Pengikut

Rabu, 16 November 2016

PENDEKATAN INTERDISIPLINER DALAM KAJIAN ISLAM



PENDEKATAN INTERDISIPLINER DALAM KAJIAN ISLAM
(Sekilas Sejarah, Pijakan Paradigmatik-Teoretis, Langkah-Langkah
Praktis-Metodis, Tokoh Penting dan Contoh Karya)



Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu: Dr. Abu Rokhmad, M.Ag. Dr. M. Mukhsin Jamil, M.Ag
http://walisongo.ac.id/images/Logo%203D%20UIN%20Walisongo.png








                                                  Disusun Oleh:
                                                `Nama             : Mashadi
 NIM               : 1400018029


PROGAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Islam bukan hanya sebagai agama monodimensi. Islam bukan hanya agama yang didasarkan pada intuisi mistis manusia dan terbatas hanya pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini hanyalah satu dari sekian banyak dimensi agama Islam[1]. Untuk mempelajari aspek multidimensional dari Islam, metode filosofis niscaya dipergunakan untuk menemukan sisi-sisi terdalam dari hubungan manusia dengan Tuhan dengan segenap pemikiran metafisikanya yang umum dan bebas[2]. Dimensi lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam “ilmu manusia”[3]. Agama (Baca: Islam), dengan cara pandang seperti ini, tidak lagi berwajah tunggal (Single Face) melainkan memiliki banyak wajah (Multiface)[4].
Keragaman dimensi Islam mengindikasikan bahwa memahami Islam tidak cukup dengan satu pendekatan atau keilmuan tertentu saja, akan tetapi membutuhkan banyak pendekatan yang didasarkan pada berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, perlu pengkajian secara interdisipliner yang berparadigma dengan menggunakan berbagai perspektif, tidak hanya secara normatif-teologis. Dalam hal ini pendekatan-pendekatan keilmuan yang telah dibahas sebelumnya seperti Historis, Filosofis, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, Filologi, Fenomenologi, Hermeneutik, dan seterusnya sangat diperlukan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat luas masih kuat beranggapan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua Entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan[5].
Kajian agama  termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan berbagai macam ilmu, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di Negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan Orientalisme.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Demikianlah, maka pembahasan dalam makalah ini ingin menegaskan perlunya pengembangan Studi Islam dalam segala aspek kehidupan, dikaji secara interdisipliner dengan teoretis, praktis-metodis ingin menggambarkan betapa kajian tentang Islam membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi aplikasi metodologi dari disiplin keilmuan lain, utamanya pendekatan secara humanities dan social sciences.
B. Rumusan Masalah
 Dari keterangan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah di antaranya :
a.     Pengertian Pendekatan dalam Studi Islam ?
b.    Sejarah Pendekatan Interdisipliner ?
c.     Kerangka Pendekatan Interdisipliner Dalam Studi Islam
d.    Langkah-Langkah Praktis Metodis pendekatan Interdisipliner?
e.     Beberapa Pendekatan Interdisipliner ?
f.   Tokoh - tokoh penting dan contoh karya dalam pendekatan Interdisipliner.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendekatan dalam Studi Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia Pendekatan adalah Pertama, Proses perbuatan, cara mendekati. Kedua, usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode - metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Dalam bahasa inggris pendekatan diistilahkan dengan “Approach”, dalam bahasa Arab disebut dengan “Madkhal”[6].
Pendekatan[7] adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hal ini adalah agama Islam. Islam dapat dilihat dalam beberapa aspek yang sesuai dengan paradigmanya[8].
B.  Sejarah Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan Interdisipliner adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (Perspektif). Pendekatan ini muncul sebagai bentuk dari tuntutan modernitas dan globalisasi dalam mengkaji Islam yang saintifik dan secara serius melibatkan berbagai pendekatan. Pendekatan monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan jaman yang dihadapi umat Islam di berbagai tempat. Pendekatan monodisiplin menekankan pada pengajaran Islam sebagai sebuah doktrin. Kajian Islam normative tersebut merupakan bagian panjang dari tradisi keilmuan Islam klasik. Kerangka studi demikian digunakan di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di Mesir, Arab Saudi, Pakistan, Afganistan dan menjadi model kajian dominan di masyarakat Muslim di seluruh dunia. Kajian Islam secara normatif dalam pemikiran Islam terwujud dalam ilmu fiqh, ushul fiqh, hadits, ilmu hadits, tafsir, ilmu tafsir dan lain-lain. Wacana Islam secara normative, hingga saat itu menjadi bagian penting dalam kerangka keilmuan yang digunakan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) terlebih di daerah-daerah).
