum menjadi nabi, tidak termasuk dalam
makna hadis. Kedua, ada batasan bahwa yang digolongkan hadis adalah yang dapat
dijadikan dasar hukum agama.
BAB
III
KERANGKA
UMUM FIQH AL-HADIS
A. CAKUPAN MAKNA (DIRAYAH HADIS)
Dirayah secara
etimologi bermakna ilmu atau ma’rifah
yang diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Faidhu al-qadir mendefinisikan ad-dirayah
dengan ma’rifah yang diperoleh
melalui analisis terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang jelas.
Karena dengan dirayah seseorang akan
mendapatkan al-hikmah yang tersimpan
dalam riwayah. Seorang ahli hadis
semestinya bukan hanya memperbanyak penulisan dan pencarian hadis, melainkan
juga harus mempelajari riwayah-nya dan mengkajinya terus-menerus. Hadis seorang
ahli riwayah akan ditolak atau minimal tidak dijadikan hujjah jika ia tidak
ahli dirayah. Bahkan orang yang hanya mementingkan riwayah tanpa dirayah, dianggap
bagian dari sufaha’ (orang-orang
bodoh).
Dari pemaparan
ulama diatas sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek
dirayah dalam kajian ilmu hadis memiliki arti yang sangat penting dan sangat
strategis. Seperti dikatakan oleh Al-Khatib, “seorang periwayat hadis
semestinya tidak mencukupkan pada periwayatan hadis saja”. Kedua, mengenai
dirayah dan riwayah diibaratkan apoteker yang hanya memiliki obat tanpa tahu
mendiagnosis penyakit, ada juga yang diibaratkan dokter yang sekaligus seorang
apoteker penyedia obat.
Karena dirayah mengandung makna pemahaman terhadap sejarah atau
sanad hadis dan hadis itu sendiri sebagai teks, maka kemudian fiqh al-hadis
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu riwayah.
B. MUSYKIL HADIS
Arti istilah musykil sudah sangat jelas, yaitu
ketidakjelasan yang memerlukan penjabaran dan pemahaman. Untuk mengetahui apa
dan bagaimana cara penyelesaian musykil
hadis perlu melakukan kegiatan intelektual yang disebut ta’wil.
C. METODE PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Penyelesaian
musykil hadis tertentu pada hadis yang berkualifikasi maqbul, baik yang hasan
atau sahih. Apabila terjadi ikhtilaf
antara dua hadis, yang satu sahih dan yang lain dhaif, maka hadis yang dhaif
tersebut tertolak dengan sendirinya dan tidak perlu dilakukan ikhtilaf al-hadits.
1.
Ilmu Gharib al-hadits
Hadis sebagai
penjelasan syariat bersifat jelas, dan begitulah keadaannya pada masa
Rasulullah SAW. Dari segi kebahasaan hadis diikat dengan kata-kata yang
berbahasa Arab. Dalam perkembangannya bahasa Arab mengalami persentuhan dengan
bahasa lain akibat akulturasi budaya dari non-Arab yang masuk Islam. Dampak
persentuhan budaya ini, banyak kosakata Arab yang dulunya mudah dipahami oleh
generasi awal, menjadi jarang atau tidak lagi dipakai. Kenyataan ini tidak saja
berdampak pada alquran, melainkan juga pada hadis.
Menurut Ibnu Shalah,
ilmu gharib al hadits adalah ilmu
pengetahuan untuk mengetahui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis Nabi
SAW yang sulit dipahami karena sangat jarang digunakan. Sedangkan menurut Ibnu Ja’far
Al-kattani sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash-shiddieqy adalah ilmu yang
digunakan untuk mengetahui pengertian kata-kata yang berbeda dari pengertian
biasa, dan pengertian tersebut tidak mudah diperoleh, karena kata-katanya bersumber
dari bahasa yang ganjil dari berbagai kabilah yang jarang digunakan.
2.
Ilmu ikhtilaf al-hadits
Ilmu ikhtilaf al-hadits ini telah dibicarakan
oleh ulama terdahulu yang kemudian merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya.
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan
dengan hadis-hadis yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu
ushu fikih. Batasan makna ini oleh para ahli mendefinisikan, terlepas dari
perbedaan redaksional, mengandung pengertian atau substansi makna yang sama.
D. KAIDAH-KAIDAH PENDUKUNG
Di samping
kerangka pemahaman diatas, masih ada sejumlah kaidah yang dapat memperkaya
analisis dan pemahaman hadis. Di antaranya, asbab
al-wurud dan kontekstualitas hadis, jawami’u
al-kalim, ta’awwul al-qur’an,
tafsir maudhu’i hadits, dan
problematika ikhtilaf antara hadis qauliyyah dan fi’liyyah.
1.
Asbab al-wurud dan kontekstualitas hadis.
