Pengikut

Senin, 13 April 2015

LOGO UIN SEMARANG

foto weding


studi Hadits


BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
KERANGKA FILOSOFIS ILMU HADIS
Ilmu Hadis dalam Dimensi Historis
Ilmu Hadis dalam Dimensi Fiqh al-Hadis
LANDASAN EPISTEMOLOGIS ILMU HADIS
Landasan Metodologis Analisis Sanad Hadis
Landasan Metodologis Analisis Teks Hadis
BAB II KEDUDUKAN SUNNAH
MISI KERASULAN
Analisis Makna Al-Hikmah dan Pengajaran
KEWAHYUAN SUNNAH
Wahyu dalam Bentuk Ilham
Wahyu dalam Bentuk Mimpi
BATASAN MAKNA HADIS
Hadis dalam Pengertian Ahli Hadis
Hadis dalam Pengertian Ahli Ushul
BAB III KERANGKA UMUM FIQH AL-HADIS
CAKUPAN MAKNA DIRAYAH HADIS
MUSYKIL HADIS
METODE PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Ilmu Gharibu al-Hadis
Ilmu Ikhtilafu al-Hadis
KAIDAH-KAIDAH PENDUKUNG







BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pemahaman teks hadis atau fiqh al-hadis merupakan topik bahasan yang cukup populer di kalangan para fuqaha ahli hadis. Teori dan kaidah-kaidah yang mereka kembangkan dijadikan modal kerja oleh para pensyarah hadis. Kitab-kitab ulumu al-hadis yang ditulis kemudian nyaris tak memuat pembahasan tentang fiqh al-hadis. Kenyataan ini terlihat sampai ke zaman modern. Karya-karya modern di bidang ulumu al-hadis isinya hanya berkisar tentang ilmu sanad, sementara yang berhubungan dengan pemahamannya hanya sebatas disebutkan nama ilmunya.
Kata “fikih” dalam konteks ini lebih mengacu kepada makna generalnya yang berarti pemahaman terhadap agama secara keseluruhan, bukan fikih dalam makna spesifik keilmuan yang berarti pengetahuan tentang hukum islam. kata fikih ini juga dari sisi pandang epistemologis dapat dimaknai dengan Filsafat Hadis.Sesuai dengan misi Rasulullah SAW sendiri, sebagai pembawa rahmat, tuntunan hadis atau sunah merupakan faktor terciptanya kedamaian. Hadis pada sisi substansi kebenarannya merupakan bagian integral dari wahyu. Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan mengingkari kebenaran dari Allah.
Buku kecil ini merupakan sebuah upaya perumusan paradigma pemahaman hadis yang dikonstruksi dari dasar Al-Qur’an dan hadis sendiri, serta diperkaya oleh analisis filosofis generasi awal yang terserak dalam berbagai macam kitab hadis, ulum al-quran dan tafsir serta ushul fiqh.
B.  Kerangka Filosofis Ilmu Hadis
Dalam upaya mencoba merumuskan kerangka filosofis, ilmu hadis perlu dibedakan dalam dua aspek. Pertama, terdapat sejumlah ilmu hadis yang berhubungan dengan sejarah, yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad atau rijalul hadis. Kedua, ilmu hadis yang berhubungan dengan pemahaman teks atau matan hadis yang telah memenuhi validitas historisnya, atau dalam bahasan ilmu hadis disebut maqbul, sahih dan hasan.
1.    Ilmu hadis dalam dimensi historis
Ketika pertama kali hendak mempelajari ilmu hadis yang begitu luas dan beragam, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dimana titik tolak atau langkah awal kajian ilmu tersebut. Kajian ini berada dalam kapling sejarah karena yang dipelajari adalah data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah SAW dan para periwayat hadis.
Rasulullah dalam segenap kondisi dan kapasitasnya tergambar sebagai guru atau pendidik, pendakwah, dan pembimbing manusia ke jalan yang diridai Allah SWT. Secara umum, dapat digambarkan adanya Rasulullah yang ummi (tidak bisa baca-tulis) sebagai penyampai dan pensyarah Al-Qur’an, sebagai pelaku sejarah yang dikitari oleh para sahabat sebagai pengikut dan sasaran risalahnya. Tampakan sosok Rasulullah ini akan menggiring pengkaji kepada pertanyaan yang bermacam-macam bagaimana proses hadis-hadis tersebut terekam dari Rasulullah dan tersampaikan dengan baik dari generasi awal abad pertama hijriyah kepada generasi selanjutnya di abad kedua dan seterusnya.
2.    Ilmu hadis dalam dimensifiqh al-hadis
Analisis historis yang puncaknya adalah proses kritik sanad dan matan, mengantar kepada kita puluhan ribu hadis sahih atau minimal hasan. Pada proses kritik matan, sesungguhnya perhatian ahli hadis pada muatan makna hadis sudah pernah dilakukan, misalnya sebuah hadis dikatakan syadz. Analisis pada tataran komparasi historis ini belum dapat dikatakan pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Ketika misalnya ada dua hadis yang memiliki perbedaan makna sedikit saja maka pertanyaan yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya.
Penyelesaian hadis seperti ini tampaknya telah menyebabkan kaidah-kaidah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif tidak begitu berkembang. Bahasannya dalam kitab ulumul hadis hanya sebatas penertian ilmu secara umum tanpa ada uraian yang menyeluruh dan mendalam, terutama uraian langkah-langkah penyelesaiannya yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ahli hadis di masa lalu. Sepertinya, kenyataan inilah yang menyebabkan seorang pengamal hadis sangat tergantung kepada penyelesaian tarjih yang sangat kental dengan nuansa historis di dalamnya, yakni penyelesaian yang sangat terikat dengan analisis historis atau kritik sanad.
Segala hal yang berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaidah-kaidah fiqh al-hadis ini, sesungguhnya bagi seorang analisis ilmu hadis atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit untuk merumuskan kaidah-kaidah baru, semuanya sudah ada dalam khazanah masa lalu. Hanya saja kaidah-kaidah yang dimaksud tidak tersusun secara sistematis dalam sebuah kitab khusus.
Berangkat dari kegelisahan seperti inilah maka upaya sistematisasi kaidah-kaidah pemahaman hadis ini dirasa sangat mendesak. Kedua bidang kajian ilmu hadis, analisis historis dan fiqh al-hadits, sama pentingnya. Tanpa yang pertama, yang kedua justru tak dapat dilakukan. Karena ilmu hadis pada dimensi historis ini sudah cukup banyak, baik dalam bahasa aslinya maupun bahasa Indonesia, maka untuk langkah pertama lebih diutamakan pengkerangkaan bagian yang kedua, yaitu fiqh al-hadits.
C.  Landasan Epistemologis Ilmu Hadis
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan. Secara teminologis diterjemahkan dengan pengetahuan atau lebih populer dengan istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang pengetahuan, dari satu sisi merupakan bagian dari epistemologi atau filsafat pengetahuan. Setiap pengetahuan, baik ilmu (sains) atau tidak, memiliki tiga ciri dan landasan keilmuan. Pertama, landasan ontologis yang berkenaan dengan objek analisis, bagaimana wujud hakiki objek tersebut serta alat apa yang digunakan manusia dalam menangkap objek sehingga menghasilkan pengetahuan. Kedua, landasan epistemologis yang berkenaan bagaimana pengetahuan diperoleh dari objek analisis yang berbeda. Ketiga, landasan aksiologis yang membahas tentang nilai guna atau untuk tujuan apa pengetahuan tersebut serta bagaimana hubungannya dengan tatanan moral.
Hadis sebagai salah satu disiplin ilmu, dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu narasi historis dan aspek teks. Yang pertama, dalam kerangka ontologisnya (objek analisis) pengkaji berhadapan dengan fakta-fakta sejarah sebagai objek kajiannya yang dapat dibedakan, misalnya, dengan data-data kealaman atau metafisika. Sementara dalam dimensi epistemologisnya, pengkaji berhadapan dengan persoalan bagaimana data historis ini dianalisis sehingga menghasilkan sebuah bangunan pengetahuan sejarah yang memiliki tingkat kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau dalam bahasa ilmu hadis disebut sahih. Selanjutnya yang berhubungan dengan teks, setelah mendapat kualifikasi sahih, masalah yang muncul adalah bagaimana ia dapat dipahami, baik secara terpisah atau mandiri (hadis per hadis), maupun secara komparatif dan atau tematif.
1.    Landasan Metodologis Analisis Sanad Hadis
Sanad dalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang terdiri dari manusia-manusia (rawi) yang menghubungkan antara pencatat hadis dengan sumber riwayat, yaitu Rasulullah SAW, sahabat dan atau tabi’in. Kualifikasi seorang rawi berdasarkan data sejarah, ada dua aspek yang dipersoalkan. Pertama, aspek dalam analisis kebenaran sebuah informasi, yaitu kualitas intelektual perawi (dhabth). Kedua, yaitu aspek keberagamaan atau ketaatannya (‘adalah). Ketika tataran kritik hadis sudah sampai pada analisis komparatif, pembahasannya tidak lagi hanya menyangkut akurasi data-data historisnya, melainkan sudah masuk dalam proses pemahaman makna.
2.    Landasan Metodologis Analisis Teks Hadis
Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya ada beberapa asumsi dasar yang perlu digarisbawahi, yaitu:
a.       Hadis sebagai teks agama, secara filosofis teks hadis adalah teks agama yang nilai kebenarannya didasari pada iman.
b.      Kontekstual hadis, sebuah pemahaman teks hadis pada konteks tertentu, dimana dalam kondisi bagaimana Rasulullah menyampaikan berita atau bersikap.
c.       Dimensi metafisika, sebuah pendekatan rasional yang berhubungan dengan kehidupan dan amalan riil di dunia nyata.


BAB II
KEDUDUKAN SUNNAH

Bagi umat Islam kedudukan sunnah sebagai sumber utama kedua ajaran islam tidak perlu lagi diperdebatkan, karena sudah sangat jelas landasannya baik dari alquran maupun dari dasar logika. Namun demikian, diskusi tentang hal ini tidak pernah sepi. Adanya diskusi tentang ingkar sunah sudah cukup menjadi alasan untuk dikatakan bahwa memang ada orang atau pihak yang memandang sunah bukan bagian dari sumber aturan yang mengikat.
Bagi mereka, keharusan mengikuti Rasul tidak dengan sendirinya mengikuti sunah. Mengikuti rasul bisa saja bermakna mengikuti apa yang dibawa oleh rasul itu, yaitu Al-Qur’an. Berangkat dari kenyataan seperti ini, tampaknya perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap kedudukan atau otoritas sunah ini dengan merumuskan kerangka filosofisnya yang dikonstruksi dari Al-Qur’an sendiri bagaimana kedudukan sunah dalam bingkai Al-Qur’an.
A.  Misi Kerasulan
Menjawab pertanyaan tentang apa saja yang diturunkan atau disampaikan Allah kepada Rasul, dikembalikan pada pernyataan beliau sendiri dalam hadis berikut.
Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa kepadaku diberikan Kitab dan yang semisalnya (beliau mengulangi dua kali). Ketahuilah, nyaris ada orang yang sambil duduk santai di sofanya mengatakan, “Pegang teguhlah alquran, apa saja yang kamu dapati di dalamnya halal maka halalkanlah dan apa yang kamu dapati di dalamnya haram maka haramkanlah”. (HR. Ahmad)
Hadis diatas menegaskan bahwa apa yang diterima Rasulullah bukan hanya alquran, melainkan juga ada yang lain yang sebanding dengannya. Hanya saja beliau tidak menjelaskan secara tersurat apa yang beliau maksudkan dengan sesuatu yang sebanding dengan Al-Quran itu. Penjelasannya justru ditemukan dari Al-Quran itu sendiri pada surat An-nisa’ (4 : 113) yang berbunyi: ... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan Al-hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui,....
Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah tidak saja memperoleh alquran dari Allah, melainkan juga al-hikmah dan pengajaran lain yang tidak diketahuinya. Persoalan yang muncul adalah apakah al-hikmah tadi secara kumulatif dipahami sebagai Al-Qur’an itu sendiri, sehingga walaupun namanya berbeda-beda substansinya tetap satu? Melihat dilematika ini, kembali pada penegasan Rasulullah bahwa ada sesuatu yang lain selain Al-kitab. Dengan demikian, Al-Quran dan al-hikmah, walaupun tidak dapat dipisahkan, merupakan dua hal yang berbeda. Al-kitab sudah jelas termaktub dalam al-quran dan dapat dibaca, sementara al-hikmah bersifat abstrak dan tidak ada lafal yang dibaca.
Imam syafi’i sebagai tokoh fikih, berpendapat bahwa al-hikmah bukan alquran, melainkan sunah atau sunah adalah al-hikmah yang dimasukkan Allah ke dalam hati Rasulullah. Lalu kemudian, mengenai apakah teks hadis atau redaksi kebahasaan juga termasuk bagian yang berasal dari Allah?
Tugas Rasulullah jelas tersurat dalam Al-Quran, yaitu menyampaikan pesan dan tuntunan Allah SWT kepada umat manusia sebagai target sasaran dari kalam Allah tersebut. Selanjutnya adalah dari mana Rasulullah tahu dan bagaimana beliau tahu pesan-pesan Ilahiah tersebut sehingga beliau mampu menjelaskannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau seorang yang ummi-kemampuan bahasa dan sastranya-sebelum mendapat petunjuk Allah-tidak melebihi para penyair jahiliyah. Lalu, karena Al-Qur’an berbahasa Arab, seharusnya semua orang Arab tahu isi dan petunjuk kitab suci tersebut. Namun kenyataannya tak ada manusia yang dapat menjelaskan makna alquran selain Muhammad. Dari mana asal kemampuan Muhammad yang luar biasa itu? Jawabannya tak lain adalah bahwa semuanya bersumber dari Allah.
B.  Kewahyuan Sunah
Dijelaskan diatas bahwa sunah atau hadis adalah bagian yang integral dengan wahyu. Tidak menutup kemungkinan kesimpulan ini akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa. Karena itu, perlu diberi batasan yang jelas tentang makna wahyu tersebut baik secara etimologis maupun terminologisnya.
Wahyu yang disampaikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW tidak hanya Al-Quran, melainkan juga ada yang selainnya. Jika disimpulkan, macam-macam wahyu kepada Rasulullah akan terlihat sebagaimana berikut.
1.      Wahyu alquran yang seluruhnya melalui Jibril.
2.      Wahyu dalam bentuk pengajaran atau peragaan Jibril selain alquran, seperti tentang waktu shalat.
3.      Tabsyir Allah lewat mimpi yang benar, seperti mimpi penaklukan Mekkah yang secara khusus diabadikan alquran.
4.      Pendengaran dari balik hijab pada peristiwa Mikraj.
5.      Wahyu dalam bentuk alhikmah yang diturunkan langsung ke dalam hati beliau, seperti yang juga pernah diberikan Allah kepada Lukman.
Akhirnya, apa yang disampaikan Rasulullah kepada umat bukan hanya alquran, melainkan juga penjelasannya; dan semua penjelasannya itu mengandung makna dan nilai Ilahiah karena bersumber dari Tuhan. Semua yang bersumber dari Allah disebut wahyu. Hadis atau sunah yang merupakan kristalisasi dari segala bentuk penjelasan Rasulullah, meskipun secara redaksional bersumber dari beliau sendiri (hadits qauliyyah) atau dari sahabat (hadits fi’liyyah dan taqririyah), substansi kebenarannya bersifat wahyu, karena bersumber dari Allah.
C.  BATASAN MAKNA HADIS
Hadis dalam pengertian ahli hadis adalah “semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan), atau sifat, baik sifat fisikal maupun moral, ataupun sirah, sebelum menjadi nabi atau sesudahnya”. Pengertian tersebut oleh Al-Khatib, ini merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang digunakan dalam mendefinisikan hadis.
Hadis dalam pengertian ahli ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh ulama hadis adalah hadis, tetapi bagi mereka yang terpenting adalah hadis apa saja yang mengikat umat sebagai konsekuensi syahadat. Dalam rumusan ulama ushul, ada penambahan kata yakni, “semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan dalil hukum agama”.
Definisi diatas mengandung dua makna. Pertama, bahwa yang dimaksud adalah hadis Muhammad setelah menjadi nabi. Sementara sebelum menjadi nabi, tidak termasuk dalam makna hadis. Kedua, ada batasan bahwa yang digolongkan hadis adalah yang dapat dijadikan dasar hukum agama.