Paradigma yang bekerja dalam kajian normative sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abed al-Jabiri adalah paradigma bayani. Paradigma bayani adalah studi dan pemikiran yang berbasis pada teks (an-nash) dan mengutamakan proses berfikir deduktif-analogis-qiyas. Tumpuan utama paradigma ini adalah memahami teks melalui kaidah bahasa, yang kemudian menghadirkan kajian ushul fiqh klasik, sebagaimana diletakkan dasar-dasarnya oleh Imam Syafi’i. Meskipun tetap diperlukan, paradigma bayani yang normative memiliki kelemahan: Pertama, paradigma bayani kurang memiliki pijakan realitas historis, sosiologis dan antropologis sehingga menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktik. Kedua, paradigma bayani kurang mampu mengapresiasi perkembangan keilmuan yang berlangsung dengan cepat. Perkembangan ilmu-ilmu sosia dan humaniora, belum lagi sains dan teknologi, akan sulit direspons oleh paradigma tersebut. Akibatnya kajian Islam akan stagnan karena tidak mau beranjak dari posisi yang mapan berabad-abad yang lampau[9].
Studi Islam tidak lagi terbatas kepada penggunaan paradigma bayani, melainkan dengan paradigma-paradigma yang lain. Kajian Islam dengan mengunakan pendekatan yang lain yaitu interdisipliner atau bidang ilmu dan disiplin adalah jawaban bagi tantangan dunia Islam saat ini. Menurut  M.Amin Abdullah, umat Islam dan tradisinya sulit berkembang dan mengembangkan diri apabila hanya berkutat pada kajian-kajian Islam klasik dan pada gilirannya akan mengalami kesulitan ketika harus berhubungan, bersentuhan, dan berkomunikasi dengan tradisi keilmuan sosial, humaniora, dan eksakta yang berkembang pesat di berbagai tempat, lebih-lebih di bagian bumi bagian barat, Cina, Jepang, dan berbagai tempat yang lain.
Tuntutan kajian Islam secara holistic sebenarnya disadari oleh para cendekiawan Islam era paruh kedua abad ke -20. Para cendekiawan muslim tersebut umumnya terdidik dalam dua tradisi keilmuan. Yaitu tradisi keilmuan Islam klasik dan sekaligus menimba ilmu dari tradisi intelektual dan keilmuan barat. Mereka mencoba melakukan sintesis antara kajian Islam klasik dengan pendekatan-pendekatan baru yang berkembang dalam studi agama dan sosial humaniora di barat. Para cendekiawan itu muncul dari berbagai penduduk muslim di berbagai dunia. Fazlur Rahman cendekiawan muslim dari Pakistan misalnya, memperkenalkan upaya pembaruan metodologi studi Islam, khususnya hukum Islam, dengan perangkat hermenuetika. Teori double movement (gerakan ganda) adalah salah satu kontribusinya. Begitu juga dengan al-hadd al a’la dan al-had al-adna yang dikenalkan oleh Syahrur adalah sebagian dari contoh yang dilakukan oleh cendekiawan muslim kontemporer dalam upaya pembaharuan pemikiran Islam[10].
Kemudian secara berturut-turut para tokoh cendekiawan muslim dari berbagai Negara lahir dan mewarnai pentas keilmuan kontemporer, seperti: Ali Syari’ati, Abdullah Ahmad an-Naim, dan gurunya Mahmud Muhammad Thaha, Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun dan lainnya. Mereka adalah para akademisi yang berjuang untuk melakukan sintesis antara turats (kahasanah keilmuan Islam) dengan hadatsah (modernitas). Pemikiran mereka pun masuk sampai ke Indonesia, khususnya PTAI, semenjak tahun 1990-an sampai saat ini. Mereka merupakan gelombang besar yang berusaha mendialogkan antara warisan turats dengan hadatsah.
C.  Kerangka Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Islam
Paradigma interdisipliner atau dalam istilah M. Amin Abdullah adalah interkoneksitas merupakan asumsi untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia. Setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam maupun agama-agama lain), keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Ketika ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain, maka cepat atau lambat akan berubah menjadi narrow-mindedness (untuk tidak menyebut fanatisme) terhadap partikularitas disipilin keilmuan. Kerjasama yang saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Dalam satu studi, misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan memecahkan persolan yang dihadapinya. Pentingnya pendekatan ini menurut Khoituddin Nasution semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual saja, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus. Bahkan mungkin bisa ditambah dengan pendekatan hermenuetik. Ketika membahas masalah yang berhubungan dengan kedokteran, seharusnya tidak cukup dengan kajian normative. Kajian normative akan lengkap bila diikuti dengan kajian kedokteran. Dengan cara seperti ini, persoalan dipahami akan lebih lengkap sebelum memutuskan status hukum menurut ajaran Islam. Demikian juga menjawab atau menyelesaikan hukum (status ternak) pertanian dan semacamnya. Untuk menentukan hukumnya harus dipahami lebih dahulu secara lengkap dari sisi ilmu peternakan dan ilmu pertanian. Kemudian ditetapkan status hukumnya. Seperti ini deskripsi cara kerja pendekatan interdisipliner untuk mengungkap esensi dari kajian suatu obyek[11].
Kupasan di atas menghasilkan kesimpulan bahwa perkembangan pembidangan studi Islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan agar mampu memahami ajaran Islam lebih komprehensif sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang semakin lengkap dan kompleks. Perkembangan tersebut adalah suatu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi, karena tidak terjadi pertanda agama semakin tidak mendapat perhatian[12].
Pendekatan interdisipliner menurut catatan Khoituddin Nasution, bukan hal yang baru dalam sejarah keilmuan klasik. Sejumlah teori (sejarah, antropologi, sosiologi, sastra, dan arkeologi, ilmu politik, filsafat, linguistik telah digunakan sejak lama oleh para ilmuan klasik meskipun teori-teori tersebut mengalami perkembangan. Ada beberapa teori yang mendapat penekanan pada beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan adanya kehausan untuk memahami ajaran Islam yang lebih sempurna. Munculnya teori-teori baru adalah sebagai respon terhadap fenomena kaum muslim yang semakin hari semakin maju dan kompleks.

D.  Langkah-Langkah Praktis Metodis

Secara epistemologis, paradigma Interdisipliner merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang aadanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa saling bertegur sapa. Kesulitan epistemologis ini pada kasus di Indonesia, rupanya berdampak secara structural-politis dengan berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan departemen Agama di awal kemerdekaan republic ini. Terpisahnya dua departemen ini, khususnya dalam hal pendidikan menambah sempurna dikotomi. Dari waktu ke waktu, upaya untuk mendekatkan kembali jurang pemisah atau gap antara keduanya, khususnya wilayah pendidikan semakin nyata[13]
Perlunya pendekatan interdisipliner bidang keilmuan dalam studi keislaman kontemporer membawa kita memasuki wilayah yang tidak bisa dipikirkan dan disentuh oleh kalangan pengajar dan pembela ortodoksi studi keilmuan keislaman. Nash-nash keagamaan yang dari itu muncul fatwa-fatwa keagamaan sejak dahulu hingga sampai kapapun tidak bisa terlepas dari kepentingan sosial-politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya. Keras lemahnya hubungan antar agama, etnis, ras, dan suku sangat tergantung pada pertimbangan sosiologis, politis, dan ekonomi. Oleh karenanya studi sosial keagamaan yang historis empiris termasuk psikologi keagamaan sangat diperlukan. Pentingnya memahami batas-batas hak dan kewajiban dalam frame hubungan sosial keagamaan yang bersifat public dalam era multicultural dan multireligius dirasakan sangat mendesak seperti sekarang ini.
Dalam melakukan pengkajian Islam ada beberapa fase yang harus dilalui untuk mendapatkan jawaban dari kajian tersebut. Menurut Qodri Azizy, terdapat enam fase: Pertama, pengkajian Islam lewat al-Qur’an dan hadits. Kedua, ulama-ulama Islam harus mencoba memahami atau menafsirkan nash, sambil memberi jawaban terhadap kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nash. Ketiga, pengkajian Islam berupa mempelajari pemikiran ulama yang sudah terbangun sebagai disiplin keilmuan. Namun pada tahap ini sering terjadi bentuk dogmatic dan normative. Sebagai akibatnya bukan saja pemahaman nash yang tidak kontekstual, namun pemahaman terhadap karya ulama yang seakan-akan tidak tersentuh oleh akal manusia sekarang. Padahal itu semua merupakan hasil ijtihad waktu itu dengan pengaruh budaya, adat, dan subyektivitas perorangan.
Oleh karena itu fase keempat, perlu adanya penyegaran pengkajian dengan merekonstruksi proses pemikiran utama. Disini sudah mulai jelas menempatkan apa yang selama ini dianggap doktrin merupakan hasil ijtihad ulama. Namun disini ternyata masih berkutat pada aktivitas eksploratif yakni hanya menjelaskan secara deskripsi apa yang telah terjadi. Akibatnya muncul stagnasi meskipun telah menyentuh aktivitas kritis, artinya pemikiran ulama waktu itu tidak lepas dari kondisi yang mengitarinya sehingga mempengaruhi keputusan pribadi ulama.
Disisi lain, kondisi saat ini tidak selalu sama dengan masa itu. Ini yang menyebabkan stagnasi dan berputar-putar. Namun proses fenomenologis sudah dimulai, meskipun bentuknya yang utuh tidak ada dalam fase berikutnya. Oleh karena itu diperlukan usaha radikal dan berani untuk membongkar kembali apa yang terjadi dan apa yang telah dipraktikkan oleh ulama terdahulu konsekuensinya akan terjadi de-absolutisasi atau desaklarisasi ilmu-ilmu keislaman, ini digolongkan fase kelima. Beda antara fase keempat dan kelima adalah, fase keempat pengkajian Islam mempunyai target berupa pengungkapan sejarah pemikiran ulama secara apa adanya tanpa prasangka tanpa agenda penitipan sesuatu. Dalam fase keempat ini sebenarnya juga sudah mulai usaha inovatif dan obyektif untuk menilai kembali terhadap pemikiran mengenai Islam. Lebih dari itu, dalam fase ini juga menempatkan kondisi obyektif di lapangan sebagai variable yang tidak dapat dipisahkan sama sekali atau justru berpengaruh dalam pemahaman keagamaan. Disini kajian kritis terhadap disiplin ilmu-ilmu keislaman yang ada selama ini dianggap beku dan doctrinal baru dimulai.
Fase keenam adalah usaha kelanjutannya, yaitu merekonstruksi keilmuan Islam yang dianggap baku untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan yang ada. Ini merupakan ijtihad baru sebagai konstruksi ulang disiplin ilmu-ilmu keislaman yang sudah ada dan selama ini dianggap baku. Ini dapat berupa perbaikan disiplin, pengembangan atau pengurangan disiplin, atau penciptaan disiplin baru, meskipun dengan merformulasi ulang terhadap apa yang sudah ada. Sudah barang tentu tidak bisa diterima terjadinya keterputusan alur atau proses pemikiran dari apa yang sudah dilakukan oleh ulama. Ada kontinuitas dan proses historikal, seperti terjadi dalam keilmuan pada umumnya (di Barat)[14].
Dalam fase ini dapat dilakukan pendekatan secara Interdisipliner, multidisiliner atau bahkan transdisipliner. Tentu harus mengacu pada misi utama Islam yaitu kemaslahatan umat di satu sisi, dan keterkaintannya dengan cirri utama Islam di sisi lain. Ada faktor yang tidak dapat diabaikan juga adalah tuntutan perkembangan jaman yang mungkin terjadi eklektis dalam epistemology ilmu-ilmu keislaman.
Paradigma Interdisipliner secara aksiologis menawarkan pandangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru yang lebih terbuka mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan kepada public dan berpandangan ke depan. Secara ontologism, hubungan antara berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan  yang bersumber pada teks-teks dan budaya pendukung keilmuan factual-historis-empiris, yakni ilmu-ilmu sosial dan kealaman serta budaya pendukung keilmuan etis filosofis masih tetap ada. Hanya saja, cara berfikir dan sikap ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya dalam birokrasi pendidik, baik dalam level prodi, jurusan maupun fakultas, dan terlebih lagi dalam diri para ilmuan, dosen, akademisi atau researchers, yang termanifestasikan dalam keanekaragaman perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisa persoalan, program penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan kurikulum serta evaluasi pembelajarannya menjadi sibghah dan core values yang harus dipegang teguh dan dikembangkan terus-menerus oleh para pelaku transformasi[15].
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan kajian sudah tentu sangat bergantung pada tujuan penelitian dan lingkupnya, tetapi secara umum menurut Abdurrahman Wahid, dapat digunakan untuk menyusun pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan pembagian wilayah kajian studi keislaman yaitu: (1) Sebanyak mungkin harus didekati persoalan yang dikaji dari sudut pandang dan persepsi obyek yang dikaji bukannya dari asumsi-asumsi umum yang seringkali tidak dapat menangkap secara tajam persepsi tersebut. (2)  Harus diperoleh pengertian yang benar dan akurat tentang metode penafsiran ajaran yang digunakan oleh obyek kajian. Kelompok reformis menganggap bahwa kehidupan dunis mempunyai timbangan yang sama dalam pandangan dunia. Dalil-dalil keagamaan yang sama diartikan demikian oleh kaum reformis pada kalangan tradisional mempunyai arti lain. Persambungan  vertical, dimana hal-hal duniawi hanyalah persiapan belaka bagi kebahagiaan kekal di alam baka nanti. Contoh ini secara jelas sekali menunjukkan harusnya garis pemisah antara berbagai pandangan, namun berakibat fatal bila tidak diketahui oleh seorang peneliti dan dibedakan secara tajam. (3) Kerangka penelitian harus secara seksama menyingkirkan hal –hal yang akan mengganggu ketajaman pandangan seperti asumsi-asumsi umum yang telah diterima secara universal selama ini dan tajamnya dikotomi tradisional-moderen. (4) Haruslah dihindari pendekatan yang sepotong-potong, melainkan harus dilakukan pembuatan proyeksi gambaran permasalahan yang bersifat komprehensif untuk meminjam istilah Kahane dalam kajiannya tentang penyebaran Islam di Jawa dan fungsi sosial historis penyebaran itu. Kajian Kahane melihat kajian secara keseluruhan fungsi-fungsinya secara komprehensif menunjukkan, bahwa motif utama bagi penyebaran Islam di Jawa bukanlah perniagaan atau propogasi mistik/tasawuf, melainkan motif legitimasi kekuasaan pada tingkat dan lokasi berbeda-beda atas alasan berlainan pula (lokal pendalaman, lokal pesisiran dan pusat pedalaman).(5) Kemampuan menggali sumber-sumber informasi yang tepat, terutama dalam mencari penafsiran yang dihayati obyek kajian atas ajaran agama haruslah benar-benar mampu mengintegrasikan aspek kontekstual dan tekstual dari penelitian yang dilakukan dengan baik. Tidak cukup pendekatan antropologis untuk membiarkan obyek kajian “berbicara” lepas tanpa dikaji interaksinya dengan ajaran-ajaran agama yang dimuat dalam teks-teks keagamaan formal yang digunakan di lingkungannya[16].

E.  Beberapa Pendekatan Interdisipliner
1.    Pendekatan Filsafat
      Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran , ilmu dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebat dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia[17]. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, poerwardaminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu[18].
Menurut Sidi Gazalba filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada[19].
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik obyek fenomena[20].
 Menurut istilah (terminologi) filsafat islam adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah islam[21].
Contoh pendekatan filsafat agama Islam, ajaran agama Islam mengajarkan agar shalat berjamaah. Tujuan antara lain agar seseorang merasakan hidup berdampingan dengan orang lain, dengan mengajarkan puasa misalkan agar seorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dengan menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberikan makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula mendapat hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian ketika seoarang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan dan kebosanan, semakin mampu mengenali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spiritual yang dimiliki seseorang[22].
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi berikut:
a.    Segi semantik, filsafat berasal dari bahasa arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani yaitu philosophia yaitu pengetahuan hikmah (Wisdom). Jadi philosophia berarti cinta pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebenaran. Maksudnya adalah orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
b.    Segi praktis; filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof. Yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh di dalam tugasnya filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
    Contoh yang kedua tentang kontroversi penafsiran iblis dalam al-Quran berawal dari rencana Tuhan untuk menciptakan dan mempersiapkan seorang khalifat di bumi. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 30-34, peristiwa ini dijelaskan:
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  

Kisah iblis pada surat di atas, pada awalnya menggambarkan narasi penciptaan Adam yang oleh tuhan dianggap sebagai “the only one caliph on the earth”. Amanah kekhalifahan ini rupanya kurang mendapat simpatik di kalangan malaikat karena itu mereka “memprotes” dan “menolak” kebijakan tersebut.
Menurut Syeikh Musthafa al-Maraghi, perbedaan persepsi di kalangan ulama mengenai ayat ini berkisar pada dua hal: pertama, iblis adalah sejenis jin yang berada di tengah ribuan malaikat, berbaur dengan sifat dari sebagian sifat mereka. Kedua, iblis itu dari malaikat karena perintah sujud di sini tertuju pada malaikat karena zahir ayat yang serupa bahwa ia tergolong mereka.
Dalam wacana tafsir klasik dan modern, persoalan pertama yang muncul ketika memperbincangkan eksistensi iblis itu adalah makna sujud, yasjudu.Terhadap kata ini semua mufasir baik klasik dan modern sependapat bahwa makna kata sujud yang dimaksud adalah sujud tahiyyat, penghormatan, bukan sujud dalam pengertian ibadah atau menghambakan diri pada Adam.
At-tabari dan ar-Razi menafsirkan kata iblis pada ayat yasjuduberasal dari jenis malaikat.mereka berpendapat demikian dengan alasan bahwa kata “istisna”, semua malaikat sujud pada Adam kecuali iblis menunjukkan makna bahwa iblis itu berasal dari jenis mereka (malaikat)[23].


2.    Pendekatan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dengan masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sementara itu soejono soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian[24] .
Sosiologi tidak menetap kearah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti member petunjuk –petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut[25].
Dari kedua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan keadaan masyarakat lengkap dengan struktur , lapisan ,serta sebagai gejala social lainya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini , suatu fenomena social dapat dianalisis dengan factor –faktor yang mendorong terjadi hubungan , mobilitas social, serta keyakinan- keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut[26].
Dari segi sosiologi ini, pendekatan terhadap agama telah melahirkan berbagai teori. Diantara teori-teori itu, yang sangat terkenal adalah tingkatan, yang salah satu implikasi teologis terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadist, sebagai contoh mengenai wanita. Wanita Islam dalam kontekstual adalah munculnya rasa takut dan berdosa bagi kaum wanita bila ingin “menggugat” dan menolak penafsiran atas diri mereka yang tidak hanya disubordinasikan dari kaum laki-laki, tetapi juga dilecehkan hak dan martabatnya. Akibatnya secara sosiologis mereka terpaksa menerima kenyataan-kenyataan diskriminatif bahwa lelaki serba lebih dari perempuan, terutama dalam hal-hal seperti: pertama, wanita adalah makhluk lemah karena tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok; kedua, wanita separuh harga laki-laki; ketiga, wanita boleh diperistri hingga empat; keempat: wanita tidak bisa menjadi pemimpin negara[27].
Dalam kejadian wanita, kata nafs pada surat An-nisa: 1, tidak ditafsirkan Adam, seperti anggapan mufasir tradisional, sebab konteks awal turunnya ayat ini tidak hanya bermaksud menolak atau mengklaim tradisi-tradisi jahiliyyah yang masih menganggap wanita sebagai makhluk yang rendah dan hina, tapi juga sekaligus mengangkat harkat dan martabat mereka, sebagaimana terlihat pada ayat sesudahnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan konteks ayat ini, maka kata nafs harus ditafsirkan dengan jenis sebagaimana dipahami para mufasir modern, bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jenis yang sama.
Dalam hal lain, ketika surat an-Nisa:3 berbicara tentang poligami dengan persyaratan agar lelaki berlaku adil, peran inti yang dikemukakan sebenarnya adalah keadilan bukan semata-mata pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawini laki-laki. Oleh karena itu tuntutan keadilan kualitatif beristri pada saat ini adalah satu saja dan saling melengkapi bukan sebaliknya melecehkan haknya. Hal yang sama berlaku ketika al-Qur’an surat an-Nisa’:7 berbicara tentang ketentuan waris untuk anak laki-laki dan wanita. Konteks masa itu tidak memungkinkan adanya kesamaan hak antara laki-laki dan wanita, karena wanita pada saat itu tidak mendapatkan warisan tapi diwariskan dan al-Qur’an mengubahnya dengan memberikan separuh jumlah yang diterima laki-laki.Sekarang konteksnya telah berbeda dimana wanita telah banyak diberikan hak dan kebebasan oleh al-Qur’an.
Demikian pula terhadap persoalan tidak bolehnya wanita menjadi kepala negara. Larangan ini bersumber dari hadist yang diriwayatkan Bukhori ahmad nasa’I dan At-turmudzi tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin mereka seorang wanita “Berdasarkan konteks hadis tersebut maka selama dalam suatu negara dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepala negara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing yang pada akhirnya dapat lebih mudah memajukan negaranya dan menyelamatkan dari mala petaka, maka tidak ada halangan bagi seorang wanita menjadi menteri/kepala negara.
3.    Pendekatan Sejarah
a)    Pengertian Pendekatan Sejarah
                         Dalam bahasa Arab, kata sejarah disebut tarikh yang secara harfiah berarti ketentuan waktu, dan secara istilah berarti keterangan yang telah terjadi pada masa lampau / masa yang masih ada. Dalam bahasa Inggris, kata sejarah merupakan terjemahan dari kata history yang secara harfiah diartikan the past experience of mankind, yakni pengalaman umat manusia di masa lampau[28].
                      Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, objek, latar belakang, dan prilaku peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut[29].
                     Pendekatan historis ini digunakan sebagai upaya untuk menelusuri asal-usul serta pertumbuhan pemikiran dan lembaga keagamaan melalui periode perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami perenankekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode-periode tersebut[30].
                     Oleh karena itu menurut Hasan Usman metodologi Sejarah adalah suatu periodisasi atau tahapan –tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan dengan kemampuan yang ada dapat mencapai kemampuan hakikat sejarah. Adapun yang dimaksud dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai pada kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu berada diluar kemampuan , juga hilangnya petunjuk misalnya bekas peninggalan atau karena ada tujuan dan kepentingan tertentu[31].
                     Melalui pendekatan sejarah , seseorang diajak menukik dari alam idealis kea lam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini , seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada dialam empiris dan historis. Pendekatan sejarah ini amat dibutuhkan dalam memahami agama , karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan . dalam hal ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam , menurut pendekatan sejarah . ketika ia mempelajari al-Qur’an ,ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya, kandungan al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian, bagian yang pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan perunpamaan[32].
                     Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abtrak maupun konkret. Konsep tentang allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, mungkar dan sebagainya, adalah konsep – konsep abstrak. Sementara itu, juga ditunjukan konspep- konsep yang lebih menunjuk pada fenomena konkret dan dapat diamati (observable) misalnya konsep tentang fuqara’(orang-orangfakir),dhuafa’(orang-orang lemah) mustadh’afin (kelas tertindas) zhalimun (para tiran), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
                     Selanjutnya, pada bagian kedua yang berisi kisah –kisah dan perumpamaan al-Qur’an ingin mengajak umat Islam untuk melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah, melalui kontemplasi terhadap kejadian – kejadian atau peristiwa – peristiwa historis ataupun menyangkut symbol-simbol. Misalnya symbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan tuhan atau tentang keganasan samudra yang menyebabkan orang-orang kafir berdo’a[33].