Pengertian
hadis dalam konteks sabab al-wurud
ini bukan hanya hadis dalam makna tutur (qauliyyah),
melainkan juga aksi (fi’liyyah) dan
sikap (taqririyyah). Sabab al-wurud
sangat erat kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa yang
melatarbelakangi lahirnya suatu hadis. Setting ini akan memperlihatkan konteks
manusia yang mendengar, melihat atau terlibat dalam penerimaan suatu hadis.
Data sejarah yang berhubungan dengan ketiga hal (waktu, tempat, dan manusia)
sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian ikhtilaf hadis. Karena itu, sabab al-wurud ini dipandang sebagai
ilmu atau kaidah pendukung dalam fiqh
hadits.
Adapun
kontekstualitas hadis merupakan semua kondisi dan situasi secara umum yang
memiliki hubungan yang erat dengan sejumlah hadis Rasulullah, antara lain:
konteks sejarah, konteks antropologis, konteks sosio-kultural dan konteks zaman
kenabian.
2.
Kaidah Jawami’uAl-kalim
Kaidah berasal
dari sabda Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang
artinya “ aku diutus dengan jawami’u al-kalim dan aku dibantu dengan
menimbulkan rasa takut ke dalam hati musuh. Ketika tidur, diberikan padaku
kunci gudang-gudang bumi dan diletakkan di atas tanganku.”
Beberapa ulama
hadis mendefinisikan istilah jawami’u
al-kalim dari beberapa redaksi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan jawami’u al-kalim adalah nas-nas agama,
baik Al-Qur’an maupun hadis yang bersifat kulliyyah,
yakni mengandung makna umum dan luas.
3.
Kaidah Ta’awwul Al-qur’an
Istilah ta’awwul al-qur’an dalam konteks
pemahaman hadis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman awal islam. Istilah ini
sebenarnya dikonstruksi dari istilah yang digunakan Aisyah dalam hadis tentang
bacaan tasbih dalam ruku’ dan sujud Rasulullah setelah turun surat an-Nashr yang
artinya “Rasulullah dalam ruku dan
sujudnya banyak bertasbih dengan lafal ‘subhanaka allahumma rabbana wa
bihamdika allahummagfirli’, beliau menakwilkan Al-qur’an.” Kemudian,
istilah ta’awwul al-qur’an yang
dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pendasaran atau perujukan suatu amalan
kepada Al-Q.
Makna inilah yang jelas terbaca dalam ungkapan Aisyah dalam hadis yang dikutip
diatas.
4.
Hadis dalam pendekatan Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i
sebagai salah satu metode tidak hanya berlaku pada pemahaman Al-Qur’an,
melainkan juga dapat diterapkan alam pemahaman hadis. Dalam penyelesaian ikhtilaf al-hadits, terlihat bahwa
antara satu dan yang lain hadis dalam upaya pemahamannya tidak dapat berdiri
sendiri. Sesuai dengan definisinya, komparasi hadis hanya dilakukan pada dua
hadis yang tampak berbeda makna, sementara dalam tafsir maudhu’i, pemahaman kasus tertentu dari suatu hadis dilakukan
dengan upaya melibatkan seluruh hadis yang berkaitan.
5.
Ikhtilaf Dalalah Hadis Qauliyyah dan Fi’liyyah
Hadis merupakan
salah satu sumber ajaran agama. Mempelajari sumber agama sangat perlu kepada
ilmu tentang sumber tersebut. Ungkapan ini bermakna fiqh al-hadits, tidak dapat lepas dari ushul fikih. Ilmu ushul
fikih ini sendiri pada dasarnya merupakan anak kandung ilmu Al-Qur’an
dan ilmu hadis, bukan sebaliknya.
Sumber Islam
sendiri ada yang bersifat qauli
(kalam atau ucapan), dan ada yang sifat fi’li
(perbuatan). Al-Qur’an
seluruhnya bersifat qauli, yakni
kalam Allah, sedangkan hadis ada yang bersifat ucapan dan ada yang berbentuk
perbuatan Rasulullah yang dituturkan para sahabat. Sumber Islam memiliki
kekuatan ‘dalalah’ yang berbeda,
paling tinggi adalah dalalah Al-Qur’an,
kemudian dalalah hadis, pendapat atau tafsiran sahabat dan tabi’in.
Selanjutnya, dalalah hadis dibedakan lagi menjadi dua bagian, yaitu dalalah
qauliyyah dan dalalah fi’liyyah.
Dalam
pembahasan ilmu ushul fikih mewacana bahwa dalalah hadis qauliyyah lebih kuat
daripada dalalah hadis fi’liyyah,
karena fi’liyyah pada dasarnya tidak
memilik kekuatan dalil jika tidak didukung qauliyyah.
Sebagai contoh, untuk memudahkan pemahaman, misalnya tata cara shalat
sebagaimana dicontohkan Rasulullah dalam hadis fi’liyyah, tidak akan menjadi dasar hukum shalat kalau tidak ada
hadis qauliyyah yang berbunyi, “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
shalat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda