Pengikut
Senin, 13 April 2015
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
foto weding
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
studi Hadits
LATAR
BELAKANG MASALAH
KERANGKA
FILOSOFIS ILMU HADIS
Ilmu
Hadis dalam Dimensi Historis
Ilmu
Hadis dalam Dimensi Fiqh al-Hadis
LANDASAN
EPISTEMOLOGIS ILMU HADIS
Landasan
Metodologis Analisis Sanad Hadis
Landasan
Metodologis Analisis Teks Hadis
BAB
II KEDUDUKAN SUNNAH
MISI
KERASULAN
Analisis
Makna Al-Hikmah dan Pengajaran
KEWAHYUAN
SUNNAH
Wahyu
dalam Bentuk Ilham
Wahyu
dalam Bentuk Mimpi
BATASAN
MAKNA HADIS
Hadis
dalam Pengertian Ahli Hadis
Hadis
dalam Pengertian Ahli Ushul
BAB
III KERANGKA UMUM FIQH AL-HADIS
CAKUPAN
MAKNA DIRAYAH HADIS
MUSYKIL
HADIS
METODE
PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Ilmu
Gharibu al-Hadis
Ilmu
Ikhtilafu al-Hadis
KAIDAH-KAIDAH
PENDUKUNG
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman teks
hadis atau fiqh al-hadis merupakan
topik bahasan yang cukup populer di kalangan para fuqaha ahli hadis. Teori dan
kaidah-kaidah yang mereka kembangkan dijadikan modal kerja oleh para pensyarah
hadis. Kitab-kitab ulumu al-hadis
yang ditulis kemudian nyaris tak memuat pembahasan tentang fiqh al-hadis. Kenyataan ini terlihat sampai ke zaman modern.
Karya-karya modern di bidang ulumu
al-hadis isinya hanya berkisar tentang ilmu sanad, sementara yang
berhubungan dengan pemahamannya hanya sebatas disebutkan nama ilmunya.
Kata “fikih”
dalam konteks ini lebih mengacu kepada makna generalnya yang berarti pemahaman
terhadap agama secara keseluruhan, bukan fikih dalam makna spesifik keilmuan
yang berarti pengetahuan tentang hukum islam. kata fikih ini juga dari sisi
pandang epistemologis dapat dimaknai dengan Filsafat Hadis.Sesuai dengan misi Rasulullah
SAW sendiri, sebagai pembawa rahmat, tuntunan hadis atau sunah merupakan faktor
terciptanya kedamaian. Hadis pada sisi substansi kebenarannya merupakan bagian
integral dari wahyu. Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan
mengingkari kebenaran dari Allah.
Buku kecil ini merupakan sebuah upaya perumusan paradigma pemahaman
hadis yang dikonstruksi dari dasar Al-Qur’an dan hadis sendiri, serta diperkaya
oleh analisis filosofis generasi awal yang terserak dalam berbagai macam kitab
hadis, ulum al-quran dan tafsir serta
ushul fiqh.
B. Kerangka Filosofis Ilmu Hadis
Dalam upaya
mencoba merumuskan kerangka filosofis, ilmu hadis perlu dibedakan dalam dua
aspek. Pertama, terdapat sejumlah ilmu hadis yang berhubungan dengan sejarah,
yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan sanad atau rijalul hadis. Kedua, ilmu hadis yang berhubungan dengan pemahaman
teks atau matan hadis yang telah memenuhi validitas historisnya, atau dalam
bahasan ilmu hadis disebut maqbul, sahih dan hasan.
1.
Ilmu hadis dalam dimensi historis
Ketika pertama
kali hendak mempelajari ilmu hadis yang begitu luas dan beragam, tindakan
pertama yang harus dilakukan adalah menentukan dimana titik tolak atau langkah
awal kajian ilmu tersebut. Kajian ini berada dalam kapling sejarah karena yang
dipelajari adalah data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah SAW dan
para periwayat hadis.
Rasulullah
dalam segenap kondisi dan kapasitasnya tergambar sebagai guru atau pendidik,
pendakwah, dan pembimbing manusia ke jalan yang diridai Allah SWT. Secara umum,
dapat digambarkan adanya Rasulullah yang ummi
(tidak bisa baca-tulis) sebagai penyampai dan pensyarah Al-Qur’an, sebagai pelaku
sejarah yang dikitari oleh para sahabat sebagai pengikut dan sasaran
risalahnya. Tampakan sosok Rasulullah ini akan menggiring pengkaji kepada
pertanyaan yang bermacam-macam bagaimana proses hadis-hadis tersebut terekam
dari Rasulullah dan tersampaikan dengan baik dari generasi awal abad pertama
hijriyah kepada generasi selanjutnya di abad kedua dan seterusnya.
2.
Ilmu hadis dalam dimensifiqh
al-hadis
Analisis
historis yang puncaknya adalah proses kritik sanad dan matan, mengantar kepada
kita puluhan ribu hadis sahih atau minimal hasan. Pada proses kritik matan,
sesungguhnya perhatian ahli hadis pada muatan makna hadis sudah pernah
dilakukan, misalnya sebuah hadis dikatakan syadz.
Analisis pada tataran komparasi historis ini belum dapat dikatakan pemahaman
hadis secara luas dan menyeluruh. Ketika misalnya ada dua hadis yang memiliki perbedaan
makna sedikit saja maka pertanyaan yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat
sanadnya.
Penyelesaian
hadis seperti ini tampaknya telah menyebabkan kaidah-kaidah penyelesaian
hadis-hadis mukhtalif tidak begitu
berkembang. Bahasannya dalam kitab ulumul
hadis hanya sebatas penertian ilmu secara umum tanpa ada uraian yang menyeluruh
dan mendalam, terutama uraian langkah-langkah penyelesaiannya yang sesuai
dengan apa yang dilakukan oleh para ahli hadis di masa lalu. Sepertinya,
kenyataan inilah yang menyebabkan seorang pengamal hadis sangat tergantung
kepada penyelesaian tarjih yang
sangat kental dengan nuansa historis di dalamnya, yakni penyelesaian yang
sangat terikat dengan analisis historis atau kritik sanad.
Segala hal yang
berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaidah-kaidah fiqh al-hadis ini, sesungguhnya bagi seorang analisis ilmu hadis
atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit untuk
merumuskan kaidah-kaidah baru, semuanya sudah ada dalam khazanah masa lalu.
Hanya saja kaidah-kaidah yang dimaksud tidak tersusun secara sistematis dalam
sebuah kitab khusus.
Berangkat dari kegelisahan seperti inilah maka upaya sistematisasi
kaidah-kaidah pemahaman hadis ini dirasa sangat mendesak. Kedua bidang kajian
ilmu hadis, analisis historis dan fiqh al-hadits, sama pentingnya. Tanpa yang pertama, yang kedua justru tak dapat
dilakukan. Karena ilmu hadis pada dimensi historis ini sudah cukup banyak, baik
dalam bahasa aslinya maupun bahasa Indonesia, maka untuk langkah pertama lebih diutamakan
pengkerangkaan bagian yang kedua, yaitu fiqh
al-hadits.
C. Landasan Epistemologis Ilmu Hadis
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme
yang berarti pengetahuan. Secara teminologis diterjemahkan dengan pengetahuan
atau lebih populer dengan istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu, sebagai salah
satu cabang pengetahuan, dari satu sisi merupakan bagian dari epistemologi atau
filsafat pengetahuan. Setiap pengetahuan, baik ilmu (sains) atau tidak,
memiliki tiga ciri dan landasan keilmuan. Pertama, landasan ontologis yang
berkenaan dengan objek analisis, bagaimana wujud hakiki objek tersebut serta
alat apa yang digunakan manusia dalam menangkap objek sehingga menghasilkan
pengetahuan. Kedua, landasan epistemologis yang berkenaan bagaimana pengetahuan
diperoleh dari objek analisis yang berbeda. Ketiga, landasan aksiologis yang membahas
tentang nilai guna atau untuk tujuan apa pengetahuan tersebut serta bagaimana
hubungannya dengan tatanan moral.
Hadis sebagai
salah satu disiplin ilmu, dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu narasi
historis dan aspek teks. Yang pertama, dalam kerangka ontologisnya (objek
analisis) pengkaji berhadapan dengan fakta-fakta sejarah sebagai objek
kajiannya yang dapat dibedakan, misalnya, dengan data-data kealaman atau
metafisika. Sementara dalam dimensi epistemologisnya, pengkaji berhadapan
dengan persoalan bagaimana data historis ini dianalisis sehingga menghasilkan
sebuah bangunan pengetahuan sejarah yang memiliki tingkat kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau dalam bahasa ilmu hadis disebut
sahih. Selanjutnya yang berhubungan dengan teks, setelah mendapat kualifikasi
sahih, masalah yang muncul adalah bagaimana ia dapat dipahami, baik secara
terpisah atau mandiri (hadis per hadis), maupun secara komparatif dan atau
tematif.
1.
Landasan Metodologis Analisis Sanad Hadis
Sanad dalam pemahaman sederhana adalah mata rantai sejarah yang
terdiri dari manusia-manusia (rawi) yang menghubungkan antara pencatat hadis
dengan sumber riwayat, yaitu Rasulullah SAW, sahabat dan atau tabi’in.
Kualifikasi seorang rawi berdasarkan data sejarah, ada dua aspek yang
dipersoalkan. Pertama, aspek dalam analisis kebenaran sebuah informasi, yaitu
kualitas intelektual perawi (dhabth).
Kedua, yaitu aspek keberagamaan atau ketaatannya (‘adalah). Ketika tataran kritik hadis sudah sampai pada analisis
komparatif, pembahasannya tidak lagi hanya menyangkut akurasi data-data
historisnya, melainkan sudah masuk dalam proses pemahaman makna.
2.
Landasan Metodologis Analisis Teks Hadis
Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral
yang terkandung di dalamnya ada beberapa asumsi dasar yang perlu digarisbawahi,
yaitu:
a.
Hadis sebagai teks agama, secara filosofis teks hadis adalah teks
agama yang nilai kebenarannya didasari pada iman.
b.
Kontekstual hadis, sebuah pemahaman teks hadis pada konteks
tertentu, dimana dalam kondisi bagaimana Rasulullah menyampaikan berita atau
bersikap.
c.
Dimensi metafisika, sebuah pendekatan rasional yang berhubungan
dengan kehidupan dan amalan riil di dunia nyata.
BAB
II
KEDUDUKAN
SUNNAH
Bagi umat Islam kedudukan sunnah sebagai sumber utama kedua ajaran
islam tidak perlu lagi diperdebatkan, karena sudah sangat jelas landasannya
baik dari alquran maupun dari dasar logika. Namun demikian, diskusi tentang hal
ini tidak pernah sepi. Adanya diskusi tentang ingkar sunah sudah cukup menjadi
alasan untuk dikatakan bahwa memang ada orang atau pihak yang memandang sunah
bukan bagian dari sumber aturan yang mengikat.
Bagi mereka,
keharusan mengikuti Rasul tidak dengan sendirinya mengikuti sunah. Mengikuti
rasul bisa saja bermakna mengikuti apa yang dibawa oleh rasul itu, yaitu Al-Qur’an.
Berangkat dari kenyataan seperti ini, tampaknya perlu dilakukan kajian lebih
lanjut terhadap kedudukan atau otoritas sunah ini dengan merumuskan kerangka
filosofisnya yang dikonstruksi dari Al-Qur’an sendiri bagaimana kedudukan sunah
dalam bingkai Al-Qur’an.
A. Misi Kerasulan
Menjawab
pertanyaan tentang apa saja yang diturunkan atau disampaikan Allah kepada
Rasul, dikembalikan pada pernyataan beliau sendiri dalam hadis berikut.
Rasulullah
bersabda, “Ketahuilah bahwa kepadaku diberikan Kitab dan yang semisalnya
(beliau mengulangi dua kali). Ketahuilah, nyaris ada orang yang sambil duduk
santai di sofanya mengatakan, “Pegang teguhlah alquran, apa saja yang kamu
dapati di dalamnya halal maka halalkanlah dan apa yang kamu dapati di dalamnya
haram maka haramkanlah”. (HR. Ahmad)
Hadis diatas
menegaskan bahwa apa yang diterima Rasulullah bukan hanya alquran, melainkan
juga ada yang lain yang sebanding dengannya. Hanya saja beliau tidak
menjelaskan secara tersurat apa yang beliau maksudkan dengan sesuatu yang
sebanding dengan Al-Qur’an
itu. Penjelasannya justru ditemukan dari Al-Qur’an
itu sendiri pada surat An-nisa’ (4 : 113) yang berbunyi: ... Dan (juga karena)
Allah telah menurunkan Kitab dan Al-hikmah kepadamu dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui,....
Ayat ini
menegaskan bahwa Rasulullah tidak saja memperoleh alquran dari Allah, melainkan
juga al-hikmah dan pengajaran lain
yang tidak diketahuinya. Persoalan yang muncul adalah apakah al-hikmah tadi secara kumulatif dipahami
sebagai Al-Qur’an itu sendiri, sehingga walaupun namanya berbeda-beda
substansinya tetap satu? Melihat dilematika ini, kembali pada penegasan
Rasulullah bahwa ada sesuatu yang lain selain Al-kitab.
Dengan demikian, Al-Qur’an
dan al-hikmah, walaupun tidak dapat dipisahkan, merupakan dua hal yang berbeda.
Al-kitab sudah jelas termaktub dalam al-quran dan dapat dibaca, sementara al-hikmah bersifat abstrak dan tidak ada
lafal yang dibaca.
Imam syafi’i
sebagai tokoh fikih, berpendapat bahwa al-hikmah
bukan alquran, melainkan sunah atau sunah adalah al-hikmah yang dimasukkan Allah ke dalam hati Rasulullah. Lalu
kemudian, mengenai apakah teks hadis atau redaksi kebahasaan juga termasuk
bagian yang berasal dari Allah?
Tugas Rasulullah jelas tersurat dalam Al-Qur’an,
yaitu menyampaikan pesan dan tuntunan Allah SWT kepada umat manusia sebagai
target sasaran dari kalam Allah tersebut. Selanjutnya adalah dari mana
Rasulullah tahu dan bagaimana beliau tahu pesan-pesan Ilahiah tersebut sehingga
beliau mampu menjelaskannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa beliau seorang yang
ummi-kemampuan bahasa dan sastranya-sebelum mendapat petunjuk Allah-tidak
melebihi para penyair jahiliyah. Lalu, karena Al-Qur’an berbahasa Arab,
seharusnya semua orang Arab tahu isi dan petunjuk kitab suci tersebut. Namun
kenyataannya tak ada manusia yang dapat menjelaskan makna alquran selain
Muhammad. Dari mana asal kemampuan Muhammad yang luar biasa itu? Jawabannya tak
lain adalah bahwa semuanya bersumber dari Allah.
B. Kewahyuan Sunah
Dijelaskan
diatas bahwa sunah atau hadis adalah bagian yang integral dengan wahyu. Tidak
menutup kemungkinan kesimpulan ini akan menimbulkan kerancuan yang luar biasa.
Karena itu, perlu diberi batasan yang jelas tentang makna wahyu tersebut baik
secara etimologis maupun terminologisnya.
Wahyu yang
disampaikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW tidak hanya Al-Qur’an,
melainkan juga ada yang selainnya. Jika disimpulkan, macam-macam wahyu kepada
Rasulullah akan terlihat sebagaimana berikut.
1.
Wahyu alquran yang seluruhnya melalui Jibril.
2.
Wahyu dalam bentuk pengajaran atau peragaan Jibril selain alquran,
seperti tentang waktu shalat.
3.
Tabsyir Allah lewat mimpi yang benar, seperti mimpi penaklukan
Mekkah yang secara khusus diabadikan alquran.
4.
Pendengaran dari balik hijab pada peristiwa Mikraj.
5.
Wahyu dalam bentuk alhikmah yang diturunkan langsung ke dalam hati
beliau, seperti yang juga pernah diberikan Allah kepada Lukman.
Akhirnya, apa yang disampaikan Rasulullah kepada umat bukan hanya
alquran, melainkan juga penjelasannya; dan semua penjelasannya itu mengandung
makna dan nilai Ilahiah karena bersumber dari Tuhan. Semua yang bersumber dari
Allah disebut wahyu. Hadis atau sunah yang merupakan kristalisasi dari segala
bentuk penjelasan Rasulullah, meskipun secara redaksional bersumber dari beliau
sendiri (hadits qauliyyah) atau dari
sahabat (hadits fi’liyyah dan taqririyah),
substansi kebenarannya bersifat wahyu, karena bersumber dari Allah.
C. BATASAN MAKNA HADIS
Hadis dalam
pengertian ahli hadis adalah “semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (pengakuan), atau sifat, baik sifat fisikal maupun moral,
ataupun sirah, sebelum menjadi nabi atau sesudahnya”. Pengertian tersebut oleh
Al-Khatib, ini merupakan suatu kristalisasi dari berbagai macam redaksi yang
digunakan dalam mendefinisikan hadis.
Hadis dalam
pengertian ahli ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh ulama hadis adalah
hadis, tetapi bagi mereka yang terpenting adalah hadis apa saja yang mengikat
umat sebagai konsekuensi syahadat. Dalam rumusan ulama ushul, ada penambahan
kata yakni, “semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, atau
taqrir yang dapat dijadikan dalil hukum agama”.
Definisi diatas
mengandung dua makna. Pertama, bahwa yang dimaksud adalah hadis Muhammad
setelah menjadi nabi. Sementara sebelum menjadi nabi, tidak termasuk dalam
makna hadis. Kedua, ada batasan bahwa yang digolongkan hadis adalah yang dapat
dijadikan dasar hukum agama.
BAB
III
KERANGKA
UMUM FIQH AL-HADIS
A. CAKUPAN MAKNA (DIRAYAH HADIS)
Dirayah secara
etimologi bermakna ilmu atau ma’rifah
yang diperoleh dari usaha manusia. Dalam kitab Faidhu al-qadir mendefinisikan ad-dirayah
dengan ma’rifah yang diperoleh
melalui analisis terhadap riwayat dengan menggunakan premis-premis yang jelas.
Karena dengan dirayah seseorang akan
mendapatkan al-hikmah yang tersimpan
dalam riwayah. Seorang ahli hadis
semestinya bukan hanya memperbanyak penulisan dan pencarian hadis, melainkan
juga harus mempelajari riwayah-nya dan mengkajinya terus-menerus. Hadis seorang
ahli riwayah akan ditolak atau minimal tidak dijadikan hujjah jika ia tidak
ahli dirayah. Bahkan orang yang hanya mementingkan riwayah tanpa dirayah, dianggap
bagian dari sufaha’ (orang-orang
bodoh).
Dari pemaparan
ulama diatas sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek
dirayah dalam kajian ilmu hadis memiliki arti yang sangat penting dan sangat
strategis. Seperti dikatakan oleh Al-Khatib, “seorang periwayat hadis
semestinya tidak mencukupkan pada periwayatan hadis saja”. Kedua, mengenai
dirayah dan riwayah diibaratkan apoteker yang hanya memiliki obat tanpa tahu
mendiagnosis penyakit, ada juga yang diibaratkan dokter yang sekaligus seorang
apoteker penyedia obat.
Karena dirayah mengandung makna pemahaman terhadap sejarah atau
sanad hadis dan hadis itu sendiri sebagai teks, maka kemudian fiqh al-hadis
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu riwayah.
B. MUSYKIL HADIS
Arti istilah musykil sudah sangat jelas, yaitu
ketidakjelasan yang memerlukan penjabaran dan pemahaman. Untuk mengetahui apa
dan bagaimana cara penyelesaian musykil
hadis perlu melakukan kegiatan intelektual yang disebut ta’wil.
C. METODE PENYELESAIAN MUSYKIL HADIS
Penyelesaian
musykil hadis tertentu pada hadis yang berkualifikasi maqbul, baik yang hasan
atau sahih. Apabila terjadi ikhtilaf
antara dua hadis, yang satu sahih dan yang lain dhaif, maka hadis yang dhaif
tersebut tertolak dengan sendirinya dan tidak perlu dilakukan ikhtilaf al-hadits.
1.
Ilmu Gharib al-hadits
Hadis sebagai
penjelasan syariat bersifat jelas, dan begitulah keadaannya pada masa
Rasulullah SAW. Dari segi kebahasaan hadis diikat dengan kata-kata yang
berbahasa Arab. Dalam perkembangannya bahasa Arab mengalami persentuhan dengan
bahasa lain akibat akulturasi budaya dari non-Arab yang masuk Islam. Dampak
persentuhan budaya ini, banyak kosakata Arab yang dulunya mudah dipahami oleh
generasi awal, menjadi jarang atau tidak lagi dipakai. Kenyataan ini tidak saja
berdampak pada alquran, melainkan juga pada hadis.
Menurut Ibnu Shalah,
ilmu gharib al hadits adalah ilmu
pengetahuan untuk mengetahui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis Nabi
SAW yang sulit dipahami karena sangat jarang digunakan. Sedangkan menurut Ibnu Ja’far
Al-kattani sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash-shiddieqy adalah ilmu yang
digunakan untuk mengetahui pengertian kata-kata yang berbeda dari pengertian
biasa, dan pengertian tersebut tidak mudah diperoleh, karena kata-katanya bersumber
dari bahasa yang ganjil dari berbagai kabilah yang jarang digunakan.
2.
Ilmu ikhtilaf al-hadits
Ilmu ikhtilaf al-hadits ini telah dibicarakan
oleh ulama terdahulu yang kemudian merumuskan kaidah-kaidah penyelesaiannya.
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan
dengan hadis-hadis yang mukhtalif ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu
ushu fikih. Batasan makna ini oleh para ahli mendefinisikan, terlepas dari
perbedaan redaksional, mengandung pengertian atau substansi makna yang sama.
D. KAIDAH-KAIDAH PENDUKUNG
Di samping
kerangka pemahaman diatas, masih ada sejumlah kaidah yang dapat memperkaya
analisis dan pemahaman hadis. Di antaranya, asbab
al-wurud dan kontekstualitas hadis, jawami’u
al-kalim, ta’awwul al-qur’an,
tafsir maudhu’i hadits, dan
problematika ikhtilaf antara hadis qauliyyah dan fi’liyyah.
1.
Asbab al-wurud dan kontekstualitas hadis.
Pengertian
hadis dalam konteks sabab al-wurud
ini bukan hanya hadis dalam makna tutur (qauliyyah),
melainkan juga aksi (fi’liyyah) dan
sikap (taqririyyah). Sabab al-wurud
sangat erat kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya peristiwa yang
melatarbelakangi lahirnya suatu hadis. Setting ini akan memperlihatkan konteks
manusia yang mendengar, melihat atau terlibat dalam penerimaan suatu hadis.
Data sejarah yang berhubungan dengan ketiga hal (waktu, tempat, dan manusia)
sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian ikhtilaf hadis. Karena itu, sabab al-wurud ini dipandang sebagai
ilmu atau kaidah pendukung dalam fiqh
hadits.
Adapun
kontekstualitas hadis merupakan semua kondisi dan situasi secara umum yang
memiliki hubungan yang erat dengan sejumlah hadis Rasulullah, antara lain:
konteks sejarah, konteks antropologis, konteks sosio-kultural dan konteks zaman
kenabian.
2.
Kaidah Jawami’uAl-kalim
Kaidah berasal
dari sabda Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah yang
artinya “ aku diutus dengan jawami’u al-kalim dan aku dibantu dengan
menimbulkan rasa takut ke dalam hati musuh. Ketika tidur, diberikan padaku
kunci gudang-gudang bumi dan diletakkan di atas tanganku.”
Beberapa ulama
hadis mendefinisikan istilah jawami’u
al-kalim dari beberapa redaksi, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan jawami’u al-kalim adalah nas-nas agama,
baik Al-Qur’an maupun hadis yang bersifat kulliyyah,
yakni mengandung makna umum dan luas.
3.
Kaidah Ta’awwul Al-qur’an
Istilah ta’awwul al-qur’an dalam konteks
pemahaman hadis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman awal islam. Istilah ini
sebenarnya dikonstruksi dari istilah yang digunakan Aisyah dalam hadis tentang
bacaan tasbih dalam ruku’ dan sujud Rasulullah setelah turun surat an-Nashr yang
artinya “Rasulullah dalam ruku dan
sujudnya banyak bertasbih dengan lafal ‘subhanaka allahumma rabbana wa
bihamdika allahummagfirli’, beliau menakwilkan Al-qur’an.” Kemudian,
istilah ta’awwul al-qur’an yang
dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pendasaran atau perujukan suatu amalan
kepada Al-Q.
Makna inilah yang jelas terbaca dalam ungkapan Aisyah dalam hadis yang dikutip
diatas.
4.
Hadis dalam pendekatan Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i
sebagai salah satu metode tidak hanya berlaku pada pemahaman Al-Qur’an,
melainkan juga dapat diterapkan alam pemahaman hadis. Dalam penyelesaian ikhtilaf al-hadits, terlihat bahwa
antara satu dan yang lain hadis dalam upaya pemahamannya tidak dapat berdiri
sendiri. Sesuai dengan definisinya, komparasi hadis hanya dilakukan pada dua
hadis yang tampak berbeda makna, sementara dalam tafsir maudhu’i, pemahaman kasus tertentu dari suatu hadis dilakukan
dengan upaya melibatkan seluruh hadis yang berkaitan.
5.
Ikhtilaf Dalalah Hadis Qauliyyah dan Fi’liyyah
Hadis merupakan
salah satu sumber ajaran agama. Mempelajari sumber agama sangat perlu kepada
ilmu tentang sumber tersebut. Ungkapan ini bermakna fiqh al-hadits, tidak dapat lepas dari ushul fikih. Ilmu ushul
fikih ini sendiri pada dasarnya merupakan anak kandung ilmu Al-Qur’an
dan ilmu hadis, bukan sebaliknya.
Sumber Islam
sendiri ada yang bersifat qauli
(kalam atau ucapan), dan ada yang sifat fi’li
(perbuatan). Al-Qur’an
seluruhnya bersifat qauli, yakni
kalam Allah, sedangkan hadis ada yang bersifat ucapan dan ada yang berbentuk
perbuatan Rasulullah yang dituturkan para sahabat. Sumber Islam memiliki
kekuatan ‘dalalah’ yang berbeda,
paling tinggi adalah dalalah Al-Qur’an,
kemudian dalalah hadis, pendapat atau tafsiran sahabat dan tabi’in.
Selanjutnya, dalalah hadis dibedakan lagi menjadi dua bagian, yaitu dalalah
qauliyyah dan dalalah fi’liyyah.
Dalam
pembahasan ilmu ushul fikih mewacana bahwa dalalah hadis qauliyyah lebih kuat
daripada dalalah hadis fi’liyyah,
karena fi’liyyah pada dasarnya tidak
memilik kekuatan dalil jika tidak didukung qauliyyah.
Sebagai contoh, untuk memudahkan pemahaman, misalnya tata cara shalat
sebagaimana dicontohkan Rasulullah dalam hadis fi’liyyah, tidak akan menjadi dasar hukum shalat kalau tidak ada
hadis qauliyyah yang berbunyi, “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
shalat.”
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
POHON HADIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an
sebagai pedoman dasar bagi umat Islam dalam menempuh hidup. Semua negara di alam
dunia memerlukan Undang-Undang dan peraturan-peraturan supaya orang tidak bebas
begitu saja tanpa kendali. Oleh sebab itu Al-qur’an harus dapat dipahami dengan
baik, agar kebenaran dapat menjadi petunjuk dan pedoman, sehingga umat Islam
tidak sesat.Kalau kita perhatikan, ada diantara ayat-ayat Al-qur’an dapat
dipahami dan dapat dicerna oleh akal manusia yang disebut dengan “ma’qul”
dan ada pula diantaranya yang tidak terjangkau oleh akal karena keterbatasan
kemampuannya yang disebut dengan istilah “ghairu ma’qul”.[1]
Sebenarnya
sebagian besar ayat-ayat Al-qur’an dapat dimasuki oleh akal, yaitu ayat-ayat
yang “zhanni” dan hanya sebagian kecil saja yang tidak terjangkau oleh akal,yaitu
ayat-ayat yang “qath’i”.Ayat-ayat zhanni adalah ayat-ayat yang
mungkin diinterpretasikan(ditafsirkan)yang memungkinkan pengertiannya lebih
dari satu-atau yang dilihat tidak hanya yang tersurat saja, tetapi juga yang
tersirat, sedangkan ayat-ayat qath’i adalah ayat-ayat yang sudah pasti
(baku pengertiannya). Sebagai contoh, ayat-ayat qath’i seperti kewajiban
melakukan salat, puasa, zakat dan haji. Ayat-ayat tersebut belum secara
tersurat tata cara salat, puasa, zakat dan haji. Oleh karena itu, Nabi Saw
sebagai pembawa risalah Al-qur’an memberikan pemahaman tersirat dari ayat-ayat
tersebut melalui perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifatnya yang selanjutnya
kita sebut sebagai hadis.
Kehadiran hadis
atau yang disebut sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan,
pengamalan, pengakuan, dan hal-ihwal Nabi Saw hingga wafatnya, disepakati
sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-qur’an dan isinya menjadi hujjah (sumber
otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi SAW dan
pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah keagamaan yang diikuti
dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan dan ketulusan. Dalam
praktek, di samping menjadikan Al-qur’an sebagai hujjah keagamaan, mereka juga
menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya
sama diyakini berasal dari wahyu Allah SWT.[2]
Sesuai dengan latar belakang diatas, penulis mencoba untuk tidak
hanya sebagai mata kuliah dalam rangka pemenuhan kurikulum pada program
pascasarjana, melainkan perlu adanya kajian mendalam mengenai hadis yang dari
sudut pandang filsafat dikonsepsikan tidak hanya sebagai catatan sejarah atau
teks agama[3],
melainkan sebagai tuntunan hidup dunia akhirat yang perlu dipahami dengan baik
dan diamalkan dalam kehidupan nyata. Hal inilah yang merupakan aspek aksiologis
studi hadis. Konsep dasar sebagai paradigma kerangka keilmuan studi hadis yang
secara metodologis keberadaannya sangat diperlukan oleh semua bidang kajian dan
ilmu. Sebuah ilmu tanpa paradigma ibarat orang yang memetik buah di ujung
ranting tanpa tahu bagaimana dahan, batang, dan akarnya. Mempelajari Islam
sebagai agama dan ajaran, terutama Al-qur’an dan hadis tanpa ada paradigma
spesifiknya, substansi dan hakikatnya tak akan diperoleh. Melalui tulisan kecil
ini, penulis mengajak rekan-rekan program non-reguler untuk mencoba
mengilustrasi studi hadis sebagai sebuah pohon lengkap dengan struktur
anatominya berupa akar, batang, dahan, ranting serta daunnya.
B. RUMUSANMASALAH
1. Bagaimana konsep dasar hadis sebagai sumber
ajaran Islam?
2. Apa praktik-praktik hadis dan sunnah
sebagai ilmu pengetahuan dan sumber peradaban manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
Sesuai dengan misi Rasulullah SAW, sebagai
pembawa rahmat, tuntunan hadis atau sunnah merupakan faktor terciptanya
kedamaian. Jika warisan yang didapatkan dari beliau dipahami dengan baik,
kedamaian yang merupakan misi utama dari keberadaan Rasulullah SAW dapat
terwujud dalam kenyataan.Sebaliknya, jika tuntunan dimaksud tidak dipahami
dengan baik, maka bukan rahmat dan kedamaian yang didapat, tetapi justru pertengkaran
yang membawa kepada perpecahan umat.
Hadis pada sisi substansi kebenarannya merupakan bagian yang integral
dari wahyu.[4]
Pengingkaran terhadap hadis sama artinya dengan mengingkari kebenaran yang
bersumber dari Allah. Akan tetapi, pada sisi historisnya, hadis tersebut sudah
melalui lorong sejarah yang panjang sebelum dibukukan dalam puluhan kitab hadis
sebagaimana diwarisi umat sekarang.Kapasitas intelektual, spiritual, dan
lingkungan sosiopolitis serta kultural para perawi sebagai manusia yang berada
pada lorong sejarah itu, tentu atau pasti memberi imbas dan dampak positif atau
negatif kepada riwayat-riwayat yang melewati mereka.Untuk mengetahui keberadaan
hadis Nabi tersebut diperlukan sebuah ilmu, yang disebut dengan ilmu hadis atau
studi hadis.
A. PENGERTIAN ILMU HADIS DAN CABANG-CABANGNYA
1. Pengertian Ilmu Hadis
Yang dimaksud dengan ilmu hadis, menurut
ulama mutaqaddimin adalah:
علم يبحث فيه عن كيفية اتصال الاحاديث بالرسول ص م من حيث معرفة احوال
رواتها ضبطاوعدالة ومن حيث كيفية السند اتصالاوانقطاعا
“ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis
sampai kepada Rasul SAW dari segi hal-ihwal para perawinya, kedhabitan,
ke’adilan, dan dari bersambung tidaknya sanad dan sebagainya”.[5]
Pada perkembangan selanjutnya, oleh ulama
mutaakhirin, ilmu hadis ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan
Ilmu Hadis Dirayah.[6]
a. Ilmu hadis riwayah berkenaan dengan riwayat
hadis yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun
ketetapan, dan sebagainya. Secara bahasa ilmu ini berarti ilmu hadis yang
berupa periwayatan. Para ulama mendefinisikan ilmu hadis riwayah ini sebagai
berikut.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan
ilmu hadis riwayah sebagai berikut:
هُوالعلمُ الذي
يقُومُ على نقلِ ما أُضيفُ إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قولٍ أوفعلٍ أوصفة
خَلقِيّةً أوخُلُقِيّةً نَقلا دقيقا مُحرَرا
Yaituilmu yang
mengkaji pengutipan secara cermat dan akurat segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik dan
non-fisik.[7]
Ibn al-Akfani sebagaimana dikutip al-Suyuthi[8]
menyatakan bahwa definisi ilmu hadis riwayah adalah:
علم يشتمل على اقوال النبى ص م وافعاله وروايتها وضبتها وتحرير الفاضها
“ilmu pengetahuan yang mencakup (pembahasan) tentang perkataan-perkataan
Nabi SAW, dan perbuatan-perbuatannya, periwayatan dan pemeliharaannya, serta
penguraian lafal-lafalnya”.[9]
Obyek ilmu hadis riwayah adalah bagaimana
cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan. Dalam
menyampaikan dan membukukan hadis hanya disebutkan apa adanya, baik yang
berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang
syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan hadis.Adapun faedah mempelajari
ilmu hadis riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari
sumbernya yang pertama, yaitu Nabi SAW.[10]
b. Ilmu hadis Dirayah berkenaan dengan
kaidah-kaidah dan asas-asas yang dapat digunakan untuk mengetahui dan mengkaji
keberadaan sanad dan matan. Muhammad Mahfuzh al-Tirmisi dalam kitabnya Manhaj
Dzawi al-Nazhar, mendefinisikan ilmu hadis dirayah dengan:
“undang-undang
atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan”.[11]
Al-Suyuthi, mengutip pendapat Ibn
al-Akfani, mendefinisikan ilmu hadis dirayah dengan:
علم الحديث
الخاص بالدراية: علم يعرف منه حقيقة الرواية وشروطها وأنواعها وأحكامها
وحال الرواةوشروطهم وأصناف المرويات ومايتعلق
بها
“ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam,
dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para periwayat hadis dan
syarat-syarat mereka serta macam-macam hadis yang mereka riwayatkan dan segala yang
berkaitan dengannya”.[12]
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathibdengan
definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadis Dirayah adalah
kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan periwayat
danyang diriwayatkan dari segi diterima atau ditolaknya, dengan uraian sebagai
berikut:
1)
Al rawi (periwayat)
adalah orang yang memindahkan hadis, sedangkan al marwiy (yang
diriwayatkan) adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau yang
lain seperti Sahabat, Tabi’in dan lain-lain.
2)
Keadaan
periwayat dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaannya dari
segi “jarh” (kualifikasi negatif) dan “ta’dil” (kualifikasi
positif), “tahammul” (penerimaan hadis) dan “adda’” (penyampaian
hadis), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemindahan hadis.[13]
Objek kajian ilmu hadis dirayah adalah
mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat
mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Adapun puncak dari ilmu
hadis dirayah adalah mengetahui mana yang diterima dan mana yang ditolak dari
hadis-hadis Nabi SAW. Ilmu hadis dirayah adalah mizan bagi hadis riwayah
sebanding ushul bagi ilmu fiqh, mantiq bagi ilmu tauhid, balaghah bagi bahasa
Arab. Di masa dahulu dinamai Ulum al Hadis dan Ushul al-Hadis.
Ilmu ini timbul bersama-sama dengan hadis riwayah semenjak dari lahir
periwayatan hadis, walaupun ketika itu masih tersebar belum dibukukan secara
teratur.
2. Cabang-cabang ilmu hadis
Ilmu hadis riwayah dan dirayah ini pada
perkembangannya, muncul cabang-cabang ilmu hadis lainnya, antara lain sebagai
berikut.[14]
a.
Ilmu Rijal al-Hadis
علم يبحث فيه عن
رواة الحد يث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم
Yaitu
ilmu yang membahas para perawi hadis, baik dari sahabat, dari tabi`in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.
Ilmu Rijal al-Hadis
merupakan jenis ilmu hadis yang sangat penting karena mencakup kajian terhadap
sanad dan matan. Rijal (tokoh-tokoh) yang membentuk sanad merupakan para
perawinya. Mereka yang menjadi obyek ilmu Rijal al-Hadis, yang membentuk
satu di antara dua penyusun ilmu hadis. Ilmu Rijal al-Hadis terbagi
menjadi dua bagian penting, yaitu ilmu Tarikh ar-Ruwat dan ilmu Jarh
Wa at-Ta’dil.[15]
1) Ilmu Tarikh
ar-Ruwat
العلم الذي يعرف برواة الحد يث من
الناحية التي تتعلق بروايتهم للحديث
Yaitu ilmu yang mencoba mengenal para perawi hadis dari
aspek yang berkaitan dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut.
2) Ilmu Jarh Wa
at-Ta’dil
العلم الذي يبحث في احوال الرواة من
حيث قبول رواياتهم او ردها
Yaitu ilmu yang membahas hal-ihwal para
perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Ilmu Jarh Wa at-Ta’dil merupakan
ilmu hadis yang terpenting dan terluas pengaruhnya. Karena dengan ilmu ini,
dapat dibedakan yang shahih dari yang cacat, yang diterima dari yang ditolak,
karena masing-masing tingkatan jarh dan ta’dil memiliki akibat
hukum yang berbeda-beda.
Jadi ilmu Rijal
al-Hadis mencakup penjelasan tentang keadaan para perawi, sejarah
kelahiran, wafatnya, guru-gurunya, sejarah mendengarnya (belajarnya) dari
mereka, perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka lakukan, sejarah kedatangannya
ke negeri-negeri yang berbeda-beda, masa belajarnya sebelum ataupun sesudah
mengalami kekacauan pikiran dan penjelasan-penjelasan lain yang memiliki kaitan
erat dengan persoalan-persoalan hadis.
b.
Ilmu Fann
al-Mubhamat
علم يعرف به
المبهم الذي وقع فى المتن او فى السند
Yaitu ilmu untuk mengetahui nama orang-orang
yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad.[16]
Misalnya perawi-perawi yang tidak
tersebut namanya dalam shahih Bukhory diterangkan selengkapnya oleh Ibnu
Hajar Al `Asqollany dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
c.
Ilmu Mukhtalif
al-Hadis
العلم الذي يبحث
في الاحاد يث التي ظاهر ها متعا رض فيز يل تعا رضها اويوفق بينها كما
يبحث في الاحاد يث التي يشكل فهمها او تصورها
فيد فع اشكا لها ويو ضح حقيقتها
Yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis
secara lahiriah saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau
mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas hadis-hadis yang sukar
dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan
hakikatnya.
Ilmu Mukhtalif al-Hadis termasuk
salah satu dari ilmu-ilmu hadis yang sangat diperlukan oleh para Muhadditsin,
fuqaha dan lainnya. Obyek dari ilmu ini adalah hadis-hadis yang saling
berlawanan itu untuk dikompromikan kandungannya baik dengan jalan membatasi (taqyid)
kemutlakannya maupun dengan mengkhususkan (takhshis) keumumannya.
d.
Ilmu ‘Ilalil
Hadits
علم يبحث عن
اسباب غا مضة خفية قاد جة في صحة الحد يث
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab
yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadis.
Yakni menyambung yang munqathi’,
merafa’kan yang mauquf, memasukkan hadis ke dalam hadis yang lain dan
yang serupa itu. Ilmu ini berpautan dengan keshahihan hadis. Penyakit-penyakit
hadis tidak dapat diketahui, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan
yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah
yang kuat terhadap sanad dan matan hadis. Di antara ulama yang
menulis ilmu ini adalah Ibnu al-Madiny (234 H), Ibnu Abi Hatim (327 H) kitab
beliau sangat baik, dinamai kitab ‘Ilal al-Hadits, Imam Muslim (261 H),
Ad-Daruquthny (375 H) dan Muhammad ibn Abdillah al-Hakim.
e.
Ilmu Gharib
al-Hadits
علم يعرف به
معنى ما وقع فى متون الا حاد يث من الالفاظ العر بية عن أذهان الذ ين بعد
عهد همبالعر بية الخا لصة
Yaitu ilmu yang menerangkan makna
kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui maknanya dan yang
kurang terpakai oleh umum.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni
abad pertama dan para tabi’in pada tahun 150 H, bahasa Arab yang tinggi
mulai tidak diketahui lagi oleh masyarakat umum, hanya beberapa saja orang
mengetahuinya. Oleh karena itu, para ahli berusaha mengumpulkan kata-kata yang
dipandang tidak dapat dipahami oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai
dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mensyarahkannya.
Contoh matan hadis Gharib yang
ditafsirkan dengan hadis bersanad lain, seperti sebuah hadis Muttafaq ‘alaih
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra tentang Ibnu Shayyad katanya:
...قال النبي ص م: اني خبأت لك خبيئا,
فماذا؟ قال ابن صيا د: هو الدخ! قال النبي ص م: إخسأ!
فلن تعد و قدرك
...الحد يث
“Nabi
SAW bersabda: “saya menyimpan sesuatu untukmu, apa itu?” sahut Ibnu Shayyad.
Yaitu asap”. “salah!” kata Nabi SAW, “kamu tidak akan lepas secepat
perkiraanmu”.
Lafadz ad-dukhkhu dalam hadis tersebut
adalah lafadz yang gharib. Menurut uraian yang dikemukakan oleh Al-Jauhari,
lafadz dukhkhu tersebut berarti asap (menurut pengertian bahasa), tetapi
menurut pendapat lain berarti tumbuh-tumbuhan, bahkan sebagian orang
mengartikannya dengan jima’.
Untuk mendapatkan penafsiran yang
tepat, kita berusaha mencari sanad selain sanad Bukhari-Muslim, ternyata kita
dapati di dalam pen-takhrij-an Abu Dawud dan At-Turmudzy yang bersanadkan
Az-Zuhri, Salim dan Ibnu Umar ra memberikan penafsiran terhadap
ke-gharib-annya. Kata Ibnu Umar ra:
...إ ن النبي ص م
خبأ له (يوم تأتى السماء بدخا ن مبين) فأدرك ابن صيا د البعض على عادة
الكهان فى اختطاف بغض الشيئ من الشيا طين من غير وقوف على
تمام البيان, فقال: هو الدخ.
“...Suatu
ketika Nabi SAW menyembunyikan untuk Ibnu Shayyad, ayat: “Tunggulah sampai
langit mengepulkan asapnya yang nyata”. Lalu Ibnu Shayyad mendapatkan suatu
alat yang biasa dipakai tukang-tukang tenung untuk mendapat sesuatu dengan
perantaraan setan-setan dan tanpa berfikir panjang lagi ia menjawab: “Itulah
asap...!”
Dengan bantuan dari hadis Abu Dawud dan
At-Turmudzy tersebut, maka lafadz ad-dukhkhu itu dapat diketahui artinya, yaitu
asap.
f.
Ilmu Nasikh
Mansukh Hadits
علم يبحث فيه عن
النا سخ والمنسوخ من الحد يث
Yaitu ilmu yang menerangkan hadis-hadis
yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya.
Apabila didapati sesuatu hadis yang maqbul,
tidak ada perlawanan, dinamailah hadis tersebut muhkam. Jika dilawan
oleh hadis yang sederajat, tetapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka
hadis tersebut dinamai mukhtalif al-hadits. Jika tidak mungkin
dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu
dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
g.
Ilmu Asbab
Al-Wurud
علم يعرف به
السبب الذي ورد لاجله الحد يث والزما ن الذي جاء فيه
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab
Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi SAW menuturkan itu23.
Seperti di dalam Al-Qur`an dikenal
adalah Ilmu Asbab al-Nuzul, di dalam Ilmu hadis ada Ilmu Asbab Wurud
al-Hadits. Terkadang ada hadis yang apabila tidak di ketahui sebab
turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
h.
Ilmu Mushthalah
Ahli Hadits
علم يبحث فيه عما اصطلح عليه المحد
ثون وتعا رفوه فيما بينهم
Yaitu ilmu
yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh
ahli-ahli Hadis.
B.
HADIS DAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER ILMU
PENGETAHUAN DAN PERADABAN
1.
Hadis dan Sunnah Sebagai Ilmu Pengetahuan
Hadis dan sunnah –setelah Al-Qur’an- adalah sumber fikih dan syariat. Ia
juga adalah sumber dakwah dan tuntunan hidup. Demikian juga, ia adalah sumber
pengetahuan bagi umat Islam (pengetahuan agama, kemanusiaan, dan sosial) yang
dibutuhkan oleh manusia, sebagai petunjuk jalan bagi mereka, atau meluruskan
langkah mereka. Atau juga untuk menyempurnakan ilmu yang telah mereka miliki.
Pengetahuan pokok yang kita dapatkan dari hadis bukanlah pengetahuan
yang berkaitan dengan kehidupan yang terus berkembang saat ini, yang dapat
diteliti dan dilakukan percobaan atasnya.Tentang hal ini dapat dicapai manusia
dengan percobaan dan kekeliruan (trial and error) secara terus-menerus.
Tentang konsep itu, telah kita dapati pula dari sunnah, yaitu tentang
urusan-urusan teknis duniawi, kita harus mengandalkan –setelah berdo’a dan
meminta kepada Allah- kemampuan dan usaha kita, serta upaya akal kita. Tidak
semestinya kita meminta agar wahyu mengajarkan bagaimana menanam, berindustri,
berobat, dan sebagainya.Wahyu tidak mengajarkan teknik dan prosedur, melainkan
mengajarkan konsep-konsep dasar, nilai, dan aturan-aturan yang harus dipatuhi.[17]
Sedangkan selain itu, yang berkaitan dengan urusan duniawi yang terus
berubah, itu semua diberikan wewenang kepada kita untuk mengaturnya. Jika
sebagian orang ada yang memasukkan hadis-hadis shahih dalam syariat, walaupun
sebenarnya ia bukan bagian dari syariat, demikian juga ada orang yang melakukan
hal yang sama dalam masalah ilmu pengetahuan, seperti hadis-hadis yang
berkaitan dengan kesehatan.
Sebagai contoh, terdapat beberapa hadis masalah ibadah, muamalah,
kesehatan sebagai berikut.
للحىاعفواواحفواالشوارب
Artinya:
“Guntinglah kumis dan biarkan
jenggotmu”.[18]
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim, At-Turmudzi, An-Nasai dari Ibnu
Umar bin Khattab dan oleh Ibnu Adi dari Abu Hurairah, oleh At-Thahawi dari Anas
bin Malik dengan tambahan di akhirnya (artinya) : “jangan kalian menyerupai Yahudi. Al Bukhari dan Muslim
meriwayatkannya dari Ibnu Umar, dengan didahului di awalnya (artinya) : “Berbedalah kalian dengan orang-orang
musyrik”.
Asbabul wurudnya, Ibnu Najar menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah berkata
: “Seorang utusan telah menghadap
Rasululah SAW yang kumisnya dibiarkan memanjang dan jenggotnya dipotong.
Seperginya orang tersebut Rasulullah bersabda : “berbedalah kalian dengan
mereka, gunting kumismu dan biarkan jenggotmu”.
Al-Bazar dari Aisyah meriwayatkan : “Rasulullah
telah melihat seseorang yang kumisnya panjang. Kemudian beliau berkata :
“berikan kepadaku sikat gigi (siwak) dan gunting”. Sikat beliau letakkan
diujung kumis orang tersebut, dan bagian yang memanjang beliau gunting.
Keterangan :
Perintah Rasulullah ini bisa menunjukkan
sunah atau wajib, sehingga Imam Syafi’i berpendapat mencukur (gundul) kumis
hukumnya makruh.Hanafi dan Hanbali berpendapat mencukur semuanya
sunah.Rasulullah SAW menjaganya agar tidak melebar atau memanjang.[19]
الزوجعنداخظىوللوجهنضرافانهتننحكىولااخفضى
Artinya :
“Pendekkan,
jangan kau rusak sebab khitan itu dapat mempercantik wajah dan lebih
menikmatkan senggama”.[20]
Hadis ini diriwayatkan oleh At Thabrani dalam “Al Kabir”, oleh Al Hakim
dari Ad Dhuhak Al Fahri. Asbabul wurud hadis : Ad Dhuhak bin Qais meriwayatkan
: “Di Madinah ada seorang wanita yang biasa dipanggil Ummu ‘Athiyah akan
mengkhitan anak tetangga. Bersabdalah Rasulullah kepadanya : “Pendekkan … dan
seterusnya”.
Kata Al Hafizh Ibnu Hajar, hadis ini mempunyai dua thuruq (jalur hadis)
keduanya dhaif sebagaimana di dhaifkan Al Hafizh Al Iraqi. Menurut Al Mundzir
tidak ada khabar atau sunnah Rasul yang bias dijadikan dasar untuk khitan
wanita, demikian pula pendapat Al Munawi dalam “Al Jami’us Shaghiir”.
