PENDEKATAN INTERDISIPLINER DALAM KAJIAN ISLAM
(Sekilas
Sejarah, Pijakan Paradigmatik-Teoretis, Langkah-Langkah
Praktis-Metodis, Tokoh Penting dan Contoh Karya)
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen
Pengampu: Dr. Abu Rokhmad, M.Ag. Dr. M. Mukhsin Jamil,
M.Ag
Disusun Oleh:
`Nama : Mashadi
NIM : 1400018029
PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Islam bukan hanya sebagai agama
monodimensi. Islam bukan hanya agama yang didasarkan pada intuisi mistis
manusia dan terbatas hanya pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini
hanyalah satu dari sekian banyak dimensi agama Islam[1]. Untuk
mempelajari aspek multidimensional dari Islam, metode filosofis niscaya
dipergunakan untuk menemukan sisi-sisi terdalam dari hubungan manusia dengan
Tuhan dengan segenap pemikiran metafisikanya yang umum dan bebas[2]. Dimensi
lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk
mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam “ilmu manusia”[3]. Agama
(Baca: Islam), dengan cara pandang seperti ini, tidak lagi berwajah tunggal (Single
Face) melainkan memiliki banyak wajah (Multiface)[4].
Keragaman
dimensi Islam mengindikasikan bahwa memahami Islam tidak cukup dengan satu
pendekatan atau keilmuan tertentu saja, akan tetapi membutuhkan banyak
pendekatan yang didasarkan pada berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, perlu
pengkajian secara interdisipliner yang berparadigma dengan menggunakan berbagai
perspektif, tidak hanya secara normatif-teologis. Dalam hal ini
pendekatan-pendekatan keilmuan yang telah dibahas sebelumnya seperti Historis,
Filosofis, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Filologi, Fenomenologi,
Hermeneutik, dan seterusnya sangat diperlukan.
Namun, tidak
bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat luas masih kuat beranggapan bahwa
“agama” dan “ilmu” adalah dua Entitas yang tidak bisa dipertemukan.
Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya,
baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran,
peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan
sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak
memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah
gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini
dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat
luas. Oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan
diluruskan[5].
Kajian agama termasuk Islam, seperti
disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan berbagai
macam ilmu, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama,
antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana
Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya,
namun juga masyarakat di Negara-negara
berkembang, yang kemudian memunculkan Orientalisme.
Sementara itu, agama atau
keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang Islam khususnya, sebagai agama yang telah
berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu
diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas
sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Demikianlah, maka
pembahasan dalam makalah ini ingin menegaskan perlunya pengembangan Studi Islam
dalam segala aspek kehidupan, dikaji secara interdisipliner dengan teoretis, praktis-metodis ingin menggambarkan betapa kajian tentang
Islam membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi aplikasi metodologi dari
disiplin keilmuan lain, utamanya pendekatan secara humanities dan social
sciences.
B. Rumusan Masalah
Dari keterangan latar
belakang masalah di atas maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah di
antaranya :
a. Pengertian Pendekatan dalam Studi Islam
?
b. Sejarah Pendekatan Interdisipliner ?
c. Kerangka Pendekatan Interdisipliner Dalam Studi
Islam
d. Langkah-Langkah Praktis Metodis pendekatan Interdisipliner?
e. Beberapa Pendekatan Interdisipliner ?
f. Tokoh - tokoh penting dan contoh karya dalam
pendekatan Interdisipliner.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendekatan dalam Studi Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Pendekatan
adalah Pertama, Proses perbuatan, cara mendekati. Kedua, usaha dalam rangka
aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti,
metode - metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Dalam
bahasa inggris pendekatan diistilahkan dengan “Approach”, dalam bahasa
Arab disebut dengan “Madkhal”[6].
Pendekatan[7]
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini adalah agama Islam. Islam dapat
dilihat dalam beberapa aspek yang sesuai dengan paradigmanya[8].
B.
Sejarah
Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan Interdisipliner adalah kajian
dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (Perspektif).
Pendekatan ini muncul sebagai bentuk dari tuntutan modernitas dan globalisasi
dalam mengkaji Islam yang saintifik dan secara serius melibatkan berbagai
pendekatan. Pendekatan monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan
jaman yang dihadapi umat Islam di berbagai tempat. Pendekatan monodisiplin
menekankan pada pengajaran Islam sebagai sebuah doktrin. Kajian Islam normative
tersebut merupakan bagian panjang dari tradisi keilmuan Islam klasik. Kerangka
studi demikian digunakan di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di Mesir,
Arab Saudi, Pakistan, Afganistan dan menjadi model kajian dominan di masyarakat
Muslim di seluruh dunia. Kajian Islam secara normatif dalam pemikiran Islam
terwujud dalam ilmu fiqh, ushul fiqh, hadits, ilmu hadits, tafsir, ilmu tafsir
dan lain-lain. Wacana Islam secara normative, hingga saat itu menjadi
bagian penting dalam kerangka keilmuan yang digunakan di Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI) terlebih di daerah-daerah).
Paradigma yang bekerja dalam kajian normative
sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri adalah paradigma bayani.
Paradigma bayani adalah studi dan pemikiran yang berbasis pada teks (an-nash)
dan mengutamakan proses berfikir deduktif-analogis-qiyas. Tumpuan
utama paradigma ini adalah memahami teks melalui kaidah
bahasa, yang kemudian menghadirkan kajian ushul fiqh klasik, sebagaimana
diletakkan dasar-dasarnya oleh Imam Syafi’i. Meskipun tetap diperlukan,
paradigma bayani yang normative memiliki kelemahan: Pertama,
paradigma bayani kurang memiliki pijakan realitas historis, sosiologis dan
antropologis sehingga menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktik. Kedua,
paradigma bayani kurang mampu mengapresiasi perkembangan keilmuan yang berlangsung
dengan cepat. Perkembangan ilmu-ilmu sosia dan humaniora, belum lagi
sains dan teknologi, akan sulit direspons oleh paradigma tersebut. Akibatnya
kajian Islam akan stagnan karena tidak mau beranjak dari posisi yang mapan
berabad-abad yang lampau[9].
Studi Islam tidak lagi terbatas kepada
penggunaan paradigma bayani,
melainkan dengan paradigma-paradigma yang lain. Kajian Islam dengan mengunakan
pendekatan yang lain yaitu interdisipliner atau bidang
ilmu dan disiplin adalah jawaban bagi tantangan dunia Islam saat ini. Menurut M.Amin Abdullah, umat Islam dan tradisinya
sulit berkembang dan mengembangkan diri apabila hanya berkutat pada
kajian-kajian Islam klasik dan pada gilirannya akan mengalami kesulitan ketika
harus berhubungan, bersentuhan, dan berkomunikasi dengan tradisi keilmuan sosial,
humaniora, dan eksakta yang berkembang pesat di berbagai tempat,
lebih-lebih di bagian bumi bagian barat, Cina, Jepang, dan berbagai tempat yang
lain.
Tuntutan kajian Islam secara holistic
sebenarnya disadari oleh para cendekiawan Islam era paruh kedua abad ke -20.
Para cendekiawan muslim tersebut umumnya terdidik dalam dua tradisi keilmuan.
Yaitu tradisi keilmuan Islam klasik dan sekaligus menimba ilmu dari tradisi
intelektual dan keilmuan barat. Mereka mencoba melakukan sintesis antara kajian
Islam klasik dengan pendekatan-pendekatan baru yang berkembang dalam studi
agama dan sosial humaniora di barat. Para cendekiawan itu muncul dari
berbagai penduduk muslim di berbagai dunia. Fazlur Rahman cendekiawan muslim
dari Pakistan misalnya, memperkenalkan upaya pembaruan metodologi studi Islam,
khususnya hukum Islam, dengan perangkat hermenuetika. Teori double
movement (gerakan ganda) adalah salah satu kontribusinya. Begitu juga
dengan al-hadd al a’la dan al-had al-adna yang dikenalkan oleh Syahrur adalah
sebagian dari contoh yang dilakukan oleh cendekiawan muslim kontemporer dalam
upaya pembaharuan pemikiran Islam[10].
Kemudian secara berturut-turut para tokoh
cendekiawan muslim dari berbagai Negara lahir dan mewarnai pentas keilmuan
kontemporer, seperti: Ali Syari’ati, Abdullah Ahmad an-Naim, dan gurunya Mahmud
Muhammad Thaha, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun dan lainnya. Mereka adalah para
akademisi yang berjuang untuk melakukan sintesis antara turats (kahasanah keilmuan
Islam) dengan hadatsah (modernitas). Pemikiran mereka pun masuk sampai ke
Indonesia, khususnya PTAI, semenjak tahun 1990-an sampai saat ini. Mereka merupakan
gelombang besar yang berusaha mendialogkan antara warisan turats dengan
hadatsah.
C. Kerangka
Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Islam
Paradigma
interdisipliner atau dalam istilah M. Amin Abdullah adalah interkoneksitas
merupakan asumsi untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi
dan dijalani manusia. Setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama
(termasuk agama Islam maupun agama-agama lain), keilmuan sosial, humaniora,
maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Ketika ilmu pengetahuan tertentu
mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan masalahnya sendiri,
tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain, maka cepat atau lambat
akan berubah menjadi narrow-mindedness (untuk tidak menyebut
fanatisme) terhadap partikularitas disipilin keilmuan. Kerjasama yang saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan
akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang
dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dalam
satu studi, misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan memecahkan
persolan yang dihadapinya. Pentingnya pendekatan ini menurut Khoituddin
Nasution semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya
menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama,
seperti al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan
tekstual saja, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan
historis sekaligus. Bahkan mungkin bisa ditambah dengan pendekatan hermenuetik.
Ketika membahas masalah yang berhubungan dengan kedokteran, seharusnya tidak
cukup dengan kajian normative. Kajian normative akan
lengkap bila diikuti dengan kajian kedokteran. Dengan cara seperti ini,
persoalan dipahami akan lebih lengkap sebelum memutuskan status hukum menurut
ajaran Islam. Demikian juga menjawab atau menyelesaikan hukum (status ternak)
pertanian dan semacamnya. Untuk menentukan hukumnya harus dipahami lebih dahulu
secara lengkap dari sisi ilmu peternakan dan ilmu pertanian. Kemudian
ditetapkan status hukumnya. Seperti ini deskripsi cara kerja pendekatan
interdisipliner untuk mengungkap esensi dari kajian suatu obyek[11].