BAB III
KERANGKA UMUM FIQH AL-HADIS

A. CAKUPAN MAKNA (DIRAYAH HADIS)
Dirayah secara etimologi bermakna ilmu atau ma’rifah yang diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Faidhu al-qadir mendefinisikan ad-dirayah dengan ma’rifah yang diperoleh melalui analisis terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang jelas. Karena dengan dirayah seseorang akan mendapatkan al-hikmah yang tersimpan dalam riwayah. Seorang ahli hadis semestinya bukan hanya memperbanyak penulisan dan pencarian hadis, melainkan juga harus mempelajari riwayah-nya dan mengkajinya terus-menerus. Hadis seorang ahli riwayah akan ditolak atau minimal tidak dijadikan hujjah jika ia tidak ahli dirayah. Bahkan orang yang hanya mementingkan riwayah tanpa dirayah, dianggap bagian dari sufaha’ (orang-orang bodoh).
Dari pemaparan ulama diatas sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek dirayah dalam kajian ilmu hadis memiliki arti yang sangat penting dan sangat strategis. Seperti dikatakan oleh Al-Khatib, “seorang periwayat hadis semestinya tidak mencukupkan pada periwayatan hadis saja”. Kedua, mengenai dirayah dan riwayah diibaratkan apoteker yang hanya memiliki obat tanpa tahu mendiagnosis penyakit, ada juga yang diibaratkan dokter yang sekaligus seorang apoteker penyedia obat.
Karena dirayah mengandung makna pemahaman terhadap sejarah atau sanad hadis dan hadis itu sendiri sebagai teks, maka kemudian fiqh al-hadis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu riwayah.
B.  MUSYKIL HADIS
Arti istilah musykil sudah sangat jelas, yaitu ketidakjelasan yang memerlukan penjabaran dan pemahaman. Untuk mengetahui apa dan bagaimana cara penyelesaian musykil hadis perlu melakukan kegiatan intelektual yang disebut ta’wil.
C. METODE PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Penyelesaian musykil hadis tertentu pada hadis yang berkualifikasi maqbul, baik yang hasan atau sahih. Apabila terjadi ikhtilaf antara dua hadis, yang satu sahih dan yang lain dhaif, maka hadis yang dhaif tersebut tertolak dengan sendirinya dan tidak perlu dilakukan ikhtilaf al-hadits.
1.   Ilmu Gharib al-hadits
Hadis sebagai penjelasan syariat bersifat jelas, dan begitulah keadaannya pada masa Rasulullah SAW. Dari segi kebahasaan hadis diikat dengan kata-kata yang berbahasa Arab. Dalam perkembangannya bahasa Arab mengalami persentuhan dengan bahasa lain akibat akulturasi budaya dari non-Arab yang masuk Islam. Dampak persentuhan budaya ini, banyak kosakata Arab yang dulunya mudah dipahami oleh generasi awal, menjadi jarang atau tidak lagi dipakai. Kenyataan ini tidak saja berdampak pada alquran, melainkan juga pada hadis.
Menurut Ibnu Shalah, ilmu gharib al hadits adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis Nabi SAW yang sulit dipahami karena sangat jarang digunakan. Sedangkan menurut Ibnu Ja’far Al-kattani sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash-shiddieqy adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui pengertian kata-kata yang berbeda dari pengertian biasa, dan pengertian tersebut tidak mudah diperoleh, karena kata-katanya bersumber dari bahasa yang ganjil dari berbagai kabilah yang jarang digunakan.
2.   Ilmu ikhtilaf al-hadits
Ilmu ikhtilaf al-hadits ini telah dibicarakan oleh ulama terdahulu yang kemudian merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya. Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadis-hadis yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu ushu fikih. Batasan makna ini oleh para ahli mendefinisikan, terlepas dari perbedaan redaksional, mengandung pengertian atau substansi makna yang sama.
D. KAIDAH-KAIDAH PENDUKUNG
Di samping kerangka pemahaman diatas, masih ada sejumlah kaidah yang dapat memperkaya analisis dan pemahaman hadis. Di antaranya, asbab al-wurud dan kontekstualitas hadis, jawami’u al-kalim, ta’awwul al-qur’an, tafsir maudhu’i hadits, dan problematika ikhtilaf antara hadis qauliyyah dan fi’liyyah.
1.   Asbab al-wurud dan kontekstualitas hadis.
Pengertian hadis dalam konteks sabab al-wurud ini bukan hanya hadis dalam makna tutur (qauliyyah), melainkan juga aksi (fi’liyyah) dan sikap (taqririyyah). Sabab al-wurud sangat erat kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya suatu hadis. Setting ini akan memperlihatkan konteks manusia yang mendengar, melihat atau terlibat dalam penerimaan suatu hadis. Data sejarah yang berhubungan dengan ketiga hal (waktu, tempat, dan manusia) sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian ikhtilaf hadis. Karena itu, sabab al-wurud ini dipandang sebagai ilmu atau kaidah pendukung dalam fiqh hadits.
Adapun kontekstualitas hadis merupakan semua kondisi dan situasi secara umum yang memiliki hubungan yang erat dengan sejumlah hadis Rasulullah, antara lain: konteks sejarah, konteks antropologis, konteks sosio-kultural dan konteks zaman kenabian.
2.   Kaidah Jawami’uAl-kalim
Kaidah berasal dari sabda Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang artinya “ aku diutus dengan jawami’u al-kalim dan aku dibantu dengan menimbulkan rasa takut ke dalam hati musuh. Ketika tidur, diberikan padaku kunci gudang-gudang bumi dan diletakkan di atas tanganku.”
Beberapa ulama hadis mendefinisikan istilah jawami’u al-kalim dari beberapa redaksi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan jawami’u al-kalim adalah nas-nas agama, baik Al-Qur’an maupun hadis yang bersifat kulliyyah, yakni mengandung makna umum dan luas.
3.   Kaidah Ta’awwul Al-qur’an
Istilah ta’awwul al-qur’an dalam konteks pemahaman hadis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman awal islam. Istilah ini sebenarnya dikonstruksi dari istilah yang digunakan Aisyah dalam hadis tentang bacaan tasbih dalam ruku’ dan sujud Rasulullah setelah turun surat an-Nashr yang artinya “Rasulullah dalam ruku dan sujudnya banyak bertasbih dengan lafal ‘subhanaka allahumma rabbana wa bihamdika allahummagfirli’, beliau menakwilkan Al-qur’an.” Kemudian, istilah ta’awwul al-qur’an yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pendasaran atau perujukan suatu amalan kepada Al-Q. Makna inilah yang jelas terbaca dalam ungkapan Aisyah dalam hadis yang dikutip diatas.
4.   Hadis dalam pendekatan Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i sebagai salah satu metode tidak hanya berlaku pada pemahaman Al-Qur’an, melainkan juga dapat diterapkan alam pemahaman hadis. Dalam penyelesaian ikhtilaf al-hadits, terlihat bahwa antara satu dan yang lain hadis dalam upaya pemahamannya tidak dapat berdiri sendiri. Sesuai dengan definisinya, komparasi hadis hanya dilakukan pada dua hadis yang tampak berbeda makna, sementara dalam tafsir maudhu’i, pemahaman kasus tertentu dari suatu hadis dilakukan dengan upaya melibatkan seluruh hadis yang berkaitan.
5.   Ikhtilaf Dalalah Hadis Qauliyyah dan Fi’liyyah
Hadis merupakan salah satu sumber ajaran agama. Mempelajari sumber agama sangat perlu kepada ilmu tentang sumber tersebut. Ungkapan ini bermakna fiqh al-hadits, tidak dapat lepas dari ushul fikih. Ilmu ushul fikih ini sendiri pada dasarnya merupakan anak kandung ilmu Al-Qur’an dan ilmu hadis, bukan sebaliknya.
Sumber Islam sendiri ada yang bersifat qauli (kalam atau ucapan), dan ada yang sifat fi’li (perbuatan). Al-Qur’an seluruhnya bersifat qauli, yakni kalam Allah, sedangkan hadis ada yang bersifat ucapan dan ada yang berbentuk perbuatan Rasulullah yang dituturkan para sahabat. Sumber Islam memiliki kekuatan ‘dalalah’ yang berbeda, paling tinggi adalah dalalah Al-Qur’an, kemudian dalalah hadis, pendapat atau tafsiran sahabat dan tabi’in. Selanjutnya, dalalah hadis dibedakan lagi menjadi dua bagian, yaitu dalalah qauliyyah dan dalalah fi’liyyah.
Dalam pembahasan ilmu ushul fikih mewacana bahwa dalalah hadis qauliyyah lebih kuat daripada dalalah hadis fi’liyyah, karena fi’liyyah pada dasarnya tidak memilik kekuatan dalil jika tidak didukung qauliyyah. Sebagai contoh, untuk memudahkan pemahaman, misalnya tata cara shalat sebagaimana dicontohkan Rasulullah dalam hadis fi’liyyah, tidak akan menjadi dasar hukum shalat kalau tidak ada hadis qauliyyah yang berbunyi, “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.”



