LANJUT MASALAH BID'AH
Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di
gembar-gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan
diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada
perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti kalangan
ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak menerima
penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau
masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah, Ijma’, Qiyas,
Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut
mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun
nas-nya umum).
Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara
tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu di
di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah
atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang
baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul
bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul
istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain
sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara
yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan yang tidak. Imam
an-Nawawi rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :
(قوله) صلى الله عليه وسلم " كل بدعة ضلالة " هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات
“Sabda Nabi
shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian
dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya bid’ah adalah setiap perkara yang
dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya, ulama juga berkata : bid’ah
terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan
mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-contohnya dan telah aku jelaskan
didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”. [1]
Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin
dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh
hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish
terhadapnya adalah sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam
Syarh Shahih Imam Muslim :
وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
Dan dalam hadits
ini (man sanna fil Islam) [2] merupakan takhsish terhadap sabda Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah
perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah
berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah
menuturkan disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah,
mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah”. [3]
Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada
hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk,
karena mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu baru yang buruk didalam Islam.
Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu yang
baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum
tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri masukan komentar anda