Kupasan
di atas menghasilkan kesimpulan bahwa perkembangan pembidangan studi Islam dan
pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Adanya
penekanan terhadap bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan agar mampu
memahami ajaran Islam lebih komprehensif sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
yang semakin lengkap dan kompleks. Perkembangan tersebut adalah suatu hal yang
wajar dan seharusnya memang terjadi, karena tidak terjadi pertanda agama semakin
tidak mendapat perhatian[12].
Pendekatan
interdisipliner menurut catatan Khoituddin Nasution, bukan hal yang baru dalam
sejarah keilmuan klasik. Sejumlah teori (sejarah, antropologi, sosiologi,
sastra, dan arkeologi, ilmu politik, filsafat, linguistik telah digunakan sejak
lama oleh para ilmuan klasik meskipun teori-teori tersebut mengalami
perkembangan. Ada beberapa teori yang mendapat penekanan pada beberapa dekade
terakhir. Hal ini disebabkan adanya kehausan untuk memahami ajaran Islam yang
lebih sempurna. Munculnya teori-teori baru adalah sebagai respon terhadap
fenomena kaum muslim yang semakin hari semakin maju dan kompleks.
D. Langkah-Langkah Praktis Metodis
Secara
epistemologis, paradigma Interdisipliner merupakan jawaban atau respon
terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan dan
diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang aadanya dikotomi
pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa
merasa saling bertegur sapa. Kesulitan epistemologis ini pada kasus di
Indonesia, rupanya berdampak secara structural-politis dengan berdirinya
Departemen Pendidikan Nasional dan departemen Agama di awal kemerdekaan republic ini.
Terpisahnya dua departemen ini, khususnya dalam hal pendidikan menambah
sempurna dikotomi. Dari waktu ke waktu, upaya untuk mendekatkan kembali jurang
pemisah atau gap antara keduanya, khususnya wilayah pendidikan semakin nyata[13]
Perlunya
pendekatan interdisipliner bidang keilmuan dalam studi keislaman kontemporer
membawa kita memasuki wilayah yang tidak bisa dipikirkan dan disentuh oleh
kalangan pengajar dan pembela ortodoksi studi keilmuan keislaman. Nash-nash
keagamaan yang dari itu muncul fatwa-fatwa keagamaan sejak dahulu hingga sampai
kapapun tidak bisa terlepas dari kepentingan sosial-politik, sosial-ekonomi,
sosial-budaya. Keras lemahnya hubungan antar agama, etnis, ras, dan suku sangat
tergantung pada pertimbangan sosiologis, politis, dan ekonomi. Oleh karenanya
studi sosial keagamaan yang historis empiris termasuk psikologi keagamaan
sangat diperlukan. Pentingnya memahami batas-batas hak dan kewajiban dalam
frame hubungan sosial keagamaan yang bersifat public dalam era multicultural
dan multireligius dirasakan sangat mendesak seperti sekarang ini.
Dalam
melakukan pengkajian Islam ada beberapa fase yang harus dilalui untuk
mendapatkan jawaban dari kajian tersebut. Menurut Qodri Azizy, terdapat enam fase: Pertama,
pengkajian Islam lewat al-Qur’an dan hadits. Kedua, ulama-ulama Islam harus
mencoba memahami atau menafsirkan nash, sambil memberi jawaban terhadap
kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nash. Ketiga, pengkajian
Islam berupa mempelajari pemikiran ulama yang sudah terbangun sebagai disiplin
keilmuan. Namun pada tahap ini sering terjadi bentuk dogmatic dan normative.
Sebagai akibatnya bukan saja pemahaman nash yang tidak kontekstual, namun
pemahaman terhadap karya ulama yang seakan-akan tidak tersentuh oleh akal
manusia sekarang. Padahal itu semua merupakan hasil ijtihad waktu itu dengan
pengaruh budaya, adat, dan subyektivitas perorangan.
Oleh
karena itu fase keempat, perlu adanya penyegaran pengkajian dengan
merekonstruksi proses pemikiran utama. Disini sudah mulai jelas menempatkan apa
yang selama ini dianggap doktrin merupakan hasil ijtihad ulama. Namun disini
ternyata masih berkutat pada aktivitas eksploratif yakni hanya menjelaskan
secara deskripsi apa yang telah terjadi. Akibatnya muncul stagnasi meskipun
telah menyentuh aktivitas kritis, artinya pemikiran ulama waktu itu tidak lepas
dari kondisi yang mengitarinya sehingga mempengaruhi keputusan pribadi ulama.