POHON HADIS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al-Qur’an sebagai pedoman dasar bagi umat Islam dalam menempuh hidup. Semua negara di alam dunia memerlukan Undang-Undang dan peraturan-peraturan supaya orang tidak bebas begitu saja tanpa kendali. Oleh sebab itu Al-qur’an harus dapat dipahami dengan baik, agar kebenaran dapat menjadi petunjuk dan pedoman, sehingga umat Islam tidak sesat.Kalau kita perhatikan, ada diantara ayat-ayat Al-qur’an dapat dipahami dan dapat dicerna oleh akal manusia yang disebut dengan “ma’qul” dan ada pula diantaranya yang tidak terjangkau oleh akal karena keterbatasan kemampuannya yang disebut dengan istilah “ghairu ma’qul”.[1]
Sebenarnya sebagian besar ayat-ayat Al-qur’an dapat dimasuki oleh akal, yaitu ayat-ayat yang “zhanni” dan hanya sebagian kecil saja yang tidak terjangkau oleh akal,yaitu ayat-ayat yang “qath’i”.Ayat-ayat zhanni adalah ayat-ayat yang mungkin diinterpretasikan(ditafsirkan)yang memungkinkan pengertiannya lebih dari satu-atau yang dilihat tidak hanya yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat, sedangkan ayat-ayat qath’i adalah ayat-ayat yang sudah pasti (baku pengertiannya). Sebagai contoh, ayat-ayat qath’i seperti kewajiban melakukan salat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat tersebut belum secara tersurat tata cara salat, puasa, zakat dan haji. Oleh karena itu, Nabi Saw sebagai pembawa risalah Al-qur’an memberikan pemahaman tersirat dari ayat-ayat tersebut melalui perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifatnya yang selanjutnya kita sebut sebagai hadis.
Kehadiran hadis atau yang disebut sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal-ihwal Nabi Saw hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-qur’an dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi SAW dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan dan ketulusan. Dalam praktek, di samping menjadikan Al-qur’an sebagai hujjah keagamaan, mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah SWT.[2]
Sesuai dengan latar belakang diatas, penulis mencoba untuk tidak hanya sebagai mata kuliah dalam rangka pemenuhan kurikulum pada program pascasarjana, melainkan perlu adanya kajian mendalam mengenai hadis yang dari sudut pandang filsafat dikonsepsikan tidak hanya sebagai catatan sejarah atau teks agama[3], melainkan sebagai tuntunan hidup dunia akhirat yang perlu dipahami dengan baik dan diamalkan dalam kehidupan nyata. Hal inilah yang merupakan aspek aksiologis studi hadis. Konsep dasar sebagai paradigma kerangka keilmuan studi hadis yang secara metodologis keberadaannya sangat diperlukan oleh semua bidang kajian dan ilmu. Sebuah ilmu tanpa paradigma ibarat orang yang memetik buah di ujung ranting tanpa tahu bagaimana dahan, batang, dan akarnya. Mempelajari Islam sebagai agama dan ajaran, terutama Al-qur’an dan hadis tanpa ada paradigma spesifiknya, substansi dan hakikatnya tak akan diperoleh. Melalui tulisan kecil ini, penulis mengajak rekan-rekan program non-reguler untuk mencoba mengilustrasi studi hadis sebagai sebuah pohon lengkap dengan struktur anatominya berupa akar, batang, dahan, ranting serta daunnya.
B.     RUMUSANMASALAH
1.      Bagaimana konsep dasar hadis sebagai sumber ajaran Islam?
2.      Apa praktik-praktik hadis dan sunnah sebagai ilmu pengetahuan dan sumber peradaban manusia?



