Pengikut

Senin, 13 April 2015

studi Hadits


BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
KERANGKA FILOSOFIS ILMU HADIS
Ilmu Hadis dalam Dimensi Historis
Ilmu Hadis dalam Dimensi Fiqh al-Hadis
LANDASAN EPISTEMOLOGIS ILMU HADIS
Landasan Metodologis Analisis Sanad Hadis
Landasan Metodologis Analisis Teks Hadis
BAB II KEDUDUKAN SUNNAH
MISI KERASULAN
Analisis Makna Al-Hikmah dan Pengajaran
KEWAHYUAN SUNNAH
Wahyu dalam Bentuk Ilham
Wahyu dalam Bentuk Mimpi
BATASAN MAKNA HADIS
Hadis dalam Pengertian Ahli Hadis
Hadis dalam Pengertian Ahli Ushul
BAB III KERANGKA UMUM FIQH AL-HADIS
CAKUPAN MAKNA DIRAYAH HADIS
MUSYKIL HADIS
METODE PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Ilmu Gharibu al-Hadis
Ilmu Ikhtilafu al-Hadis
KAIDAH-KAIDAH PENDUKUNG







BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pemahaman teks hadis atau fiqh al-hadis merupakan topik bahasan yang cukup populer di kalangan para fuqaha ahli hadis. Teori dan kaidah-kaidah yang mereka kembangkan dijadikan modal kerja oleh para pensyarah hadis. Kitab-kitab ulumu al-hadis yang ditulis kemudian nyaris tak memuat pembahasan tentang fiqh al-hadis. Kenyataan ini terlihat sampai ke zaman modern. Karya-karya modern di bidang ulumu al-hadis isinya hanya berkisar tentang ilmu sanad, sementara yang berhubungan dengan pemahamannya hanya sebatas disebutkan nama ilmunya.
Kata “fikih” dalam konteks ini lebih mengacu kepada makna generalnya yang berarti pemahaman terhadap agama secara keseluruhan, bukan fikih dalam makna spesifik keilmuan yang berarti pengetahuan tentang hukum islam. kata fikih ini juga dari sisi pandang epistemologis dapat dimaknai dengan Filsafat Hadis.Sesuai dengan misi Rasulullah SAW sendiri, sebagai pembawa rahmat, tuntunan hadis atau sunah merupakan faktor terciptanya kedamaian. Hadis pada sisi substansi kebenarannya merupakan bagian integral dari wahyu. Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan mengingkari kebenaran dari Allah.
Buku kecil ini merupakan sebuah upaya perumusan paradigma pemahaman hadis yang dikonstruksi dari dasar Al-Qur’an dan hadis sendiri, serta diperkaya oleh analisis filosofis generasi awal yang terserak dalam berbagai macam kitab hadis, ulum al-quran dan tafsir serta ushul fiqh.
B.  Kerangka Filosofis Ilmu Hadis
Dalam upaya mencoba merumuskan kerangka filosofis, ilmu hadis perlu dibedakan dalam dua aspek. Pertama, terdapat sejumlah ilmu hadis yang berhubungan dengan sejarah, yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad atau rijalul hadis. Kedua, ilmu hadis yang berhubungan dengan pemahaman teks atau matan hadis yang telah memenuhi validitas historisnya, atau dalam bahasan ilmu hadis disebut maqbul, sahih dan hasan.
1.    Ilmu hadis dalam dimensi historis
Ketika pertama kali hendak mempelajari ilmu hadis yang begitu luas dan beragam, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dimana titik tolak atau langkah awal kajian ilmu tersebut. Kajian ini berada dalam kapling sejarah karena yang dipelajari adalah data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah SAW dan para periwayat hadis.
Rasulullah dalam segenap kondisi dan kapasitasnya tergambar sebagai guru atau pendidik, pendakwah, dan pembimbing manusia ke jalan yang diridai Allah SWT. Secara umum, dapat digambarkan adanya Rasulullah yang ummi (tidak bisa baca-tulis) sebagai penyampai dan pensyarah Al-Qur’an, sebagai pelaku sejarah yang dikitari oleh para sahabat sebagai pengikut dan sasaran risalahnya. Tampakan sosok Rasulullah ini akan menggiring pengkaji kepada pertanyaan yang bermacam-macam bagaimana proses hadis-hadis tersebut terekam dari Rasulullah dan tersampaikan dengan baik dari generasi awal abad pertama hijriyah kepada generasi selanjutnya di abad kedua dan seterusnya.
2.    Ilmu hadis dalam dimensifiqh al-hadis
Analisis historis yang puncaknya adalah proses kritik sanad dan matan, mengantar kepada kita puluhan ribu hadis sahih atau minimal hasan. Pada proses kritik matan, sesungguhnya perhatian ahli hadis pada muatan makna hadis sudah pernah dilakukan, misalnya sebuah hadis dikatakan syadz. Analisis pada tataran komparasi historis ini belum dapat dikatakan pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Ketika misalnya ada dua hadis yang memiliki perbedaan makna sedikit saja maka pertanyaan yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya.
Penyelesaian hadis seperti ini tampaknya telah menyebabkan kaidah-kaidah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif tidak begitu berkembang. Bahasannya dalam kitab ulumul hadis hanya sebatas penertian ilmu secara umum tanpa ada uraian yang menyeluruh dan mendalam, terutama uraian langkah-langkah penyelesaiannya yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ahli hadis di masa lalu. Sepertinya, kenyataan inilah yang menyebabkan seorang pengamal hadis sangat tergantung kepada penyelesaian tarjih yang sangat kental dengan nuansa historis di dalamnya, yakni penyelesaian yang sangat terikat dengan analisis historis atau kritik sanad.
Segala hal yang berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaidah-kaidah fiqh al-hadis ini, sesungguhnya bagi seorang analisis ilmu hadis atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit untuk merumuskan kaidah-kaidah baru, semuanya sudah ada dalam khazanah masa lalu. Hanya saja kaidah-kaidah yang dimaksud tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah kitab khusus.
Berangkat dari kegelisahan seperti inilah maka upaya sistematisasi kaidah-kaidah pemahaman hadis ini dirasa sangat mendesak. Kedua bidang kajian ilmu hadis, analisis historis dan fiqh al-hadits, sama pentingnya. Tanpa yang pertama, yang kedua justru tak dapat dilakukan. Karena ilmu hadis pada dimensi historis ini sudah cukup banyak, baik dalam bahasa aslinya maupun bahasa Indonesia, maka untuk langkah pertama lebih diutamakan pengkerangkaan bagian yang kedua, yaitu fiqh al-hadits.
C.  Landasan Epistemologis Ilmu Hadis
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan. Secara teminologis diterjemahkan dengan pengetahuan atau lebih populer dengan istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang pengetahuan, dari satu sisi merupakan bagian dari epistemologi atau filsafat pengetahuan. Setiap pengetahuan, baik ilmu (sains) atau tidak, memiliki tiga ciri dan landasan keilmuan. Pertama, landasan ontologis yang berkenaan dengan objek analisis, bagaimana wujud hakiki objek tersebut serta alat apa yang digunakan manusia dalam menangkap objek sehingga menghasilkan pengetahuan. Kedua, landasan epistemologis yang berkenaan bagaimana pengetahuan diperoleh dari objek analisis yang berbeda. Ketiga, landasan aksiologis yang membahas tentang nilai guna atau untuk tujuan apa pengetahuan tersebut serta bagaimana hubungannya dengan tatanan moral.
Hadis sebagai salah satu disiplin ilmu, dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu narasi historis dan aspek teks. Yang pertama, dalam kerangka ontologisnya (objek analisis) pengkaji berhadapan dengan fakta-fakta sejarah sebagai objek kajiannya yang dapat dibedakan, misalnya, dengan data-data kealaman atau metafisika. Sementara dalam dimensi epistemologisnya, pengkaji berhadapan dengan persoalan bagaimana data historis ini dianalisis sehingga menghasilkan sebuah bangunan pengetahuan sejarah yang memiliki tingkat kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau dalam bahasa ilmu hadis disebut sahih. Selanjutnya yang berhubungan dengan teks, setelah mendapat kualifikasi sahih, masalah yang muncul adalah bagaimana ia dapat dipahami, baik secara terpisah atau mandiri (hadis per hadis), maupun secara komparatif dan atau tematif.
1.    Landasan Metodologis Analisis Sanad Hadis
Sanad dalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri dari manusia-manusia (rawi) yang menghubungkan antara pencatat hadis dengan sumber riwayat, yaitu Rasulullah SAW, sahabat dan atau tabi’in. Kualifikasi seorang rawi berdasarkan data sejarah, ada dua aspek yang dipersoalkan. Pertama, aspek dalam analisis kebenaran sebuah informasi, yaitu kualitas intelektual perawi (dhabth). Kedua, yaitu aspek keberagamaan atau ketaatannya (‘adalah). Ketika tataran kritik hadis sudah sampai pada analisis komparatif, pembahasannya tidak lagi hanya menyangkut akurasi data-data historisnya, melainkan sudah masuk dalam proses pemahaman makna.
2.    Landasan Metodologis Analisis Teks Hadis
Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya ada beberapa asumsi dasar yang perlu digarisbawahi, yaitu:
a.       Hadis sebagai teks agama, secara filosofis teks hadis adalah teks agama yang nilai kebenarannya didasari pada iman.
b.      Kontekstual hadis, sebuah pemahaman teks hadis pada konteks tertentu, dimana dalam kondisi bagaimana Rasulullah menyampaikan berita atau bersikap.
c.       Dimensi metafisika, sebuah pendekatan rasional yang berhubungan dengan kehidupan dan amalan riil di dunia nyata.


BAB II
KEDUDUKAN SUNNAH

Bagi umat Islam kedudukan sunnah sebagai sumber utama kedua ajaran islam tidak perlu lagi diperdebatkan, karena sudah sangat jelas landasannya baik dari alquran maupun dari dasar logika. Namun demikian, diskusi tentang hal ini tidak pernah sepi. Adanya diskusi tentang ingkar sunah sudah cukup menjadi alasan untuk dikatakan bahwa memang ada orang atau pihak yang memandang sunah bukan bagian dari sumber aturan yang mengikat.
Bagi mereka, keharusan mengikuti Rasul tidak dengan sendirinya mengikuti sunah. Mengikuti rasul bisa saja bermakna mengikuti apa yang dibawa oleh rasul itu, yaitu Al-Qur’an. Berangkat dari kenyataan seperti ini, tampaknya perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap kedudukan atau otoritas sunah ini dengan merumuskan kerangka filosofisnya yang dikonstruksi dari Al-Qur’an sendiri bagaimana kedudukan sunah dalam bingkai Al-Qur’an.
A.  Misi Kerasulan
Menjawab pertanyaan tentang apa saja yang diturunkan atau disampaikan Allah kepada Rasul, dikembalikan pada pernyataan beliau sendiri dalam hadis berikut.
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa kepadaku diberikan Kitab dan yang semisalnya (beliau mengulangi dua kali). Ketahuilah, nyaris ada orang yang sambil duduk santai di sofanya mengatakan, “Pegang teguhlah alquran, apa saja yang kamu dapati di dalamnya halal maka halalkanlah dan apa yang kamu dapati di dalamnya haram maka haramkanlah”. (HR. Ahmad)
Hadis diatas menegaskan bahwa apa yang diterima Rasulullah bukan hanya alquran, melainkan juga ada yang lain yang sebanding dengannya. Hanya saja beliau tidak menjelaskan secara tersurat apa yang beliau maksudkan dengan sesuatu yang sebanding dengan Al-Quran itu. Penjelasannya justru ditemukan dari Al-Quran itu sendiri pada surat An-nisa’ (4 : 113) yang berbunyi: ... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan Al-hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui,....
Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah tidak saja memperoleh alquran dari Allah, melainkan juga al-hikmah dan pengajaran lain yang tidak diketahuinya. Persoalan yang muncul adalah apakah al-hikmah tadi secara kumulatif dipahami sebagai Al-Qur’an itu sendiri, sehingga walaupun namanya berbeda-beda substansinya tetap satu? Melihat dilematika ini, kembali pada penegasan Rasulullah bahwa ada sesuatu yang lain selain Al-kitab. Dengan demikian, Al-Quran dan al-hikmah, walaupun tidak dapat dipisahkan, merupakan dua hal yang berbeda. Al-kitab sudah jelas termaktub dalam al-quran dan dapat dibaca, sementara al-hikmah bersifat abstrak dan tidak ada lafal yang dibaca.
Imam syafi’i sebagai tokoh fikih, berpendapat bahwa al-hikmah bukan alquran, melainkan sunah atau sunah adalah al-hikmah yang dimasukkan Allah ke dalam hati Rasulullah. Lalu kemudian, mengenai apakah teks hadis atau redaksi kebahasaan juga termasuk bagian yang berasal dari Allah?