Disisi
lain, kondisi saat ini tidak selalu sama dengan masa itu. Ini yang menyebabkan
stagnasi dan berputar-putar. Namun proses fenomenologis sudah dimulai, meskipun
bentuknya yang utuh tidak ada dalam fase berikutnya. Oleh karena itu diperlukan
usaha radikal dan berani untuk membongkar kembali apa yang terjadi dan apa yang
telah dipraktikkan oleh ulama terdahulu konsekuensinya akan terjadi
de-absolutisasi atau desaklarisasi ilmu-ilmu keislaman, ini digolongkan fase
kelima. Beda antara fase keempat dan kelima adalah, fase keempat pengkajian
Islam mempunyai target berupa pengungkapan sejarah pemikiran ulama secara apa
adanya tanpa prasangka tanpa agenda penitipan sesuatu. Dalam fase keempat ini
sebenarnya juga sudah mulai usaha inovatif dan obyektif untuk menilai kembali
terhadap pemikiran mengenai Islam. Lebih dari itu, dalam fase ini juga
menempatkan kondisi obyektif di lapangan sebagai variable yang tidak dapat
dipisahkan sama sekali atau justru berpengaruh dalam pemahaman keagamaan.
Disini kajian kritis terhadap disiplin ilmu-ilmu keislaman yang ada selama ini
dianggap beku dan doctrinal baru dimulai.
Fase
keenam adalah usaha kelanjutannya, yaitu merekonstruksi keilmuan Islam yang
dianggap baku untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Ini
merupakan ijtihad baru sebagai konstruksi ulang disiplin ilmu-ilmu keislaman
yang sudah ada dan selama ini dianggap baku. Ini dapat berupa perbaikan
disiplin, pengembangan atau pengurangan disiplin, atau penciptaan disiplin
baru, meskipun dengan merformulasi ulang terhadap apa yang sudah ada. Sudah
barang tentu tidak bisa diterima terjadinya keterputusan alur atau proses
pemikiran dari apa yang sudah dilakukan oleh ulama. Ada kontinuitas dan proses
historikal, seperti terjadi dalam keilmuan pada umumnya (di Barat)[14].
Dalam
fase ini dapat dilakukan pendekatan secara Interdisipliner,
multidisiliner atau bahkan transdisipliner. Tentu harus mengacu pada misi utama
Islam yaitu kemaslahatan umat di satu sisi, dan keterkaintannya dengan cirri
utama Islam di sisi lain. Ada faktor yang tidak dapat diabaikan juga adalah
tuntutan perkembangan jaman yang mungkin terjadi eklektis dalam epistemology
ilmu-ilmu keislaman.
Paradigma
Interdisipliner secara aksiologis menawarkan pandangan dunia manusia
beragama dan ilmuan yang baru yang lebih terbuka mampu membuka dialog dan
kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan kepada public dan
berpandangan ke depan. Secara ontologism, hubungan antara berbagai disiplin
keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas
wilayah antara budaya pendukung keilmuan yang bersumber pada teks-teks
dan budaya pendukung keilmuan factual-historis-empiris, yakni ilmu-ilmu sosial
dan kealaman serta budaya pendukung keilmuan etis filosofis masih tetap ada.
Hanya saja, cara berfikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni
ilmu-ilmu ini yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya dalam
birokrasi pendidik, baik dalam level prodi, jurusan maupun fakultas, dan
terlebih lagi dalam diri para ilmuan, dosen, akademisi atau researchers, yang
termanifestasikan dalam keanekaragaman perspektif yang digunakan untuk mengkaji
dan menganalisa persoalan, program penelitian, tatap muka perkuliahan,
pengembangan kurikulum serta evaluasi pembelajarannya menjadi sibghah dan core
values yang harus dipegang teguh dan dikembangkan terus-menerus oleh
para pelaku transformasi[15].
Pendekatan
yang digunakan dalam melakukan kajian sudah tentu sangat bergantung pada tujuan
penelitian dan lingkupnya, tetapi secara umum menurut Abdurrahman Wahid, dapat
digunakan untuk menyusun pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan pembagian
wilayah kajian studi keislaman yaitu: (1) Sebanyak mungkin harus
didekati persoalan yang dikaji dari sudut pandang dan persepsi obyek yang
dikaji bukannya dari asumsi-asumsi umum yang seringkali tidak dapat menangkap
secara tajam persepsi tersebut. (2) Harus diperoleh pengertian
yang benar dan akurat tentang metode penafsiran ajaran yang digunakan oleh
obyek kajian. Kelompok reformis menganggap bahwa kehidupan dunis mempunyai
timbangan yang sama dalam pandangan dunia. Dalil-dalil keagamaan yang sama
diartikan demikian oleh kaum reformis pada kalangan tradisional mempunyai arti
lain. Persambungan vertical, dimana hal-hal duniawi hanyalah persiapan
belaka bagi kebahagiaan kekal di alam baka nanti. Contoh ini secara jelas
sekali menunjukkan harusnya garis pemisah antara berbagai pandangan, namun
berakibat fatal bila tidak diketahui oleh seorang peneliti dan dibedakan secara
tajam. (3) Kerangka penelitian harus secara seksama menyingkirkan hal –hal
yang akan mengganggu ketajaman pandangan seperti asumsi-asumsi umum yang telah
diterima secara universal selama ini dan tajamnya dikotomi
tradisional-moderen. (4) Haruslah dihindari pendekatan yang
sepotong-potong, melainkan harus dilakukan pembuatan proyeksi gambaran
permasalahan yang bersifat komprehensif untuk meminjam istilah Kahane dalam
kajiannya tentang penyebaran Islam di Jawa dan fungsi sosial historis
penyebaran itu. Kajian Kahane melihat kajian secara keseluruhan
fungsi-fungsinya secara komprehensif menunjukkan, bahwa motif utama bagi
penyebaran Islam di Jawa bukanlah perniagaan atau propogasi mistik/tasawuf,
melainkan motif legitimasi kekuasaan pada tingkat dan lokasi berbeda-beda atas
alasan berlainan pula (lokal pendalaman, lokal pesisiran dan pusat
pedalaman).(5) Kemampuan menggali sumber-sumber informasi yang tepat, terutama
dalam mencari penafsiran yang dihayati obyek kajian atas ajaran agama haruslah
benar-benar mampu mengintegrasikan aspek kontekstual dan tekstual dari
penelitian yang dilakukan dengan baik. Tidak cukup pendekatan antropologis
untuk membiarkan obyek kajian “berbicara” lepas tanpa dikaji interaksinya
dengan ajaran-ajaran agama yang dimuat dalam teks-teks keagamaan formal yang
digunakan di lingkungannya[16].
E. Beberapa
Pendekatan Interdisipliner
1. Pendekatan
Filsafat
Secara harfiah, kata filsafat berasal
dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran , ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat
dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebat dan akibat
serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia[17]. Dalam
kamus umum bahasa Indonesia, poerwardaminta mengartikan filsafat sebagai
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas,
hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai
kebenaran dan arti “adanya” sesuatu[18].
Menurut Sidi Gazalba filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik,
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat
mengenai segala sesuatu yang ada[19].
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik
obyek fenomena[20].
Menurut istilah (terminologi) filsafat islam adalah cinta
terhadap hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah dan menciptakan sikap positif
terhadap falsafah islam[21].
Contoh
pendekatan filsafat agama Islam, ajaran
agama Islam
mengajarkan agar shalat berjamaah. Tujuan antara lain agar seseorang merasakan
hidup berdampingan dengan orang lain, dengan
mengajarkan puasa misalkan agar seorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya
menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dengan
menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberikan makna
terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula mendapat hikmah dan ajaran
yang terkandung didalamnya. Dengan demikian ketika seoarang mengerjakan suatu
amal ibadah tidak akan merasa kekeringan dan kebosanan, semakin
mampu mengenali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat
pula sikap, penghayatan, dan
daya spiritual yang dimiliki seseorang[22].
Istilah
filsafat dapat ditinjau dari dua segi berikut:
a. Segi
semantik, filsafat berasal dari bahasa arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani
yaitu philosophia yaitu pengetahuan hikmah (Wisdom). Jadi philosophia
berarti cinta pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran. Maksudnya adalah
orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan mengabdikan dirinya
kepada pengetahuan.
b.
Segi praktis; filsafat yaitu alam
pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang berpikir tentang filsafat
disebut filosof. Yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan
sungguh-sungguh di dalam tugasnya filsafat merupakan hasil akal manusia yang
mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi filsafat
adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala
sesuatu.
Contoh yang kedua tentang kontroversi
penafsiran iblis dalam al-Quran berawal dari rencana Tuhan untuk menciptakan
dan mempersiapkan seorang khalifat di bumi. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqoroh
ayat 30-34, peristiwa ini dijelaskan:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Kisah iblis pada surat di atas, pada awalnya
menggambarkan narasi penciptaan Adam yang oleh tuhan dianggap sebagai “the only
one caliph on the earth”. Amanah kekhalifahan ini rupanya kurang mendapat
simpatik di kalangan malaikat karena itu mereka “memprotes” dan “menolak” kebijakan
tersebut.
Menurut Syeikh Musthafa
al-Maraghi, perbedaan persepsi di kalangan ulama mengenai ayat ini berkisar
pada dua hal: pertama, iblis adalah sejenis jin yang berada di tengah
ribuan malaikat, berbaur dengan sifat dari sebagian sifat mereka. Kedua, iblis
itu dari malaikat karena perintah sujud di sini tertuju pada malaikat karena
zahir ayat yang serupa bahwa ia tergolong mereka.
Dalam wacana tafsir klasik
dan modern, persoalan pertama yang muncul ketika memperbincangkan eksistensi
iblis itu adalah makna sujud, yasjudu.Terhadap kata ini semua
mufasir baik klasik dan modern sependapat bahwa makna kata sujud yang dimaksud
adalah sujud tahiyyat, penghormatan, bukan sujud dalam pengertian
ibadah atau menghambakan diri pada Adam.
At-tabari dan ar-Razi
menafsirkan kata iblis pada ayat yasjuduberasal dari jenis malaikat.mereka
berpendapat demikian dengan alasan bahwa kata “istisna”, semua malaikat sujud
pada Adam kecuali iblis menunjukkan makna bahwa iblis itu berasal dari jenis
mereka (malaikat)[23].
2. Pendekatan
Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup
bersama dengan masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang
menguasai hidupnya itu. Sementara itu soejono soekanto mengartikan sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian[24] .
Sosiologi tidak menetap kearah mana sesuatu
seharusnya berkembang dalam arti member petunjuk –petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan
kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut[25].
Dari kedua definisi tersebut terlihat bahwa
sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap
dengan struktur , lapisan ,serta sebagai gejala social lainya yang saling
berkaitan. Dengan ilmu ini , suatu fenomena social dapat dianalisis dengan
factor –faktor yang mendorong terjadi hubungan , mobilitas social, serta
keyakinan- keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut[26].
Dari segi sosiologi ini, pendekatan terhadap
agama telah melahirkan berbagai teori. Diantara teori-teori itu, yang sangat
terkenal adalah tingkatan, yang salah satu implikasi teologis terhadap
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadist, sebagai contoh mengenai wanita.
Wanita Islam dalam kontekstual adalah munculnya rasa takut dan berdosa bagi
kaum wanita bila ingin “menggugat” dan menolak penafsiran atas diri mereka yang
tidak hanya disubordinasikan dari kaum laki-laki, tetapi juga dilecehkan hak
dan martabatnya. Akibatnya secara sosiologis mereka terpaksa menerima
kenyataan-kenyataan diskriminatif bahwa lelaki serba lebih dari perempuan,
terutama dalam hal-hal seperti: pertama, wanita adalah makhluk lemah karena
tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok; kedua, wanita separuh harga
laki-laki; ketiga, wanita boleh diperistri hingga empat; keempat: wanita tidak
bisa menjadi pemimpin negara[27].
Dalam kejadian wanita,
kata nafs pada surat An-nisa: 1, tidak ditafsirkan Adam, seperti
anggapan mufasir tradisional, sebab konteks awal turunnya ayat ini tidak hanya
bermaksud menolak atau mengklaim tradisi-tradisi jahiliyyah yang masih
menganggap wanita sebagai makhluk yang rendah dan hina, tapi juga sekaligus
mengangkat harkat dan martabat mereka, sebagaimana terlihat pada ayat
sesudahnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan
konteks ayat ini, maka kata nafs harus ditafsirkan dengan jenis
sebagaimana dipahami para mufasir modern, bahwa baik laki-laki maupun perempuan
diciptakan dengan jenis yang sama.
Dalam hal lain, ketika surat an-Nisa:3
berbicara tentang poligami dengan persyaratan agar lelaki berlaku adil, peran
inti yang dikemukakan sebenarnya adalah keadilan bukan semata-mata pembatasan
jumlah wanita yang boleh dikawini laki-laki. Oleh karena itu tuntutan keadilan
kualitatif beristri pada saat ini adalah satu saja dan saling melengkapi bukan
sebaliknya melecehkan haknya. Hal yang sama berlaku ketika al-Qur’an surat
an-Nisa’:7 berbicara tentang ketentuan waris untuk anak laki-laki dan wanita.
Konteks masa itu tidak memungkinkan adanya kesamaan hak antara laki-laki dan
wanita, karena wanita pada saat itu tidak mendapatkan warisan tapi diwariskan
dan al-Qur’an mengubahnya dengan memberikan separuh jumlah yang diterima
laki-laki.Sekarang konteksnya telah berbeda dimana wanita telah banyak
diberikan hak dan kebebasan oleh al-Qur’an.
Demikian pula terhadap persoalan tidak bolehnya
wanita menjadi kepala negara. Larangan ini bersumber dari hadist yang
diriwayatkan Bukhori ahmad nasa’I dan At-turmudzi tidak akan bahagia suatu kaum
yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang wanita “Berdasarkan konteks
hadis tersebut maka selama dalam suatu negara dimana sistem pemerintahan
berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras
sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan bidangnya
masing-masing yang pada akhirnya dapat lebih mudah memajukan negaranya dan
menyelamatkan dari mala petaka, maka tidak ada halangan bagi seorang wanita
menjadi menteri/kepala negara.
3.
Pendekatan Sejarah
a) Pengertian
Pendekatan Sejarah
Dalam
bahasa Arab, kata sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan
waktu, dan secara istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa
lampau / masa yang masih ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari
kata history yang secara harfiah diartikan the past experience of mankind,
yakni pengalaman umat manusia di masa lampau[28].
Sejarah atau historis adalah suatu
ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure
tempat, waktu, objek, latar belakang, dan prilaku peristiwa tersebut. Menurut
ilmu ini, peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut[29].
Pendekatan
historis ini digunakan sebagai upaya untuk menelusuri asal-usul serta
pertumbuhan pemikiran dan lembaga keagamaan melalui periode perkembangan
sejarah tertentu, serta untuk memahami perenankekuatan yang diperlihatkan oleh
agama dalam periode-periode tersebut[30].
Oleh
karena itu menurut Hasan Usman metodologi Sejarah adalah suatu periodisasi atau
tahapan –tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan dengan
kemampuan yang ada dapat mencapai kemampuan hakikat sejarah. Adapun yang
dimaksud dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai pada
kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu berada diluar kemampuan , juga
hilangnya petunjuk misalnya bekas peninggalan atau karena ada tujuan dan
kepentingan tertentu[31].
Melalui
pendekatan sejarah , seseorang diajak menukik dari alam idealis kea lam yang
bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini , seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan
yang ada dialam empiris dan historis. Pendekatan sejarah ini amat dibutuhkan dalam
memahami agama , karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit
bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan . dalam hal ini
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal
ini Islam , menurut pendekatan sejarah . ketika ia mempelajari al-Qur’an ,ia
sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya, kandungan al-qur’an itu
terbagi menjadi dua bagian, bagian yang pertama berisi konsep-konsep dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perunpamaan[32].