BAB II
PEMBAHASAN

Sesuai dengan misi Rasulullah SAW, sebagai pembawa rahmat, tuntunan hadis atau sunnah merupakan faktor terciptanya kedamaian. Jika warisan yang didapatkan dari beliau dipahami dengan baik, kedamaian yang merupakan misi utama dari keberadaan Rasulullah SAW dapat terwujud dalam kenyataan.Sebaliknya, jika tuntunan dimaksud tidak dipahami dengan baik, maka bukan rahmat dan kedamaian yang didapat, tetapi justru pertengkaran yang membawa kepada perpecahan umat.
Hadis pada sisi substansi kebenarannya merupakan bagian yang integral dari wahyu.[4] Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan mengingkari kebenaran yang bersumber dari Allah. Akan tetapi, pada sisi historisnya, hadis tersebut sudah melalui lorong sejarah yang panjang sebelum dibukukan dalam puluhan kitab hadis sebagaimana diwarisi umat sekarang.Kapasitas intelektual, spiritual, dan lingkungan sosiopolitis serta kultural para perawi sebagai manusia yang berada pada lorong sejarah itu, tentu atau pasti memberi imbas dan dampak positif atau negatif kepada riwayat-riwayat yang melewati mereka.Untuk mengetahui keberadaan hadis Nabi tersebut diperlukan sebuah ilmu, yang disebut dengan ilmu hadis atau studi hadis.
A.    PENGERTIAN ILMU HADIS DAN CABANG-CABANGNYA
1.      Pengertian Ilmu Hadis
Yang dimaksud dengan ilmu hadis, menurut ulama mutaqaddimin adalah:
علم يبحث فيه عن كيفية اتصال الاحاديث بالرسول ص م من حيث معرفة احوال رواتها ضبطاوعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالاوانقطاعا                                                      
ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW dari segi hal-ihwal para perawinya, kedhabitan, ke’adilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya”.[5]
Pada perkembangan selanjutnya, oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadis ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.[6]
a.       Ilmu hadis riwayah berkenaan dengan riwayat hadis yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan, dan sebagainya. Secara bahasa ilmu ini berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan. Para ulama mendefinisikan ilmu hadis riwayah ini sebagai berikut.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan ilmu hadis riwayah sebagai berikut:
هُوالعلمُ الذي يقُومُ على نقلِ ما أُضيفُ إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قولٍ أوفعلٍ أوصفة
 خَلقِيّةً أوخُلُقِيّةً نَقلا دقيقا مُحرَرا
Yaituilmu yang mengkaji pengutipan secara cermat dan akurat segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik dan non-fisik.[7]
Ibn al-Akfani sebagaimana dikutip al-Suyuthi[8] menyatakan bahwa definisi ilmu hadis riwayah adalah:
علم يشتمل على اقوال النبى ص م وافعاله وروايتها وضبتها وتحرير الفاضها
ilmu pengetahuan yang mencakup (pembahasan) tentang perkataan-perkataan Nabi SAW, dan perbuatan-perbuatannya, periwayatan dan pemeliharaannya, serta penguraian lafal-lafalnya”.[9]
Obyek ilmu hadis riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan. Dalam menyampaikan dan membukukan hadis hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan hadis.Adapun faedah mempelajari ilmu hadis riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi SAW.[10]
b.      Ilmu hadis Dirayah berkenaan dengan kaidah-kaidah dan asas-asas yang dapat digunakan untuk mengetahui dan mengkaji keberadaan sanad dan matan. Muhammad Mahfuzh al-Tirmisi dalam kitabnya Manhaj Dzawi al-Nazhar, mendefinisikan ilmu hadis dirayah dengan:
undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan”.[11]
Al-Suyuthi, mengutip pendapat Ibn al-Akfani, mendefinisikan ilmu hadis dirayah dengan:
علم الحديث الخاص بالدراية: علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وأنواعها وأحكامها
 وحال الرواةوشروطهم وأصناف المرويات ومايتعلق بها
ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para periwayat hadis dan syarat-syarat mereka serta macam-macam hadis yang mereka riwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.[12]
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathibdengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan periwayat danyang diriwayatkan dari segi diterima atau ditolaknya, dengan uraian sebagai berikut:
1)      Al rawi (periwayat) adalah orang yang memindahkan hadis, sedangkan al marwiy (yang diriwayatkan) adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau yang lain seperti Sahabat, Tabi’in dan lain-lain.
2)      Keadaan periwayat dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaannya dari segi “jarh” (kualifikasi negatif) dan “ta’dil” (kualifikasi positif), “tahammul” (penerimaan hadis) dan “adda’” (penyampaian hadis), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemindahan hadis.[13]
Objek kajian ilmu hadis dirayah adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Adapun puncak dari ilmu hadis dirayah adalah mengetahui mana yang diterima dan mana yang ditolak dari hadis-hadis Nabi SAW. Ilmu hadis dirayah adalah mizan bagi hadis riwayah sebanding ushul bagi ilmu fiqh, mantiq bagi ilmu tauhid, balaghah bagi bahasa Arab. Di masa dahulu dinamai Ulum al Hadis dan Ushul al-Hadis. Ilmu ini timbul bersama-sama dengan hadis riwayah semenjak dari lahir periwayatan hadis, walaupun ketika itu masih tersebar belum dibukukan secara teratur.
2.      Cabang-cabang ilmu hadis
Ilmu hadis riwayah dan dirayah ini pada perkembangannya, muncul cabang-cabang ilmu hadis lainnya, antara lain sebagai berikut.[14]
a.    Ilmu Rijal al-Hadis
علم يبحث فيه عن رواة الحد يث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadis, baik dari sahabat, dari tabi`in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.
Ilmu Rijal al-Hadis merupakan jenis ilmu hadis yang sangat penting karena mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal (tokoh-tokoh) yang membentuk sanad merupakan para perawinya. Mereka yang menjadi obyek ilmu Rijal al-Hadis, yang membentuk satu di antara dua penyusun ilmu hadis. Ilmu Rijal al-Hadis terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu ilmu Tarikh ar-Ruwat dan ilmu Jarh Wa at-Ta’dil.[15]
1)   Ilmu Tarikh ar-Ruwat