Tugas Rasulullah jelas tersurat dalam Al-Quran, yaitu menyampaikan pesan dan tuntunan Allah SWT kepada umat manusia sebagai target sasaran dari kalam Allah tersebut. Selanjutnya adalah dari mana Rasulullah tahu dan bagaimana beliau tahu pesan-pesan Ilahiah tersebut sehingga beliau mampu menjelaskannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau seorang yang ummi-kemampuan bahasa dan sastranya-sebelum mendapat petunjuk Allah-tidak melebihi para penyair jahiliyah. Lalu, karena Al-Qur’an berbahasa Arab, seharusnya semua orang Arab tahu isi dan petunjuk kitab suci tersebut. Namun kenyataannya tak ada manusia yang dapat menjelaskan makna alquran selain Muhammad. Dari mana asal kemampuan Muhammad yang luar biasa itu? Jawabannya tak lain adalah bahwa semuanya bersumber dari Allah.
B.  Kewahyuan Sunah
Dijelaskan diatas bahwa sunah atau hadis adalah bagian yang integral dengan wahyu. Tidak menutup kemungkinan kesimpulan ini akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa. Karena itu, perlu diberi batasan yang jelas tentang makna wahyu tersebut baik secara etimologis maupun terminologisnya.
Wahyu yang disampaikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW tidak hanya Al-Quran, melainkan juga ada yang selainnya. Jika disimpulkan, macam-macam wahyu kepada Rasulullah akan terlihat sebagaimana berikut.
1.      Wahyu alquran yang seluruhnya melalui Jibril.
2.      Wahyu dalam bentuk pengajaran atau peragaan Jibril selain alquran, seperti tentang waktu shalat.
3.      Tabsyir Allah lewat mimpi yang benar, seperti mimpi penaklukan Mekkah yang secara khusus diabadikan alquran.
4.      Pendengaran dari balik hijab pada peristiwa Mikraj.
5.      Wahyu dalam bentuk alhikmah yang diturunkan langsung ke dalam hati beliau, seperti yang juga pernah diberikan Allah kepada Lukman.
Akhirnya, apa yang disampaikan Rasulullah kepada umat bukan hanya alquran, melainkan juga penjelasannya; dan semua penjelasannya itu mengandung makna dan nilai Ilahiah karena bersumber dari Tuhan. Semua yang bersumber dari Allah disebut wahyu. Hadis atau sunah yang merupakan kristalisasi dari segala bentuk penjelasan Rasulullah, meskipun secara redaksional bersumber dari beliau sendiri (hadits qauliyyah) atau dari sahabat (hadits fi’liyyah dan taqririyah), substansi kebenarannya bersifat wahyu, karena bersumber dari Allah.
C.  BATASAN MAKNA HADIS
Hadis dalam pengertian ahli hadis adalah “semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan), atau sifat, baik sifat fisikal maupun moral, ataupun sirah, sebelum menjadi nabi atau sesudahnya”. Pengertian tersebut oleh Al-Khatib, ini merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang digunakan dalam mendefinisikan hadis.
Hadis dalam pengertian ahli ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh ulama hadis adalah hadis, tetapi bagi mereka yang terpenting adalah hadis apa saja yang mengikat umat sebagai konsekuensi syahadat. Dalam rumusan ulama ushul, ada penambahan kata yakni, “semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan dalil hukum agama”.
Definisi diatas mengandung dua makna. Pertama, bahwa yang dimaksud adalah hadis Muhammad setelah menjadi nabi. Sementara sebelum menjadi nabi, tidak termasuk dalam makna hadis. Kedua, ada batasan bahwa yang digolongkan hadis adalah yang dapat dijadikan dasar hukum agama.


BAB III
KERANGKA UMUM FIQH AL-HADIS

A. CAKUPAN MAKNA (DIRAYAH HADIS)
Dirayah secara etimologi bermakna ilmu atau ma’rifah yang diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Faidhu al-qadir mendefinisikan ad-dirayah dengan ma’rifah yang diperoleh melalui analisis terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang jelas. Karena dengan dirayah seseorang akan mendapatkan al-hikmah yang tersimpan dalam riwayah. Seorang ahli hadis semestinya bukan hanya memperbanyak penulisan dan pencarian hadis, melainkan juga harus mempelajari riwayah-nya dan mengkajinya terus-menerus. Hadis seorang ahli riwayah akan ditolak atau minimal tidak dijadikan hujjah jika ia tidak ahli dirayah. Bahkan orang yang hanya mementingkan riwayah tanpa dirayah, dianggap bagian dari sufaha’ (orang-orang bodoh).