Dalam
bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat
abtrak maupun konkret. Konsep tentang allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, mungkar
dan sebagainya, adalah konsep – konsep abstrak. Sementara itu, juga ditunjukan
konspep- konsep yang lebih menunjuk pada fenomena konkret dan dapat diamati (observable) misalnya konsep tentang fuqara’(orang-orangfakir),dhuafa’(orang-orang lemah) mustadh’afin (kelas tertindas) zhalimun (para tiran), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
Selanjutnya,
pada bagian kedua yang berisi kisah –kisah dan perumpamaan al-Qur’an ingin
mengajak umat Islam untuk melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah, melalui
kontemplasi terhadap kejadian – kejadian atau peristiwa – peristiwa historis ataupun
menyangkut symbol-simbol. Misalnya symbol tentang rapuhnya
rumah laba-laba, luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan tuhan
atau tentang keganasan samudra yang menyebabkan orang-orang kafir berdo’a[33].
Jadi dapat disimpulkan oleh pemakalah
bahwa pendekatan sejarah atau historis mempunyai makna yang sangat luas baik
yang berkaitan dengan masa lampau, baik
yang berkaitan dengan masalah sosial,politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, agama dan sebagainya. Melalui pendekatan sejarah ini, Islam akan
memiliki landasan sejarah yang kuat sehingga terjadi hubungan dan mata rantai
yang jelas
b) Studi
Islam dengan Pendekatan Sejarah
Melalui
pendekatan sejarah ditemukan informasi sebagai berikut:
1. Sejak kedatangan Islam, umat Islam
tergerak hati, pikiran dan perasaannya untuk memberikan perhatiannya terhadap
agama.
2. Melalui pendekatan sejarah, dapat
diketahui tentang adanya sistem pengaturan atau konsep keilmuan tentang
keislaman.
Pendekatan
sejarah dalam mempelajari Islam merupakan profil campuran, yakni sebagian dari
praktik tersebut ada yang dipengaruhi oleh sejarah dan ada pula yang
dipengaruhi oleh adat istiadat dan kebudayaan setempat. Praktik pendidikan
dalam sejarah tidak selamanya mencerminkan apa yang dikehendaki ajaran
Al-Qur'an dan al-sunnah.
Informasi
yang terdapat dalam sejarah bukanlah dogma atau ajaran yang harus diikuti,
melainkan sebuah informasi yang harus dijadikan bahan kajian dan renungan,
memilah dan memilih bagian yang sesuai dan relevan untuk digunakan[34].
4. Pendekatan
Antropologis
Antropologi
berasal dari Bahasa Yunani ”anthropos” artinya manusia/orang, dan ”logos” yang
berarti wacana.
Menurut
ilmu tuhan.com (2011), antropolgi adalah ilmu yang membahas
tentang manusia, khususnya tentang asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat
istiadat dan kepercayaan masa lampau.
Antropologis
adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia terdiri
dari aspek fisik dan non fisik dan berbagai pengetahuan tentang kehidupan
lainnya yang bermanfaat.
Pendekatan
antropologis adalah salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Kajian antropologi dibagi empat,
yaitu:
a. Intelektualisme,
yaitu mempelajari agama dari sudut pandang intelektual yang mencoba melihat
definisi agama dalam setiap masyarakat, kemudian melihat perkembangannya
(religius development) dalam suatu masyarakat. E.B. Taylor mengemukakan bahwa
agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supernatural.
b. Strukturalis
c. Fungsionalis
d. Simbolis
Ketiga
teori ini dikembangkan Emile Durkheim, mengilhami banyak orang dalam melihat
agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara
struktur. Objek antropologi agama ada empat, yaitu:
a. Modus
pemikiran primitif,
b. Komunikasi,
seperti simbol dan mite,
c. Teori
dan praktik keagamaan,
d. Praktik
ritual sampingan seperti magic.
Sedangkan aliran antropologi agama terdiri dari:
a. Aliran fungsional
Penelitian
Brosnilaw Kacper Malinowski bertujuan mengetahui titik pandang pemikiran
masayarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan serta mengatakan
pandangan-pandangan mereka tentang dunia.
b.Aliran historis
Evans
Pritchard
dalam penelitiannya mengatkan bahwa aliran historis adalah membandingkan
struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
c. Aliran struktural
Claude
Levi Strauss
mengemukakan bahwa bahasa dan mite menggambaerkan kaitan antara alam dengan
budaya dan hubungan antara alam dan budaya itu ditemukan hukum-hukum pemikiran
masyarakat yang diteliti.
E. tokoh –tokoh penting dan karyanya
Nama
Lengkapnya ialah Abu Zayd 'Abd
al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Ia adalah seorang sejarawan
muslim dari Tunisia dan
sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan).
Ibn Khaldun, Nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia
adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada
zamannya, tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab dianggap sebagai bibit
dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan
metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai
bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang Kehidupannya
yang malang melintang di Tunisia, Maroko, Spanyol, Aljazair, Jazirah Arab, dan
Mesir, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang
Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada
Ilmu Pengetahuan.