العلم الذي يعرف برواة الحد يث من الناحية التي تتعلق بروايتهم للحديث
Yaitu ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadis dari aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut.
2)   Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil
العلم الذي يبحث في احوال الرواة من حيث قبول رواياتهم او ردها
Yaitu ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil merupakan ilmu hadis yang terpenting dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini, dapat dibedakan yang shahih dari yang cacat, yang diterima dari yang ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat hukum yang berbeda-beda.
Jadi ilmu Rijal al-Hadis mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah kelahiran, wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya (belajarnya) dari mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya ke negeri-negeri yang berbeda-beda, masa belajarnya sebelum ataupun sesudah mengalami kekacauan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan erat dengan persoalan-persoalan hadis.
b.   Ilmu Fann al-Mubhamat
علم يعرف به المبهم الذي وقع فى المتن او فى السند
Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad.[16]
Misalnya perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
c.    Ilmu Mukhtalif al-Hadis
العلم الذي يبحث في الاحاد يث التي ظاهر ها متعا رض فيز يل تعا رضها اويوفق بينها كما
 يبحث في الاحاد يث التي يشكل فهمها او تصورها فيد فع اشكا لها ويو ضح حقيقتها
Yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis secara lahiriah saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas hadis-hadis yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Ilmu Mukhtalif al-Hadis termasuk salah satu dari ilmu-ilmu hadis yang sangat diperlukan oleh para Muhadditsin, fuqaha dan lainnya. Obyek dari ilmu ini adalah hadis-hadis yang saling berlawanan itu untuk dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya maupun dengan mengkhususkan (takhshis) keumumannya.
d.   Ilmu ‘Ilalil Hadits
علم يبحث عن اسباب غا مضة خفية قاد جة في صحة الحد يث
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadis.
Yakni menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu. Ilmu ini berpautan dengan keshahihan hadis. Penyakit-penyakit hadis tidak dapat diketahui, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan hadis. Di antara ulama yang menulis ilmu ini adalah Ibnu al-Madiny (234 H), Ibnu Abi Hatim (327 H) kitab beliau sangat baik, dinamai kitab ‘Ilal al-Hadits, Imam Muslim (261 H), Ad-Daruquthny (375 H) dan Muhammad ibn Abdillah al-Hakim.
e.    Ilmu Gharib al-Hadits
علم يعرف به معنى ما وقع فى متون الا حاد يث من الالفاظ العر بية عن أذهان الذ ين بعد
 عهد همبالعر بية الخا لصة
Yaitu ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi’in pada tahun 150 H, bahasa Arab yang tinggi mulai tidak diketahui lagi oleh masyarakat umum, hanya beberapa saja orang mengetahuinya. Oleh karena itu, para ahli berusaha mengumpulkan kata-kata yang dipandang tidak dapat dipahami oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mensyarahkannya.
Contoh matan hadis Gharib yang ditafsirkan dengan hadis bersanad lain, seperti sebuah hadis Muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra tentang Ibnu Shayyad katanya:
...قال النبي ص م: اني خبأت لك خبيئا, فماذا؟ قال ابن صيا د: هو الدخ! قال النبي ص م: إخسأ!
فلن تعد و قدرك ...الحد يث
“Nabi SAW bersabda: “saya menyimpan sesuatu untukmu, apa itu?” sahut Ibnu Shayyad. Yaitu asap”. “salah!” kata Nabi SAW, “kamu tidak akan lepas secepat perkiraanmu”.
Lafadz ad-dukhkhu dalam hadis tersebut adalah lafadz yang gharib. Menurut uraian yang dikemukakan oleh Al-Jauhari, lafadz dukhkhu tersebut berarti asap (menurut pengertian bahasa), tetapi menurut pendapat lain berarti tumbuh-tumbuhan, bahkan sebagian orang mengartikannya dengan jima’.
Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, kita berusaha mencari sanad selain sanad Bukhari-Muslim, ternyata kita dapati di dalam pen-takhrij-an Abu Dawud dan At-Turmudzy yang bersanadkan Az-Zuhri, Salim dan Ibnu Umar ra memberikan penafsiran terhadap ke-gharib-annya. Kata Ibnu Umar ra:
...إ ن النبي ص م خبأ له (يوم تأتى السماء بدخا ن مبين) فأدرك ابن صيا د البعض على عادة
الكهان فى اختطاف بغض الشيئ من الشيا طين من غير وقوف على تمام البيان, فقال: هو الدخ.
“...Suatu ketika Nabi SAW menyembunyikan untuk Ibnu Shayyad, ayat: “Tunggulah sampai langit mengepulkan asapnya yang nyata”. Lalu Ibnu Shayyad mendapatkan suatu alat yang biasa dipakai tukang-tukang tenung untuk mendapat sesuatu dengan perantaraan setan-setan dan tanpa berfikir panjang lagi ia menjawab: “Itulah asap...!”
Dengan bantuan dari hadis Abu Dawud dan At-Turmudzy tersebut, maka lafadz ad-dukhkhu itu dapat diketahui artinya, yaitu asap.
f.    Ilmu Nasikh Mansukh Hadits
علم يبحث فيه عن النا سخ والمنسوخ من الحد يث
Yaitu ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadis yang maqbul, tidak ada perlawanan, dinamailah hadis tersebut muhkam. Jika dilawan oleh hadis yang sederajat, tetapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadis tersebut dinamai mukhtalif al-hadits. Jika tidak mungkin dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
g.   Ilmu Asbab Al-Wurud
علم يعرف به السبب الذي ورد لاجله الحد يث والزما ن الذي جاء فيه
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi SAW menuturkan itu23.
Seperti di dalam Al-Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-Nuzul, di dalam Ilmu hadis ada Ilmu Asbab Wurud al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
h.   Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
علم يبحث فيه عما اصطلح عليه المحد ثون وتعا رفوه فيما بينهم
Yaitu ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli Hadis.
B.     HADIS DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER ILMU PENGETAHUAN DAN PERADABAN
1.      Hadis dan Sunnah Sebagai Ilmu Pengetahuan
Hadis dan sunnah –setelah Al-Qur’an- adalah sumber fikih dan syariat. Ia juga adalah sumber dakwah dan tuntunan hidup. Demikian juga, ia adalah sumber pengetahuan bagi umat Islam (pengetahuan agama, kemanusiaan, dan sosial) yang dibutuhkan oleh manusia, sebagai petunjuk jalan bagi mereka, atau meluruskan langkah mereka. Atau juga untuk menyempurnakan ilmu yang telah mereka miliki.