Dari pemaparan ulama diatas sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek dirayah dalam kajian ilmu hadis memiliki arti yang sangat penting dan sangat strategis. Seperti dikatakan oleh Al-Khatib, “seorang periwayat hadis semestinya tidak mencukupkan pada periwayatan hadis saja”. Kedua, mengenai dirayah dan riwayah diibaratkan apoteker yang hanya memiliki obat tanpa tahu mendiagnosis penyakit, ada juga yang diibaratkan dokter yang sekaligus seorang apoteker penyedia obat.
Karena dirayah mengandung makna pemahaman terhadap sejarah atau sanad hadis dan hadis itu sendiri sebagai teks, maka kemudian fiqh al-hadis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu riwayah.
B.  MUSYKIL HADIS
Arti istilah musykil sudah sangat jelas, yaitu ketidakjelasan yang memerlukan penjabaran dan pemahaman. Untuk mengetahui apa dan bagaimana cara penyelesaian musykil hadis perlu melakukan kegiatan intelektual yang disebut ta’wil.
C. METODE PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Penyelesaian musykil hadis tertentu pada hadis yang berkualifikasi maqbul, baik yang hasan atau sahih. Apabila terjadi ikhtilaf antara dua hadis, yang satu sahih dan yang lain dhaif, maka hadis yang dhaif tersebut tertolak dengan sendirinya dan tidak perlu dilakukan ikhtilaf al-hadits.
1.   Ilmu Gharib al-hadits
Hadis sebagai penjelasan syariat bersifat jelas, dan begitulah keadaannya pada masa Rasulullah SAW. Dari segi kebahasaan hadis diikat dengan kata-kata yang berbahasa Arab. Dalam perkembangannya bahasa Arab mengalami persentuhan dengan bahasa lain akibat akulturasi budaya dari non-Arab yang masuk Islam. Dampak persentuhan budaya ini, banyak kosakata Arab yang dulunya mudah dipahami oleh generasi awal, menjadi jarang atau tidak lagi dipakai. Kenyataan ini tidak saja berdampak pada alquran, melainkan juga pada hadis.
Menurut Ibnu Shalah, ilmu gharib al hadits adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis Nabi SAW yang sulit dipahami karena sangat jarang digunakan. Sedangkan menurut Ibnu Ja’far Al-kattani sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash-shiddieqy adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui pengertian kata-kata yang berbeda dari pengertian biasa, dan pengertian tersebut tidak mudah diperoleh, karena kata-katanya bersumber dari bahasa yang ganjil dari berbagai kabilah yang jarang digunakan.
2.   Ilmu ikhtilaf al-hadits
Ilmu ikhtilaf al-hadits ini telah dibicarakan oleh ulama terdahulu yang kemudian merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya. Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadis-hadis yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu ushu fikih. Batasan makna ini oleh para ahli mendefinisikan, terlepas dari perbedaan redaksional, mengandung pengertian atau substansi makna yang sama.
D. KAIDAH-KAIDAH PENDUKUNG
Di samping kerangka pemahaman diatas, masih ada sejumlah kaidah yang dapat memperkaya analisis dan pemahaman hadis. Di antaranya, asbab al-wurud dan kontekstualitas hadis, jawami’u al-kalim, ta’awwul al-qur’an, tafsir maudhu’i hadits, dan problematika ikhtilaf antara hadis qauliyyah dan fi’liyyah.
1.   Asbab al-wurud dan kontekstualitas hadis.
Pengertian hadis dalam konteks sabab al-wurud ini bukan hanya hadis dalam makna tutur (qauliyyah), melainkan juga aksi (fi’liyyah) dan sikap (taqririyyah). Sabab al-wurud sangat erat kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya suatu hadis. Setting ini akan memperlihatkan konteks manusia yang mendengar, melihat atau terlibat dalam penerimaan suatu hadis. Data sejarah yang berhubungan dengan ketiga hal (waktu, tempat, dan manusia) sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian ikhtilaf hadis. Karena itu, sabab al-wurud ini dipandang sebagai ilmu atau kaidah pendukung dalam fiqh hadits.