Tokoh intelektual Islam lain , seperti gagasan Ibnu Taimiyah,
Sayid Idrus Bin Salim Al Jufrie, Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid
serta mengkiritisi model pendekatan sejarah yang digunakan Montgomery Watt
dalam memahami pribadi Nabi Muhammad.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
melakukan kajian terhadap keilmuan, ada berbagai pendekatan keilmuan yang dapat
digunakan untuk menguak dan menemukan formulasi terhadap kajian secara mendalam
dan spesifik. Namun sesuai perkembangan waktu, kajian monodisiplin yang hanya
membidik pada satu frame of work. Sementara tuntutan era modern dibutuhkan
kajian yang dapat membidik dari berbagai sudut sehingga akan mendapatkan
pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Untuk mendapatkan hasil pemahaman tersebut dalam kajian
keislaman dibutuhkan tidak hanya satu pendekatan disiplin ilmu (monodisiplin).
Penggunaan pendekatan antropologis, sosiologis, filosofis, hukum dan sebagainya
secara bersama-sama (interdisipliner), akan dapat menguak fakta secara utuh
tanpa ada potongan-potongan pemahaman. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa
antara pendekatan monodisiplin maupun interdisiplin tetap membawa karakteristik
masing-masing sebagai ciri dan kosekuensi pilihan bagi orang yang
menggunakannya.
Demikian uraian yang bisa penulis sajikan, kritik dan saran
yang membangun sangat kami harapkan untuk mendapatkan kajian yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin.
2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer, Ahwan
Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------------------. 2010. Islamic
Studies di Perguruan Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abuddin, Nata, 2012, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Cet.19)
Abuddin, Nata, 2006, Metodologi
Studi Islam, cet. X, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.
46.
Armai,
Arief, 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press.)
Bryan, S.
tuner, 2013, Sosiologi Agama, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet
1)
Dinas Pendidikan Nasional, 1991, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka), Cet. XII
Harun, Nasution, 1995, Falsafah
dan Mistisme dalam Islam. Cet.9, (Jakarta:
Bulan Bintang)
Khoiruddin Nasution, 2009, Pengantar Studi
Islam, Yogyakarta
Lukman S. Thahir, 2004, Studi
Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas,)
M.
Amin Abdullah, 2000, Rekonstruksi
Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.), Antologi Studi Islam Teori
dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press)
M. Yatimin, Abdullah, 2006, Studi
Islam Kontemporer,
Jakarta: Amzah.
Mukti
Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli
Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana 1991)
Omar Muhammad, Al-Thoumy al-Syaibani, falsafah pendidikan Islam, (terj.) Hasan langgulung dari judul asli
falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah, (jakarta: Bulan
Bintang,1979) , cet I
Rosihon Anwar , 2009 , Pengantar studi Islam, ( Bandung :
Pustaka setia Cet:1)
Sidi Gazalba, 1967, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta:
Bulan Bintang), Cet.II
[1] Nasr
Hamid Abu Zayd mengelompokkan dimensi ajaran Islam menjadi tiga wilayah: 1)
teks asli Islam (al-Qur‟an dan Sunnah). 2) Pemikiran Islam yang ditemukan dalam
empat pokok cabang, yaitu hokum, teologi, filsafat, dan tasawuf/mistik. 3) Praktek
yang dilakukan kaum muslimin kehidupan dengan berbagai macam latar belakang social.
[2] Lihat
pengantar Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta:
Qirtas, 2004)
[3] Mukti
Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli
Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana 1991), hal. 47
[4] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam
Masyarakat Multikultural
dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.), Antologi Studi Islam Teori
dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal. 5
[5] M.
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan
Integratif-Interkonektif, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.
92-93.
[6] Dr.
Armai Arief, M.A. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.
(Jakarta: Ciputat Press. 2002), hlm. 99.
[7] Pemakalah
memberikan arti bahwa yang dimaksud dengan pendekatan adalah suatu cara kerja
untuk memudahkan pendidik/warga belajar agar pesertadidik atau warga belajar
ingin belajar mencapai tujuan yang telah ditentukan.
[8] M.
Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006, hlm.58
[9] M.Amin, Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep
Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. . 2009, hlm. Vi-vii
[13] M.Amin, Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep
Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. . 2009,
[15] M.Amin, Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep
Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. . 2009
[17] Omar muhammad Al-Thoumy al-Syaibani, falsafah pendidikan Islam, (terj.) Hasan langgulung dari judul asli falsafah ai-Tarbiyah
al-Islamiyah, (jakarta: Bulan Bintang,1979) , cet I, hlm. 25.
[18] J.s Poewadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), Cet. XII, hlm. 280.
[20] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet.19 2012) , hlm ,42.
[21]
M.Yatimin Abdullah, Op.Cit., hlm. 290
[23]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Cet.9, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.25
[25] Soejono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 18
dan 53
[26] Abudin
Nata, op. cit.., hlm. 39
[29] Rosihon
Anwar ,Badruzzaman, Pengantar Studi Islam ,Cet 1,Bandung : Pustaka Setia,
2009, hlm, 90
[30] Ibid,
hlm, 90
[31] Adeng
Muhtar ghazali, Op.cit, hlm. 39
[32] Ibid
,hlm. 91
[33] Kuntowijoyo,
Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan ,Bandung ,1991, hlm. 328