Keterangan :
“Laa
tanhikii” maksudnya jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang akan
dikhitan. Hikmah daripada khitan diantaranya dapat mempercantik wajah, menambah
kenikmatan senggama.[21]
Perhatian sunnah Nabi –setelah Al-Qur’an- terhadap ilmu pengetahuan baik
berkaitan dengan muamalah, tuntunan, kesehatan manusia berikut kekuatan bada
serta jiwanya, sangatlah mengagumkan. Kemudian setelah itu muncul berbagai
macam faham dan pengetahuan dalam masalah ini yang dianggap sebagai kekayaan
berharga bagi setiap orang yang menilai manusia sebagaimana mestinya.
2.
Hadis dan Sunnah sebagai Sumber Peradaban
Sesungguhnya Islam sejak pertama kali datang telah membawa misi
peradaban yang tidak diragukan lagi.Tujuannya, meningkatkan mutu kehidupan
manusia dan mengeluarkannya dari kekolotan menuju kehidupan yang maju.[22]Islam
datang untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang.Dari
kegelapan dengan segala macam bentukdan tingkatannya, menuju cahaya dengan berbagai
macam bentuk dan tingkatannya.
Di antara yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah adalah yang kita sebut
dengan “kesadaran peradaban” dengan istilah yang lebih dekat dengan Islam
“fikih peradaban”. Awal dari objek ini (fikih ayat dan sunnah) adalah
mengetahui ayat-ayat Allah di alam semesta dan dalam diri manusia,juga
Sunnatullah di dalam alam dan masyarakat.
Ilmu ini tidak berjalan dan bergerak serampangan, melainkan segala
sesuatu di dalamnya harus dengan pertimbangan, dan setiap perkembangan di
dalamnya harus sesuai dengan ketentuan. Itulah yang dinamakan oleh Al-Qur’an
sebagai sunnah, baik itu sunnah kauniah ataupun sunnah ijtima’iyah (sosial).
Salah satu dari ajaran fikih peradaban ini adalah apa yang disebut fikih ma’rifah, adalah fikih yang
didasarkan atas pengetahuan dan nilai-nilai yang tinggi, fondasi-fondasi yang
kokoh, yang dibawa oleh Islam dalam pembenukan akar ilmu pengetahuan (ma’rifat),
atau dalam pembentukan akar ilmu. Ini karena, kata itu adalah istilah yang
dipakai Islam yang telah banyak dikenal dalam bidang ini. Juga banyak nash
dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang suci mengenai masalah ini : dalam penjelasan
keutamaannya, pujian kepada ahlinya, dorongan untuk mencarinya, menambah
ilmunya, terus mempelajarinya, bersaing dalam mendapatkannya, keterangan
tentang kedudukan orang yang mempelajarinya, keutamaan orang yang
mengajarkannya, adab-adabnya, sampai yang terakhir kali diajak oleh Al-Qur’an
untuk memperhatikannya, dan diperinci oleh hadis-hadis Rasulullah yang mulia.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Ilmu Hadis mencakup
dua objek kajian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah (`Ilm al Hadits Riwayah) dan
Ilmu Hadis Dirayah (`Ilm al HaditsDirayah). Objek kajian ilmu hadis
riwayah adalah sabda, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi SAW, dipandang dari
sudut pengutipannya secara cermat dan akurat. Objek kajian ilmu hadis dirayah
adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita
dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Diantara
cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah ialah: 1)
ilmu Rijal al-Hadits, 2) ilmu Jarh wa At-Ta’dil, 3) ilmu Tarikh
ar-Ruwat, 4) ilmu Fann al-Mubhamat, 5) ilmu Mukhtalif al-Hadits,
6) ilmu ‘ilal al-Hadits, 7) ilmu Gharib al-Hadits, 8) ilmu Nasikh
Mansukh al-Hadits, 9) ilmu Asbab al-Wurud al-Hadits, dan 10) ilmu Mushthalah
al-Hadits.
B. SARAN
Penulis sadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, mengingat latar belakang penulis dari
pendidikan umum tentunya sedang belajar menyesuaikan dengan lingkungan civitas
akademika, oleh karenanya kritik, masukan dan saran yang membangun akan sangat
diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan, Studi Islam Alquran dan Assunnah. (PT. Raja
Grafindo, Jakarta: 2000)
Dr. HM. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al
Sunnah. (Kencana Prenada, Jakarta: 2003)
Dr. H. Danil Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu
Hadis. (Erlangga. Jakarta: 2010)
Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1.
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1998)
Dr. Idri, M.Ag. Studi Hadis.
(Jakarta: Kencana Prenada, 2010)
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul Al-Hadits.(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Drs. Munzier Suparta. Ilmu Hadis.
(Jakarta: Raja Grafindo, 1996)
Muhammad Mahfuzh al-Tirmisi.Manhaj Dzawi Al-Nazhar. (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981)
Endang Soetari, Ilmu Hadits. (Bandung: Amal
Bakti Press, 1997)
DR. Yusuf Qardhawi, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. (Jakarta : Gema
Insani Press, 1998)
Ibnu Hamzah Al Husaini, Asbabul Wurud.
[1]M. Ali Hasan, Studi Islam Alquran dan Assunnah. (PT. Raja
Grafindo, Jakarta: 2000) hal. 163
[2]Dr. HM. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al Sunnah.
(Kencana Prenada, Jakarta: 2003) hal. 3
[3]Dr. H.
Danil Djuned, Ilmu Hadis: Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis.
(Erlangga.Jakarta: 2010) hal. x
[5]Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1.
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 5-6
[6]Dr. Idri,
M.Ag. Studi Hadis. (Jakarta: Kencana Prenada, 2010), hal. 58
[8]Nama
lengkapnya adalah Imam Jalal al-Din ‘Abd Rahman ibn Abi Bakar Al-Suyuthi yang
lahir pada tahun 849 di As-yuth, daerah sebelah barat sungai Nil. Ia meninggal
pada tahun 911H. Lihat biografi singkatnya dalam mukaddimah pentahqiq: ‘Abd
al-Wahab Abd al-Lathif, dalam Al-Suyuthi. Hal 10-13.
[9]Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1.
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 5-6
[10]Drs.
Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 25
[12]Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawy fi Syarh Taqrib Al-Nawawi, Juz 1.
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), hal 40
[14]Drs.
Munzier Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 30
[15]Muhammad ‘Ajjaj Al
Khatib, Ushul Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) hal.227
[16] Endang Soetari, Ilmu Hadits. (Bandung: Amal
Bakti Press, 1997) hal. 215
[17]DR. Yusuf
Qardhawi, Sunnah Rasul Sumber Ilmu
Pengetahuan dan Peradaban. (Jakarta : Gema Insani Press, 1998) hal. 149
[18]Ibnu
Hamzah Al Husaini, Asbabul Wurud.
hal. 60
[19]Ibnu
Hamzah Al Husaini, Asbabul Wurud.
hal. 60
[22]DR. Yusuf
Qardhawi, Sunnah Rasul Sumber Ilmu Pengetahuan
dan Peradaban. (Jakarta : Gema Insani Press, 1998) hal. 368
Nama Mashadi, tinggal disemarang saya alumni pesantren Girikusuma Mranggen Demak pada tahun 2010 kemudian melanjutkan kuliah dipascasarjan uin walisongo semarang
Langganan:
Postingan (Atom)