Adapun kontekstualitas hadis merupakan semua kondisi dan situasi secara umum yang memiliki hubungan yang erat dengan sejumlah hadis Rasulullah, antara lain: konteks sejarah, konteks antropologis, konteks sosio-kultural dan konteks zaman kenabian.
2.   Kaidah Jawami’uAl-kalim
Kaidah berasal dari sabda Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang artinya “ aku diutus dengan jawami’u al-kalim dan aku dibantu dengan menimbulkan rasa takut ke dalam hati musuh. Ketika tidur, diberikan padaku kunci gudang-gudang bumi dan diletakkan di atas tanganku.”
Beberapa ulama hadis mendefinisikan istilah jawami’u al-kalim dari beberapa redaksi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan jawami’u al-kalim adalah nas-nas agama, baik Al-Qur’an maupun hadis yang bersifat kulliyyah, yakni mengandung makna umum dan luas.
3.   Kaidah Ta’awwul Al-qur’an
Istilah ta’awwul al-qur’an dalam konteks pemahaman hadis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman awal islam. Istilah ini sebenarnya dikonstruksi dari istilah yang digunakan Aisyah dalam hadis tentang bacaan tasbih dalam ruku’ dan sujud Rasulullah setelah turun surat an-Nashr yang artinya “Rasulullah dalam ruku dan sujudnya banyak bertasbih dengan lafal ‘subhanaka allahumma rabbana wa bihamdika allahummagfirli’, beliau menakwilkan Al-qur’an.” Kemudian, istilah ta’awwul al-qur’an yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pendasaran atau perujukan suatu amalan kepada Al-Q. Makna inilah yang jelas terbaca dalam ungkapan Aisyah dalam hadis yang dikutip diatas.
4.   Hadis dalam pendekatan Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i sebagai salah satu metode tidak hanya berlaku pada pemahaman Al-Qur’an, melainkan juga dapat diterapkan alam pemahaman hadis. Dalam penyelesaian ikhtilaf al-hadits, terlihat bahwa antara satu dan yang lain hadis dalam upaya pemahamannya tidak dapat berdiri sendiri. Sesuai dengan definisinya, komparasi hadis hanya dilakukan pada dua hadis yang tampak berbeda makna, sementara dalam tafsir maudhu’i, pemahaman kasus tertentu dari suatu hadis dilakukan dengan upaya melibatkan seluruh hadis yang berkaitan.
5.   Ikhtilaf Dalalah Hadis Qauliyyah dan Fi’liyyah
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran agama. Mempelajari sumber agama sangat perlu kepada ilmu tentang sumber tersebut. Ungkapan ini bermakna fiqh al-hadits, tidak dapat lepas dari ushul fikih. Ilmu ushul fikih ini sendiri pada dasarnya merupakan anak kandung ilmu Al-Qur’an dan ilmu hadis, bukan sebaliknya.
Sumber Islam sendiri ada yang bersifat qauli (kalam atau ucapan), dan ada yang sifat fi’li (perbuatan). Al-Qur’an seluruhnya bersifat qauli, yakni kalam Allah, sedangkan hadis ada yang bersifat ucapan dan ada yang berbentuk perbuatan Rasulullah yang dituturkan para sahabat. Sumber Islam memiliki kekuatan ‘dalalah’ yang berbeda, paling tinggi adalah dalalah Al-Qur’an, kemudian dalalah hadis, pendapat atau tafsiran sahabat dan tabi’in. Selanjutnya, dalalah hadis dibedakan lagi menjadi dua bagian, yaitu dalalah qauliyyah dan dalalah fi’liyyah.
Dalam pembahasan ilmu ushul fikih mewacana bahwa dalalah hadis qauliyyah lebih kuat daripada dalalah hadis fi’liyyah, karena fi’liyyah pada dasarnya tidak memilik kekuatan dalil jika tidak didukung qauliyyah. Sebagai contoh, untuk memudahkan pemahaman, misalnya tata cara shalat sebagaimana dicontohkan Rasulullah dalam hadis fi’liyyah, tidak akan menjadi dasar hukum shalat kalau tidak ada hadis qauliyyah yang berbunyi, “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri masukan komentar anda