                      Jadi dapat disimpulkan oleh pemakalah bahwa pendekatan sejarah atau historis mempunyai makna yang sangat luas baik yang berkaitan dengan masa lampau,  baik yang berkaitan dengan masalah sosial,politik ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama dan sebagainya. Melalui pendekatan sejarah ini, Islam akan memiliki landasan sejarah yang kuat sehingga terjadi hubungan dan mata rantai yang jelas
b)   Studi Islam dengan Pendekatan Sejarah
Melalui pendekatan sejarah ditemukan informasi sebagai berikut:
1. Sejak kedatangan Islam, umat Islam tergerak hati, pikiran dan perasaannya untuk memberikan perhatiannya terhadap agama.
2. Melalui pendekatan sejarah, dapat diketahui tentang adanya sistem pengaturan atau konsep keilmuan tentang keislaman.
Pendekatan sejarah dalam mempelajari Islam merupakan profil campuran, yakni sebagian dari praktik tersebut ada yang dipengaruhi oleh sejarah dan ada pula yang dipengaruhi oleh adat istiadat dan kebudayaan setempat. Praktik pendidikan dalam sejarah tidak selamanya mencerminkan apa yang dikehendaki ajaran Al-Qur'an dan al-sunnah.
Informasi yang terdapat dalam sejarah bukanlah dogma atau ajaran yang harus diikuti, melainkan sebuah informasi yang harus dijadikan bahan kajian dan renungan, memilah dan memilih bagian yang sesuai dan relevan untuk digunakan[34].
4.    Pendekatan Antropologis
Antropologi berasal dari Bahasa Yunani ”anthropos” artinya manusia/orang, dan ”logos” yang berarti wacana.
Menurut ilmu tuhan.com (2011), antropolgi adalah ilmu yang membahas tentang manusia, khususnya tentang asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaan masa lampau.
Antropologis adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia terdiri dari aspek fisik dan non fisik dan berbagai pengetahuan tentang kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Pendekatan antropologis adalah salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Kajian antropologi dibagi empat, yaitu:
a.    Intelektualisme, yaitu mempelajari agama dari sudut pandang intelektual yang mencoba melihat definisi agama dalam setiap masyarakat, kemudian melihat perkembangannya (religius development) dalam suatu masyarakat. E.B. Taylor mengemukakan bahwa agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supernatural.
b.    Strukturalis
c.    Fungsionalis
d.   Simbolis
Ketiga teori ini dikembangkan Emile Durkheim, mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur. Objek antropologi agama ada empat, yaitu:
a.    Modus pemikiran primitif,
b.    Komunikasi, seperti simbol dan mite,
c.    Teori dan praktik keagamaan,
d.   Praktik ritual sampingan seperti magic.
Sedangkan aliran antropologi agama terdiri dari:
a. Aliran fungsional
Penelitian Brosnilaw Kacper Malinowski bertujuan mengetahui titik pandang pemikiran masayarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan serta mengatakan pandangan-pandangan mereka tentang dunia.
b.Aliran historis
Evans Pritchard dalam penelitiannya mengatkan bahwa aliran historis adalah membandingkan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
c. Aliran struktural
Claude Levi Strauss mengemukakan bahwa bahasa dan mite menggambaerkan kaitan antara alam dengan budaya dan hubungan antara alam dan budaya itu ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti.
E. tokoh –tokoh penting dan karyanya
1.    Ibnu Khaldun (27 Mei 1332- 19 Maret 1406/808 H)
Nama Lengkapnya ialah Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Ia adalah seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah (Pendahuluan).
Ibn Khaldun, Nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya, tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia, Maroko, Spanyol, Aljazair, Jazirah Arab, dan Mesir, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Tokoh intelektual Islam lain , seperti gagasan Ibnu Taimiyah, Sayid Idrus Bin Salim Al Jufrie, Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid serta mengkiritisi model pendekatan sejarah yang digunakan Montgomery Watt dalam memahami pribadi Nabi Muhammad.























BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam melakukan kajian terhadap keilmuan, ada berbagai pendekatan keilmuan yang dapat digunakan untuk menguak dan menemukan formulasi terhadap kajian secara mendalam dan spesifik. Namun sesuai perkembangan waktu, kajian monodisiplin yang hanya membidik pada satu frame of work. Sementara tuntutan era modern dibutuhkan kajian yang dapat membidik dari berbagai sudut sehingga akan mendapatkan pemahaman yang holistik dan komprehensif.