Pengetahuan pokok yang kita dapatkan dari hadis bukanlah pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan yang terus berkembang saat ini, yang dapat diteliti dan dilakukan percobaan atasnya.Tentang hal ini dapat dicapai manusia dengan percobaan dan kekeliruan (trial and error) secara terus-menerus.
Tentang konsep itu, telah kita dapati pula dari sunnah, yaitu tentang urusan-urusan teknis duniawi, kita harus mengandalkan –setelah berdo’a dan meminta kepada Allah- kemampuan dan usaha kita, serta upaya akal kita. Tidak semestinya kita meminta agar wahyu mengajarkan bagaimana menanam, berindustri, berobat, dan sebagainya.Wahyu tidak mengajarkan teknik dan prosedur, melainkan mengajarkan konsep-konsep dasar, nilai, dan aturan-aturan yang harus dipatuhi.[17]
Sedangkan selain itu, yang berkaitan dengan urusan duniawi yang terus berubah, itu semua diberikan wewenang kepada kita untuk mengaturnya. Jika sebagian orang ada yang memasukkan hadis-hadis shahih dalam syariat, walaupun sebenarnya ia bukan bagian dari syariat, demikian juga ada orang yang melakukan hal yang sama dalam masalah ilmu pengetahuan, seperti hadis-hadis yang berkaitan dengan kesehatan.
Sebagai contoh, terdapat beberapa hadis masalah ibadah, muamalah, kesehatan sebagai berikut.
للحىاعفواواحفواالشوارب
Artinya:
Guntinglah kumis dan biarkan jenggotmu”.[18]
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim, At-Turmudzi, An-Nasai dari Ibnu Umar bin Khattab dan oleh Ibnu Adi dari Abu Hurairah, oleh At-Thahawi dari Anas bin Malik dengan tambahan di akhirnya (artinya) : “jangan kalian menyerupai Yahudi. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari Ibnu Umar, dengan didahului di awalnya (artinya) : “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik”.
Asbabul wurudnya, Ibnu Najar menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah berkata : “Seorang utusan telah menghadap Rasululah SAW yang kumisnya dibiarkan memanjang dan jenggotnya dipotong. Seperginya orang tersebut Rasulullah bersabda : “berbedalah kalian dengan mereka, gunting kumismu dan biarkan jenggotmu”.
Al-Bazar dari Aisyah meriwayatkan : “Rasulullah telah melihat seseorang yang kumisnya panjang. Kemudian beliau berkata : “berikan kepadaku sikat gigi (siwak) dan gunting”. Sikat beliau letakkan diujung kumis orang tersebut, dan bagian yang memanjang beliau gunting.
Keterangan :
Perintah Rasulullah ini bisa menunjukkan sunah atau wajib, sehingga Imam Syafi’i berpendapat mencukur (gundul) kumis hukumnya makruh.Hanafi dan Hanbali berpendapat mencukur semuanya sunah.Rasulullah SAW menjaganya agar tidak melebar atau memanjang.[19]
الزوجعنداخظىوللوجهنضرافانهتننحكىولااخفضى
Artinya :
Pendekkan, jangan kau rusak sebab khitan itu dapat mempercantik wajah dan lebih menikmatkan senggama”.[20]
Hadis ini diriwayatkan oleh At Thabrani dalam “Al Kabir”, oleh Al Hakim dari Ad Dhuhak Al Fahri. Asbabul wurud hadis : Ad Dhuhak bin Qais meriwayatkan : “Di Madinah ada seorang wanita yang biasa dipanggil Ummu ‘Athiyah akan mengkhitan anak tetangga. Bersabdalah Rasulullah kepadanya : “Pendekkan … dan seterusnya”.
Kata Al Hafizh Ibnu Hajar, hadis ini mempunyai dua thuruq (jalur hadis) keduanya dhaif sebagaimana di dhaifkan Al Hafizh Al Iraqi. Menurut Al Mundzir tidak ada khabar atau sunnah Rasul yang bias dijadikan dasar untuk khitan wanita, demikian pula pendapat Al Munawi dalam “Al Jami’us Shaghiir”.
Keterangan :
Laa tanhikii” maksudnya jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang akan dikhitan. Hikmah daripada khitan diantaranya dapat mempercantik wajah, menambah kenikmatan senggama.[21]
Perhatian sunnah Nabi –setelah Al-Qur’an- terhadap ilmu pengetahuan baik berkaitan dengan muamalah, tuntunan, kesehatan manusia berikut kekuatan bada serta jiwanya, sangatlah mengagumkan. Kemudian setelah itu muncul berbagai macam faham dan pengetahuan dalam masalah ini yang dianggap sebagai kekayaan berharga bagi setiap orang yang menilai manusia sebagaimana mestinya.
2.      Hadis dan Sunnah sebagai Sumber Peradaban
Sesungguhnya Islam sejak pertama kali datang telah membawa misi peradaban yang tidak diragukan lagi.Tujuannya, meningkatkan mutu kehidupan manusia dan mengeluarkannya dari kekolotan menuju kehidupan yang maju.[22]Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang.Dari kegelapan dengan segala macam bentukdan tingkatannya, menuju cahaya dengan berbagai macam bentuk dan tingkatannya.
Di antara yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah adalah yang kita sebut dengan “kesadaran peradaban” dengan istilah yang lebih dekat dengan Islam “fikih peradaban”. Awal dari objek ini (fikih ayat dan sunnah) adalah mengetahui ayat-ayat Allah di alam semesta dan dalam diri manusia,juga Sunnatullah di dalam alam dan masyarakat.
Ilmu ini tidak berjalan dan bergerak serampangan, melainkan segala sesuatu di dalamnya harus dengan pertimbangan, dan setiap perkembangan di dalamnya harus sesuai dengan ketentuan. Itulah yang dinamakan oleh Al-Qur’an sebagai sunnah, baik itu sunnah kauniah ataupun sunnah ijtima’iyah (sosial).
Salah satu dari ajaran fikih peradaban ini adalah apa yang disebut fikih ma’rifah, adalah fikih yang didasarkan atas pengetahuan dan nilai-nilai yang tinggi, fondasi-fondasi yang kokoh, yang dibawa oleh Islam dalam pembenukan akar ilmu pengetahuan (ma’rifat), atau dalam pembentukan akar ilmu. Ini karena, kata itu adalah istilah yang dipakai Islam yang telah banyak dikenal dalam bidang ini. Juga banyak nash dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang suci mengenai masalah ini : dalam penjelasan keutamaannya, pujian kepada ahlinya, dorongan untuk mencarinya, menambah ilmunya, terus mempelajarinya, bersaing dalam mendapatkannya, keterangan tentang kedudukan orang yang mempelajarinya, keutamaan orang yang mengajarkannya, adab-adabnya, sampai yang terakhir kali diajak oleh Al-Qur’an untuk memperhatikannya, dan diperinci oleh hadis-hadis Rasulullah yang mulia.
















BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Ilmu Hadis mencakup dua objek kajian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah (`Ilm al Hadits Riwayah) dan Ilmu Hadis Dirayah (`Ilm al HaditsDirayah). Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah sabda, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi SAW, dipandang dari sudut pengutipannya secara cermat dan akurat. Objek kajian ilmu hadis dirayah adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah: 1) ilmu Rijal al-Hadits, 2) ilmu Jarh wa At-Ta’dil, 3) ilmu Tarikh ar-Ruwat, 4) ilmu Fann al-Mubhamat, 5) ilmu Mukhtalif al-Hadits, 6) ilmu ‘ilal al-Hadits, 7) ilmu Gharib al-Hadits, 8) ilmu Nasikh Mansukh al-Hadits, 9) ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits, dan 10) ilmu Mushthalah al-Hadits.
B.     SARAN
Penulis sadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat latar belakang penulis dari pendidikan umum tentunya sedang belajar menyesuaikan dengan lingkungan civitas akademika, oleh karenanya kritik, masukan dan saran yang membangun akan sangat diharapkan.











DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan, Studi Islam Alquran dan Assunnah. (PT. Raja Grafindo, Jakarta: 2000)
Dr. HM. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al Sunnah. (Kencana Prenada, Jakarta: 2003)
Dr. H. Danil Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. (Erlangga. Jakarta: 2010)
Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1. (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998)
Dr. Idri, M.Ag. Studi Hadis. (Jakarta: Kencana Prenada, 2010)
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits.(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Drs. Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo, 1996)
Muhammad Mahfuzh al-Tirmisi.Manhaj Dzawi Al-Nazhar. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)
Endang Soetari, Ilmu Hadits. (Bandung: Amal Bakti Press, 1997)
DR. Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. (Jakarta : Gema Insani Press, 1998)
Ibnu Hamzah Al Husaini, Asbabul Wurud.




[1]M. Ali Hasan, Studi Islam Alquran dan Assunnah. (PT. Raja Grafindo, Jakarta: 2000) hal. 163
[2]Dr. HM. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al Sunnah. (Kencana Prenada, Jakarta: 2003) hal. 3
[3]Dr. H. Danil Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. (Erlangga.Jakarta: 2010) hal. x
[4]Ibid, hal x
[5]Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1. (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 5-6
[6]Dr. Idri, M.Ag. Studi Hadis. (Jakarta: Kencana Prenada, 2010), hal. 58
[7]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits.(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) hal. 7
[8]Nama lengkapnya adalah Imam Jalal al-Din ‘Abd Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyuthi yang lahir pada tahun 849 di As-yuth, daerah sebelah barat sungai Nil. Ia meninggal pada tahun 911H. Lihat biografi singkatnya dalam mukaddimah pentahqiq: ‘Abd al-Wahab Abd al-Lathif, dalam Al-Suyuthi. Hal 10-13.
[9]Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1. (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 5-6
[10]Drs. Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 25
[11]Muhammad Mahfuzh al-Tirmisi.Manhaj Dzawi Al-Nazhar.(Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hal. 5
[12]Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1. (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 40
[13]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits.(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) hal. 8
[14]Drs. Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 30
[15]Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, Ushul Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) hal.227
[16] Endang Soetari, Ilmu Hadits. (Bandung: Amal Bakti Press, 1997) hal. 215
[17]DR. Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. (Jakarta : Gema Insani Press, 1998) hal. 149
[18]Ibnu Hamzah Al Husaini, Asbabul Wurud. hal. 60
[19]Ibnu Hamzah Al Husaini, Asbabul Wurud. hal. 60
[20]Ibid, hal. 63
[21]Ibid, hal. 63
[22]DR. Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. (Jakarta : Gema Insani Press, 1998) hal. 368