Untuk mendapatkan hasil pemahaman tersebut dalam kajian keislaman dibutuhkan tidak hanya satu pendekatan disiplin ilmu (monodisiplin). Penggunaan pendekatan antropologis, sosiologis, filosofis, hukum dan sebagainya secara bersama-sama (interdisipliner), akan dapat menguak fakta secara utuh tanpa ada potongan-potongan pemahaman. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa antara pendekatan monodisiplin maupun interdisiplin tetap membawa karakteristik masing-masing sebagai ciri dan kosekuensi pilihan bagi orang yang menggunakannya.
Demikian uraian yang bisa penulis sajikan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk mendapatkan kajian yang lebih baik.









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2009. Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------------------. 2010.  Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Pendekatan Integratif-Interkonektif).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abuddin, Nata, 2012, Metodologi Studi Islam,  (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet.19)
Abuddin, Nata, 2006, Metodologi Studi Islam, cet. X, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 46. 
Armai, Arief, 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press.)
Bryan, S. tuner, 2013, Sosiologi Agama, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Cet 1)
Dinas Pendidikan Nasional, 1991, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), Cet. XII
Harun, Nasution, 1995, Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Cet.9, (Jakarta: Bulan Bintang)
Khoiruddin Nasution, 2009, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta
Lukman S. Thahir, 2004, Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas,)
M. Amin Abdullah, 2000, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.), Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press)
M. Yatimin, Abdullah, 2006, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah.
Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1991)
Omar Muhammad, Al-Thoumy al-Syaibani, falsafah pendidikan Islam,  (terj.) Hasan langgulung dari judul asli falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah, (jakarta: Bulan Bintang,1979) , cet I
Rosihon Anwar , 2009 , Pengantar studi Islam, ( Bandung : Pustaka setia Cet:1)
Sidi Gazalba, 1967, Sistematika Filsafat, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang),  Cet.II


[1] Nasr Hamid Abu Zayd mengelompokkan dimensi ajaran Islam menjadi tiga wilayah: 1) teks asli Islam (al-Qur‟an dan Sunnah). 2) Pemikiran Islam yang ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu hokum, teologi, filsafat, dan tasawuf/mistik. 3) Praktek yang dilakukan kaum muslimin kehidupan dengan berbagai macam latar belakang social.
[2] Lihat pengantar Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas, 2004)
[3] Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1991), hal. 47
[4] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.), Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal. 5
[5] M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 92-93.
[6] Dr. Armai Arief, M.A. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Press. 2002), hlm. 99.
[7] Pemakalah memberikan arti bahwa yang dimaksud dengan pendekatan adalah suatu cara kerja untuk memudahkan pendidik/warga belajar agar pesertadidik atau warga belajar ingin belajar mencapai tujuan yang telah ditentukan.
[8] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006, hlm.58
[9] M.Amin, Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2009, hlm. Vi-vii
[10]  M.Amin, Abdullah,.Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer……hlm. viii
[11]  Nasution, Khoituddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA TAZZAFA, 2009, hlm. 222
[12]  Nasution, Khoituddin. Pengantar Studi Islam….233
[13] M.Amin, Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2009,
[14] Qodri A, Azizy, Membangun IAIN Walisongo Ke Depan (Langkah Awal). Semarang: Gunungdjati. 2001
[15] M.Amin, Abdullah, Islam dalam Berbagai Pembacaan Konsep Kontemporer, Ahwan Fanani dan Tolhatul Chair (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2009
[16] Abdurrahman Wakhid, (2007, 337-338)
[17] Omar muhammad Al-Thoumy al-Syaibani, falsafah pendidikan Islam,  (terj.) Hasan langgulung   dari judul asli falsafah ai-Tarbiyah al-Islamiyah, (jakarta: Bulan Bintang,1979) , cet I, hlm. 25.
[18] J.s Poewadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet. XII, hlm. 280.
[19] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang 1967),  Cet.II, hlm.15
[20] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,  (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet.19 2012) , hlm ,42.
[21] M.Yatimin Abdullah, Op.Cit., hlm. 290
[22] Abuddin Nata, Op, Cit, hlm 43-44
[23]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Cet.9, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.25
[24] Hasan shadily, Sosiologi Untuk masyarakat Indonesia, bina Aksara, Jakarta,1983, hlm.1
[25] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 18 dan 53
[26] Abudin Nata, op. cit.., hlm. 39
[27]M. Yatimin Abdullah, Op cit,  h. 35
[28] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cet. X , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 46. 
[29] Rosihon Anwar ,Badruzzaman, Pengantar Studi Islam ,Cet 1,Bandung : Pustaka Setia, 2009, hlm, 90
[30] Ibid, hlm, 90
[31] Adeng Muhtar ghazali, Op.cit,  hlm. 39
[32] Ibid ,hlm. 91
[33] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan ,Bandung ,1991, hlm. 328
[34] Ibid, hlm. 88-93